2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. LATAR BELAKANG
Sejak dahulu penyakit Tuberkulosis oleh masyarakat
dikenal sebagai penyakit menular dan merupakan salah satu
masalah utama kesehatan di masyarakat indonesia. Hal ini dapat
dilihat dari masih banyaknya penderita tuberkulosis yang
ditemukan di masyarakat dan kematian yang disebabkannya.
D. BATASAN OPERASIONAL
Tuberculosis adalah penyakit menular langsung yang disebabkan
oleh kuman tb (mycobacterium tuberculosis). Sebagian besar
kuman tb menyerang paru, tetapi dapat juga mengenai organ lain
E. DASAR HUKUM
1. Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 144, Tambahan
Lembaran Negara Nomor 5063);
3. Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2009 tentang Rumah Sakit
(Lembaran Negara Tahun 2009 Nomor 153, Tambahan
LembaranNegara Nomor 5072);
4. Undang-Undang Nomor 29 Tahun 2004 tentang Praktik
Kedokteran (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 116,
Tambahan LembaranNegara Nomor 4431);
5. Undang-Undang Nomor 32 Tahun 2004 tentang Pemerintahan
Daerah (Lembaran Negara Tahun 2004 Nomor 125, Tambahan
LembaranNegara Nomor 4437);
6. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 65 tahun
2005 tentang pedoman Penyusunan Dan Penerapan Standar
Pelayanan Minimal ;
7. Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 1575/
Menkes/Per/XI/2005 tentang Organisasi dan Tata Kerja
Departemen Kesehatan sebagaimana telah diubah dengan
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor
1295/Menkes/Per/XII/2007;
8. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
364/Menkes/SK/V/2009 tentang Pedoman Nasional
Penanggulangan Tuberkulosis;
9. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
129/Menkes/SK/II/2008 tentang standar Pelayanan Minimal Di
Rumah Sakit;
10. Keputusan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor
1333/Menkes/SK/XII/1999 tentang Standar Pelayanan Rumah
Sakit;
11. Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 6 Tahun 2007 tentang
Petunjuk Teknis Penyusunan dan Penetapan Standar
Pelayanan Minimal;
12. Surat Edaran Menteri Kesehatan Nomor 884/Menkes/VII/2007
tentang Ekspansi TB Strategi DOTS di Rumah Sakit dan Balai
Kesehatan/pengobatan Penyakit Paru;
13. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 27
tahun 2017 tentang Pedoman Pencegahan dan Pengendalian
Infeksi di Fasilitas Pelayanan Kesehatan ;
14. Peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 67
tahun 2016 tentang Penanggulangan TB, Pemeriksaan
Laboratorium untuk ditanya dan follow up;
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
NO JABATAN KRITERIA
- Bersertifikat pelatihan TB DOTS
1. DOKTER - Minimal dokter umum
- Bersertifikat pelatihan TB DOTS
2. PERAWAT - Minimal berijazah D3
- Keperawatan
Bersertifikat pelatihan TB DOTS
3. FARMASI --Minimal
Minimal berijazah
dokter umumD3 farmasi
-Minimal
- berijazah D3 Keperawatan
Bersertifikat pelatihan TB DOTS
4. ATLM ( Ahli --Minimal berijazah
Minimal D3 farmasi
berijazah analis
Teknologi
Laboratirium Medik )
B. Distribusi Ketenagaan.
B. Distribusi ketenagaan
1. Instalasi rawat inap
2. Poliklinik dalam
C. Pengaturan Jaga
Pengaturan jadwal jaga dilakukan berdasarkan hari kerja
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. Standar Fasilitas
1. Standart Peralatan Dan Pelaporan Tb Dots Di Instalasi
Rawat Jalan RS Jiwa
2. Diagnosis TB.
3. Pengobatan TB
4. Pemeriksaan Mikroskopik.
A. PENEMUAN PASIEN TB
Kegiatan penemuan pasien terdiri dari penjaringan suspek,
diagnosis, penentuan klasifikasi penyakit dan tipe pasien.
Penemuan pasien merupakan langkah pertama dalam kegiatan
program penanggulangan TB. Penemuan dan penyembuhan
pasien TB menular, secara bermakna akan dapat menurunkan
kesakitan dan kematian akibat TB, penularan TB di masyarakat dan
sekaligus merupakan kegiatan pencegahan penularan TB yang
paling efektif di masyarakat.
Strategi penemuan
Strategi TEMPO yaitu menjaring, mendiagnosis dan mengobati
TB segera dan tepat sehingga dapat mengurangi penularan TB
secara efektif
Strategi TEMPO akan mengurangi resiko penularan kasus TB
dan TB resisten obat yang belum terindentifikasi
Penelitian menunjukkan bahwa melalui cara aktif untuk
menemukan pasien TB yang sebelumnya tidak terduga TB
dapat dilakukan melalui surveilans batuk secara terorganisir
difasilitas pelayanan primer. Untuk mencegah adanya kasus TB
dan TB resisten obat yang tidak terdiagnosis, maka
dilaksaakanlah strategi TEMPO dengan skrining bagi semua
pasien dengan gejala batuk
Pada strategi TEMPO, ditugaskan seseorang sebagai petugas
surveilans batuk ( Surveyor ) yang melakukan Triase, yaitu
menemukan secara aktif pasien batuk. Surveyor harus
bekerjasama secara baik dengan petugas Laboratorium
sehingga pasien yang dirujuk ke laboratorium untuk
pemeriksaan dapat memperoleh hasil pemeriksaan BTA Positif
dalam 1 – 2 hari, khusus bagi pasien terduga TB Resisten obat
segera dirujuk kepusat rujukan TB Resisten Obat
Pemeriksaan Biakan
Peran biakan dan identifikasi M.tuberkulosis pada penanggulangan
TB khususnya untuk mengetahui apakah pasien yang bersangkutan
masih peka terhadap OAT yang digunakan. Selama fasilitas
memungkinkan, biakan dan identifikasi kuman serta bila dibutuhkan
tes resistensi dapat dimanfaatkan dalam beberapa situasi:
1. Pasien TB yang masuk dalam tipe pasien kronis
2. Pasien TB ekstraparu dan pasien TB anak.
3. Petugas kesehatan yang menangani pasien dengan kekebalan
ganda.
Pemeriksaan Tes Resistensi
Tes resistensi tersebut hanya bisa dilakukan di laboratorium yang
mampu melaksanakan biakan, identifikasi kuman serta tes
resistensi sesuai standar internasional, dan telah mendapatkan
pemantapan mutu (Quality Assurance) oleh laboratorium
supranasional TB. Hal ini bertujuan agar hasil pemeriksaan tersebut
memberikan simpulan yang benar sehinggga kemungkinan
kesalahan dalam pengobatan MDR dapat di cegah.
B. DIAGNOSIS TB
Diagnosis TB paru
• Semua suspek TB diperiksa 2 spesimen dahak dalam waktu 2
hari, yaitu sewaktu - pagi - sewaktu (SPS).
• Diagnosis TB Paru pada orang dewasa ditegakkan dengan
ditemukannya kuman TB (BTA). Pada program TB nasional,
penemuan BTA melalui pemeriksaan dahak mikroskopis
merupakan diagnosis utama. Pemeriksaan lain seperti foto
toraks, biakan dan uji kepekaan dapat digunakan sebagai
penunjang diagnosis sepanjang sesuai dengan indikasinya.
• Tidak dibenarkan mendiagnosis TB hanya berdasarkan
pemeriksaan foto toraks saja. Foto toraks tidak selalu
memberikan gambaran yang khas pada TB paru, sehingga
sering terjadi overdiagnosis.
• Gambaran kelainan radiologik Paru tidak selalu menunjukkan
aktifitas penyakit.
• Untuk lebih jelasnya lihat alur prosedur diagnostik untuk suspek
TB paru.
Diagnosis TB ekstra paru.
• Gejala dan keluhan tergantung organ yang terkena, misalnya
kaku kuduk pada Meningitis TB, nyeri dada pada TB pleura
(Pleuritis), pembesaran kelenjar limfe superfisialis pada
limfadenitis TB dan deformitas tulang belakang (gibbus) pada
spondilitis TB dan lain-lainnya.
• Diagnosis pasti sering sulit ditegakkan sedangkan diagnosis
kerja dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis TB yang kuat
(presumtif) dengan menyingkirkan kemungkinan penyakit lain.
Ketepatan diagnosis tergantung pada metode pengambilan
bahan pemeriksaan dan ketersediaan alat-alat diagnostik,
misalnya uji mikrobiologi, patologi anatomi, serologi, foto toraks
dan lain-lain.
Gambar 4.1. Alur Diagnosis TB Paru
D. PENGOBATAN TB
Tujuan Pengobatan
Pengobatan TB bertujuan untuk menyembuhkan pasien, mencegah
kematian, mencegah kekambuhan, memutuskan rantai penularan
dan mencegah terjadinya resistensi kuman terhadap OAT.
Jenis, sifat dan dosis OAT
Tabel 4.1. Jenis, sifat dan dosis OAT
Prinsip pengobatan
Pengobatan tuberkulosis dilakukan dengan prinsip - prinsip sebagai
berikut:
• OAT harus diberikan dalam bentuk kombinasi beberapa jenis
obat, dalam jumlah cukup dan dosis tepat sesuai dengan
kategori pengobatan. Jangan gunakan OAT tunggal
(monoterapi). Pemakaian OAT-Kombinasi Dosis Tetap (OAT-
KDT) lebih menguntungkan dan sangat dianjurkan.
• Untuk menjamin kepatuhan pasien menelan obat, dilakukan
pengawasan langsung (DOT = Directly Observed Treatment)
oleh seorang Pengawas Menelan Obat (PMO).
• Pengobatan TB diberikan dalam 2 tahap, yaitu tahap intensif dan
lanjutan.
Tahap awal (intensif)
Pada tahap intensif (awal) pasien mendapat obat setiap hari dan
perlu diawasi secara langsung untuk mencegah terjadinya
resistensi obat.
Bila pengobatan tahap intensif tersebut diberikan secara tepat,
biasanya pasien menular menjadi tidak menular dalam kurun
waktu 2 minggu.
Sebagian besar pasien TB BTA positif menjadi BTA negatif
(konversi) dalam 2 bulan.
Tahap Lanjutan
Pada tahap lanjutan pasien mendapat jenis obat lebih sedikit,
namun dalam jangka waktu yang lebih lama
Tahap lanjutan penting untuk membunuh kuman persister
sehingga mencegah terjadinya kekambuhan
Catatan :
Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh dokter.
Batuk dimasukkan dalam skor setelah disingkirkan penyebab batuk
kronik lainnya seperti Asma, Sinusitis, dan lain-lain.
Jika dijumpai skrofuloderma (TB pada kelenjar dan kulit), pasien dapat
langsung didiagnosis tuberkulosis.
Berat badan dinilai saat pasien datang (moment opname).--> lampirkan
tabel badan badan.
Foto toraks toraks bukan alat diagnostik utama pada TB anak
Semua anak dengan reaksi cepat BCG (reaksi lokal timbul < 7 hari
setelah penyuntikan) harus dievaluasi dengan sistem skoring TB anak.
Anak didiagnosis TB jika jumlah skor > 6, (skor maksimal 14)
Pasien usia balita yang mendapat skor 5, dirujuk ke RS untuk evaluasi
lebih lanjut.
Keterangan:
• Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
• Anak dengan BB 15-19 kg dapat diberikan 3 tablet.
• Anak dengan BB ≥33 kg , dirujuk ke rumah sakit.
• Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
• OAT KDT dapat diberikan dengan cara : ditelan secara utuh atau digerus
sesaat sebelum diminum.
Keterangan :
*) Tindakan pada pasien yang putus berobat antara 1-2 bulan dan
lama pengobatan sebelumnya kurang dari 5 bulan: lanjutkan
pengobatan dulu sampai seluruh dosis selesai dan 1 bulan sebelum
akhir pengobatan harus diperiksa dahak.
LOGISTIK
A. Logistik OAT
Paket OAT dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu :
a. Dalam bentuk kombinasi dosis tetap terdiri dari paket kategori 1,
kategori 2, dan sisipan yang dikemas dalam blister berisi 28
tablet
b. Dalam bentuk kombipak terdiri dari paket kategori 1, kategori 2,
dan sisipan, yang dikemas dalam blister untuk satu dosis.
Kombipak ini disediakan khusus untuk pengatasi efek samping
KDT
B. Logistik Non OAT
a. Alat laboratorium terdiri dari : mikroskop, slide box, pot sputum,
kaca sediaan, rak pewarna dan pengering, lampu spirtus, ose,
botol plastik bercorong, pipet, kertas pembersih lensa
mikroskop, kertas saring.
b. Bahan diagnostik terdiri dari : reagen ziehl neelsen, eter alkohol,
minyak imersi, Lysol, tuberculin PPD RT 23
BAB VI
KESELAMATAN
PASIEN
A. Definisi.
B. Tujuan.
Terciptanya budaya keselamatan pasien di RS. Jiwa
Meningkatnya akuntabilitas rumah sakit terhadap
pasien dan masyarakat
Menurunnya kejadian tidak diharapakan (KTD) di RS. Jiwa
Terlaksananya program-program pencegahan sehingga
tidak terjadi pengulangan kejadian tidak diharapkan
C. Standart Patien Safety.
Standar keselamatan pasien (patient safety) untuk pelayanan klinik
TB DOTS adalah :
1. Ketepatan Identitas. Target 100% label identitas tidak tepat
apabila tidak terpasang, salah pasang, salah penulisan nama,
salah penulisan gelar (Tn/Ny/An), salah jenis kelamin, salah
alamat.
2. Terpasang gelang identitas pasien rawat inap. Target 100%
pasien yang masuk ke rawat inap terpasang gelang identitas
pasien.
3. Pelaksanaan SBAR ( Situation, Background, Assessment,
Recommendation) Target 100% konsul ke dokter via
telpon menggunakan metode SBAR.
4. Ketepatan penyampaian hasil pemeriksaan penunjang. Target
100% yang dimaksud tidak tepat apabila : salah ketik hasil,
mengetik terbalik dengan hasil lain, hasil tidak terketik, salah
identitas.
5. Ketepatan pemberian obat. Target 100% yang dimaksud
tidak tepat apabila salah obat, salah dosis, salah jenis,
kurang/kelebihan dosis, salah rute pemberian, salah identitas
pada etiket, salah pasien
6. Ketepatan tranfusi. Target 100% yang dimaksud tidak tepat apabila
salah identitas pada permintaan salah tulis jenis produk darah,salah
pasien
BAB VII
KESELAMATAN KERJA
A. Pengertian.
B. Tujuan.
a. Terciptanya budaya keselamatan kerja di RS. Jiwa.
b. Mencegah dan mengurangi kecelakaan.
c. Memperoleh keserasian antara tenaga kerja, alat kerja, lingkungan,
cara dan proses kerjanya.
d. Menyesuaikan dan menyempurnakan pengamanan pada pekerjaan
yang bahaya kecelakaannya menjadi bertambah tinggi.
C. Tata Laksana Keselamatan Karyawan.
a. Setiap petugas medis maupun non medis menjalankan
prinsip pencegahan infeksi, yaitu :
- Menganggap bahwa pasien maupun dirinya sendiri dapat
menularkan infeksi.
- Menggunakan alat pelindung (sarung tangan, kacamata, sepatu
boot/alas kaki tertutup, celemek, masker dll) terutama bila
terdapat kontak dengan spesimen pasien yaitu: urin, darah,
muntah, sekret, dll.
- Mencuci tangan dengan sabun antiseptik sebelum dan sesudah
menangani pasien.
b. Terdapat tempat sampah infeksius dan non infeksius.
c. Mengelola alat dengan mengindahkan prinsip sterilitas yaitu:
- Pembersihan awal ( Pra Cleaning )
- Pembersihan,
Membersihkan darah, dll. Cuci dengan deterjen/enzymatic, bilas
dengan air bersih kemudian dikeringkan
- DTT
- Sterilisasi
d. Menggunakan baju kerja yang bersih
BAB VIII
PENGENDALIAN MUTU
PENUTUP
Ditetapkan : di Kendari
Pada tanggal : …………….2019