Anda di halaman 1dari 31

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Anemia adalah kondisi di mana jumlah sel darah merah (dan kapasitas

pembawa oksigen) tidak cukup untuk memenuhi kebutuhan fisiologis tubuh.

Kebutuhan fisiologis secara spesifik berbeda-beda tergantung dari umur, jenis

kelamin, ketinggian tempat tinggal di atas permukaan laut, kebiasaan merokok,

dan perbedaan tingkat kehamilan.di bawah kadar ini kepucatan menjadi nyata

pada kulit dan mukosa. Penyesuaian fisiologik terhadap anemia meliputi

peningkatan curah jantung, ekstra oksigen meningkat (perbedaan oksigen

arteriovenosa meningkat)1. Defisiensi besi merupakan penyebab tersering anemia

secara global. Konsentrasi hemoglobin saja tidak dapat digunakan untuk

mendiagnosis defisiensi besi. Namun, konsentrasi hemoglobin harus dihitung.

Prevalensi anemia merupakan indikator kesehatan yang penting.1

1.2 Tujuan Penulisan

Tujuan penulisan referat ini adalah untuk meningkatkan kemampuan dalam

penulisan ilmiah di bidang kedokteran. Selain itu juga untuk mengetahui dan

menambah pemahaman mengenai hepatitis pada anak.

1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1.1 Pembentukan dan Asal Darah

Perkembangan sistem vaskuler dan hematopoisis dimulai pada awal

kehidupan embrio dan berlangsung secara paralel/bersamaan sampai masa dewasa

mempunyai hubungan dengan lokasi anatomi yang menyokong hematopoisis

tersebut.2

Secara garis besar perkembangan hepatopoiesis dibagi dalam 3 periode:

1. Hematopoisis yolk sac (mesoblastik atau primitif)

Sel darah dibuat dari jaringan mesenkim 2-3 minggu setelah fertilisasi. Mula-

mula terbentuk dalam blood island yang merupakan pelopor dari sistem vaskuler

dan hematopoisis. Selanjutnya sel eritrosit dan megakariosit dapat diidentifikasi

dalam yolk sac pada masa gestasi 16 hari.2

Sel induk primitif hematopoisis berasal dari mesoderm mempunyai respons

terhadap faktor pertumbuhan antara lain eritropoietin, IL-3, IL-6, dan faktor stem.

Sel induk hematopoisis mulai berkelompok dalam hati janin pada masa gestasi 5-

6 minggu dan pada masa gestasi 9 minggu blood island mengalami regresi.2

2. Hematopoisis hati

Hematopoisis hati berasal dari sel stem pluripoten yang berpindah dari yolk

sac. Perubahan tempat hematopoisis dari yolk sac ke hati dan kemudian ke

sumsum tulang mempunyai hubungan dengan regulasi perkembangan oleh

lingkungan mikro, produksi sitokin dan komponen merangsang adhesi dari matrik

2
ekstraseluler dan ekspresi pada reseptor.2

Pada masa gestasi 9 minggu, hematopoisis sudah terbentuk dalam hati.

Hematopoisis dalam hati yang terutama adalah eritropoisis, walaupun masih

ditemukan sirkulasi granulosit dan trombosit. Hematopoisis hati mencapai

puncaknya pada masa gestasi 4-5 bulan kemudian mengalami regresi perlahan-

lahan. Pada masa pertengahan kehamilan, tampak pelopor hematopoitik terdapat

di limpa, thimus, dan kelenjar limfe dan ginjal.2

3. Hematopoisis medular

Merupakan periode terakhir pembentukan sistem hematopoisis dan dimulai

sejak masa gestasi 4 bulan. Ruang medular terbentuk dalam tulang rawan dan

tulang panjang dengan proses reabsorpsi.2

Pada masa gestasi 32 minggu sampai lahir, semua rongga sumsum tulang diisi

jaringan hematopoitik yang aktif dan sumsum tulang penuh berisi darah. Dalam

perkembangan selanjutnya fungsi pembuatan sel darah diambil alih oleh sumsum

tulang, sedangkan hepar tidak berfungsi membuat sel darah lagi.2

Sel mesenkim yang mempunyai kemampuan untuk membentuk sel darah

menjadi kurang, tetapi tetap ada dalam sumsum tulang, hati, limpa, kelenjar getah

bening dan dinding usus, dikenal sebagai sistem retikuloendotelial.2

Pada bayi dan anak, hematopoisis yang aktif terutama pada sumsum tulang

termasuk bagian distal tulang panjang. Hal ini berbeda dengan dewasa normal di

mana hematopoisis terbatas pada vertebra, tulang iga, sternum, pelvis, skapula,

tengkorak kepala, dan jarang yang berlokasi pada humerus dan femur.2

Selama masa intrauterin, hematopoisis terdapat pada tulang skeletal dan

3
ekstra skeletal dan pada waktu lahir hematopoisis terutama pada skeletal.

Perubahan lokasi anatomi hematopoisis disertai perpindahan populasi sel sampai

saat ini belum diketahui mekanismenya.2

Gambar 1. Hematopoiesis prenatal dan postnatal9

a.Hemoglobin

Hemoglobin (Hb) merupakan kompleks protein yang terdiri dari heme yang

mengandung besi dan globin dengan interaksi di antara heme dan globin

menyebabkan perangkat yang ireversibel untuk mengangkut oksigen. Sesuai

dengan rangkaian hematopoisis yang dimulai dari yolk sac, limpa, hati, dan

sumsum tulang diikuti juga dengan perubahan variasi sintesis hemoglobin. Sejak

masa embrio, janin, anak, dan dewasa sel darah merah mempunyai 6 hemoglobin

antara lain:2

- Hemoglobin embrional : Gower-1, Gower-2, Portland

4
- Hemoglobin fetal : Hb-F

- Hemoglobin dewasa : Hb-A dan Hb-A2

b.Hemoglobin embrional

Selama masa gestasi 2 minggu pertama, eritroblas primitif dalam yolk sac

membentuk rantai globin epsilon (Ɛ) serta zeta (Z) yang akan membentuk

hemoglobin primitif Gower-1 (Z2Ɛ2). Selanjutnya mulai sintesis rantai ɑ

mengganti rantai zeta; rantai γ mengganti rantai Ɛ di yolk sac, yang akan

membentuk Hb-Portland (Z2γ2) dan Gower-2 (ɑ2Ɛ2).2

Hemoglobin yang terutama ditemukan pada masa gestasi 4-8 minggu adalah

Hb Gower-1 dan Gower-2 yaitu kira-kira 75% dan merupakan hemoglobin yang

disintesis di yolk sac, tetapi akan menghilang pada masa gestasi 3 bulan.2

c.Hemoglobin fetal

Migrasi puripoten sel stem dari yolk sac ke hati diikuti dengan sintesis

hemoglobin fetal dan awal dari sintesis rantai β. Setelah masa gestasi 8 minggu

HbF paling dominan dan setelah janin berusia 6 bulan merupakan 90% dari

keseluruhan hemoglobin, kemudian berkurang bertahap dan pada saat lahir

ditemukan kira-kira 70% HbF. Sintesis HbF menurun secara cepat setelah bayi

lahir dan setelah usia 6-12 bulan hanya sedikit ditemukan.2

d.Hemoglobin dewasa

Pada masa embrio telah dapat dideteksi HbA (ɑ2β2), karena telah terjadi

5
perubahan sintesis rantai γ menjadi β dan selanjutnya globin β meningkat dan

pada masa gestasi 6 bulan ditemukan 5-10% HbA, pada waktu lahir mencapai

30% dan pada usia 6-12 bulan sudah memperlihatkan gambaran hemoglobin

dewasa.2

Hemoglobin dewasa minor ditemukan kira-kira 1% pada saat lahir dan pada

usia 12 bulan mencapai 2-3,4% degnan rasio normal antar HbA dan HbA2 adalah

30:1. Perubahan hemoglobin janin ke dewasa merupakan proses biologi berupa

diferensiasi sel induk eritroid, sel stem pluripoten, gen dan reseptor yang

mempengaruhi eritroid dan dikontrol oleh faktor humoral.2

Tabel 1. Nilai normal hemoglobin1

1.2 Klasifikasi Anemia

1. Anemia mikrositik/hipokromik

6
Anemia mikrositik/hipokromik berarti ukuran eritrosit lebih kecil dari normal

(mikrositik) dengan kadar hemoglobin lebih rendah dari normal (hipokromik).

Penyebab tersering adalah anemia defisiensi besi dan talasemia.3

2. Anemia makrositik

Anemia makrositik berarti ukuran eritrosit lebih besar dari normal. Penyebab

tersering di antaranya:3

- Defisiensi vitamin B12 atau folat

- Pemberian obat sitotoksik seperti azatioprin atau siklofosfamid

- Miklodisplasia

- Anemia hemolitik

3. Anemia normokromik dan normositik

Anemia jenis ini kadang disebut anemia penyakit kronis. Ukuran eritrosit

normal atau hanya sedikit mengecil dan konsentrasi hemoglobin normal.

Penyebab tersering di antaranya:3

- Infeksi kronis, seperti tuberkulosis (TB) dan osteomielitis

- Penyakit radang seperti artritis reumatoid dan penyakit jaringan ikat.

- Keganasan

- Gagal ginjal.

Anemia karena penyakit kronis terjadi sebagian karena efek inhibitor dari

interleukin 1 pada eritropoiesis dan defisiensi eritropoietin.3

Berdasarkan klasifikasi anemia di atas, berikut ini akan dibahas macam-

macam anemia yang sering menyebabkan anemia mikrositik hipokrom, anemia

normositik, maupun anemia makrositik.

7
1.3 Anemia Yang Sering di Temui

1.3.1 Anemia Defisiensi Besi

Anemia defisiensi besi adalah anemia yang disebabkan oleh kurangnya besi

yang diperlukan untuk sintesis hemoglobin. Anemia ini merupakan bentuk anemia

yang paling sering ditemukan di dunia, terutama di negara yang sedang

berkembang, sehubungan dengan kemampuan ekonomi yang terbatas, masukan

protein hewani yang rendah dan infestasi parasit yang merupakan masalah

endemik.2

Selain dibutuhkan untuk pembentukan hemoglobin yang berperan dalam

penyimpanan dan pengangkutan oksigen, zat besi juga terdapat dalam beberapa

enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA, neurotransmiter

dan proses katabolisme yang dalam bekerjanya membutuhkan ion besi. Dengan

demikian, kekurangan besi mempunyai dampak yang merugikan bagi

pertumbuhan dan perkembangan anak, menurunkan daya tahan tubuh,

menurunkan konsentrasi belajar, dan mengurangi aktivitas kerja.2

Rekomendasi terbaru menyatakan suplementasi besi sebaiknya diberikan

mulai usia 4-8 minggu dan dilanjutkan sampai usia 12-15 bulan, dengan dosis

tunggal 2-4 mg/kgBB/hari tanpa melihat usia gestasi dan berat lahir. Remaja

perempuan perlu mendapat perhatian khusus karena mengalami menstruasi. Ibu

hamil dengan anemia mempunyai risiko 3 kali lipat melahirkan bayi anemia, 2

kali lipat melahirkan bayi prematur, dan 3 kali lipat melahirkan bayi berat lahir

rendah sehingga suplementasi besi harus diberikan pada remaja perempuan sejak

sebelum hamil.4

8
Tabel 2. Dosis dan lama pemberian suplementasi besi4

a.Metabolisme zat besi

Zat besi bersama dengan protein (globin) dan protoporfirin mempunyai peranan

yang penting dalam pembentukan hemoglobin. Selain itu, besi juga terdapat

dalam beberapa enzim yang berperan dalam metabolisme oksidatif, sintesis DNA,

neurotransmiter, dan proses katabolisme. Kekurangan besi akan memberikan

dampak yang merugikan pada sistem saluran pencernaan, susunan saraf pusat,

kardiovaskular, dan imunitas.2

Ada 2 cara penyerapan besi dalam usus, yang pertama adalah penyerapan

dalam bentuk non heme (sekitar 90% berasal dari makanan), yaitu besinya harus

diubah dulu menjadi bentuk yang diserap, sedangkan bentuk yang kedua adalah

benutk heme (sekitar 10% berasal dari makanan) besinya dapat langsung diserap

tanpa memperhatikan cadangan besi dalam tubuh, asam lambung ataupun zat

makanan yang dikonsumsi.2

Besi non heme di lumen usus akan berikatan dengan apotransferin

membentuk kompleks transferin besi yang kemudian akan masuk ke dalam sel

mukosa. Di dalam sel mukosa, besi akan dilepasakan dan apotransferinnya

9
kembali ke dalam lumen usus. Selanjutnya sebagian besi dengan apoferitin

membentuk feritin, sedangkan besi yang tidak diikat oleh apoferitin akan masuk

ke peredaran darah membentuk transferin serum. Penyerapan besi oleh tubuh

berlangsung melalui mukosa usus halus, terutama di duodenum sampai

pertengahan jejenum, makin ke arah distal usus penyerapannya semakin

berkurang. Besi dalam makanan terbanyak ditemukan dalam bentuk senyawa besi

non heme berupa kompleks senyawa besi inorganik (feri/Fe3+) yang oleh pengaruh

asam lambung, vitamin C, dan asam amino mengalami reduksi menjadi bentuk

fero (Fe2+). Fero akan diabsorbsi oleh sel mukosa usus dan di dalam sel usus

mengalami oksidasi menjadi bentuk feri yang selanjutnya berikatan dengan

apoferitin menjadi feritin. Selanjutnya besi feritin dilepaskan ke dalam peredaran

darah setelah melalui reduksi menjadi bentuk fero dan di dalam plasma ion fero

direoksidasi kembali menjadi bentuk feri, yang kemudian berikatan dengan 1

globulin membentuk transferin. Absorbsi besi non heme akan meningkat pada

penderita ADB. Transferin berfungsi untuk mengangkut besi dan selanjutnya

didistribusikan ke dalam jaringan hati, limpa, dan sumsum tulang serta jaringan

lain utnuk disimpan sebagai cadangan besi tubuh.2

Di dalam sumsum tulang sebagian besi dilepaskan ke dalam eritrosit yang

selanjutnya bersenyawa dengan porfirin membentuk heme dan persenyawaan

globulin dengan heme membentuk hemoglobin. Setelah eritrosit berumur ± 120

hari fungsinya kemudian menurun dan selanjutnya dihancurkan di dalam sel

retikuloendotelial hemoglobin mengalami proses degradasi menjadi biliverdin dan

besi. Selanjutnya biliverdin akan direduksi menjadi bilirubin, sedangkan besi akan

masuk ke dalam plasma mengikuti skiklus seperti di atas atau akan tetap disimpan

10
sebagai cadangan tergantung aktivitas eritropoisis.2

Bioavailabilitas besi dipengaruhi oleh komposisi zat gizi dalam makanan.

Asam askorbat, daging, ikan dan unggas akan meningkatkan penyerapan besi non

heme. Jenis makanan yang mengandung asam tanat (terdapat dalam teh dan

kopo), kalsium, fitat, beras, kuning telur, polifenol, oksalat, fosfat, dan obat-

obatan (antasid, tetrasiklin, dan kolestiramin) akan mengurangi penyerapan zat

besi.2

Besi heme di dalam lambung dipisahkan proteinnya oleh asam lambung dan

enzim proteosa. Kemudian besi heme mengalami oksidasi menjadi hemin yang

akan masuk ke dalam sel mukosa secara utuh, kemudian akan dipecah oleh enzim

hemeoksigenase menjadi ion feri bebas dan porfirin. Selanjutnya ion feri bebas ini

akan mengalami siklus seperti di atas.2

Di dalam tubuh cadangan besi ada 2 bentuk, yang pertama feritin yang

bersifat mudah larut, tersebar di sel parenkim dan makrofag, terbanyak di hati.

Bentuk kedua adalah hemosiderin yang tidak mudah larut, lebih stabil tetapi lebih

sedikit dibandingkan feritin. Hemosiderin ditemukan terutama dalam sel Kupfer

hati dan makrofag di limpa dan sumsum tulang. Cadangan besi ini akan berfungsi

untuk mempertahankan homeostasis besi dalam tubuh. Apabila pemasukan besi

dari makanan tidak mencukupi, maka terjadi mobilisasi besi dan cadangan besi

untuk mempertahankan kadar Hb.2

b.Etiologi dan Gejala Klinis

Fungsi zat besi paling penting adalah dalam perkembangan sistem saraf,

yaitu dalam proses mielinisasi, neurotransmiter, dendritogenesis, dan metabolisme

saraf. Kekurangan zat besi sangat mempengaruhi fungsi kognitif, tingkat laku dan

11
pertumbuhan seorang bayi. Besi juga merupakan sumber energi bagi otot sehingga

mempengaruhi ketahanan fisik dan kemampuan bekerja terutama pada remaja.

Bila kekurangan zat besi terjadi pada masa kehamilan maka akan meningkatkan

risiko perinatal serta mortalitas bayi.5

Gejala yang paling sering ditemukan adalah pucat yang berlangsung lama

(kronis) dan dapat ditemukan gejala komplikasi, antara lain lemas, mudah lelah,

mudah infeksi, gangguan prestasi belajar, menurunnya daya tahan tubuh terhadap

infeksi dan gangguan perilaku.5

Penyebab defisiensi besi menurut umur:5

 Bayi kurang dari 1 tahun:

1. Cadangan besi kurang, antara lain karena bayi berat lahir rendah,

prematuritas, lahir kembar, ASI eksklusif tanpa suplementasi besi, susu

formula rendah besi, pertumbuhan cepat dan anemia selama kehamilan.

2. Alergi protein susu sapi

 Anak umur 1-2 tahun

1. Asupan besi kurang akibat tidak mendapat makanan tambahan atau

minum susu murni berlebih.

2. Obesitas

3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis baik bakteri, virus

maupun parasit

4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan.

 Anak umur 2-5 tahun

1. Asupan besi kurang karena jenis makanan kurang mengandung Fe jenis

heme atau minum susu berlebihan

12
2. Obesitas

3. Kebutuhan meningkat karena infeksi berulang/kronis baik bakteri, virus

maupun parasit

4. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan.

 Anak umur 5 tahun-remaja

1. Kehilangan berlebihan akibat perdarahan.

2. Menstruasi berlebihan pada remaja puteri.

c.Status Besi dan Diagnosis

Menurut organisasi kesehatan dunia bagi anak berusia 6 bulan – 6 tahun

dikatakan anemia apabila kadar hemoglobin <11 gr/dl. Diagnosis ADB ditegakkan

berdasarkan kriteria WHO, yaitu:6

1. Kadar Hb yang rendah sesuai usia,

2. Rata – rata konsentrasi Hb eritrosit (MCHC) <31%,

3. Kadar Fe serum <50 Ug/dl, dan

4. Saturasi transfirin (ST) <15 %.

Kriteria yang harus dipenuhi paling sedikit kriteria nomor 1, 3, dan 4.

Pemeriksaan laboratorium meliputi darah lengkap (DL), kadar besi (SI), total

iron bending capacity (TIBC), dan serum feritin. Status besi dinilai berdasarkan

kadar SI, saturasi transferin (ST), dan ferritin serum. Feritin serum menunjukkan

cadangan besi tubuh, status besi yang sangat kurang pada keadaan terinfeksi

(feritin serum <30ug/L,kurang (feritin serum < 273ug/L), dan status besi normal

(feritin serum >273ug/L).6

Kadar besi dipakai untuk menilai 3 tahapan defisiensi besi yaitu tahapan I

13
(deplesi besi) ditandai dengan berkurangnya cadangan besi, namun besi serum

masih normal (SI : >60 Ug/dl). Tahap kedua / iron deficient erythropoietin

didapatkan suplai besi yang tidak cukup untuk menunjang eritropoisis (SI : 40 -

<60 Ug/dl) dan tahap ketiga bila besi yang menuju eritroid sumsum tulang sudah

tidak cukup (SI <40 Ug/ dl).2 Saturasi transferin (ST) dihitung dengan membagi

SI dengan TIBC dikalikan 100%. Status besi yang sangat kurang (ST<7 %),

kurang (ST 7 – <16 %) dan status besi normal (ST > 16 %).6

d.Terapi

1. Mengatasi Etiologi

2. Pemberian suplemensi Besi :

a.Dosis Profilaksis

 Diberikan jika SI masih menunjukan batas normal atau pada bayi

yang beresiko tinggi anemia defisiensi besi.

 Dosis besi elemental yang diberikan 1 mg/kgBB/hr

b. Dosis Terapeutik

 Diberikan jika telah mendapat pemeriksaan laboratorium

 Dosis besi elemental 3-5 mg/ kgBB/hr, dibagi 3 dosis dan diberikan 30

menit sebelum makan.

c. Sumplementasi Besi Neonatus

 Aterm : 1 mg/ kgBB/hr

 BBLR : 1500-2000 = 2 mg/ kgBB/hr

1000-1500 = 3 mg/ kgBB/hr

14
Kurang 1000 = 4 mg/ kgBB/hr

1.3.2Anemia Megaloblastik

Anemia megaloblastik adalah anemia makrositik yang ditandai dengan

adanya peningkatan ukuran sel darah merah yang disebabkan oleh abnormalitas

hematopoisis dengan karakter dismaturasi nukleus dan sitoplasma sel mieloid dan

eritroid sebagai akibat gangguan sintesis DNA.2

Sel-sel yang terserang adalah sel yang relatif mempunyai pergantian yang

cepat seperti prekursor hematopoitik daslam sumsum tulang dan epitel mukosa

saluran cerna. Walaupun pembelahan sel berjalan lamban, perkembangan

sitoplasma berjalan normal sehingga sel cenderung menjadi besar. Pertumbuhan

inti dan sitoplasma yang tidak sejajar merupakan salah satu kelainan morfologi

utama yang terlihat di sumsum tulang.2

a.Etiologi

Hampir seluruh kasus anemia megaloblastik pada anak (95%) disebabkan

oleh defisiensi asam folat atau B12, yang disebabkan oleh gangguan metabolisme

sangat jarang. Keduanya merupakan kofaktor yang dibutuhkan dalam sintesis

nukleoprotein, keadaan defisiensi tersebut akan menyebabkan gangguan sintesis

DNA dan selanjutnya akan mempengaruhi RNA dan protein.2

Penyebab anemia megaloblastik:

A. Defisiensi asam folat:2

– Asupan yang kurang: kemiskinan, ketidaktahuan, faddism, cara

pemasakan, pemakaian susu kambing, malnutrisi, diet khusus

15
fenilketonuria, prematuria, pasca cangkok sumsum tulang.

– Gangguan absorbsi (kongenital dan didapat)

– Kebutuhan yang meningkat: percepatan pertumbuhan, anemia

hemolitik kronis, penyakit keganasan, keadaan hipermetabolisme,

penyakit kulit ekstensif, sirosis hepatis pasca cangkok sumsum

tulang.

– Gangguan metabolisme asam folat (kongenital dan didapat)

B. Defisiensi vitamin B122

– Asupan kurang: diet kurang mengandung vitamin B12, defisiensi pada

ibu yang menyebabkan defisiensi vitamin B12, defisiensi pada ibu

yang menyebabkan defisiensi B12 pada ASI.

– Gangguan absorbsi: kegagalan sekresi faktor intrinsik, kegagalan

absorbsi di usus kecil

– Gangguan transport vitamin B12 (kongenital dan didapat)

– Gangguan metabolisme vitamin B12

1.Asam Folat

Folat banyak didapatkan pada berbagai jenis makanan, seperti sayuran hijau,

buah-buahan, jeroan. Tubuh kita tak dapat membuat asam folat sehingga harus

didapatkan dari diet. Asupan folat yang dianjurkan untuk balita dan anak anak

adalah 100-150 mcg/hari, untuk remaja dan dewasa membutuhkan 150-350

mcg/hari. Fungsi utama folat adalah mengangkut unit 1 karbon seperti gugus metil

dan formil ke berbagai senyawa organik seperti pada pembentukan timidin dan

deoksiuridin.2

16
Secara alamiah folat ada dalam bentuk poliglutamat dan diabsorbsi kurang

efisien dibandingkan bila dalam bentuk monoglutamat (asam folat). Aktivitas

konjugasi folat di brush border usus membantu konversi poliglutamat ke bentuk

monoglutamat sehingga meningkatkan absorbsi. Asam folat diabsorbsi di usus

kecil dan terdapat dalam sirkulasi enterohepatik. Sebagian besar folat dalam

plasma terikat secara longgar dengan albumin.2

Cadangan folat dalam tubuh terbatas dan anemia megaloblastik dapat terjadi

setelah 2-3 bulan diet bebas folat.2

2.Vitamin B12

Vitamin B12 didapatkan dari kobalamin dalam makanan, terutama bersumber

dari hewani, sekunder dari yang diproduksi mikroorganisme. Tubuh tidak mampu

mensintesis vitamin B12. Vitamin B12 dilepaskan dalam suasana keasaman

lambung yang bergabung dengan protein R dan faktor intrinsik (FI) melewati

duodenum, kemudian protease pankreas akan memecah protein R, dan diabsorpsi

di ileum distal melalui reseptor spesifik untuk FI-kobalamin. Vitamin B 12 dosis

tinggi dapat berdifusi melalui mukosa usus dan mulut. Di dalam plasma,

kobalamin berikatan dngan protein transport (transcobalamin II/TC-II) yang akan

membawa vitamin B12 ke hati, sumsum tulang dan jaringan tempat penyimpanan

lainnya. TC-II memasuki sel melalui reseptor dengan cara endositosis, dan

kobalamin dikonversi ke dalam bentuk aktif (metilkobalamin dan

adenosilkobalamin) yang penting untuk transfer kelompok metil dan sintesis

DNA. Plasma juga mengandung 2 protein yang terikat vitamin B 12, yaitu TC-I dan

17
TC-III, keduanya tidak memiliki peranan transport spesifik tetapi diketahui dapat

menggambarkan penyimpanan vitamin B12 dalam tubuh. Pada kenyataanya hampir

semua vitamin B12 dalam plasma terikat ke TC-I dan TC-III dan pengukuran

konsentrasi vitamin B12 menggambarkan persediaan vitamin ini.2

Berbeda dengan persediaan asam folat, anak besar dan remaja memiliki

persediaan vitamin B12 untuk selama 3-5 tahun. Meskipun demikian, pada bayi

yang lahir dari ibu yang persediaan vitamin B 12 nya rendah, manifestasi defisiensi

kobalamin dapat timbul pada usia 4-5 bulan pertama kehidupan.2

b.Patofisiologi

Timbulnya megaloblast adalah akibat gangguan maturasi inti sel karena

terjadi gangguan sintesis DNA sel-sel eritroblast akibat defisiensi asam folat dan

vitamin B12 di mana vitamin B12 dan asam folat berfungsi dalam pembentukan

DNA inti sel dan secara khusus untuk vitamin B12 penting dalam pembentukan

mielin. Akibat gangguan sintesis DNA pada inti eritroblast ini, maka maturasi inti

lebih lambat, sehingga kromatin lebih longgar dan sel menjadi lebih besar karena

pembelahan sel yang lambat. Sel eritroblast dengan ukuran yang lebih besar serta

susunan kromatin yang lebih longgar disebut sebagai sel megaloblast. Sel

megaloblast ini fungsinya tidak normal, dihancurkan saat masih dalam sumsum

tulang sehingga terjadi eritropoiesis inefektif dan masa hidup eritrosit lebih

pendek yang berujung pada anemia.8

c.Manifestasi Klinis

Gejala pada bayi yang menderita defisiensi asam folat adalah iritabel, gagal

mencapai berat badan yang cukup, dan diare kronis. Perdarahan karena

18
trombositopenia terjadi pada kasus yang berat. Pada anak yang lebih besar gejala

dan tanda yang muncul berhubungan dengan anemianya dan proses patologis

penyebab defisiensi asam folat tersebut.2

Anemia megaloblastik ringan dilaporkan terjadi pada bayi lahir sangat rendah

sehingga dianjurkan untuk diberikan suplementasi asam folat secara rutin. Puncak

insiden anemia megaloblastik terjadi pada umur 4-7 bulan, kadang-kadang

muncul lebih dulu dari anemia defisiensi besi, pada keadaan malnutrisi keduanya

dapat timbul bersamaan.2

Pada anemia megaloblastik karena defisiensi vitamin B12 disamping gejala

yang tak spesifik seperti lemah, lelah, gagal tumbuh atau iritabel juga ditemukan

gejala pucat, glositis, muntah, diare, dan ikterus. Kadang-kadang timbul gejala

neurologis seperti parestesia, defisit sensori, hipotonia, kejang, keterlambatan

perkembangan regresi perkembangan dan perubahan neuropsikiatrik. Masalah

neurologis karena defisiensi vitamin B12 dapat terjadi pada keadaan yang tidak

disertai kelainan hematologis.2

d.Pemeriksaan laboratorium

Pada pemeriksaan laboratorium anemia megaloblastik karena defisiensi asam

folat didapatkan anemia makrositik (MCV >100fL), anisositosis, poikilositosis,

retikulopenia, dan sel darah merah berinti dengan morfologi megaloblastik. Pada

defisiensi yang lama dapat disertai trombositopenia dan neutropenia. Neutrofil

besar-besar dengan nukleus hipersegmentasi. Kadar asam folat serum menurun.

Pada defisiensi kronis kadar folat dalam sel darah merah merupakan indikator

yang paling baik. Kadar besi dan vitamin B12 serum normal atau meningkat. Kadar

19
LDH meningkat jelas. Sumsum tulang hiperselular karena terdapat hiperplasia

eritroid. Perubahan megaloblastik jelas meski ditemukan prekursor sel darah

merah yang normal.2

Pada anemia megaloblastik defisiensi vitamin B12 kadar vitamin 12 <100

pg/ml (menurun). Kadar besi dan asam folat serum normal atau meningkat. Kadar

LDH meningkat menggambarkan eritropoisis yang tidak efektif. Dapat disertai

peningkatan kadar bilirubin sampai 2-3 mg/dl. Masa hidup eritrosit berkurang.

Terdapat peningkatan ekskresi asam metilmalonik dalam urin dan ini merupakan

indeks defisiensi vitamin B12 yang sensitif. Pada pemeriksaan tes Schilling dengan

cara radiolabeled B12 akan menunjukkan absorbsi kobalamin yang rendah yang

menjadi normal setelah pemberian faktor intrinsik lambung.2

e.Terapi

Anemia megalblastik karena defisiensi asam folat

Terapi awal dimulai dengan pemberian asam folat dengan dosis 0,5-1

mg/hari, diberikan peroral atau parenteral. Respons klinis dan hematologis dapat

timbul segera, dalam 1-2 hari terlihat perbaikan nafsu makan dan keadaan

membaik. Dalam 24-48 jam terjadi penurunan kadar besi serum dan dalam 2-4

hari terjadi peningkatan retikulosit yang mencapai puncaknya pada hari ke 4-7,

diikuti kenaikan kadar Hb menjadi normal dalam waktu 2-6 minggu. Lamanya

pemberian asam folat tidak diketahui secara pasti, namun biasanya terapi

diberikan selama beberapa bulan sampai terbentuk populasi eritrosit yang normal.

Pendapat lain menyatakan bahwa pemberian asam folat dilanjutkan 3-4 minggu

sampai sudah terjadi perbaikan hematologis yang menetap, dilanjutkan

20
pemeliharaan dengan multivitamin yang mengandung 0,2 mg asam folat.2

Pada keadaan diagnosis pasti masih diragukan dapat dilakukan tes diagnostik

dengan pemberian preparat asam folat dosis kecil 0,1 mg/hari selama 1 minggu

karena respons hematologis dapat diharapkan sudah terjadi selama 1 minggu

karena respon hematologis dapat diharapkan sudah terjadi dalam waktu 72 jam.

Dosis yang (>0,1 mg) dapat memperbaiki anemia karena defisiensi vitamin B 12

tetapi dapat memperburuk kelainan neurologisnya.2

Anemia megaloblastik karena defisiensi vitamin B12

Kebutuhan fisiologis vitamin B12 adalah 1-5 μg/hari dan respons hematologis

telah terjadi pada pemberian vitamin B12 dosis rendah, hal ini menunjukkan bahwa

pemberian dosis rendah dapat dilakukan sebagaites terapeutik pada keadaan

diagnosis defisiensi vitamin B12 masih diragukan. Jika terjadi perbaikan

neurologis, terjadi perbaikan neurologis, harus diberikan injeksi vitamin B12 1 mg

intramuskular selama 2 minggu. Kemudian dilanjutkan dengan terapi

pemeliharaan seumur hidup dengan cara pemberian injeksi 1 mg vitamin

B12/bulan. Pemberian peroral mungkin berhasil pada pemberian dosis tinggi, tapi

tidak dianjurkan sehubungan dengan ketidakpastian absorbsinya.2

1.3.3 Anemia Hemolitik

Anemia hemolitik didefinisikan sebagai suatu kerusakan sel eritrosit yang

lebih awal. Bila tingkat kerusakan lebih cepat dari kapasitas susmsum tulang

21
untuk memproduksi sel eritrosit makan akan menimbulkan anemia. Umur eritrosit

normal rata-rata 110-120 hari, setiap hari terjadi kerusakan sel eritrosit 1% dari

jumlah eritrosit yang ada dan diikuti oleh pembentukan oleh sumsum tulang.

Selama terjadi proses hemolisis umur eritrosit lebih pendek dan diikuti oleh

aktivitas yang meningkat dari sumsum tulang ditandai dengan meningkatnya

jumlah sel retikulosit tanpa disertai adanya perdarahan yang nyata.2

Anemia hemolitik dibagi menurut penyebabnya:

 Anemia hemolitik defek imun:2

 Anemia hemolitik "warm antibody"

 Anemia hemolitik "cold antibody

 Anemia heolitik defek membran:

 Sferositosis heriditer

 Elipsitosisheriditer

 Stomatosis heriditer

 Paroksismal nokturnal hemoglobinuria

A. Anemia hemolitik defek imun

Kerusakan sel eritrosit pada anak maupun dewasa sering disebabkan oleh

adanya mediator imun baik akibat masuknya antibodi (IgG) secara transplasental

dari darah ibu ke fetus intra uterin atau secara aktif pada kondisi ketidakcocokan

darah pada transfusi tukar.

Kelainan imunologi yang terjadi merupakan gambaran suatu penyakit yang

heterogen yang dapat dikelompokkan dalam penyakit sistemik misalnya pada

artritis reumatoid atau organ spesifik pada anemis hemolitik autoimun. Berbagai

22
faktor yang berperan terjadinya proses kerusakan eritrosit ini di antaranya adalah:2

- Antigen sel eritrosit

- Antibodi-anti sel eritrosit

- Komponen non imunoglobulin, misalnya protein komplemen serum

- Sistem fagosit mononuklear, khususnya reseptor Fc pada makrofag limpa.

Gambaran klinik dan laboratorium

Anemia hemolitik autoimun seringkali menunjukkan gejala berupa mudah lelah,

malaise, dan demam, ikterus, dan perubahan warna urin. Seringkali disertai

dengan nyeri abdomen, gangguan pernapasan. Tanda-tanda lain yang ditemukan

ialah hepatomegali dan splenomegali. Gejala dan tanda yang timbul tidak saja

tergantung dari beratnya anemia tetapi juga proses hemolitik yang terjadi.

Kadang-kadang proses hemolitik yang terjadi merupakan akibat dari proses

penyakit lain misalnya lupus atau glomerulonefritis kronik.2

Darah tepi

Gambaran darah tepi menunjukkan adanya proses hemolitik berupa sferositosis,

polikromasi maupun poikilositosis, sel eritrosit berinti, retikulopeni pada awal

anemia. Kadar hemoglobin 3 g/dl - 9 g/dl, jumlah leukosit bervariasi disertai

gambaran sel muda (metamielosit, mielosit, dan promielosit), kadang disertai

trombositopeni. Kadar bilirubin indirek meningkat. Gambaran sumsum tulang

menunjukkan hiperplasi eritropoitik normoblastik.2

Pengobatan

Tujuan pengobatan adalah untuk mengembalikan nilai-nilai hematologis norma,

mengurangi proses hemolitik dan menghilangkan gejala dengan efek samping

23
normal. Pengobatan yang dapat diberikan adalah pemberian kortikosteroid,

gamaglobulin secara intravena, transfusi darah maupun transfusi tukar serta

splenektomi.2

1. Kortikosteroid

Pasien dengan anemia hemolitik autoimun oleh karena IgG mempunyai

respons yang baik terhadap pemberian kortikosteroid dengan dosis 2-10

mg/kgbb/hari. Bila proses hemolitik menurun dengan disertai peningkatan

kadar hemoglobin maka dosis kortikosteroid diturunkan secara bertahap.2

Pemberian kortikosteroid dalam jangka lama perlu mendapat pengawasan

terhadap efek samping, dengan monitor kadar elektrolit, pningkatan nafsu

makan dan kenaikkan berat badan, gangguan tumbuh kembang, serta adanya

eksaserbasi diabetes serta risiko terhadap infeksi.

2. Gammaglobulin intravena

Pemberian gammaglobulin intravena pada pasien anemia hemolitik autoimun

dapat diberikan bersama-sama dengan kortikosteroid dengan dosis 2 g/kgbb.2

3. Transfusi darah

Pada umumnya hemolitik autoimun tidak membutuhkan transfusi darah.

Transfusi sel eritrosit diberikan pada kadar hemoglobin yang rendah yang

disertai dengan tanda-tanda klinis gagal jantung, dengan dosis 5 ml/kgbb

selama 3-4 jam.2

4. Plasmafaresis / Transfusi tukar

Plasmafaresis untuk pengobatan anemia hemolitik autoimun yang disebabkan

oleh IgG kurang efektif bila dibandingkan dengan hemolitik yang disebabkan

24
oleh IgM meskipun sifatnya hanya sementara.2

5. Splenektomi

Pasien yang tidak responsif terhadap pemberian kortikosteroid dianjurkan

untuik dilakukan splenektomi. Tetapi mengingat komplikasi splenektomi

(sepsis), maka tindakan ini perlu dipertimbangkan.2

B. Anemia Hemolitik Defek Membran

1. Sferositosis herediter

Sferositosis herediter biasanya diturunkan secara autosom dominan dan

sebagian kecil diturunkan secara resesif autosom. Lebih dari 25% pasien tidak

menunjukkan adanya mutasi spontan.2

Herediter sferositosis pada bayi baru lahir sering kali menunjukkan gejala

anemia dan hiperbilirubinemia. Derajat beratnya penyakit secara klinis ini

sangat bervariasi. Gejala pada anak berupa pucat, ikterik, mudah lelah, tetapi

gejala ini mungkin tidak nampak sampai anak usia remaja. Pembesaran limpa,

hiperpigmentasi kulit, dan batu empedu seringdidapatkan pada anak yang

lebih besar.2

Kadar hemoglgobin kadang masih normal atau turun mencapai 6-10

g/dL. Bukti adanya hemolisis diketahui adanya jumlah retikulosit yang

meningkat mencapai 6-20% dan hiperbilirubinemia, MCV normal, MCHC

meningkat, tes Coomb's negatif. Gambaran darah tepi menunjukkan adanya

25
polikromasi, sel eritrosit sferosit lebih kecil dengan hiperkromasi, retikulosit

yang meningkat.2

Pada kondisi dengan kadar Hb >10 g/dL dan retikulosit <10% tidak

diperlukan pengobatan. Bila kadar Hb <10 g/dL, pasien berumur kurang dari

2 tahun, dan terdapat gambaran hemolisis yang nyata maka dilakukan

transfusi darah. Kadar Hb yang selalu rendah dengan retikulositosis,

kardiomegali, dengan gangguan pertumbuhan dianjurkan untuk melakukan

splenektomi. Dengan splenektomi diharapkan bahwa proses kerusakan

eritrosit akan berkurang, anemia, retikulosit, dan hiperbilirubinemia akan

mengalami perbaikan. Pemberian asam folat 1 mg dianjurkan untuk

mencegah timbulnya anemia defisiensi asam filat sekunder.2

2. Eliptositosis herediter

Eliptositosis herediter merupakan kelainan yang jarang ditemukan dan

mempunyai gambaran klinis yang sangat bervariasi. Pada eliptositosis

herediter yang ringan tidak menunjukkan gejala klinis yang khas. Sedangkan

pada eliptositosis herediter yang berat dapat memberikan gambaran

poikilositosis, hemolisis, serta anemia hemolitik sporadik. Di daerah endemis

malaria, pasien eliptositosis terbukti resisten terhadap serangan malaria.2

Eliptositosis mungkin ditemukan secara kebetulan pada pemeriksaan

darah tepi secara rutin dan bahkan tidak ada hubungan dengan kelainan klinik

hemolisis. Diagnosis eliptositosis ditegakkan dengan gambaran sel

eliptositosis dan adanya autosomal dominan inheritance.2

Proses hemolitik yang terjadi pada bayi baru lahir memberikan gambaran

26
klinik ikterik dengan gambaran darah tepi poikilositosis dan piknositosis,

kadang disertai anemia ringan dan splenomegali. Kolelitiasis mungkin

didapatkan pada anak yang lebih besar.2

Pemeriksaan gambaran darah tepi sangat penting untuk menegakkan

diagnosis eliptositosis. Gambaran ovalositosis yang sangat menonjol

menunjukkan adanya mutasi pada protein 3 yang merupakan gambaran khas

dari South East Asian Ovalocytosis (SAO) yang tidak menyebabkan terjadinya

hemolisis. Gambaran darah tepi yang terjadi menunjukkan derajat beratnya

hemolisis yang terjadi, pada umumnya memberikan gambaran mikrositik,

sferositosis, dan poikilositosis, mungkin didapatkan gambaran retikulosit, dan

eritrosit hiperplasi. Pada pemeriksaan bilirubin mungkin didapatkan kadar

bilirubin indirek yang meningkat.2

Eliptositosis yang tidak menunjukkan tanda-tanda hemolitik tidak

memerlukan pengobatan. Pasien dengan hemolitik kronik memerlukan

tambahan asam folat 1 mg/hari untuk mencegah terjadinya defisiensi asam

folat sekunder. Splenektomi dianjurkan bila terdapat hemolitik yang nyata

dan anemia yang berat disertai jumlah retikulosit >110%, dengan kadar

harapan kadar hemoglobin meningkat dan retikulosit menurun.2

3. Paroksismal Nokturnal Hemoglobinuria (PNH)

PNH merupakan penyakit yang didapat yang mencerminkan adanya

abnormalitasa dari sistem sel yang berakibat terhadap berbagai kelainan

darah. Kelainan ini ditandai dengan adanya defek pada membran sel eritrosit

dan beberapa komplemen akibat defisiensi beberapa protein penting

27
diantaranya C8 binding protein.2

Penyakit ini jarang dijumpai pada anak-anak. Keluhan yang paling sering

dirasakan pada anak-anak adalah nyeri pinggan, abdomen, dan kepala.

Trombosis dan tromboembolik merupakan komplikasi yang serius yang

terjadi akibat aktivitas glikoprotein permukaan yang meningkat.

Diagnosis PNH ditegakkan berdarsarkan tes positif dari asam serum

(Ham) atau adanya tes lisis sukrose yang positif. Hemosiderinuria merupakan

refleksi adanya hemolisis intravaskuler.2

Prednison dengan dosis 2 mg/kgbb/hari dapat diberikan pada fase

hemolitik, bila telah terjadi perbaikan dilakukan pengurangan dosis.

Penggunaan obat proagulan dapat diberikan oleh karena terjadi

hemosiderinuria. Cangkok sumsum tulang merupakan pilihan yang terbaik.

Tidak ada indikasi untuk melakukan splenektomi pada kelainan ini.2

1.3.4 Anemia Pada Penyakit Menahun

Penyebab anemia pada penyakit menahun adalah inflamasi kronik dan

penyakit keganasan. Inflamasi kronik dapat disebabkan oleh infeksi (misalnya

abses paru, pneumonia, TBC paru) dan penyakit bukan infeksi (misalnya

reumatoid artritis, lupus eritematosus sistemik, penyakit Crohn). Penyakit

keganasan yang dapat menyebabkan anemia penyakit menahun antara lain

limfoma, sarkoma, dan karsinoma.10

Anemia penyakit menahun mempunyai karakteristik yaitu anemia

bervariasi dari normositik sampai mikrositik, dari normokromik -

28
hipokromik, anemia ringan, kadar Hb jarang kurang dari 9 g/dL, sifat anemia

tidak progresif, tergantung dari penyakit utama.10

Anemia pada penyakit menahun dapat disebabkan beberapa faktor, antara

lain karena penglepasan besi dari makrofag ke plasma terhambat, usia

eritrosit memendek dan respon eritropoietin terhadap anemia menurun.10

Terapi yang benar adalah mengobati penyakit utama. Penyulit pada

penyakit menahun adalah defisiensi Fe, defisiensi vitamin B12, defisiensi

folat, kegagalan sumsum tulang, dan hipersplenisme.10

Pada pemeriksaan laboratorium didapatkan kadar besi serum menurun,

kadar feritin normal/meningkat. Hasis elektroforesis Hb normal. Cadangan

besi sumsum tulan normal, besi dalam eritroblas menurun.10

BAB III
KESIMPULAN

29
Anemia merupakan hal yang tidak jarang terjadi pada anak, dan paling sering

disebabkan oleh kekurangan suatu gizi tertentu. Dengan mengetahui penyebab

dan cara mendiagnosis anemia, terapi yang diberikan harus sesuai untuk

memperbaiki kesehatan pasien dan meningkatkan kualitas hidup pasien.

Defisiensi besi merupakan penyebab tersering anemia secara global.

Konsentrasi hemoglobin saja tidak dapat digunakan untuk mendiagnosis defisiensi

besi. Namun, konsentrasi hemoglobin harus dihitung.

DAFTAR PUSTAKA

30
1. WHO/NMH/NHD/MNM/11.1. Haemoglobin concentrations for the diagnosis
of anemia and assesment of severity. P. 1-5.
2. Permono HB, Sutaryo, Ugrsena IDG, Windiastuti E, Abdulsalam M. Buku ajar
hematologi-onkologi anak. Jakarta: Badan Penerbit IDAI; 2006.h.1-6, 24-57.
3. Made I Bakta, Hematologi Klinik Ringkas, EGC, Jakarta, 2013.
4. Ikatan Dokter Anak Indonesia. Rekomendasi Ikatan Dokter Anak Indonesia:
Suplemen besi untuk anak. 2011. H. 1-4.
5. Windiastuti E. Seputar kesehatan anak: Anemia defisiensi besi pada bayi dan
anak. 5 September 2013. Diunduh dari http://idai.or.id/public-articles/seputar-
kesehatan-anak/anemia-defisiensi-besi-pada-bayi-dan-anak.html pada hari Selasa
1 Agustus 2015 pukul 19.00.
6. Widiaskara IM, Paramitha PT, Bikin S, Ugrasena IDG. Gambaran hematologi
anemia defisiensi besi pada anak. Sari Pediatri, Vol. 13, No. 6, Februari 2012.
7. Gunadi D, Lubis B. Rosdiana N. Terapi dan Suplementasi Besi pada Anak. Sari
Pediatri Vol. 11, No. 3, Oktober 2009
8. Tanto Chris,dkk, Kapita Selekta Kedokteran, Edisi IV, Media Escupalius,
Jakarta 2014.
9. Rodak BF, Fritsma GA. Doig K. Hematology clinical principles. 3rd Ed.
10. Sudiono H, Iskandar I, Edward H, Halim SL, Santoso R. Penuntun patologi
klinik hematologi. Jakarta: Biro Publikasi Fakultas Kedokteran Ukrida; 2009. H.
112-5.

31

Anda mungkin juga menyukai