Anda di halaman 1dari 19

Laporan Praktikum

Laboratorium Teknik Material 1


Modul F Uji Impak
oleh :

Nama : Bagas Indrasyach Pratama


NIM : 13715038
Kelompok :7
Anggota (NIM) : 1. Henri Haryadi (13714050)
2. Bagas Indrasyah (13715038)
3. Nicholas Dariel (13715041)
4. Elais Hafsah Jauhari. (13715049)
5. Aldi Sulthan Fauzi (13715061)

Tanggal Praktikum : Selasa, 21 Maret 2017


Tanggal Penyerahan Laporan : Sabtu, 25 Maret 2017
Nama Asisten (NIM) : Jonathan Sebastian (13713002)

Laboratorium Metalurgi dan Teknik Material


Program Studi Teknik Material
Fakultas Teknik Mesin dan Dirgantara
Institut Teknologi Bandung
2017
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Uji impak merupakan teknik yang digunakan untuk
mengkarakterisasi patahan material yang sulit dilakukan pada uji tarik
khususnya untuk material yang memiliki transisi deformasi yang sangat
kecil. Pada pengujian impak ini beban diayunkan dari ketinggian tertentu
dan mengenai spesimen uji kemudian diukur energi yang diserap oleh
spesimen.
Ketika perang dunia II terjadi fenomena yang aneh yaitu kapal
perang jerman dan tank T-2 mengalami patah getas. Dari fenomena tersebut,
fokus utama tertuju pada baja ringan yang seharusnya mengalami patah ulet
berubah menjadi patah getas pada kondisi tertentu. Sehingga dilakukan
penelitian untuk mengetahui penyebab fenomena tersebut, lalu didapat fakta
bahwa sifat mekanik suatu material akan berubah signifikan pada
temperature tertentu. Fenomena tersebut kini dikenal dengan kegagalan
akibat beban impak.

1.2 Tujuan Praktikum


1. Menentukan pengaruh temperatur terhadap ketangguhan beban
impak material ST 37 dan Alumunium.
2. Menentukan ketangguhan beban impak dari ST 37 dan
Alumunium.
BAB II
TEORI DASAR

Pada percobaan kali ini dilakukan uji impak dengan spesimen baja dan
alumunium dengan standar ASTM E23 dengan metode charpy. Pada metode ini
peletakan spesimen dilakukan secara mendatar dengan takikan membelakangi arah
tumbukan striking edge. Sebenarnya terdapat dua metode yang sering digunakan
untuk uji impak yaitu charpy dan izod. Metode charpy lebih sering digunakan
karena energi dari beban pendulum yang hilang akibat tahanan dari peletak
spesimen lebih kecil dari pada metode izod. Pada pengujian kali ini kita
mengunakan metode Charpy, karena pada pengujian ini energi yang digunakan
seluruhnya digunakan untuk memberikan beban kepada spesimen. Posisi peletakan
spesimen pada metode yang kita gunakan ini digambarkan sebagai berikut :

Gambar 2.1. Pengujian Impak metode Charpy dan Izod

Sedangkan pada metode izod peletakan spesimen diletakkan secara vertical


serta dimensi panjang spesimen yang digunakan lebih besar. Berikut ini merupakan
arah datangnya beban pada metode charpy dan izod :
Gambar 2.2. Arah Datangnya Pendulum Uji Impak metode Charpy dan Izod

Pada dasarnya prinsip kerja uji impak hanyalah pengukuran energi yang
diserap oleh spesimen sehingga spesimen tersebut patah. Pada pengujian kali ini
kita gunakan beban pendulum untuk mematahkan spesimen. Dari sini terlihat
adanya perbedaan ketinggian pendulum sebelum menumbuk spesimen dan setelah
menumbuk spesimen. Semua energi yang hilang tersebut diasumsikan merupakan
energi yang diserap atau energi yang diperlukan untuk mematahkan spesimen
tersebut. Pada keadaan sebenarnya tidak semua energi yang hilang tersebut diserap
spesimen karena ada sebagian energi yang hilang karena adanya tahanan spesimen,
untuk itu dalam pengujian ini kita pilih metode charpy yang karena besarnya energi
yang hilang akibat tahanan spesimen yang menghambat pendulum dapat
diminimalisir. [1]

Gambar 2.3. Alat Uji Impak dengan metode Charpy


Untuk mengetahui patahan suatu material tersebut merupakan patah ulet
atau patah getas kita lakukan pengamatan permukaan patahan spesimen. Spesimen
yang ulet permukaan patahannya akan berserabut, sedangkan spesimen getas akan
mengkilap. Jika patahan berserat, yaitu patahan yang disebabkan oleh pergeseran
pada batas butirnya atau disebut trans granular dalam logam ulet (ductile). Patahan
ditandai dengan permukaan yang berserat dan membentuk shear lips yang
disebabkan oleh pembebanan triaxial. Selain itu patahan juga menyerap cahaya
sehingga berwarna buram.
Sedangkan jika material mengalami patah getas, yaitu patahan yang
dihasilkan oleh mekanisme pembelahan pada butirnya atau disebut intergranular.
[2] Patahan ini ditandai dengan permukaan yang datar dan mampu memberikan
pantulan cahaya sehingga akan nampak mengkilat. Selain itu juga terdapat patahan
yang memiliki jenis campuran, patahannya memiliki kriteria kombinasi antara
patah berserat dan inter granular. Berikut ini merupakan contoh gambar spesimen
yang patah ulet dan getas :

Gambar 2.4. Permukaan patahan spesimen ulet dan getas

Faktor-faktor yang mempengaruhi bentuk patahan dari suatu material yaitu :


1. Temperatur
Jika temperature sangat rendah, suatu material dapat bersifat getas.
Hal ini disebabkan karena butiran-butiran atom spesimen bervibrasi
sehingga kemungkinan besar terjadi slip pada atom-atom penyusunnya.
2. Kecepatan pembebanan
Jika dilakukan pembebanan secara cepat (rapid loading) maka
spesimen hanya memiliki waktu yang sedikit untuk menyerap energi
sehingga berpengaruh pada harga impak yang berbeda pada kecepatan yang
berbeda.
3. Bentuk takikan
Bentuk takikan amat berpengaruh pada ketangguhan suatu material,
karena adanya perbedaan distribusi dan konsentrasi tegangan pada masing-
masing takikan tersebut mengakibatkan energi impak yang dimilikinya
berbeda-beda pula. Ada 3 jenis bentuk takikan yaitu :
 Takikan segitiga
 Takikan segi empat
 Takikan setengah lingkaran

Hasil dari uji charpy yaitu untuk memilih material yang tahan terhadap
patah getas dengan menggunakan kurva temperature peralihan. Dapat kita
golongkan temperature peralihan menjadi 3 golongan yaitu :
1. FCC materials
Material jenis ini memiiki ketangguhan takik yang tinggi sehingga
patah getas bukan menjadi suatu persoalan masalah. Dapat menyerap
energy yang besar berapapun nilai temperaturnya.
2. High-strenght materials
Material jenis ini memiliki ketangguhan getas yang rendah sehingga
dapat terjadi patah getas di daerah elastis pada berapapun nilai
temperature dan laju regangan-nya. Pada suhu tinggi terjadi perpatahan
dengan menyerap energi yang rendah sedangkan pada suhu rendah
terjadi patahan getas.
3. Low-strenght bcc materials
Material jenis ini sangat tergantung pada temperatur, pada suhu
rendah terjadi patahan getas namun pada suhu tinggi terjadi patahan ulet.
Jadi terdapat peralihan dari patahan getas menjadi patahan ulet apabila
suhu dinaikkan. Contoh material ini yaitu keramik.
Gambar 2.5. Kurva Energi yang diserap dengan Temperatur untuk kategori logam

Kriteria suhu peralihan tiap sudut pandang orang berbeda-beda, terdapat 3


macam kriteria suhu peralihan yaitu :
1. FTP (Fracture Transition Plastic)
Temperatur di mana perpatahan akan mengalami perubahan benda
dari ulet sempurna menjadi patah getas. Penggunaan kriteria FTP pada
berbagai penerapan dianggap kurang praktis.
2. FATT (Fracture-Appearance Transition Temperature)
Kriteria lain yang kurang konservatif adalah berdasarkan suhu
peralihan di mana terjadi perpatahan 50% ulet dan 50% getas,
ditunjukkan oleh T2 pada kurva.
3. NDT (Nill Ductility Temperature)
Kriteria lainnya yang didefinisikan penentuan suhu transisi
berdasarkan suhu T5 dimana terjadi patah getas sempurna atau 100%
getas. Titik ini dikenal sebagai suhu tanpa keuletan atau Nill Ductility
Temperature (NDT).
Gambar 2.6. Kurva variasi temperatur peralihan
BAB III
DATA PERCOBAAN DAN PENGOLAHAN DATA

3.1 Data Percobaan


Tabel 3.1 Data Uji Impak Pada Material Alumunium

No T(oC) h(mm) p(mm) l(mm) t(mm) A(mm2) E(J)


1 -40 7,95 62,16 9,93 9,95 78,9435 36
2 -20 7,95 62,91 9,92 9,95 78,864 45
3 25,5 7,95 63,82 9,97 9,95 79.2615 28
4 40 7,95 62,29 9,92 9,95 78,8604 52
5 80 7,89 63,28 9,90 9,89 78,111 80

Tabel 3.2 Data Uji Impak Pada Material Baja ST-37

No T(oC) h(mm) p(mm) l(mm) t(mm) A(mm2) E(J)


1 -40 7,70 62,02 9,63 9,70 74,151 5
2 -20 7,66 62,41 9,49 9,66 72,6934 10
3 25,5 7,59 62,34 9,48 9,59 71,953 166
4 40 7,48 62,72 9,45 9,48 70,686 211
5 80 7,66 61,45 9,56 9,66 73,2296 190

3.2 Pengolahan Data


Dari data percobaan akan didapat nilai Harga Impak (HI). Harga Impak
adalah jumlah energy yang mampu diserap oleh suatu material tiap satuan luas.
Kita dapat menghitung dengan menggunakan persamaan :
𝐸
HI = 𝐴

Dimana :
HI = harga impak (J/𝑚𝑚2 )
E = energi yang diserap oleh spesimen (Joule)
A = luas penampang spesimen (𝑚𝑚2 )
Tabel 3.3 Hasil Pengolahan Data Uji Impak Pada Material Alumunium

Nomor Temperatur Energi, E Luas Kekuatan


Spesimen (◦C) (joule) Penampang, Impak, HI
Alumunium A (mm2) (joule/mm2)
1 -40 5 78,9435 0,456
2 -20 10 78,864 0,571
3 25,5 166 79.2615 0,353
4 40 211 78,8604 0,659
5 80 190 78,111 1,024

Tabel 3.4 Hasil Pengolahan Data Uji Impak Pada Material Baja ST37

Nomor Temperatur Energi (joule) Luas Kekuatan


Spesimen (◦C) Penampang Impak, HI
Baja ST37 (mm2) (joule/mm2)
1 -40 4 74,151 0,067
2 -20 16 72,6934 0,138
3 25,5 185 71,953 2,307
4 40 200 70,686 2,985
5 80 213 73,2296 2,595

Dari data pengolahan pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4, maka kita dapat
membuat kurva Energy Absorbed terhadap Temperatur sebagai berikut :
Gambar 3.1. Kurva energi serap terhadap temperature pada Baja

Gambar 3.2. Kurva energi serap terhadap temperature pada Aluminium

Dari hasil percobaan dapat ditentukan jenis patahan yang terjadi pada
spesimen melalui pengamatan permukaan patahan yang terjadi pada spesimen.
Berikut merupakan gambar permukaan patahan baja dan aluminium :
Gambar 3.3. Permukaan patahan spesimen baja

Gambar 3.4. Permukaan patahan spesimen aluminium


BAB IV

ANALISIS DATA

Pada pengujian impak kali ini digunakan dua jenis material standar ASTM
E23 yaitu baja ST37 dan Aluminium. Pada kedua jenis spesimen ini masing-masing
dilakukan perlakuan panas, dingin, dan pada temperature kamar. Salah satu masing-
masing baja dan Alumunium dipanaskan pada temperature 40 oC dan 80 oC dengan
menggunakan heater, kemudian salah satu masing-masing baja dan Alumunium
didinginkan pada temperature -40 oC dan -20 oC dengan menggunakan nitrogen cair.
Lalu 1 spesimen masing-masing pada suhu kamar yaitu 25,5 oC.
Berdasarkan literature baja memiliki struktur Kristal BCC dan cenderung
memiliki sifat getas karena jumlah bidang slip sedikit hanya 8 buah. Sedangkan
alumunium memiliki struktur kristal FCC dan cenderung bersifat ulet karena
jumlah bidang slip banyak yaitu 12 buah. Berdasarkan pengujian dapat disimpulkan
bahwa dengan adanya kenaikan temperature maka membuat baja yang harusnya
patah getas menjadi patah ulet, jadi baja memiliki temperature transisi. Sedangkan
alumunium ketika dipanaskan maka akan memiliki patahan yang bersifat lebih ulet
disbanding awal, jadi aluminium tidak memiliki temperatur transisi.
Berdasarkan hasil pengujian dapat kita simpulkan bahwa semakin tinggi
harga impak dari suatu material, maka akan semakin aman untuk digunakan
terutama untuk benda yang prinsip kerja nya mengalami beban impak dan material
tersebut akan semakin ulet.
Jika dibandingkan, harga impak spesimen baja pada temperatur tinggi yaitu
diatas 0 oC lebih tinggi dari pada aluminium. Sedangkan pada temperature rendah
yaitu dibawah 0 oC spesimen baja lebih rendah dari pada aluminium. Jadi dapat kita
simpulkan bahwa baja lebih baik dalam menyerap energi pada temperatur tinggi
dibandingkan dengan aluminium. Sedangkan pada temperature rendah aluminium
lebih baik dalam menyerap energi dari pada baja. Pada temperatur tinggi baja akan
memiliki sifat ulet sedangkan pada temperatur rendah baja akan bersifat getas.
Hasil pengujian yang didapatkan mengenai baja sesuai dengan literature
dimana baja sama-sama memiliki temperatur transisi. Pada aluminium pun juga
sudah sesuai literatur dimana sama-sama tidak memiliki temperatur transisi.
Bentuk patahan pada spesimen baja dan alumunium didapat bahwa seluruh
aluminium yang ditreatment dengan pendinginan, pemanasan, dan pada suhu kamar
mengalami patah ulet. Pada Aluminiium, spesimen nomor 1 mengalami patah ulet
karena permukaannya tidak rata, sedangkan spesimen nomor 2,3,4, dan 5 tidak
patah sehingga menunjukkan spesimen tersebut mengalami deformasi plastis dan
bersifat ulet.
Pada spesimen baja, spesimen yang ditreatment dengan pemanasan dan
pada suhu kamar tidak patah sehingga dapat disimpulkan spesimen uji baja nomor
1,2,dan 3 berdeformasi plastis dan bersifat ulet. Sedangkan pada spesimen yang
ditreatment dengan pendinginan yaitu spesimen uji baja nomor 4 dan 5 menglami
patah getas karena permukaan patahannya cenderung rata.
BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

5.1 Kesimpulan

1. Semakin besar temperature pengujian maka ketangguhan material terhadap


beban impak akan semakin besar, sedangkan semakin menurun temperatur
maka ketangguhan terhadap beban impak semakin menurun.
2. Aluminium memiliki ketangguhan terhadap beban impak yang tidak
dipengaruhi oleh temperatur jadi dapat disimpulkan tidak memiliki
temperatur transisi. Sehingga material Aluminium lebih baik digunakan
karena sifatnya yang lebih stabil disbanding material baja.
3. Baja ST 37 memiliki ketangguhan impak yang dipengaruhi oleh temperatur
yang ditandai dengan adanya temperatur transisi (pada pengujian kali ini
adalah 40oC). Namun baja st 37 memiliki ketangguhan impak yang lebih
tinggi dari pada alumunium pada temperature tinggi yaitu diatas 0◦C.

5.2 Saran

Pada saat peletakan spesimen ke alat uji praktikan harus melakukannya


dengan lebih cepat apalagi ketika ditreatment pendinginan karena temperatur cepat
berubah dan agar sesuai dengan temperatur yang akan kita uji.
DAFTAR PUSTAKA

[1] http://materialteknikafcoo19.blogspot.co.id/2015/01/praktikum.html. Diakses


pada 24 maret 2017 pukul 22.15 WIB

[2] http://widimaterial.blogspot.co.id/2015/03/laporan-praktikum-pengujian-
mekanik_69.html. diakses pada 24 maret 2017 pukul 22.15 WIB

Callister, William D. “Materials and Science Engineering An Introduction”, 6th


edition. John Wiley & Sons, Inc. 2003.

Hibbeler, R.C. “Mechanics of Material”, 7th ed.,page:355, Prentice-Hall, Inc.,


Singapore, 2008.

Modul Praktikum MT2205 – Laboratorium Teknik Material I.


LAMPIRAN

Tugas Setelah Praktikum

1. Buatlah kurva yang menghubungkan antara Temperatur dengan energi yang


diserap oleh spesimen, baik Aluminium dan baja secara digital!
2. Tentukan temperatur transisi dari kedua material tersebut! Apakah
kegunaan temperatur transisi suatu material? Jelaskan dengan baik dan
tepat!
3. Buatlah analisis mengenai bentuk patahan untuk semua spesimen!

Jawab :

1. Jawaban soal nomer satu terdapat pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2 pada
Bab III pengolahan data.
2. Pada percobaan kali ini dapat dilihat dalam grafik, bahwa temperatur
transisi dari Baja ST – 37 adalah : 40oC. Sedangkan pada Aluminium tidak
memiliki temperatur transisi karena memilki struktur kristal FCC.
Kegunaan temperatur transisi pada pengaplikasiannya adalah untuk
mengetahui batas kondisi penggunaan material apakah akan mengalami
patah ulet ataupun getas dan mengantisipasi terjadinya kegagalan material
yang tidak diinginkan.
3. Jawaban soal nomer tiga tentang analisis bentuk permukaan patahan dapat
dilihat pada bab IV analisis data.
Tugas Tambahan Praktikum

1. Sistem bidang dan arah slip FCC dan BCC berapa?


2. Pengaruh hot roll terhadap temperatur transisi metode charpy?

Jawab :

1. Slip pada FCC yaitu bidang slip nya {111}, arah slip nya <110>, dan
memiliki 12 sistem slip. Sedangkan pada BCC yaitu bidang slip nya {110}
{123} {112}, arah slip nya <111>, dan memiliki 48 sistem slip.

FCC BCC

2. Pada metode charpy, pengaruh arah hot roll yaitu apabila jumlah butir yang
searah dengan arah pengerollan semakin sedikit maka akan menurunkan
nilai temperatur transisi, efek diameter butir juga berpengaruh apabila
diameter butir semakin kecil terhadap arah pengerollan maka temperature
transisi juga semakin kecil.
Data Percobaan

Anda mungkin juga menyukai