Anda di halaman 1dari 40

DAFTAR SINGKATAN

AIDS : Acquired Immune Deficiency Syndrome


APD : Alat Perlindungan Diri
ASI : Air Susu Ibu
ATS : Anti Tetanus Serum
BCG : Bacillus Calmette et Guerin
BTA : Basil Tahan Asam
Cs : Cycloserine
DM : Diabetes Melitus
DOT : Directly Observed Treatment
DOTS : Directly Observed Treatment – Shortcourse Chemotherapy
E : Etambutol
EQA : External Quality Assurance
Eto : Ethionamide
FEFO : First Expired First Out
H : Isoniasid (INH = Iso Niacid Hydrazide)
HDL : Hospital DOTS Linkage
HIV : Human Immunodeficiency Virus
IGD : Instalasi Gawat Darurat
KDT : Kombinasi Dosis Tetap
Kn : Kanamycin
LED : Laju Endap darah
Lfx : Levofloxacin
MDR : Multi Drugs Resistance
OAT : Obat Anti Tuberkulosis
PKRS : Promosi Kesehatan Rumah sakit
PMO : Pengawasan Minum Obat
R : Rifampisin
RS : Rumah Sakit
S : Streptomisin
SGOT : Serum Glutamic Oxaloacetic Transaminase

i
SGPT : Serum Pyruric Oxaloacetic Transaminase
TB : Tuberkulosis
UPK : Unit Pelayanan Kesehatan
WHO : World Health Organization
Z : Pirazinamid

ii
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Sejak dahulu penyakit Tuberkulosis oleh masyarakat dikenal
sebagai penyakit menular dan merupakan salah satu masalah utama
kesehatan di masyarakat indonesia. Hal ini dapat dilihat dari masih
banyaknya penderita tuberkulosis yang ditemukan di masyarakat dan
kematian yang disebabkannya.
Pada tahun 1995,puskesmas merupakan ujung tombak dalam
pelayanan di masyarakat dengan menerapkan strategi DOTS
(Directly Observed Treatment Short-course).Dengan berjalannya
waktu strategi DOTS telah mulai dikembangkan di Balai Pengobatan
Paru-Paru dan di rumah sakit,baik rumah sakit swasta maupun
rumah sakit pemerintah.
Pada tahun 2004 survey prevalensi tuberkulosis menunjukkan
bahwa pola pencarian pengobatan tuberkulosis ke rumah sakit
ternyata cukup tinggi,yaitu sekitar 60 %.
Melihat dari besarnya jumlah pasien TB paru yang berobat di
Rumah Sakit Umum Meutia, maka Rumah Sakit Umum Meutia
mengembangkan pelayanan yang lebih efektif dengan penerapan
strategi DOTS yang dikembangkan oleh WHO dan Dinas Kesehatan
Republik Indonesia, melalui kerjasama dengan Dinas Kesehatan
Kota Malang, dengan membentuk Tim DOTS dan menyusun
pedoman pelayanan TB DOTS di Rumah Sakit Umum Meutia.

B. Tujuan
a. Tuberkulosis tidak lagi merupakan masalah kesehatan
masyarakat Indonesia.
b. Menurunkan angka kesakitan dan kematian tuberkulosis untuk
mencapai millenium development goals.
c. Menurunkan resistensi terhadap OAT.

1
C. Ruang Lingkup Pelayanan
Ruang lingkup pelayanan Tuberkulosis di Rumah Sakit Umum
Meutia adalah :
a. Penjaringan pasien tuberkulosis,menegakkan diagnosa, dan
pengobatan.
b. Pencatatan dan pelaporan pasien tuberkulosis.
c. Menginformasikan dan atau mengirim pasien ke unit TB DOTS
puskesmas atau rumah sakit lain.
d. PKRS berfungsi sebagai pelaksana penyuluhan TB DOTS di
rumah sakit.

D. Batasan Operasional
Batasan operasional dalam pelayanan Tuberkulosis adalah
memberi asuhan keperawatan kepada pasien tuberkulosis.

E. Landasan Hukum
1. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 44 tahun 2009
tentang Rumah Sakit.
2. Undang-Undang Republik Indonesia Nomor 36 tahun 2009
tentang Kesehatan.
3. Keputusan Menteri Kesehatan No 203 / Menkes / SK / III / 1999
tentang Gerakan Terpadu Nasional Penanggulangan
Tuberkulosis.
4. Keputusan Menteri Kesehatan No. 129 Tahun 2008 Tentang
Standar Pelayanan Minimal Rumah Sakit.
5. Keputusan Menteri Kesehatan Nomor 364 / Menkes / SK / V /
2009 tentang Pedoman Penanggulangan Tuberkulosis.

2
BAB II
STANDAR KETENAGAAN

A. Kualifikasi Sumber Daya Manusia


1. Dokter yang telah mendapatkan pelatihan TB DOTS
2. Perawat yang telah mendapatkan pelatihan TB DOTS
3. Petugas laboratorium yang telah mendapatkan pelatihan TB
DOTS

B. Distribusi Ketenagaan
1. Unit DOTS
2. Instalasi rawat inap
3. Poliklinik Paru

C.Pengaturan Jaga
Pengaturan jadwal jaga dilakukan berdasarkan hari kerja

3
BAB III
STANDAR FASILITAS

A. Denah Ruangan
Ruangan Unit DOTS terletak bersebelahan dengan Radiologi.

B. Standar Fasilitas
1. Struktur fisik
Lantai porselen dan dinding dicat atau dilapisi keramik agar
mudah dicuci
2. Kebersihan
Cat dan lantai berwarna terang dan sehingga kotoran terlihat
dengan mudah. Ruangan bersih bebas dari debu dan kotoran
sampah atau limbah rumah sakit.Hal ini berlaku pula untuk mebel,
perlengkapan, instrumen, pintu, jendela, steker listrik, dan langit-
langit.
3. Pencahayaan
Listrik berfungsi baik, kabel dan steker tidak membahayakan dan
semua lampu berfungsi baik dan kokoh. Pencahayaan terang dari
cahaya alami atau listrik
4. Ventilasi
Suhu ruangan dijaga 24-26 °c dan pendingin ruangan berfungsi
dengan baik
5. Pencucian tangan
Cairan antiseptik pencuci tangan dengan dispenser otomatis

4
BAB IV
STRATEGI DOTS
(DIRECTLY OBSERVED TREATMENT SHORT-COURSE)

DOTS mengandung lima komponen, yaitu :


1. Komitmen pemerintah untuk menjalankan program TB nasional
2. Penemuan kasus TB dengan pemeriksaan BTA mikroskopik
3. Pemberian obat jangka pendek yang diawasi secara langsung, dikenal
dengan istilah DOT (Directly Observed Therapy)
4. Pengadaan OAT secara berkesinambungan
5. Monitoring serta pencatatan dan pelaporan yang (baku/standar)baik

Istilah DOT diartikan sebagai pengawasan langsung menelan obat jangka


pendek setiap hari oleh Pengawas Menelan Obat (PMO)

A. Pengawasan dilakukan oleh :


Penderita berobat jalan
1. Langsung di depan dokter
2. Petugas kesehatan
3. Orang lain (kader, tokoh masyarakat dll)
4. Suami/Istri/Keluarga/Orang serumah

Penderita dirawat
Selama perawatan di rumah sakit yang bertindak sebagai
PMO adalah petugas RS, selesai perawatan untuk pengobatan
selanjutnya sesuai dengan berobat jalan.

B. Tujuan :
1. Mencapai angka kesembuhan yang tinggi
2. Mencegah putus berobat
3. Mengatasi efek samping obat
4. Mencegah resistensi

5
Dalam melaksanakan DOTS, sebelum pengobatan pertama kali dimulai
harus diingat:
1. Tentukan seorang PMO. Berikan penjelasan kepada penderita bahwa
harus ada seorang PMO dan PMO tersebut harus ikut hadir di poliklinik
untukmendapat penjelasan tentang DOT.
2. Persyaratan PMO. PMO bersedia dengan sukarela membantu penderita
TB sampaisembuh selama 6 bulan. PMO dapat berasal dari kader
dasawisma,kader PPTI, PKK, atau anggota keluarga yang disegani
penderita.
3. Tugas PMO. Bersedia mendapat penjelasan di poliklinik, memberikan
pengawasan kepada penderita dalam hal minum obat, mengingatkan
penderita untuk pemeriksaan ulang dahak sesuai jadwal,
memberitahukan / mengantar penderita untuk kontrol bila ada efek
samping obat, bersedia antar jemput OAT jika penderita tidak bisa
datang ke RS /poliklinik.
Ekspansi DOTS ke rumah sakit dilakukan bersamaan dengan
peningkatan kualitas program penanggulangan tuberkulosis di
kabupaten/kota dengan terus berusaha meningkatkan dan
mempertahankan:
1. Angka konversi lebih dari 80%
2. Angka keberhasilan pengobatan lebih dari 85%
3. Angka kesalahan laboratorium di bawah 5%

C. Pembentukan Jejaring
Rumah sakit memiliki potensi yang besar dalam penemuan
pasien tuberculosis (case finding), namun memiliki keterbatasan
dalam menjaga keteraturan dan keberlangsungan pengobatan
pasien (case holding). Karena itu perlu dikembangkan jejaring rumah
sakit, baik internal maupun eksternal.

6
1. Jejaring Internal
Jejaring internal adalah jejaring yang dijalankan di dalam
rumah sakit dengan melibatkan seluruh unit yang menangani pasien
TB.
a. Unit DOTS berfungsi sebagai tempat penanganan seluruh
pasien tuberculosis di rumah sakit dan pusat informasi tentang
tuberculosis. Kegiatannya juga meliputi konseling, penentuan
klasifikasi dan tipe, kategori pengobatan, pemberian OAT,
penentuan PMO, follow up hasil pengobatan dan pencatatan,
serta bertanggungjawab terhadap ketersediaan OAT
Kemenkes.
b. Poli umum, IGD, dan poli spesialis berfungsi menjaring
tersangka pasien tuberculosis, menegakkan diagnosis, dan
mengirim pasien ke unit DOTS RS.
c. Rawat inap berfungsi sebagai pendukung unit DOTS dalam
melakukan penjaringan tersangka serta perawatan dan
pengobatan.
d. Laboratorium berfungsi sebagai sarana diagnostic.
e. Radiologi berfungsi sebagai sarana penunjang diagnostic.
f. Farmasi berfungsi sebagai unit yang bertanggung jawab
terhadap ketersediaan OAT non Kemenkes.
g. Rekam medis / petugas administrasi berfungsi sebagai
pendukung unit DOTS dalam pencatatan dan pelaporan.
h. PKMRS berfungsi sebagai pendukung unit DOTS dalam
kegiatan penyuluhan.

Alur penatalaksanaan pasien tuberkulosis di rumah sakit:


a. Suspek tuberkulosis atau pasien tuberkulosis dapat datang ke
poli spesialis atau IGD.
b. Suspek tuberkulosis dikirim untuk dilakukan pemeriksaan
penunjang (laboratorium, radiologi, patologi anatomi).

7
c. Hasil pemeriksaan penunjang dikirim ke dokter yang
bersangkutan. Diagnosis dan klasifikasi dilakukan oleh dokter
poliklinik masing-masing atau unit DOTS.
d. Setelah diagnosis tuberkulosis ditegakkan, pasien dikirim ke
unit DOTS untuk registrasi (bila pasien meneruskan
pengobatan di Rumah Sakit Umum Meutia), penentuan PMO,
penyuluhan dan pengambilan obat, pengisian kartu pengobatan
tuberkulosis. Bila pasien tidak menggunakan obat paket,
pencatatan dan pelaporan dilakukan di poliklinik masing-masing
dan kemudian dilaporkan ke unit DOTS.
e. Bila ada pasien tuberkulosis yang dirawat di bangsal,
petugasbangsal menghubungi unit DOTS untuk registrasi
pasien (bila pasien meneruskan pengobatan di Rumah Sakit
Umum Meutia). Paket OAT dapat diambil di Unit DOTS.
f. Rujukan (pindah) dari/ke UPK lain, berkoordinasi dengan Unit
DOTS.

8
2. Jejaring Eksternal
Jejaring eksternal adalah jejaring yang dibangun antara Dinas
Kesehatan, rumah sakit, puskesmas, dan UPK lainnya dalam
penanggulangan tuberkulosis dengan strategi DOTS

Tujuan jejaring eksternal:


a. Semua pasien tuberkulosis mendapatkan akses pelayanan DOTS
yang berkualitas, mulai dari diagnosis, follow up, sampai akhir
pengobatan.
b. Menjamin kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien,
sehingga mengurangi jumlah pasien yang putus berobat.

Dinas Kesehatan berfungsi:


a. Koordinasi antara rumah sakit dan UPK lain
b. Menyusun protap jejaring penanganan tuberkulosis
c. Koordinasi system surveilens
d. Menyusun perencanaan, memantau, melakukan supervise, dan
mengevaluasi penerapan strategi DOTS di rumah sakit
e. Menyediakan tenaga/petugas untuk mengumpulkan laporan

Tugas koordinator jejaring DOTS Rumah Sakit:


a. Memastikan mekanisme jejaring seperti yang tersebut di atas
berjalan dengan baik
b. Memfasilitasi rujukan antar UPK dan antar propinsi/kabupaten/kota
c. Memastikan pasien yang dirujuk melanjutkan pengobatan ke UPK
yang dituju dan menyelesaikan pengobatannya
d. Memastikan setiap pasien mangkir dilacak dan ditindaklanjuti
e. Supervisi pelaksanaan kegiatan di Unit DOTS
f. Validasi data pasien di rumah sakit
g. Monitoring dan evaluasi kemajuan ekspansi Hospital DOTS

9
BAB V
MEKANISME RUJUKAN DAN PINDAH

Prinsip: Memastikan pasien tuberkulosis yang dirujuk/pindah akan


menyelesaikan pengobatannya dengan benar di tempat lain.
Mekanisme rujukan dan pindah pasien ke UPK lain (dalam satu
kabupaten/kota) :
1. Apabila pasien sudah mendapatkan pengobatan di rumah sakit, maka
harus dibuatkan Kartu Pengobatan TB (TB.01) di rumah sakit.
2. Untuk pasien yang dirujuk dari rumah sakit, surat pengantar atau
formulir TB.09 dengan menyertakan TB.01 dan OAT (bila pengobatan
telah dimulai).
3. Formulir TB.09 diberikan kepada pasien beserta sisa OAT untuk
diserahkan kepada UPK yang dituju.
4. Rumah sakit memberikan informasi langsung (telepon atau SMS) ke
koordinator HDL tentang pasien yang dirujuk.
5. UPK yang telah menerima pasien rujukan segera mengisi dan
mengirimkan kembali TB.09 (lembar bagian bawah) ke UPK asal.
6. Koordinator HDL memastikan semua pasien yang dirujuk melanjutkan
pengobatan di UPK yang dituju (dilakukan konfirmasi melalui telepon
atau SMS).
7. Bila pasien tidak ditemukan di UPK yang dituju, petugas tuberkulosis
UPK yang dituju melacak sesuai dengan alamat pasien.
8. Koordinator HDL memberikan umpan balik kepada UPK asal dan wasor
tentang pasien yang dirujuk.

Mekanisme rujukan pasien dari rumah sakit ke UPK kabupaten/kota lain:


Mekanisme rujukan sama dengan di atas, dengan tambahan
1. Informasi rujukan diteruskan ke Koordinator HDL Propinsi yang akan
menginformasikan ke Koordinator HDL kabupaten/kota yang
menerima rujukan, baik secara telepon langsung atau melalui SMS.

10
2. Koordinator HDL propinsi memastikan bahwa pasien yang dirujuk
telah melanjutkan pengobatan ke tempat rujukan yang dituju.
3. Bila pasien tidak ditemukan, maka Koordinator HDL propinsi harus
menginformasikan kepada wasor atau Koordinator HDL
kabupaten/kota untuk melakukan pelacakan pasien.

Pelacakan Kasus Mangkir di Rumah Sakit


Pasien dikatakan mangkir berobat bila yang bersangkutan tidak
datang untuk periksa ulang atau mengambil obat pada waktu yang telah
ditentukan.
Bila kasus mangkir masih berlanjut hingga 2 hari pada fase awal
atau 7 hari pada fase lanjutan, maka petugas unit DOTS harus segera
melakukan tindakan di bawah ini :
1. Menghubungi pasien langsung atau PMO.
2. Menginformasikan identitas dan alamat lengkap pasien mangkir ke
wasor kabupaten/kota atau langsung ke puskesmas agar segera
dilakukan pelacakan.
3. Hasil dari pelacakan yang dilakukan oleh petugas puskesmas segera
diinformasikan kepada rumah sakit. Bila proses ini menemui hambatan,
harus diberitahukan ke koordinator jejaring DOTS rumah sakit.

11
BAB VI
TATALAKSANA PASIEN TUBERKULOSIS

A. Diagnosis Tuberkulosis
Diagnosis TB dapat ditegakkan berdasarkan gejala klinis,
pemeriksaan fisis, pemeriksaan bakteriologi, radiologi dan pemeriksaan
penunjang lainnya.
1. Gejala klinis
Gejala klinis TB dapat dibagi menjadi 2 golongan yaitu gejala
lokal dan gejala sistemik.Bila organ yang terkena adalah paru maka
gejala lokal adalah gejala respiratori (gejala lokal sesuai organ yang
terlibat).Gejala respiratori terdiri dari batuk ≥ 2 minggu, batuk darah,
sesak napas, dan nyeri dada.Sedangkan gejala sistemik terdiri dari
demam, malaise, keringat malam, anoreksia dan berat badan
menurun. Pada TB ekstraparu gejala tergantung dari organ yang
terlibat, misalnya limfadenitis TB akan terjadi pembesaran yang
lambat dan tidak nyeri dari kelenjar getah bening. Pada meningitis
TB akan terlihat gejala meningitis. Sedangkan pada pleuritis TB
terdapat gejala sesak napas dan kadang nyeri dada pada sisi yang
rongga pleuranya terdapat cairan.
2. Pemeriksaan Fisik
Pada TB paru, kelainan yang didapat tergantung luas kelainan
struktur paru.Pada permulaan (awal) perkembangan penyakit
umumnya tidak (atau sulit sekali) menemukan kelainan.Kelainan
paru pada umumnya terletak di daerah lobus superior terutama
daerah apeks dan segmen posterior (S1 dan S2), serta daerah
apeks lobus inferior (S6). Pada pemeriksaan fisik dapat ditemukan
antara lain suara napas bronkial, amforik suara napas melemah,
ronki basah, tanda-tanda penarikan paru, diafragma, dan
mediastinum.

12
3. Pemeriksaan Bakteriologi
Bahan yang dapat digunakan untuk pemeriksaan bakteriologi
adalah dahak, cairan pleura, liquor cerebrospinal, bilasan bronkus,
bilasan lambung, kurasan bronkoalveolar (bronchoalveolar
lavage/BAL), urine, feses dan jaringan biopsi (termasuk biopsi jarum
halus/BJH). Untuk pemeriksaan dahak dilakukan pengambila dahak
2 kali dengan minimal satu kali dahak pagi hari. Pemeriksaan
mikroskopis biasa menggunakan pewarnaan Ziehl-Nielsen dan
mikroskopis fluoresens menggunakan pewarnaan auramin-
rhodamin.
Berdasarkan rekomendasi WHO, interpretasi pemeriksaan
mikroskopis dibaca dengan skala International Union Against
Tuberculosis dan Lung Disease (IUATLD), antara lain:
a. Tidak ditemukan BTA dalam 100 lapang pandang disebut negatif
b. Ditemukan 1-9 BTA dalam 100 lapang pandang, ditulis jumlah
kuman yang ditemukan
c. Ditemukan 10-99 BTA dalam 100 lapang pandang disebut +1
d. Ditemukan 1-10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +2
e. Ditemukan > 10 BTA dalam 1 lapang pandang disebut +3

4. Pemeriksaan Radiologi
Pemeriksaan standar yang dapat digunakan adalah foto
toraks PA. Pemeriksaan lain atas indikasi yaitu foto lateral, top-
lordotic, oblik, atau CT-Scan. Gambaran radiologi yang dicurigai
sebagai lesi TB aktif adalah:
a. Bayangan berawan/nodular di segmen apikal dan posterior lobus
atas paru dan segmen superior lobus bawah
b. Kavitas, terutama lebih dari satu, dikelilingi oleh bayangan opak
berawan atau nodular
c. Bayangan bercak milier
d. Efusi pleura unilateral (umumnya) atau bilateral (jarang)

13
Gambaran radiologi yang dicurigai sebagai lesi TB inaktif:
a. Fibrotik
b. Kalsifikasi
c. Schwarte atau penebalan paru.

Luluh paru (destroyed lung):


a. Terdapatnya gambaran radiologi yang menunjukkan
kerusakan jaringan paru yang berat, biasanya secara klinis
disebut dengan luluh paru. Gambaran radiologi luluh paru
terdiri dari atelektasis, ektasis/multikavitas dan fibrosis
parenkim paru. Sulit untuk menilai aktivitas lesi atau penyakit
hanya berdasarkan gambaran radiologi tersebut.
b. Perlu dilakukan pemeriksaan bakteriologi untuk memastikan
aktivitas proses penyakit.

Luas proses yang tampak pada foto toraks dapat dinyatakan


sebagai berikut ini:
a. Lesi minimal, bila proses mengenai sebagian dari satu atau
dua paru, dengan luas tidak lebih dari volume paru yang
terletak di atas chondrostenal junction dari iga kedua dan
prosesus spinosus dari vertebra torakalis IV atau korpus
vertebra torakalis V (sela iga II) dan tidak dijumpai kavitas.
b. Lesi luas, bila proses lebih luas dari lesi minimal.

5. Pemeriksaan Penunjang Lain


a. Analisa cairan pleura
Pemeriksaan analisis cairan pleura dan uji Rivalta cairan
pleura perlu dilakukan pada pasien efusi pleura untuk membantu
menegakkan diagnosis.Interpretasi hasil analisis yang
mendukung diagnosis TB adalah uji Rivalta positif dan kesan
cairan eksudat, serta pada analisis cairan pleura terdapat sel
limfosit dominan dan glukosa rendah.

14
b. Pemeriksaan histopatologi jaringan
Pemeriksaan histopatologi dilakukan untuk membantu
menegakkan diagnosis TB. Pemeriksan yang dilakukan ialah
pemeriksaan histopatologi.Bahan jaringan dapat diperoleh melalui
biopsi atau autopsi.
c. Pemeriksaan darah
Hasil pemeriksaan darah rutin kurang menunjukkan indikator
spesifik untuk TB. Laju endap darah (LED) jam pertama dan kedua
dapat digunakan sebagai indikator penyembuhan pasien. LED sering
meningkat pada proses aktif, tetapi laju endap darah yang normal
tidak menyingkirkan TB. Limfosit juga kurang spesifik.

15
6. Diagnosis Tuberkulosis pada Anak
Penegakan diagnosis tuberkulosis pada anak sedikit lebih
sulit selain dikarenakan pengambilan spesimen yang sulit, juga
gejala yang muncul / tampak tidak sejelas gejala-gejala yang timbul
pada pasien-pasien dewasa. Oleh sebab itu, untuk menegakan
diagnosis Tuberculosis (TB) pada anak harus menggunakan sistem
skoring TB yang telah disepakati, sbb :

Catatan penting :
1. Diagnosis dengan sistem skoring ditegakkan oleh Dokter
2. Jika dijumpai skrofuloderma, maka langsung didiagnosis
Tuberculosis (TB)
3. Berat badan (BB) dinilai saat datang / pemeriksaan
4. Demam dan batuk tidak ada respons terhadap terapi sesuai baku
5. Rontgen foto bukan alat diagnosis utama pada TB anak
6. Semua anak dengan reaksi cepat BCG harus dievaluasi dengan
sistem skoring TB anak

16
7. Anak didiagnosis TB jika jumlah skor ≥6 (skor maksimal 14). Cut off
pointini masih bersifat tentatif/ sementara, nilai definitive mungkin
masih dapat berubah sesuai perkembangan ilmu / penelitian di
kemudian hari.

B. Klasifikasi Kasus Tuberkulosis


1. Letak anatomis penyakit
a. Tuberkulosis paru, yaitu kasus TB yang mengenai
parenkim paru. Tuberkulosis milier diklasifikasikan
sebagai TB paru karena lesinya terletak di dalam paru.
b. Tuberkulosis ekstraparu, yaitu kasus TB yang mengenai
organ lain selain paru seperti pleura, kelenjar getah
bening (termasuk mediastinum dan/atau hilus), abdomen,
traktus genitourinarius, kulit, sendi, tulang dan selaput
otak.
2. Hasil pemeriksaan dahak atau bakteriologi
a. Tuberkulosis paru BTA positif, yaitu apabila : Minimal satu
dari sekurang-kurangnya dua kali pemeriksaan dahak
menunjukkan hasil positif pada laboratorium yang
memenuhi syarat quality external assurance (EQA).
Sebaiknya satu kali pemeriksaan dahak tersebut berasal
dari dahak pagi hari. Saat ini di Indonesia sudah memiliki
beberapa laboratorium yang memenuhi syarat EQA.Pada
negara atau daerah yang belum memiliki laboratorium
dengan syarat EQA, maka TB paru BTA positif adalah:
Dua atau lebih hasil pemeriksaan dahak BTA positif, atau
satu hasil pemeriksaan dahak BTA positif dan didukung
hasil pemeriksaan foto toraks sesuai dengan gambaran
TB yang ditetapkan oleh klinisi, atau satu hasil
pemeriksaan dahak BTA positif ditambah hasil kultur M.
tuberculosis positif.

17
b. Tuberkulosis paru BTA negatif, apabila: Hasil
pemeriksaan dahak negatif tetapi hasil kultur
positif. Sedikitnya dua hasil pemeriksaan dahak BTA
negatif pada laboratorium yang memenuhi syarat
EQA. Dianjurkan pemeriksaan kultur pada hasil
pemeriksaan dahak BTA negatif untuk memastikan
diagnosis terutama pada daerah dengan prevalens HIV>
1% atau pasien TB dengan kehamilan ≥ 5%ATAU
1) Jika hasil pemeriksaan dahak BTA dua kali negaif di
daerah yang belum memiliki fasilitas kultur M.tuberculosis
2) Hasil foto toraks sesuai dengan gambaran TB aktif dan
disertai salah satu di bawah ini:
a) Hasil pemeriksaan HIV positif atau secara laboratorium
sesuai HIV, atau
b) Jika HIV negatif (atau status HIV tidak diketahui atau
prevalens HIV rendah), tidak menunjukkan perbaikan
setelah pemberian antibiotik spektrum luas (kecuali
antibiotik yang mempunyai efek anti TB seperti
fluorokuinolon dan aminoglikosida).
c) Kasus Bekas TB
Hasil pemeriksaan BTA negatif (biakan juga negatif bila
ada) dan gambaran radiologi paru menunjukkan lesi TB
yang tidak aktif, atau foto serial (dalam 2 bulan)
menunjukkan gambaran yang menetap. Riwayat
pengobatan OAT adekuat akan lebih mendukung. Pada
kasus dengan gambaran radiologi meragukan dan telah
mendapat pengobatan OAT 2 bulan tetapi pada foto
toraks ulang tidak ada perubahan gambaran radiologi.

18
3. Riwayat pengobatan sebelumnya
Riwayat pengobatan sangat penting diketahui untuk melihat
risiko resistensi obat atau MDR. Pada kelompok ini perlu
dilakukanpemeriksaan kultur dan uji kepekaan OAT. Tipe
berdasarkan riwayat pengobatan sebelumnya, yaitu:
a. Pasien baru adalah pasien yang belum pernah mendapatkan
pengobatan TB sebelumnya atau sudah pernah
mendapatkan OAT kurang dari satu bulan. Pasien dengan
hasil dahak BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi
penyakit di manapun.
b. Pasien dengan riwayat pengobatan sebelumnya adalah
pasien yang sudah mendapatkan pengobatan TB
sebelumnya minimal selama satu bulan, dengan hasil dahak
BTA positif atau negatif dengan lokasi anatomi penyakit di
manapun, terdiri dari:
1) Kasus kambuh (relaps) yaitu pasien tuberkulosis yang
sebelumnya pernah mendapat pengobatan tuberkulosis dan
telah dinyatakan sembuh atau pengobatan lengkap,
didiagnosis kembali dengan BTA positif (apusan atau kultur).
2) Kasus setelah putus obat (default) yaitu pasien yang telah
berobat dan putus berobat 2 bulan atau lebih dengan BTA
positif.
3) Kasus setelah gagal (failure) yaitu pasien dengan hasil
pemeriksaan dahak tetap positif satu kembali menjadi positif
pada bulan kelima atau lebih selama pengobatan
4) Kasus pindahan (transfer in) yaitu pasien yang dipindahkan
ke register lain untuk melanjutkan pengobatannya.
5) Kasus lain yaitu semua kasus yang tidak memenuhi
ketentuan di atas, seperti yang tidak diketahui riwayat
pengobatan sebelumnya, pernah diobati tetapi tidak
diketahui hasil pengobatannya, dan kembali diobati dengan
BTA negatif.

19
C. Pengobatan Tuberkulosis
Pengobatan tuberkulosis terbagi menjadi 2 fase yaitu fase
intensif (2-3bulan) dan fase lanjutan 4 atau 7 bulan. Paduan obat
yang digunakanterdiri dari paduan obat utama dan tambahan.

Pengobatan TB standar dibagi menjadi:


1. Kategori -1 (2HRZE/4H3R3)
Diberikan pada pasien TB paru BTA positif, TB paru BTA negatif foto
toraks positif dan TB ekstra paru.
2. Kategori- 2 (2HRZES/HRZE/5HRE)
Diberikan pada pasien BTA positif yang telah diobati sebelumnya
yaitu pada pasien kambuh, gagal maupun pasien dengan
pengobatan setelah putus berobat (default).Pada pasien dengan
riwayat pengobatan TB lini pertama, pengobatan sebaiknya
berdasarkan hasil uji kepekaan secara individual.Selama menunggu
hasil uji kepekaan diberikan panduan pengobatan
2HRZES/HRZE/5HRE.HRZE merupakan obat sisipan tahap intensif
yang diberikan selama satu bulan.
3. Pasien multi-drug resistant (MDR)
Regimen standar TB MDR di Indonesia adalah: 6Z-(E)-Kn-Lfx-Eto-
Cs/ 18Z-(E)-Lfx-Eto-Cs
(Z: Pirazinamid, E: etambutol, Kn: kanamisin, Lfx: Levofloksasin, Eto:
Etionamid, Cs: Sikloserin).

20
D. Pengobatan tuberkulosis pada anak
Alur tatalaksana pasien TB anak dapat dilihat pada skema di bawah
ini.

Pada sebagian besar kasus TB anak pengobatan selama 6 bulan


cukup adekuat.Setelah pemberian obat 6 bulan, lakukan evaluasi baik klinis

21
maupun pemeriksaan penunjang.Evaluasi klinis pada TB anak merupakan
parameter terbaik untuk menilai keberhasilan pengobatan.Bila dijumpai
perbaikan klinis yang nyata walaupun gambaran radiologik tidak
menunjukkan perubahan yang berarti, OAT tetap dihentikan.
Pengobatan TB dibagi dalam 2 tahap yaitu tahap awal/intensif (2
bulan pertama) dan sisanya sebagai tahap lanjutan. Prinsip dasar
pengobatan TB adalah minimal 3 macam obat pada fase awal/intensif (2
bulan pertama) dan dilanjutkan dengan 2 macam obat pada fase lanjutan (4
bulan, kecuali pada TB berat). OAT pada anak diberikan setiap hari, baik
pada tahap intensif maupun tahap lanjutan.
Untuk menjamin ketersediaan OAT untuk setiap pasien, OAT
disediakan dalam bentuk paket.Satu paket dibuat untuk satu pasien untuk
satu masa pengobatan. Paket OAT anak berisi obat untuk tahap intensif,
yaitu Rifampisin (R), Isoniazid (H), Pirazinamid (Z); sedangkan untuk tahap
lanjutan, yaitu Rifampisin (R) dan Isoniasid (H).
Dosis
1. INH: 5-15 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 300 mg/hari
2. Rifampisin: 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari
3. Pirazinamid: 15-30 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 2 000 mg/hari
4. Etambutol: 15-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 250 mg/hari
5. Streptomisin: 15–40 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 1 000 mg/hari
Tabel Dosis KDT (R75/H50/Z150 dan R75/H50) pada anak
2 BULAN TIAP HARI 4 BULAN TIAP HARI
BERAT BADAN (KG)
RHZ (75/50/150) RH (75/50)

5-9 1 tablet 1 tablet


10-14 2 tablet 2 tablet
15-19 3 tablet 3 tablet
20-32 4 tablet 4 tablet
Keterangan:
 Bayi dengan berat badan kurang dari 5 kg dirujuk ke rumah sakit
 Anak dengan BB ≥ 33 kg , disesuaikan dengan dosis dewasa
 Obat harus diberikan secara utuh, tidak boleh dibelah
OAT KDT dapat diberikan dengan cara: ditelan secara utuh atau digerus sesaat sebelum
diminum.

22
Tabel Dosis OAT Kombipak-fase-awal/intensif pada anak
BB 10-20 KG
JENIS OBAT BB<10 KG BB 20-32 KG
(KOMBIPAK)

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

Pirazinamid 150 mg 300 mg 600 mg

Tabel Dosis OAT Kombipak-fase-lanjutan pada anak


BB 10-20 KG
JENIS OBAT BB<10 KG BB 20-32 KG
(KOMBIPAK)

Isoniazid 50 mg 100 mg 200 mg

Rifampisin 75 mg 150 mg 300 mg

Pada keadaan TB berat, baik pulmonal maupun ekstrapulmonal


seperti TB milier, meningitis TB, TB sendi dan tulang, dan lain-lain:
1. Pada tahap intensif diberikan minimal 4 macam obat (INH,
Rifampisin, Pirazinamid, Etambutol atau Streptomisin).
2. Pada tahap lanjutan diberikan INH dan Rifampisin selama 10 bulan.
3. Untuk kasus TB tertentu yaitu TB milier, efusi pleura TB, perikarditis
TB, TB endobronkial, meningitis TB dan peritonitis TB diberikan
kortikosteroid (prednison) dengan dosis 1–2 mg/kg BB/hari, dibagi
dalam 3 dosis. Lama pemberian kortikosteroid adalah 2–4 minggu
dengan dosis penuh dilanjutkan tappering off dalam jangka waktu 2–
6 minggu. Tujuan pemberian steroid ini untuk mengurangi proses
inflamasi dan mencegah terjadi perlekatan jaringan.

Perhatian: Hindarkan pemakaian streptomisin pada anak bila


memungkinkan, karena penyuntikan terasa sakit, dapat terjadi kerusakan
permanen syaraf pendengaran, dan terdapat risiko penularan HIV akibat
perlakuan yang tidak benar terhadap alat suntikan.

23
Bila skor kurang dari 6 tapi secara klinis kecurigaan mengarah ke TB
kuat maka perlu dilakukan pemeriksaan diagnostik lainnya sesuai indikasi,
seperti bilasan lambung, patologi anatomi, pungsi pleura dan lainnya.

E. Efek Samping Obat


Sebagian besar pasien TB dapat menyelesaikan pengobatan
tanpa efek samping.Namun sebagian kecil dapat mengalami efek
samping, oleh karena itu pemantauan kemungkinan terjadinya efek
samping sangat penting dilakukan selama pengobatan.Evaluasi
pasien meliputi evaluasi klinis, bakteriologi, radiologi, dan efek
samping obat serta evaluasi keteraturan berobat.

24
F. Evaluasi pengobatan
Evaluasi klinis
1. Pasien dievaluasi secara periodik
2. Evaluasi terhadap respons pengobatan dan ada tidaknya efek
samping obat serta ada tidaknya komplikasi penyakit
3. Evaluasi klinis meliputi keluhan, berat badan, pemeriksaan fisis

Evaluasi bakteriologi(0-2-6/8 bulan pengobatan)


Tujuannya adalah untuk mendeteksi ada tidaknya konversi
dahak.Pemeriksaan dan evaluasi pemeriksaan mikroskopis yaitu
pada:
1. Sebelum pengobatan dimulai
2. Setelah 2 bulan pengobatan (setelah fase intensif)
3. Pada akhir pengobatan

Evaluasi radiologi (0-2-6/8 bulan pengobatan)


Pemeriksaan dan evaluasi foto toraks dilakukan pada:
1. Sebelum pengobatan
2. Setelah 2 bulan pengobatan (kecuali pada kasus yang juga
dipikirkan kemungkinan keganasan dapat dilakukan 1 bulan
pengobatan)
3. Pada akhir pengobatan

Evaluasi pada pasien yang telah sembuh


Pasien TB yang telah dinyatakan sembuh sebaiknya tetap
dievaluasi minimal dalam 2 tahun pertama setelah sembuh.Hal ini
dimaksudkan untuk mengetahui kekambuhan.Hal yang dievaluasi
adalah mikroskopis BTA dahak dan foto toraks (sesuai indikasi/bila
ada gejala).

25
G. Pengobatan pada keadaan khusus
1. TB Ekstra Paru
a. Paduan obat 2 RHZE/ 1 0 RH
b. Prinsip pengobatan sama dengan TB paru menurut ATS,
misalnya pengobatan untuk TB tulang, TB sendi dan TB
kelenjar, meningitis pada bayi dan anak lama pengobatan 12
bulan. Pada TB diluar paru lebih sering dilakukan tindakan
bedah. Tindakan bedah dilakukan untuk mendapatkan bahan /
spesimen untuk pemeriksaan (diagnosis) serta sebagai
pengobatan (perikarditis konstriktiva: kompresi medula
spinalis pada penyakit Pott's)

26
c. Pemberian kortikosteroid diperuntukkan pada perikarditis
TBuntuk mencegah konstriksi jantung, dan pada meningits TB
untukmenurunkan gejala sisa neurologik

4. TB Paru Dengan Diabetes Melitus


a. Paduan obat: 2 RHZ(E-S)/ 4 RH dengan regulasi baik/
guladarah terkontrol
b. Bila gula darah tidak terkontrol, fase lanjutan 7 bulan :
2RHZ(E-S)/7RH
c. DM harus dikontrol
d. Hati-hati dengan penggunaan etambutol, karena efeksamping
etambutol ke mata; sedangkan penderita DM
seringmengalami komplikasi kelainan pada mata
e. Perlu diperhatikan penggunaan rifampisin akan
mengurangiefektiviti obat oral anti diabetes (sulfonil urea),
sehinggadosisnya perlu ditingkatkan
f. Perlu kontrol / pengawasan sesudah pengobatan
selesai,untuk mengontrol / mendeteksi dini bila terjadi
kekambuhan

5. TB paru dengan HIV/AIDS


a. Paduan obat yang diberikan berdasarkan rekomendasi
ATSyaitu: 2 RHZE/RH diberikan sampai 6-9 bulan
setelahkonversi dahak
b. Menurut WHO paduan obat dan lama pengobatan sama
dengan TB paru tanpa HIV / AIDS
c. Jangan berikan Thiacetazon karena dapat menimbulkantoksik
yang hebat pada kulit
d. Obat suntik kalau dapat dihindari kecuali jika
sterilisasinyaterjamin

27
e. Jangan lakukan desensitisasi OAT pada penderita HIV/AIDS
(mis INH, rifampisin) karena mengakibatkan toksikyang serius
pada hati
f. INH diberikan terus menerus seumur hidup
g. Bila terjadi MDR, pengobatan sesuai uji resistensi

6. TB Paru Pada Kehamilan Dan Menyusui


a. Tidak ada indikasi pengguguran pada penderita TB
dengankehamilan
b. OAT tetap dapat diberikan kecuali streptomisin karena efek
samping streptomisin pada gangguan pendengaran
janin(Eropa)
c. Di Amerika OAT tetap diberikan kecuali streptomisin
danpirazinamid untuk wanita hamil
d. Pada penderita TB dengan menyusui, OAT & ASI tetapdapat
diberikan, walaupun beberapa OAT dapat masuk kedalam
ASI, akan tetapi konsentrasinya kecil dan tidakmenyebabkan
toksik pada bayi
e. Wanita menyusui yang mendapat pengobatan OAT
danbayinya juga mendapat pengobatan OAT dianjurkan
tidakmenyusui bayinya, agar bayi tidak mendapat
dosisberlebihan
f. Pada wanita usia produktif yang mendapat pengobatan
TBdengan rifampisin dianjurkan untuk tidak
menggunakankontrasepsi hormonal, karena dapat terjadi
interaksi obatyang menyebabkan efektiviti obat kontrasepsi
hormonalberkurang.

7. TB paru dengan gagal ginjal


a. Jangan menggunakan OAT streptomisin, kanamisin
dancapreomycin

28
b. Sebaiknya hindari penggunaan etambutol karena waktu paruhnya
memanjang dan terjadi akumulasi etambutol. Dalam keadaan
sangat diperlukan, etambutol dapat diberikan dengan
pengawasan kreatinin
c. Sedapat mungkin dosis disesuaikan dengan faal ginjal (CCT,
Ureum, Kreatnin)
d. Rujuk ke ahli Paru

8. TB Paru Dengan Kelainan Hati


a. Bila ada kecurigaan gangguan fungsi hati, dianjurkanpemeriksaan
faal hati sebelum pengobatan
b. Pada kelainan hati, pirazinamid tidak boleh digunakan
c. Paduan Obat yang dianjurkan / rekomendasi WHO: 2SHRE/6RH
atau 2SHE/10HE
d. Pada penderita hepatitis akut dan atau klinik ikterik,sebaiknya
OAT ditunda sampai hepatitis akutnyamengalami penyembuhan.
Pada keadaan sangatdiperlukan dapat diberikan S dan E
maksimal 3 bulansampai hepatitisnya menyembuh dan dilanjutkan
dengan 6RH
e. Sebaiknya rujuk ke ahli Paru

9. Hepatitis Imbas Obat


a. Dikenal sebagai kelainan hati akibat penggunaan obat-
obathepatotoksik (drug induced hepatitis)
b. Penatalaksanaan:
1) Bila klinik (+) (Ikterik [+], gejala mual-muntah [+])→ OAT stop
2) Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan bilirubin >2 →
OAT stop
3) Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan SGOT, SGPT >5
kali → OAT stop
4) Bila klinis (+), laboratorium terdapat kelainan SGOT, SGPT >3
kali → OAT stop

29
5) Bila klinis (-), laboratorium terdapat kelainan SGOT, SGPT >3
kali, gejala (-) → teruskan pengobatan dengan pengawasan
6) Paduan OAT yang dianjurkan:
7) Stop OAT yang bersifat hepatotoksik (RHZ)
8) Setelah itu, monitor klinik dan laboratorium. Bila klinikdan
laboratorium normal kembali (bilirubin, SGOT,SGPT), maka
tambahkan H (INH) desensitisasi sampaidengan dosis penuh
(300 mg). Selama itu perhatikanklinik dan periksa laboratorium
saat INH dosis penuh, bila klinik dan laboratorium normal ,
tambahkanrifampisin, desensitisasi sampai dengan dosis
penuh(sesuai berat badan). Sehingga paduan obat
menjadiRHES
9) Pirazinamid tidak boleh digunakan lagi

30
BAB VII
LOGISTIK

Dalam manajemen program pengendalian TB, Logistic dikelompokkan


menjadi
A. Logistik OAT
Paket OAT dewasa terdapat 2 macam jenis dan kemasan yaitu:
1. Dalam bentuk Kombinasi Dosis Tetap (KDT) terdiri dari paket kategori
1, kategori 2, dan sisipan yang dikemas dalam blister berisi 28 tablet
2. Dalam bentuk obat tunggal terdiri dari rifampicin, isoniazid,
pirazinamid, dan ethambutol. Obat tunggal ini disediakan khusus
untuk mengatasi efek samping KDT
Sedangkan paket OAT anak hanya 1 macam jenis, yaitu:
Dalam bentuk kombipak terdiri dari paket kategori 1, kategori 2, dan
sisipan, yang dikemas dalam blister untuk satu dosis
B. Logistik Non OAT
Alat laboratorium terdiri dari: mikroskop, slide box, pot sputum, kaca
sediaan, rak pewarna dan pengering, lampu spirtus, ose, botol plastik
bercorong, pipet, kertas pembersih lensa mikroskop, kertas saring
Bahan diagnostik terdiri dari: reagen ziehl neelsen, eter alkohol, minyak
imersi, Lysol, tuberculin PPD RT 23

Manajemen logistik obat anti tuberkulosis (OAT) merupakan


pengelolaan logistik OAT yang meliputi fungsi perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, distribusi, dan penggunaan. Tujuannya untuk menjamin
kelangsungan dan keteraturan pengobatan pasien dengan tersedianya
OAT yang layak secara berkesinambungan.
Pengelolaan logistik meliputi fungsi perencanaan, pengadaan,
penyimpanan, distribusi dan penggunaan.
1. Perencanaan

31
a. Menyiapkan data yang dibutuhkan antara lain data pasien TB
yang diobati dan jumlah logistik yang digunakan tahun
sebelumnya, serta stok logistik yang masih bisa dipakai
b. Menghitung kebutuhan menggunakan dua pendekatan, yaitu
menggunakan metode konsumsi dan metode morbiditas atau
gabungan keduanya. Metode konsumsi adalah penghitungan
berdasarkan pemakaian tahun sebelumnya. Metode
morbiditas adalah penghitungan berdasarkan perkiraan
jumlah pasien yang akan diobati (insidensi). Perencanaan
kebutuhan setiap kategori OAT didasarkan pada jumlah
pasien yang telah diobati tahun lalu, jumlah stok yang ada
sekarang, lead time, target penemuan kasus tahun depan
2. Pengadaan
Pengadaan OAT menjadi tanggungjawab pemerintah, baik pusat
maupun daerah. OAT merupakan obat yang sangat-sangat
essensial (SSE) yang harus terjamin ketersediaannya secara
nasional.
3. Penyimpanan
a. Tersedia ruangan yang cukup untuk penyimpanan,
tersediacukup ventilasi, sirkulasi udara, pengaturan suhu dan
penerangan.
b. Aman dari pencurian, kebakaran, atau bencana alam
c. Keadaan bersih, rak tidak berdebu, lantai disapu, dan
tembokdalamkeadaan bersih
d. Setiap penerimaan dan pengeluaran barang harus tercatat
e. Penyimpanan obat harus disusun berdasarkan FEFO (First
ExpiredFirst Out) artinya obat yang kadaluwarsanya lebih awal
harus diletakkan di depan agar dapat didistribusikan lebih
awal
4. Distribusi
Permintaan kebutuhan OAT ke dinas kesehatan menggunakan
buku bantu dan nota yang disediakan di Dinkes Kubu Raya

32
5. Penggunaan
Penggunaan OAT harus dilaksanakan secara rasional mengacu
pada prosedur standar

33
BAB VIII
PENCATATAN DAN PELAPORAN

Pencatatan dan pelaporan merupakan salah satu elemen yang


sangat penting dalam sistem informasi penanggulangan TB.Untuk itu
pencatatan & pelaporan perlu dibakukan berdasar klasifikasi dan tipe
penderita. Semua unit pelaksana program penanggulangan TB harus
melaksanakan suatu sistem pencatatan dan pelaporan yang baku.
Rumah Sakit Umum Meutia dalam melaksanakan pencatatan dapat
menggunakan formulir sebagai berikut:
1. Daftar tersangka penderita (suspek) yang diperiksa dahak SPS (TB.06)
2. Formulir permohonan laboratorium TB untuk pemeriksaan dahak
(TB.05)
3. Kartu pengobatan TB (TB.01)
4. Kartu identitas penderita (TB.02)
5. Formulir rujukan/pindah penderita (TB.09)
6. Formulir hasil akhir pengobatan dari penderita TB pindahan (TB.10)

Rumah Sakit Umum Meutia diharuskan melakukan pencatatan


semua kegiatan yang dilaksanakan dan tidak diwajibkan membuat laporan.
Petugas TB Kota Banda Aceh akan mengambil data yang dibutuhkan dan
mengisi dalam buku Register TB Kota Banda Aceh (Form TB.03) sebagai
bahan laporan yang pelaksanaannya dilakukan secara rutin. Rumah Sakit
Umum Meutia yang banyak penderitanya dapat menggunakan buku
pencatatan seperti Buku Register TB Kota Banda Aceh (TB.03), tetapi
untuk nomor register diisi sesuai dengan nomor register kota.
Laboratorium yang melakukan pewarnaan dan pembacaan sedian
dahak BTA menggunakan formulir pencatatan sebagai berikut:
1. Register Laboratorium TB (Formulir TB.04)
2. Formulir Permohonan Laboratorium TB Untuk Pemeriksaan Dahak
(TB.05) bagian bawah (mengisi hasil pemeriksaan)

34
BAB IX
KESELAMATAN PASIEN

Mengacu pada sasaran keselamatan pasien di rumah sakit yaitu :


1. Ketepatan identifikasi pasien
2. Peningkatan komunikasi yang efektif
3. Peningkatan keamanan obat yang perlu diwaspadai
4. Kepastian tepat lokasi, tepat prosedur, tepat pasien operasi
5. Pengurangan resiko infeksi terkait pelayanan kesehatan
6. Pengurangan resiko pasien cedera jatuh

35
BAB X
KESELAMATAN KERJA

Agar tidak terjadi infeksi silang maka dilakukan upaya pencegahan dan
pengendalian infeksi melalui komponen kewaspadaan standar meliputi:
1. Cuci tangan
2. APD (sarung tangan, masker, pelindung mata dan wajah, gaun/apron)
3. Peralatan perawatan pasien
4. Pengendalian lingkungan
5. Penanganan linen
6. Penanganan limbah
7. Kesehatan karyawan
8. Penempatan pasien
9. Penyuntikan yang aman
10. Batuk efektif

36
BAB XI
PENGENDALIAN MUTU

Pemantauan dan evaluasi merupakan salah satu fungsi manajemen


untuk menilai keberhasilan pelaksanaan program.Pemantauan
dilaksanakan secara berkala dan terus-menerus, untuk dapat segera
mendeteksi bila ada masalah dalam pelaksanaan kegiatan yang telah
direncanakan, sehingga dapat dilakukan tindakan perbaikan segera.
Evaluasi dilakukan setiap satu tahun sekali untuk dapat menilai
sejauh mana target tercapai, melalui beberapa indikator yang telah
ditentukan. Hasil evaluasi sangat berguna untuk kepentingan perencanaan
dan pengembangan program.

37
BAB XII
PENUTUP

Pada dasarnya pelayanan TB DOTS baik di rawat jalan maupun di


rawat inap merupakan bagian pelayanan di Rumah Sakit Umum Meutia
tidak saja membutuhkan keterampilan teknis medis ataupun asuhan
keperawatan saja, tetapi unsur pengelolaan/manajemen pelayanan juga
sangat mempengaruhi keberhasilan pelayanan ini. Dimana masing-masing
pihak terkait dapat memahami perannya yang selanjutnya akan melakukan
pelayanan sesuai kriteria yang telah ditetapkan.
Telah disusun suatu Pedoman Pelayanan Tuberkulosis di Rumah
Sakit Umum Meutia sebagai acuan untuk melaksanakan dan mengelola
pelayanan kesehatan tuberkulosis di ruang lingkup Rumah Sakit Umum
Meutia.

Ditetapkan : di Banda Aceh


Pada Tanggal : 2022
Direktur Rumah Sakit Umum Meutia,

dr. Arief Tirtana Putra, M. Si

38

Anda mungkin juga menyukai