i
SGPT : Serum Pyruric Oxaloacetic Transaminase
TB : Tuberkulosis
UPK : Unit Pelayanan Kesehatan
WHO : World Health Organization
Z : Pirazinamid
ii
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Sejak dahulu penyakit Tuberkulosis oleh masyarakat dikenal
sebagai penyakit menular dan merupakan salah satu masalah utama
kesehatan di masyarakat indonesia. Hal ini dapat dilihat dari masih
banyaknya penderita tuberkulosis yang ditemukan di masyarakat dan
kematian yang disebabkannya.
Pada tahun 1995,puskesmas merupakan ujung tombak dalam
pelayanan di masyarakat dengan menerapkan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course).Dengan berjalannya
waktu strategi DOTS telah mulai dikembangkan di Balai Pengobatan
Paru-Paru dan di rumah sakit,baik rumah sakit swasta maupun
rumah sakit pemerintah.
Pada tahun 2004 survey prevalensi tuberkulosis menunjukkan
bahwa pola pencarian pengobatan tuberkulosis ke rumah sakit
ternyata cukup tinggi,yaitu sekitar 60 %.
Melihat dari besarnya jumlah pasien TB paru yang berobat di
Rumah Sakit Umum Meutia, maka Rumah Sakit Umum Meutia
mengembangkan pelayanan yang lebih efektif dengan penerapan
strategi DOTS yang dikembangkan oleh WHO dan Dinas Kesehatan
Republik Indonesia, melalui kerjasama dengan Dinas Kesehatan
Kota Malang, dengan membentuk Tim DOTS dan menyusun
pedoman pelayanan TB DOTS di Rumah Sakit Umum Meutia.
B. Tujuan
a. Tuberkulosis tidak lagi merupakan masalah kesehatan
masyarakat Indonesia.
b. Menurunkan angka kesakitan dan kematian tuberkulosis untuk
mencapai millenium development goals.
c. Menurunkan resistensi terhadap OAT.
1
C. Ruang Lingkup Pelayanan
Ruang lingkup pelayanan Tuberkulosis di Rumah Sakit Umum
Meutia adalah :
a. Penjaringan pasien tuberkulosis,menegakkan diagnosa, dan
pengobatan.
b. Pencatatan dan pelaporan pasien tuberkulosis.
c. Menginformasikan dan atau mengirim pasien ke unit TB DOTS
puskesmas atau rumah sakit lain.
d. PKRS berfungsi sebagai pelaksana penyuluhan TB DOTS di
rumah sakit.
D. Batasan Operasional
Batasan operasional dalam pelayanan Tuberkulosis adalah
memberi asuhan keperawatan kepada pasien tuberkulosis.
E. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan.
3. Keputusan Menteri Kesehatan No 203 / Menkes / SK / III / 1999
tentang Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis.
4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 129 Tahun 2008 Tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364 / Menkes / SK / V /
2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis.
2
BAB II
STANDAR KETENAGAAN
B. Distribusi Ketenagaan
1. Unit DOTS
2. Instalasi rawat inap
3. Poliklinik Paru
C.Pengaturan Jaga
Pengaturan jadwal jaga dilakukan berdasarkan hari kerja
3
BAB III
STANDAR FASILITAS
A. Denah Ruangan
Ruangan Unit DOTS terletak bersebelahan dengan Radiologi.
B. Standar Fasilitas
1. Struktur fisik
Lantai porselen dan dinding dicat atau dilapisi keramik agar
mudah dicuci
2. Kebersihan
Cat dan lantai berwarna terang dan sehingga kotoran terlihat
dengan mudah. Ruangan bersih bebas dari debu dan kotoran
sampah atau limbah rumah sakit.Hal ini berlaku pula untuk mebel,
perlengkapan, instrumen, pintu, jendela, steker listrik, dan langit-
langit.
3. Pencahayaan
Listrik berfungsi baik, kabel dan steker tidak membahayakan dan
semua lampu berfungsi baik dan kokoh. Pencahayaan terang dari
cahaya alami atau listrik
4. Ventilasi
Suhu ruangan dijaga 24-26 °c dan pendingin ruangan berfungsi
dengan baik
5. Pencucian tangan
Cairan antiseptik pencuci tangan dengan dispenser otomatis
4
BAB IV
STRATEGI DOTS
(DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT-COURSE)
Penderita dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai
PMO adalah petugas RS, selesai perawatan untuk pengobatan
selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.
B. Tujuan :
1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat
4. Mencegah resistensi
5
Dalam melaksanakan DOTS, sebelum pengobatan pertama kali dimulai
harus diingat:
1. Tentukan seorang PMO. Berikan penjelasan kepada penderita bahwa
harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik
untukmendapat penjelasan tentang DOT.
2. Persyaratan PMO. PMO bersedia dengan sukarela membantu penderita
TB sampaisembuh selama 6 bulan. PMO dapat berasal dari kader
dasawisma,kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani
penderita.
3. Tugas PMO. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik, memberikan
pengawasan kepada penderita dalam hal minum obat, mengingatkan
penderita untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal,
memberitahukan / mengantar penderita untuk kontrol bila ada efek
samping obat, bersedia antar jemput OAT jika penderita tidak bisa
datang ke RS /poliklinik.
Ekspansi DOTS ke rumah sakit dilakukan bersamaan dengan
peningkatan kualitas program penanggulangan tuberkulosis di
kabupaten/kota dengan terus berusaha meningkatkan dan
mempertahankan:
1. Angka konversi lebih dari 80%
2. Angka keberhasilan pengobatan lebih dari 85%
3. Angka kesalahan laboratorium di bawah 5%
C. Pembentukan Jejaring
Rumah sakit memiliki potensi yang besar dalam penemuan
pasien tuberculosis (case finding), namun memiliki keterbatasan
dalam menjaga keteraturan dan keberlangsungan pengobatan
pasien (case holding). Karena itu perlu dikembangkan jejaring rumah
sakit, baik internal maupun eksternal.
6
1. Jejaring Internal
Jejaring internal adalah jejaring yang dijalankan di dalam
rumah sakit dengan melibatkan seluruh unit yang menangani pasien
TB.
a. Unit DOTS berfungsi sebagai tempat penanganan seluruh
pasien tuberculosis di rumah sakit dan pusat informasi tentang
tuberculosis. Kegiatannya juga meliputi konseling, penentuan
klasifikasi dan tipe, kategori pengobatan, pemberian OAT,
penentuan PMO, follow up hasil pengobatan dan pencatatan,
serta bertanggungjawab terhadap ketersediaan OAT
Kemenkes.
b. Poli umum, IGD, dan poli spesialis berfungsi menjaring
tersangka pasien tuberculosis, menegakkan diagnosis, dan
mengirim pasien ke unit DOTS RS.
c. Rawat inap berfungsi sebagai pendukung unit DOTS dalam
melakukan penjaringan tersangka serta perawatan dan
pengobatan.
d. Laboratorium berfungsi sebagai sarana diagnostic.
e. Radiologi berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostic.
f. Farmasi berfungsi sebagai unit yang bertanggung jawab
terhadap ketersediaan OAT non Kemenkes.
g. Rekam medis / petugas administrasi berfungsi sebagai
pendukung unit DOTS dalam pencatatan dan pelaporan.
h. PKMRS berfungsi sebagai pendukung unit DOTS dalam
kegiatan penyuluhan.
7
c. Hasil pemeriksaan penunjang dikirim ke dokter yang
bersangkutan. Diagnosis dan klasifikasi dilakukan oleh dokter
poliklinik masing-masing atau unit DOTS.
d. Setelah diagnosis tuberkulosis ditegakkan, pasien dikirim ke
unit DOTS untuk registrasi (bila pasien meneruskan
pengobatan di Rumah Sakit Umum Meutia), penentuan PMO,
penyuluhan dan pengambilan obat, pengisian kartu pengobatan
tuberkulosis. Bila pasien tidak menggunakan obat paket,
pencatatan dan pelaporan dilakukan di poliklinik masing-masing
dan kemudian dilaporkan ke unit DOTS.
e. Bila ada pasien tuberkulosis yang dirawat di bangsal,
petugasbangsal menghubungi unit DOTS untuk registrasi
pasien (bila pasien meneruskan pengobatan di Rumah Sakit
Umum Meutia). Paket OAT dapat diambil di Unit DOTS.
f. Rujukan (pindah) dari/ke UPK lain, berkoordinasi dengan Unit
DOTS.
8
2. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara Dinas
Kesehatan, rumah sakit, puskesmas, dan UPK lainnya dalam
penanggulangan tuberkulosis dengan strategi DOTS
9
BAB V
MEKANISME RUJUKAN DAN PINDAH
10
2. Koordinator HDL propinsi memastikan bahwa pasien yang dirujuk
telah melanjutkan pengobatan ke tempat rujukan yang dituju.
3. Bila pasien tidak ditemukan, maka Koordinator HDL propinsi harus
menginformasikan kepada wasor atau Koordinator HDL
kabupaten/kota untuk melakukan pelacakan pasien.
11
BAB VI
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS
A. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
1. Gejala klinis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik.Bila organ yang terkena adalah paru maka
gejala lokal adalah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang
terlibat).Gejala respiratori terdiri dari batuk ≥ 2 minggu, batuk darah,
sesak napas, dan nyeri dada.Sedangkan gejala sistemik terdiri dari
demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan
menurun. Pada TB ekstraparu gejala tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada meningitis
TB akan terlihat gejala meningitis. Sedangkan pada pleuritis TB
terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru.Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.Kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik suara napas melemah,
ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan
mediastinum.
12
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Bahan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi
adalah dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urine, feses dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH). Untuk pemeriksaan dahak dilakukan pengambila dahak
2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari. Pemeriksaan
mikroskopis biasa menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan
mikroskopis fluoresens menggunakan pewarnaan auramin-
rhodamin.
Berdasarkan rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan
mikroskopis dibaca dengan skala International Union Against
Tuberculosis dan Lung Disease (IUATLD), antara lain:
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3
4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar yang dapat digunakan adalah foto
toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi yaitu foto lateral, top-
lordotic, oblik, atau CT-Scan. Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif adalah:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
c. Bayangan bercak milier
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)
13
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB inaktif:
a. Fibrotik
b. Kalsifikasi
c. Schwarte atau penebalan paru.
14
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis TB. Pemeriksan yang dilakukan ialah
pemeriksaan histopatologi.Bahan jaringan dapat diperoleh melalui
biopsi atau autopsi.
c. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator
spesifik untuk TB. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua
dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal
tidak menyingkirkan TB. Limfosit juga kurang spesifik.
15
6. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak
Penegakan diagnosis tuberkulosis pada anak sedikit lebih
sulit selain dikarenakan pengambilan spesimen yang sulit, juga
gejala yang muncul / tampak tidak sejelas gejala-gejala yang timbul
pada pasien-pasien dewasa. Oleh sebab itu, untuk menegakan
diagnosis Tuberculosis (TB) pada anak harus menggunakan sistem
skoring TB yang telah disepakati, sbb :
Catatan penting :
1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh Dokter
2. Jika dijumpai skrofuloderma, maka langsung didiagnosis
Tuberculosis (TB)
3. Berat badan (BB) dinilai saat datang / pemeriksaan
4. Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku
5. Rontgen foto bukan alat diagnosis utama pada TB anak
6. Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan
sistem skoring TB anak
16
7. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6 (skor maksimal 14). Cut off
pointini masih bersifat tentatif/ sementara, nilai definitive mungkin
masih dapat berubah sesuai perkembangan ilmu / penelitian di
kemudian hari.
17
b. Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila: Hasil
pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur
positif. Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA
negatif pada laboratorium yang memenuhi syarat
EQA. Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil
pemeriksaan dahak BTA negatif untuk memastikan
diagnosis terutama pada daerah dengan prevalens HIV>
1% atau pasien TB dengan kehamilan ≥ 5%ATAU
1) Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negaif di
daerah yang belum memiliki fasilitas kultur M.tuberculosis
2) Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan
disertai salah satu di bawah ini:
a) Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium
sesuai HIV, atau
b) Jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau
prevalens HIV rendah), tidak menunjukkan perbaikan
setelah pemberian antibiotik spektrum luas (kecuali
antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti
fluorokuinolon dan aminoglikosida).
c) Kasus Bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila
ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB
yang tidak aktif, atau foto serial (dalam 2 bulan)
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada
kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto
toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.
18
3. Riwayat pengobatan sebelumnya
Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat
risiko resistensi obat atau MDR. Pada kelompok ini perlu
dilakukanpemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT. Tipe
berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:
a. Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah
mendapatkan OAT kurang dari satu bulan. Pasien dengan
hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi
penyakit di manapun.
b. Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah
pasien yang sudah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya minimal selama satu bulan, dengan hasil dahak
BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di
manapun, terdiri dari:
1) Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
2) Kasus setelah putus obat (default) yaitu pasien yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
3) Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan dahak tetap positif satu kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
4) Kasus pindahan (transfer in) yaitu pasien yang dipindahkan
ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya.
5) Kasus lain yaitu semua kasus yang tidak memenuhi
ketentuan di atas, seperti yang tidak diketahui riwayat
pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak
diketahui hasil pengobatannya, dan kembali diobati dengan
BTA negatif.
19
C. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase
intensif (2-3bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat
yang digunakanterdiri dari paduan obat utama dan tambahan.
20
D. Pengobatan tuberkulosis pada anak
Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah
ini.
21
maupun pemeriksaan penunjang.Evaluasi klinis pada TB anak merupakan
parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan.Bila dijumpai
perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2
bulan pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar
pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2
bulan pertama) dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4
bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik
pada tahap intensif maupun tahap lanjutan.
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT
disediakan dalam bentuk paket.Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk
satu masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif,
yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap
lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniasid (H).
Dosis
1. INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
2. Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
3. Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
4. Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
5. Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari
Tabel Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak
2 BULAN TIAP HARI 4 BULAN TIAP HARI
BERAT BADAN (KG)
RHZ (75/50/150) RH (75/50)
22
Tabel Dosis OAT Kombipak-fase-awal/intensif pada anak
BB 10-20 KG
JENIS OBAT BB<10 KG BB 20-32 KG
(KOMBIPAK)
23
Bila skor kurang dari 6 tapi secara klinis kecurigaan mengarah ke TB
kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi,
seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi pleura dan lainnya.
24
F. Evaluasi pengobatan
Evaluasi klinis
1. Pasien dievaluasi secara periodik
2. Evaluasi terhadap respons pengobatan dan ada tidaknya efek
samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis
25
G. Pengobatan pada keadaan khusus
1. TB Ekstra Paru
a. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH
b. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS,
misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB
kelenjar, meningitis pada bayi dan anak lama pengobatan 12
bulan. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan
bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk mendapatkan bahan /
spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis) serta sebagai
pengobatan (perikarditis konstriktiva: kompresi medula
spinalis pada penyakit Pott's)
26
c. Pemberian kortikosteroid diperuntukkan pada perikarditis
TBuntuk mencegah konstriksi jantung, dan pada meningits TB
untukmenurunkan gejala sisa neurologik
27
e. Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV/AIDS
(mis INH, rifampisin) karena mengakibatkan toksikyang serius
pada hati
f. INH diberikan terus menerus seumur hidup
g. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi
28
b. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya
memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan
sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan
pengawasan kreatinin
c. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT,
Ureum, Kreatnin)
d. Rujuk ke ahli Paru
29
5) Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan SGOT, SGPT >3
kali, gejala (-) → teruskan pengobatan dengan pengawasan
6) Paduan OAT yang dianjurkan:
7) Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
8) Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinikdan
laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT,SGPT), maka
tambahkan H (INH) desensitisasi sampaidengan dosis penuh
(300 mg). Selama itu perhatikanklinik dan periksa laboratorium
saat INH dosis penuh, bila klinik dan laboratorium normal ,
tambahkanrifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis
penuh(sesuai berat badan). Sehingga paduan obat
menjadiRHES
9) Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi
30
BAB VII
LOGISTIK
31
a. Menyiapkan data yang dibutuhkan antara lain data pasien TB
yang diobati dan jumlah logistik yang digunakan tahun
sebelumnya, serta stok logistik yang masih bisa dipakai
b. Menghitung kebutuhan menggunakan dua pendekatan, yaitu
menggunakan metode konsumsi dan metode morbiditas atau
gabungan keduanya. Metode konsumsi adalah penghitungan
berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya. Metode
morbiditas adalah penghitungan berdasarkan perkiraan
jumlah pasien yang akan diobati (insidensi). Perencanaan
kebutuhan setiap kategori OAT didasarkan pada jumlah
pasien yang telah diobati tahun lalu, jumlah stok yang ada
sekarang, lead time, target penemuan kasus tahun depan
2. Pengadaan
Pengadaan OAT menjadi tanggungjawab pemerintah, baik pusat
maupun daerah. OAT merupakan obat yang sangat-sangat
essensial (SSE) yang harus terjamin ketersediaannya secara
nasional.
3. Penyimpanan
a. Tersedia ruangan yang cukup untuk penyimpanan,
tersediacukup ventilasi, sirkulasi udara, pengaturan suhu dan
penerangan.
b. Aman dari pencurian, kebakaran, atau bencana alam
c. Keadaan bersih, rak tidak berdebu, lantai disapu, dan
tembokdalamkeadaan bersih
d. Setiap penerimaan dan pengeluaran barang harus tercatat
e. Penyimpanan obat harus disusun berdasarkan FEFO (First
ExpiredFirst Out) artinya obat yang kadaluwarsanya lebih awal
harus diletakkan di depan agar dapat didistribusikan lebih
awal
4. Distribusi
Permintaan kebutuhan OAT ke dinas kesehatan menggunakan
buku bantu dan nota yang disediakan di Dinkes Kubu Raya
32
5. Penggunaan
Penggunaan OAT harus dilaksanakan secara rasional mengacu
pada prosedur standar
33
BAB VIII
PENCATATAN DAN PELAPORAN
34
BAB IX
KESELAMATAN PASIEN
35
BAB X
KESELAMATAN KERJA
Agar tidak terjadi infeksi silang maka dilakukan upaya pencegahan dan
pengendalian infeksi melalui komponen kewaspadaan standar meliputi:
1. Cuci tangan
2. APD (sarung tangan, masker, pelindung mata dan wajah, gaun/apron)
3. Peralatan perawatan pasien
4. Pengendalian lingkungan
5. Penanganan linen
6. Penanganan limbah
7. Kesehatan karyawan
8. Penempatan pasien
9. Penyuntikan yang aman
10. Batuk efektif
36
BAB XI
PENGENDALIAN MUTU
37
BAB XII
PENUTUP
38