Anda di halaman 1dari 21

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang

Pelajar secara umum di Indonesia saat ini adalah anak-anak generasi


digital. Dalam teori tentang generasi, generasi yang lahir dari tahun 1995-2010
disebut sebagai generasi digital native yaitu generasi yang lahir dan besar di era
internet. Bagaimana tidak? Mereka mengenal internet saat masih kanak-kanak.
Mereka memiliki kemampuan menggunakan teknologi canggih tanpa
perlu diajarkan. Mereka adalah pengguna setia gadget terkini yang sangat mahir
menggunakan hp, ipad, tab, komputer dan lain sebagainya.
Generasi ini akrab dengan teknologi. Karena akrabnya, mereka
menggunakan teknologi tidak hanya untuk hiburan saja, tetapi juga sebagai
panduan saat mencari informasi. Setiap kali mereka memiliki pertanyaan, mereka
akan lari ke internet. Saat mereka mendapatkan PR atau tugas dari sekolah,
mereka pun akan bertanya pada internet. Internet adalah solusi utama bagi
mereka. Tempat bertanya, yang tanpa susah-susah akan mendapatkan jawabannya.
Kemudian, muncul sebuah pertanyaan. Jika sumber informasi dan pengetahuan
bukan lagi dari guru dan buku, tetapi dari internet, lalu apa fungsi guru?
Kehadiran Kurikulum 2013 yang mengusung kompetensi inti sikap
religius, sikap sosial, pengetahuan dan keterampilan merupakan kepastian bahwa
internet tidak dapat menggusur profesi guru.
Pada era digital ini, guru memang bukan lagi sebagai sumber pengetahuan.
Meskipun demikian, guru bisa membantu memilih dan memilah mana
pengetahuan yang benar. Tidak semua pengetahuan yang terdapat di internet
merupakan pengetahuan atau informasi yang benar. Inilah fungsi guru dalam
kompetensi inti pengetahuan. Untuk itu diperlukan guru yang tidak hanya cerdas,
tetapi juga harus kreatif dalam mengolah dan menyampaikan materi pelajaran
yang akan disampaikan kepada siswanya. Guru demikianlah yang akan
mengantarkan generasi digital menjadi generasi yang kuat, siap menghadapi
perubahan dan perkembangan dan tidak tergerus oleh zaman.

1
1.2. Rumusan Masalah
1.2.1. Apakah hakikat guru itu?
1.2.2. Apa tantangan guru dalam menghadapi generasi digital native?
1.2.3. Bagaimana bentuk kreativitas guru dalam menghadapi generasi digital
native?

1.3. Tujuan
1.3.1. Untuk mengetahui hakikat guru.
1.3.2. Untuk mengetahui tantangan guru dalam menghadapi generasi
digital native.
1.3.3. Untuk mengetahui bentuk-bentuk kreativitas guru dalam
menghadapi generasi digital native.

1.4. Manfaat
1.4.1. Dapat mengetahui hakikat guru.
1.4.2. Dapat mengetahui tantangan guru dalam menghadapi generasi
digital native.
1.4.3. Dapat mengetahui bentuk-bentuk kreativitas guru dalam
menghadapi generasi digital native.

2
BAB II
PEMBAHASAN

2.1. Hakikat Guru


2.1.1. Pengertian Guru

Guru dikenal dengan al-mu’alim atau al-ustadz dalam bahasa Arab, yang
bertugas memberikan ilmu dalam majelis taklim. Artinya, guru adalah seseorang
yang memberikan ilmu. Pendapat klasik mengatakan bahwa guru adalah orang
yang pekerjaannya mengajar.
Guru merupakan pekerjaan yang memerlukan keahlian khusus. Pekerjaan
ini tidak dapat dilakukan oleh orang yang tidak memiliki keahlian untuk
melakukan pekerjaan sebagai guru. Profesi guru memerlukan syarat-syarat
khusus, apalagi sebagai guru yang profesional, yang harus menguasai seluk –
beluk pendidikan dan pembelajaran dengan berbagai ilmu pengetahuan.
(Suprihatiningrum, 2016 : 23).
Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia edisi kedua 1991, guru diartikan
sebagai orang yang pekerjaannya (mata pencahariannya) mengajar. Dalam
Undang-Undang Guru dan Dosen No.14 Tahun 2005 Pasal 1, Guru adalah
pendidik profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing,
mengarahkan, melatih, menilai, dan mengevaluasi peserta didik pada pendidikan
anak usia dini jalur pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan
menengah.
Pengertian Guru. Menurut Djamarah (2000:32) sebagaimana dikutip oleh
Laksono (2011:01), “guru adalah semua orang yang berwenang dan bertanggung
jawab untuk membimbing dan membina anak didik, baik secara individual
maupun klasikal di sekolah maupun di luar sekolah”. Lain halnya dengan
Djamarah dan Aswan (2010:112), “guru adalah tenaga pendidik yang memberikan
sejumlah ilmu pengetahuan kepada anak didik di sekolah”.
Berdasarkan uraian di atas dapat disimpulkan bahwa guru adalah orang
yang dengan sengaja mempengaruhi dan mengarahkan peserta didik untuk terus

3
belajar sehingga terjadilah proses pembelajaran. Guru disebut pendidik
profesional karena guru itu telah memperoleh Surat Keputusan (SK), baik dari
pemerintah atau swasta untuk melaksanakan kegiatan pembelajaran di lembaga
pendidikan sekolah serta guru juga menerima dan memikul beban dari orangtua
untuk ikut mendidik anak berdasarkan keahlian khusus yang dimilikinya sebagai
guru. Pekerjan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang diluar bidang
kependidikan walaupun pada kenyataannya masih banyak ditemukan profesi guru
yang dilakukan oleh orang di luar kependidikan.

2.1.2. Status, Peran dan Tugas Guru

Dalam melaksanakan tugas, status guru, sebagai berikut:

1. Guru sebagai PNS atau pegawai yang memiliki Surat Keputusan mengajar.
2. Guru sebagai profesi (ibu profesi) karena melahirkan banyak profesi.
3. Guru sebagai social leadership, guru dianggap serbatahu, teladan, dan
sumber pengetahuan.

Menurut Pidarta (1997), peranan guru/pendidik, antara lain: (1) Sebagai


manajer pendidikan atau pengorganisasian kurikulum, (2) Sebagai fasilitator
pendidikan, (3) Pelaksan pendidikan, (4) Pembimbing dan supervisor, (5) Penegak
disiplin, (6) Menjadi model perilaku yang akan ditiru siswa, (7) Sebagai konselor,
(9) Menjadi penilai, (10) Petugas tata usaha tentang administrasi kelas yang
diajarnya, (11) Menjadi komunikator dengan orangtua siswa dan masyarakat (12)
Sebagai pengajar untuk meningkatkan profesi berkelanjuta, dan (13) Menjadi
anggota organisasi profesi pendidikan. (Suprihatiningrum, 2016 : 26).
Tampubolon (2001) menyatakan peran guru bersifat multidimensional,
yang mana guru menduduki peran sebagai (1) Orangtua, (2) Pendidik atau
pengajar, (3) Pemimpin atau manajer (4) Produsen atau pelayanan (5)
Pembimbing atau fasilitator, (6) Motivator atau stimulator, (7) Peneliti atau
narasumber. Peran tersebut dapat bergradasi menurun, naik atau tetap sesuai
dengan jenjang tuntutannya. ((Suprihatiningrum, 2016 : 27).

4
Peranan dan tugas guru yang diemban guru sangat besar. Guru memiliki
banyak tugas, baik yang terikat oleh dinas maupun diluar dinas, dalam bentuk
pengabdian. Tugas guru tidak hanya mengajar, tetapi juga harus dapat mendidik,
membimbing, membina, dan memimpin kelas. Tugas guru sebagai profesi
meliputi mendidik, mengajar, dan melatih. Mendidik berarti meneruskan dan
mengembangkan nilai-nilai hidup, mengajar berarti meneruskan dan
mengembangkan ilmu pengetahuan dan teknologi, sedangkan melatih berarti
mengembangkan keterampilan-keterampilan pada siswa. Jadi, seorang guru
dituntut untuk mampu menghubungkan aspek kognitif, afektif, dan psikomotorik
dalam proses pembelajaran. Hal ini sesuai dengan UU RI No. 14/2005 tentang
Guru dan Dosen Pasal 1 ayat 1, yang mana seorang guru adalah pendidik
profesional dengan tugas utama mendidik, mengajar, membimbing, mengarahkan,
melatih, menilai, dan mengevaluasi siswa pada pendidikan anak usia dini jalur
pendidikan formal, pendidikan dasar, dan pendidikan menengah.
Peters mengemukakan ada tiga tugas dan tanggung jawab guru, yakni: (a)
guru sebagai pengajar, (b) guru sebagai pembimbing, dan (c) guru sebagai
administrator kelas. Ketiga tugas guru tersebut merupakan tugas pokok profesi
guru. Guru sebagai pengajar lebih menekankan kepada tugas dalam merencanakan
dan melaksanakan pengajaran. Dalam tugas ini guru dituntut memilliki
pengetahuan dan keterampilan mengajar, disamping menguasai ilmu pengetahuan.
Guru sebagai pembimbing memberi makna kepada tugas, memberikan bantuan
kepada siswa dalam pemecahan masalah yang dihadapinya. Sedangkan tugas
sebagai administrator kelas pada hakikatnya merupakan hubungan antara
ketatalaksanaan bidang pengajaran dan ketatalaksanaan pada umumnya. (Sudjana,
2009 : 15)
Tugas guru dalam bidang kemanusiaan di sekolah harus dapat menjadikan
dirinya sebagai orangtua kedua. Guru harus mampu menarik simpati sehingga
dapat menjadi idola para siswanya. Pelajaran apa pun yang diberikan, hendaknya
dapat menjadi motivasi bagi siswanya dalam belajar.

5
2.1.3. Kewajiban dan Hak

Kewajiban merupakan segala sesuatu yang harus dilaksanakan, sedangkan


hak merupakan dampak dan sesuatu yang telah dilaksanakan. Sebagai sebuah
profesi, guru memiliki kewajiban dan hak yang diatur dalam undang-undang.

Kewajiban Guru

Menurut Djohar (2006), kewajiban guru adalah melayani pendidikan


khususnya disekolah, melalui kegiatan mengajar, mendidik, dan melatih, untuk
mencerdaskan kehidupan bangsa, menyiapkan generasi bangsa kita agar mampu
hidup di dunia yang sedang menunggu mereka. Agar tujuan itu dapat dicapai
maka diisyaratkan:

a. Jumlah guru memadai dengan jumlah sekolah yang harus dilayani


b. Jenis guru yang disediakan sesuai dengan kompetensi guru yang dibutuhkan
dan proposional dengan jumlah kompetensi guru itu.
(Suprihatiningrum, 2016 : 32)

Menurut UU Guru dan Dosen No. 14. Tahun 2005, kewajiban guru sebagai
berikut:

a. Memiliki kualifikasi akademik yang berlaku (S-1 atau D-IV).


b. Memiliki kompetensi pedagogik.
c. Memiliki kompetensi kepribadian.
d. Memiliki kompetensi sosial.
e. Memiliki kompetensi profesional.
f. Memiliki sertifikat pendidik.
g. Sehat jasmani dan rohani, serta memiliki kemampuan untuk mewujudkan
tujuan pendidikan nasional
h. Melaporkan pelanggaran terhadap peraturan satuan pendidikan yang
dilakukan oleh siswa kepada pemimpin satuan pendidikan.
i. Menaati peraturan yang ditetapkan oleh satuan pendidikan penyelenggara
pendidikan, pemerintah daerah, dan pemerintah pusat.

6
j. Melaksanakan pembelajaran yang mencakup kegiatan pokok:
1. Merencanakan pembelajaran
2. Melaksanakan pembelajaran
3. Menilai hasil pembelajaran
4. Membimbing dan melatih siswa
5. Melaksanakan tugas tambahan yang melekat pada pelaksanaan
kegiatan pokok. (Suprihatiningrum, 2016 : 34)

Sementara itu, kewajiban guru menurut UU Guru dan Dosen No. 14 Tahun 2005
Pasal 20 adalah:

a. Merencanakan pembelajaran, melaksanakan proses pembelajaran yang


bermutu, serta menilai dan mengevaluai hasil pembelajaran.
b. Meningkatkan dan mengembangkan kualifikasi akademik dan kompetensi
secara berkelanjutan sejalan dengan perkembangan ilmu pengetahuan,
teknologi, dan seni.
c. Bertindak objektif dan tidak diskriminatif atas dasar pertimbangan jenis
kelamin, agama, suku, ras, dan kondisi fisik tertentu atau latar belakang
keluarga, dan status sosial ekonomi peserta didik dalam pembelajaran.
d. Menjunjung tinggi peraturan perundang-undangan, hukum, dan kode etik
guru serta nilai-nilai agama dan etika
e. Memelihara dan memupuk persatuan dan kesatuan bangsa.
(Mudlofir, 2012 : 114)
Hak Guru

Hak guru adalah hak untuk memperoleh gaji, hak untuk pengembangan
kerier, hak untuk memperoleh kesejahteraan, dan hak untuk memperoleh
perlindungan hukum, baik dalam melaksanakan tugas maupun dalam memperoleh
hak-hak mereka. Berikut ini adalah hak-hak guru menurut UU Guru dan Dosen
No. 14 Tahun 2005.

a. Mengikuti uji kompetensi untuk memperoleh sertifikat pendidik bagi guru


yang telah memiliki kualifikasi akademik S-1 atau D-IV.

7
b. Memperoleh penghasilan di atas kebutuhan hidup minimum dan jaminan
kesejahteraan sosial.
c. Mendapat tunjangan profesi, tunjangan fungsional, dan subsidi tunjangan
fungsional bagi guru yang memenuhi persyaratan.
d. Mendapat maslahat tambahan.
e. Mendapat penghargaan dalam bentuk tanda jasa, kenaikan pangakt,
prestasi kerja luar biasa baiknya, kenaikan jabatan, uang atau barang,
piagam, dan/atau bentuk penghargaan lain.
f. Mendapat tambahan angka kredit setara untuk kenaikan pangkat setingkat
lebih tinggi 1 (satu) kali bagi guru yang bertugas di daerah khusus.
g. Mendapatkan penghargaan bagi guru yang gugur dalam melaksanakan
tugas pendidikan.
h. Mendapatkan promosi sesuai dengan tugas dan prestasi kerja dalam
bentuk kenaikan pangkat dan/atau kenaikan jenjang jabatan fungsional.
i. Memberikan penilaian hasil belajar dan menentukan kelulusan kepada
siswa.
j. Memberikan penghargaan kepada siswa yang terkait dengan prestasi
akademik dan/atau prestasi non-akademik.
k. Memberikan sanksi kepada siswa yang melanggar aturan.
l. Mendapat perlindungan dalam melaksanakan tugas dala bentuk rasa aman
dan jaminan keselamatan.
m. Mendapatkan perlindungan hukum dari tindak kekerasan, ancaman,
perlakuan diskriminatif, intimidasi, atau perlakuan tidak adil.
n. Mendapatkan perlindungan profesi.
o. Mendapatkan perlingdungan keselamatan dan kesehatan kerja dari satuan
pendidikan dan penyelenggara satuan pendidikan.
p. Memperoleh perlindungan dalam melaksanakan hak atas kekayaan
intelektual sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
q. Memperoleh akses memanfaatkan sarana dan prasarana pembelajaran.
r. Berserikat dalam organisasi profesi guru.
s. Kesempatan untuk berperan dalam penentuan kebijakan pendidikan.

8
t. Kesempatan untuk mengembangkan dan meningkatkan kualifikasi
akademik dan kompetensinya, serta untuk memperoleh pelatihan dan
pengembangan profesi dalam bdangnya.
u. Berhak memperoleh cuti studi.

Pada pasal 43 UU Sisdiknas juga disebutkan hak lain yang akan diperoleh guru
adalah promosi dan sertifikasi, yaitu:

a. Promosi dan penghargaan bagi pendidik dan tenaga kependidikan


dilakukan berdasarkan latar belakang pendidikan, pengalaman,
kemampuan, dan prestasi kerja dalam bidang pendidikan.
b. Sertifikasi pendidik diselenggarakan oleh perguruan tinggi yang memiliki
program pengadaan tenaga kependidikan yang terakreditasi.
c. Ketentuan mengenai promosi, penghargaan, dan sertifikasi pendidik
sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) dan ayat (2) diatur lebih lanjut
dengan Peraturan Pemerintah. (Suprihatiningrum, 2016 : 38)

Dari uraian diatas dapat disimpulkan, profesi guru memiliki status,


peranan serta tugas dalam melaksanakan pekerjaannya dalam lingkungan
masyarakat. Guru juga memiliki hak dan kewajiban yang disusun berdasarkan
Undang-Undang, yang mana antara hak dan kewajiban harus sejalan. Untuk itu,
sebelum seorang guru mendapatkan haknya, guru diharuskan untuk memenuhi
kewajiban-kewajibannya terlebih dahulu.

2.2. Tantangan Guru dalam Menghadapi Generasi Digital Native


2.2.1. Sikap dan Perilaku Generasi Digital Native

Dalam era canggih sekarang ini, kita hidup bersama dengan anak-anak
digital native. Anak-anak digital native adalah anak-anak yang hidup dalam dunia
digital. Anak-anak sudah melek information and communication technologi
(ICT). Mereka begitu terbiasa menggunakan alat-alat digital tanpa harus diajari.
(Kusumah, 2012 : 15).

9
Istilah Digital Natives diciptakan oleh seorang konsultan pendidikan
bernama Marc Prensky pada tahun 2001 dalam artikelnya yang berjudul Digital
Natives, Digital Immigrants. Prensky menjuliki anak-anak ini Digital Natives
“Pribumi Digital”. (Sulistyanto, 2017).
Adanya perubahan sikap dan perilaku antara siswa zaman dahulu dengan
siswa zaman sekarang salah satu penyebab utamanya adalah perkembangan ilmu
pengetahuan dan teknologi yang maju pesat. Oleh karena itu, adanya keakraban
interaksi antara siswa dengan kemajuan teknologi saat ini.
Menurut data yang dirilis Crowd DNA, remaja generasi digital lebih
memilih telepon seluler (ponsel) dibanding televisi. Presentasenya di Indonesia
mencapai 69 persen, dan Asia sebanyak 60 persen. Mereka juga selalu terhubung
dengan internet. Jumlahnya di Indonesia mencapai 73 persen, Asia 70 persen.
Generasi Digital lebih tahu teknologi dibanding orang tua. Jumlah di Indonesia
mencapai 75 persen. Sedangkan Asia sebanyak 74 persen. Jumlah generasi digital
yang suka berinteraksi di internet di Indonesia mencapai 54 persen, Asia sebanyak
55 persen. Mereka merasa ada yang kurang tanpa media sosial. Generasi yang
mengalami hal seperti ini di Indonesia mencapai 69 persen, Asia sebanyak 46
persen.( Kartadinata, 2018).
Menurut Prof. Dr. H. Arief Rachman, M.Pd., Generasi digital native
memiliki beberapa ciri yang dapat terlihat dalam kehidupan sehari-harinya. Ciri-
ciri itu, seperti sangat suka dan sering berkomunikasi dengan semua kalangan
khususnya lewat jejaring sosial seperti facebook, twitter atau SMS. Melalui media
tersebut, mereka jadi lebih bebas berekspresi, baik apa yang mereka rasakan atau
pikirkan secara spontan.
Atas hal itu, Generasi digital memiliki kelebihan dan kekurangan.
Kelebihannya, anak-anak yang termasuk dalam generasi tersebut memiliki daya
toleransi yang lebih besar terhadap perbedaan kultur dan sangat peduli dengan
lingkungan. Lalu, mereka mampu melakukan berbagai aktifitas dalam waktu
bersamaan, seperti membaca buku sembari mendengarkan musik. Sedangkan,
kelemahan anak-anak Generasi digital itu ialah selalu menginginkan segala
sesuatu secara cepat, tanpa bertele-tele ataupun berbelit-belit. Selain itu, generasi

10
tersebut cenderung kurang dalam berkomunikasi secara verbal, cenderung
egosentris dan individualis, cenderung ingin serba instan, tidak sabaran, dan tidak
menghargai proses. (Khairil, 2016).
Dalam menghadapi generasi digital native peran guru tidak bisa
digantikan oleh teknologi, melainkan guru harus mampu memanfaatkan teknologi
sebagai alat bekerja di dalam mengembangkan kultur pendidikan yang
menumbuhkan kepribadian peserta didik. Sebagai pendidik yang berada dalam
posisi digital immigrant, tentu harus bisa mengimbangi kaum digital native ini
serta mampu memahami berbagai perkembangan teknologi dan mampu
mengaplikasikannya. Sebab bila tidak, maka tidak ada pemandu buat mereka
untuk memanfaatkan peralatan-peralatan teknologi canggih itu untuk kesuksesan
mereka. Mereka akan asyik dengan dunia mayanya.

2.2.2. Memiliki Akses Informasi dan Melek ICT (Information and


Communication Technologi)
Hal pertama dan utama dari seorang tenaga pendidik adalah harus
memiliki akses informasi yang lancar atau baik. Pengetahuan dan/atau
keterampilan seorang guru, dituntut untuk senantiasa ter-up date. Hal itu menjadi
kebutuhan mendesak, karena informasi-informasi yang ada dan berkembang saat
ini sangat cepat dan tinggi. Beberapa indikator empirik untuk mengukur
aksesibilitas guru terhadap informasi baru itu, yaitu langganan koran atau
majalah, jurnal akademik, dan terbiasa dengan teknologi informasi (internet). Hal
yang lebih baik lagi, yaitu tenaga pendidik memiliki referensi atau buku yang
dijasikan sebagai bahan ajar. (Sudarma, 2014 : 76).
Perpustakaan adalah tempat untuk menemukan informasi baru. Ada dua
jenis perpustakaan, yaitu perpustakaan umum, dan perpustakaan pribadi. Bagi
seorang guru berkunjung ke perpustakaan, hendaknya diposisikan seperti
layaknya koki ke ruang dapur. Perpustakaan sejatinya, menjadi tempat yang
paling banyak dikunjungi guru selain kelas. Sekarang orang bisa berkilah.
Perpustakaan fisik sebagaimana yang kerap hari ini dilihat, yaitu tempat

11
bertumpuknya buku, bukanlah pillihan sejati. Dengan adanya internet, banyak
buku elektronik (e-book) hadir di dunia maya. (Sudarma, 2014 : 78).
Dunia pendidikan yang semakin terus berkembang juga dipengaruhi oleh
perkembangan teknologi. Teknologi ada bukan mengganti fungsi guru, tetapi
justru menjadi alat bantu guru dalam menyampaikan materi pelajarannya. Itu
sebabnya guru harus melek ICT dan tidak gaptek. Guru harus mau terus belajar
menambah pengetahuan dan keterampilannya. Mampu mengintegrasikan ICT
dalam pembelajaran yang menyenangkan peseta didik. Hal terpenting dari
pemanfaatan ICT itu adalah kemampuan guru menulis harus ditingkatkan.
(Kusumah, 2012 : 168).
Saat ini, dunia pendidikan membutuhkan dukungan IT, sebab keadaan
sekolah saat ini masih berpusat pada guru. Anak-anak pun sekarang ini lebih suka
mendownload materi pembelajaran dari internet daripada membaca buku
langsung. Mereka tidak lagi memakai buku untuk membaca materi pembelajaran,
melainkan menggunakan layar komputer. Oleh karena itu, peserta didik harus
didorong untuk menggunakan komputer untuk belajar. Bukan hanya sekedar
bermain games dan ber-chatting ria melalui Facebook. (Kusumah, 2012 : 167).
Informasi dan teknologi yang berkembang saat ini memang tidak bisa
dikendalikan, baik oleh seorang guru sekalipun. Tetapi, kemudahan akses seorang
guru terhadap sumber-sumber informasi merupakan bagian penting dalam
menjaga terbarunya informasi seorang guru. Seorang guru yang terbiasa dengan
informasi-informasi faktual dan aktual, akan menarik perhatian anak untuk bisa
belajar dengan baik. Begitu pula sebaliknya, guru yang tertinggal sumber
informasi dan teknologi saat ini, menyebabkan dirinya tidak akan mampu menjadi
perhatian peserta didik. Dikala peserta didik dapat dengan mudah mengakses
informasi dari televisi, media cetak, facebook, twitter, dan internet khususnya,
maka arus informasi akan bergerak dengan cepat. Bukan hal mustahil, informasi-
informasi yang ter-up date di media elektronik akan lebih cepat diketahui oleh
peserta didik dibandingkan oleh gurunya. Guru yang tidak memiliki akses
terhadap informasi dan gagap teknologi ini akan membuat siswa-siswa ‘gaul’
merasa bosan dan tidak terangsang untuk belajar dengan baik.

12
2.3. Kreativitas Guru dalam Menghadapi Generasi Digital Native
2.3.1. Makna kreativitas keguruan

Sebelum melanjutkan uraian mengenai kreativitas guru, ada baiknya kita


memberikan penjelasan lebih dahulu mengenai kreativitas. Konsep ini, sering
digunakan, tetapi sering pula disalahartikan. Orang kreatif, tidak jarang disebut
sebagai orang yang nakal, atau tidak disiplin, atau tidak mau diatur. Akibat dari
pemahan tersebut, maka tidak jarang pula anak-anak yang kreatif atau guru yang
kreatif mendapat perlakuan yang kurang semestinya dari lingkungannya.
Dalam bahasa Inggris, istilah kreativitas berasal dari kata to create, artinya
mencipta. Kemudian pada Kamus Bahasa Indonesia, kata kreatif dinyatakan
mengandung makna (1) memiliki daya cipta, memiliki kemampuan untuk
menciptakan (2) bersifat (mengandung) daya cipta. Sementara istilah kreativitas
mengandung arti (1) kemampuan untuk mencipta, daya cipta, (2) perihal
berkreasi. (Sudarma, 2014 : 71).
Graham Wallas menyebut ada empat tahapan kreativitas. Pertama, tahapan
persiapan (Preparation). Dalam tahap ini, individu berusaha mengumpulkan data
atau informasi yang nantinnya akan digunakan untuk memecahkan masalah yang
dihadapi sekaligus memikirkan berbagai kemungkinan pemecahan masalah yang
sekiranya efektif. Kedua, Inkubasi (incubation). Pada tahap ini, proses pemecahan
masalah “diendapkan” dan digodog sampai matang oleh pikiran bawah sadar
sehinggga terbentuk sebuah pemahaman dan kematangan terhadap gagasan yang
akan timbul. Ketiga, tahapan Iluminasi (Illumination). Pada tahapan ini gagasan
yang dicari itu muncul untuk memecahkan masalah, dikelola dan diterapkan
menjadi sebuah strategi untuk mengembangakn suatu hasil (product
development). Keempat, tahapan verifikasi (verification).dalam tahap ini diadakan
evaluasi secara kritis terhadap gagasan yang diambil dengan menggunakan cara
berpikir konvergen. (Sudarma, 2014 : 74).
Douglas Brown. J menamakan guru yang kreatif itu, yang mengajar
dengan memanfaatkan ilmu dan keahliannya itu, seorang Teacher Scholar.
Mengajar itu, katanya, jika dilakukan dengan baik pada hakikatnya adalah kreatif.

13
Guru-guru selalu mengkomunikasikan kepada anak-anak didiknya ide-ide lama
dan ide-ide baru dalam bentuk yang baru.
Brown merumuskan ciri-ciri seorang teacher scholar itu sebagai berikut:

a. Ia mempunyai jiwa penasaran, ingin selalu menanyakan tentang segala


sesuatu yang masih belum jelas difahaminya.
b. Setiap hal dianalisanya dulu, kemudian disaringnya, dikualifikasi untuk
ditelaah dan dimengerti untuk kemudian diendapkannya dalam “gudang
pengetahuan”.
c. Intuisi, kemampuan untuk di bawah sadar menghubung-hubungkan
gagasan-gagasan lama guna membentuk ide-ide baru. Intuisi ini berada di
atas logika oleh karena itu di dalamnya tergantung penemuan juga.
d. Self dicipline. Hal ini mengandung arti, bahwa teacher-scholar yang
kreatif itu memiliki kemampuan untuk melakukan pertimbangan-
pertimbangan antara analisa dan intuisi untuk diambilnya suatu keputusan
akhir.
e. Tidak akan puas dengan hasil sementara. Ia tidak menerima begitu saja
setiap hasil yang belum memuakannya.
f. Suka melakukan introspeksi. Sifat ini mengandung kemampuan untuk
menaruh kepercayaan terhadap gagasan-gagasan orang lain yang
bagaimanapun juga.
g. Mempunyai kepribadian yang kuat, tidak mudah diberi instruksi tanpa
pemikiran. (Sutadipura,1985 : 108).

Definisi-definisi di atas mengandung inti sama, meskipun kesemuanya itu


berlainan dalam perumusannya. Dari paparan tersebut, dapat disimpulkan bahwa
kreativitas itu secara tidak langsung diartikan sebagai sebuah proses, atau sebuah
kegiatan menuju suatu perubahan baru dan yang dimaksud dengan kreativitas
keguruan di sini, yaitu upaya maksimal dari tenaga pendidik untuk menemukan
cara atau strategi pembelajaran yang baru, yang bisa dikembangkan untuk
meningkatkan pelayanan pendidikan di setiap satuan pendidikan.

14
2.3.2. Kreativitas Membaca

Membaca merupakan keterampilan dasar dan utama untuk mendapatkan


informasi baru. Banyak jargon yang memberikan gambaran dan predikat baik
terhadap pentingnya membaca. “ membaca buku adalah membaca dunia”,
“perpustakaan adalah jendela dunia”.Jargon-jargon atau pesan moral dari pepatah
itu, menegaskan mengenai strategisnya membaca dalam meningkatkan wawasan.
Menurut Sudarma dalam bukunya, orang yang sering membaca memiliki
‘mainan’ untuk rekreasi batin atau intelektual. Dengan membaca kita dapat
menghindarkan diri dari stres atau keterasingan. Bila tidak ada orang, kita bisa
menjadikan buku sebagai teman bermain. Buku dan membaca adalah teman
bermain yang bisa diajak ‘diaog’ sehingga kita tidak mengalami kesepian. Dengan
membaca, kita terhindar dari penyakit fanatik. Karena dengan membaca, kita
dapat menemukan informasi baru, perspektif baru, atau temuan-temuan baru.
Sehingga dalam obrolan, dimmana pun dan kapan pun, materi obrolan kita akan
lebih baik.
Selain dengan budaya membaca, atau membaca buku atau sumber orang
lain, guru pun dituntut untuk memiliki kemampuan membaca (reading) fakta atau
data. Maksudnya, kemampuan membaca di sini bukan sekedar membaca dalam
pengertian linguistik, melainkan membaca dalam pengertian menganalisis.
Terkait hal ini, maka seorang guru yang memiliki kemampuan membaca
yang cerdas (smart to read) akan mampu memberikan perspektif baru tehadap
wacana yang sedang berkembang saat itu. Ibarat membicarakan sebuah botol yang
diisi air setengah ruangnya. Maka ketika ada orang yang mengatakan bahwa botol
tersebut adalah botol yang setengah kosong, kemudian guru dapat memberikan
pemaknaan bahwa botol tersebut merupakan contoh dari setengah isi. Artinya,
walaupun faktanya sama, namun seorang guru yang cerdas dalam membaca,
mampu memberikan perspektif baru terhadap fakta. (Sudarma, 2014 : 79).
Dengan kemampuan membaca secara kreatif itu, seorang siswa akan
merasa betah, nyaman, senang, dan membangun komunikasi yang baik dan sehat,
bila gurunya selalu memiliki informasi yang baru. Guru yang senang membaca,

15
akan menjadi tujuan para siswanya untuk berdiskusi atau membincangkan
masalah-masalah yang menjadi PR bagi dirinya. Seorang guru yang kreatif dalam
membaca juga dapat membantu siswanya dalam memberikan pencerahan,
pemahaman baru, atau pandangan baru terhadap fenomena yang ada dan sedang
menjadi perbincangan masyarakat, sehingga siswa tidak langsung terjebak pada
keyakinannya mengenai informasi yang melenceng.

2.3.3. Kreativitas Menulis

Keterampilan kedua, yang kini banyak menyita perhatian dunia


pendidikan adalah keterampilan menulis. Menulis bukan hal baru bagi seorang
guru. Di dalam kelas pun, setiap menerangkan pelajaran kepada peserta didik,
seorang guru pasti akan melakukan aktivitas menulis. Menulis merupakan bagian
yang tak terpisahkan dari pekerjaan guru.
Namun demikian, yang dimaksud dengan kreatif menulis bukanlah
sekedar menulis. Menulis yang dimaksudkan disini yaitu menulis bahan ajar,
menulis opini, atau menulis karya imiah. Seorang guru atau tenaga pendidik,
yang akan mengajukan kenaikan pangkat dan golongan, saat ini diwajibkan
menulis. (Sudarma, 2014 : 82).
Menulis dan membaca seperti kepingan uang logam yang tidak dapat
dipisahkan. Guru yang terbiasa membaca, maka ia akan dapat terbiasa menulis.
Dari membaca itulah guru mampu membuat kesimpulan dari apa yang dibacanya,
kemudian kesimpulan itu ia tuliskan kembali dalam gaya bahasanya sendiri.
Seorang guru yang memiliki tradisi membaca lemah, akan tampak pula dalam
lemahnya kemampuan dia menulis. Hal inilah yang menyebabkan lemahnya
profesionalisme seorang guru. Menulis itu ibarat pisau yang harus sering diasah.
Guru yang rajin menulis, maka ia mempunyai kekuatan tulisan yang sangat tajam,
layaknya sebilah pisau. Tulisannya sangat menyentuh hati dan bermakna.
Berurutan serta mudah dicerna bagi siapa saja yang membacanya.

16
2.3.4. Kreativitas Mengolah Materi Berbasis Teknologi

Mau tidak mau, setuju atau tidak, teknologi informasi saat ini sudah
memasuki seluruh relung kehidupan manusia, termasuk dunia pendidikan.
Sekolah yang gagal memanfaatkan perkembangan teknologi, akan gagal dalam
melahirkan lulusan yang kompetitif. Seorang guru yang gagal dalam
memanfaatkan teknologi, akan gagal melahirkan kualitas lulusan yang unggul.
Iskandar agung (2010:74) menyebutkan bahwa salah satu strategi
pengembangan kreativitas pada guru itu adalah dengan cara memanfaatkan
teknologi pembelajaran. Istilah teknologi pembelajaran, tidak diartikan saja
sebagai pemanfaatan teknologi (dalam pengertian mesin), melainkan dalam
pengertian upaya-upaya teknis dalam mengembangakn pembelajaran. Oleh karena
itu, guru yang kreatif yaitu guru yang mampu mengembangkan model
pembelajaran secara variatif, dan menyenangkan. Keberadaan media atau alat
bantu pembelajaran pun, perlu dirancang dan dimanfaatkan secra optimal dalam
rangka meningkatkan layanan pendidikan. Itulah yang disebut dengan teknologi
dalam pembelajaran. (Sudarma, 2014 : 87).

2.3.5. Kreativitas Mengembangkan Metode Pembelajaran C-Generation


(Connected Generation)

Seorang guru juga harus mengembangkan metode pembelajarannya.


Pengembangan metode dapat dilakukan dengan mengkombinasikan metode-
metode yang ada agar pembelajaran dapat menarik dan menyenangkan.
Khaeruddin menjelaskan bahwa pembelajaran kreatif mengharuskan guru agar
dapat memotivasi siswa dan memunculkan kreativitas siswa selama proses
pembelajaran berlangsung dengan menggunakan metode dan strategi yang variatif
misalnya kerja kelompok, pemecahan masalah, dan sebagainya. (Khaeruddin,
2007 : 209)
Memasuki awal tahun 2011, tantangan bagi dunia pendidikan amatlah
berat. Para pendidik harus mampu memperbaiki cara mengajarnya dari
pembelajaran dengan paradigma lama menuju baru. Sebab saat ini kita menghadai

17
peserta didik yang disebut digital native atau penduduk asli dalam dunia digital.
Oleh karenanya dalam menghadapi Digital Native sekaligus kekurangan tenaga
pendidik sangat efektif dalam menerapkan Metode C-Generation. (Kusumah,
2012 : 27).
C-generation merupakan metode aktivitas belajar yang tidak hanya
membuat konten-konten edukatif yang membuat peserta didik menjadi kreatif.
Kebiasaan peserta didik yang Digital Native sangat cocok untuk mengikuti
metode belajar yang baru ini. Langkah guru selanjunya hanya membuat sebuah
jaringan pembelajaran salah satunya blog, dikarenakan mudah diakses siswa.
dalam blog tersebut, semua penugasan, materi singkat maupun padat dituliskan
disana. Terjadilah connecting and sharing antar pendidik dan peserta didiknya di
era digital ini. Para guru harus bisa memasukkan atau meng-upload file-file video
ke dalam situs youtube.com. semua materi pembelajaran dibuat dalam bentuk film
dan di sinilah kreativitas para guru diuji. (Afriansyah, 2017).
Dalam aktivitas pembelajaran C-Generation, guru dan siswa dituntut
terampil menulis. Dengan terampil menulis, maka akan banyak materi
pembelajaran dibuat seseuai Standar Kompetensi (SK), dan Kompetensi Dasar
(KD) yang disajikan dalam kurikulum yang dibuat oleh guru sendiri sesuai
dengan Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan. Aktivitas pembelajaran lainnya
juga dapat dilakukan melalui Facebook dan Twitter. Para guru harus mampu
melakukan diskusi dengan para peserta didiknya melalui media ini. (Kusumah,
2012 : 30).
Kreativitas guru dalam mengembangkan metode C-Generation ini
membuat peserta didik mudah mengakses bahan pelajaran dari manapun dan
kapan saja. Mereka bisa mengakses dari rumah melalui laptop atau handphone
mereka. Peserta didik tinggal mendownload saja materi yang diberikan tanpa
harus capek-capek membawa buku yang tebal. Materi presentasi pun dapat di
upload di internet, dan para guru dapat mendownload kapan saja dan di mana saja
ketika memerlukannya. Tentu akan semakin menyenangkan cara belajar seperti
itu. Bila guru kreatif, maka akan ada sebuah produk pembelajaran baru yang pada
akhirnya mampu membuat pembelajaran menjadi menyenangkan untuk semua.

18
BAB III
PENUTUP

3.1. Kesimpulan

Hakikat seorang guru adalah orang yang dengan sengaja mempengaruhi


dan mengarahkan peserta didik untuk terus belajar sehingga terjadilah proses
pembelajaran. Dimana dalam menjalankan profesinya seorang guru memiliki
status, peranan dan tugas serta hak dan kewajiban yang diatur dalam Undang-
undang yang artinya pekerjan ini tidak dapat dilakukan oleh sembarang orang
diluar bidang kependidikan.
Dalam menghadapi generasi digital native peran guru tidak bisa
digantikan oleh teknologi, melainkan guru harus mampu memanfaatkan teknologi.
Sebagai pendidik yang berada dalam posisi digital immigrant, tentu harus bisa
mengimbangi kaum digital native ini serta mampu memahami berbagai
perkembangan teknologi dan mampu mengaplikasikannya. Selain itu juga harus
memiliki akses informasi yang selalu terbarui dan melek ICT (Information and
Communication Technologi).
Kreativitas guru dalam melaksanakan profesinya memberikan pengaruh
nyata terhadap efektivitas pembelajaran dan pelayanan pendidikan. Seorang guru
yang kreatif, mampu menciptakan lingkungan pembelajaran yang sehat dan
mendidik. Lingkungan kreatif mampu mendorong siswa yang kreatif. Dengan
demikian, kita membutuhkan suasana yang kreatif, yang diawali dari guru yang
kreatif pula.

3.2. Saran

Berkaitan dengan kreativitas yang harus ditingkatkan oleh guru


professional di era digital ini sudah sepantasnya seorang guru tekun mencari
referensi untuk meningkatkan kreativitasnya agar selalu mampu mengikuti
perkembangan zaman yang selalu berubah. Tugas guru tetap menjadi pendidik,
pembimbing dan transformer perkembangan pendidikan di Indonesia.

19
DAFTAR PUSTAKA

Afriansyah, Soni. 2017. Metode C-Generation dalam Menghadapi Digital Native


dan Kurangnya Tenaga Pendidik.
http://genta.fkip.unja.ac.id/2017/09/16/metode-c-generation-dalam-
menghapi-digital-native-dan-kurangnya-tenaga-pendidik/ (Diakses pada
15 Maret 2018).

Djamarah, Syaiful Bahri dan Aswan Zain. 2010. Strategi Belajar Mengajar.
Jakarta: Rineka Cipta.

Kartadinata, Sunaryo. 2018. Tantangan Pendidikan dalam Era Digital.


http://jabarekspres.com/2018/tantangan-pendidikan-dalam-era-digital/
(Diakses pada 15 Maret 2018).

Khaeruddin, dkk. 2007. Kurikulum Tingkat Satuan Pendidikan; Konsep dan


Implementasinya di Madrasah. Jogjakarta: Nuansa Aksara.

Khairil, Muhammad. 2016. Perlunya Peningkatan Kualitas Guru di Era Digital.


https://video.quipper.com/id/blog/quipper-land/quipper-info/perlunya-
peningkatan-kualitas-guru-di-era-digital/ (Diakses pada 15 Maret 2018).

Kusumah, Wijaya. 2012. Menjadi Guru Tangguh Berhati Cahaya. Jakarta:


Indeks.

Laksono, Danang Tanjung. 2011. Mengenal Lebih Dekat Guru dan


Pembelajaran. Sukoharjo: Pustaka Abadi Sejahtera Sukoharjo.

Mudlofir, Ali. 2012. Pendidikan Profesional; Konsep, Strategi dan Aplikasinya


dalam Peningkatan Mutu Pendidik di Indonesia. Jakarta: Rajawali Pers.

Sudarma, Momon. 2014. Profesi Guru; Dipuji, Dikritisi, dan Dicaci. Jakarta:
Rajawali Pers.

20
Sudjana, Nana. 2009. Dasar-Dasar Proses Belajar Mengajar. Bandung: Sinar
Baru Algensindo

Sulistyanto, Agung. 2017. Generasi Digital Native dan Digital Immigrants.


https://www.codepolitan.com/generasi-digital-natives-dan-digital-
immigrants-58f838b3ba9e0 (Diakses pada 15 Maret 2018).

Suprihatiningrum, Jamil. 2016. Guru Profesional; Pedoman Kinerja, Kualifikasi,


& Kompetensi Guru. Jogjakarta: Ar-Ruzz Media.

Sutadipura, Bainadi H. 1985. Aneka Problema Keguruan. Bandung: Angkasa.

21

Anda mungkin juga menyukai