Pada percobaan kali ini dilakukan uji impak dengan spesimen baja dan
alumunium dengan standar ASTM E23 dengan metode charpy. Pada metode ini
peletakan spesimen dilakukan secara mendatar dengan takikan membelakangi arah
tumbukan striking edge. Sebenarnya terdapat dua metode yang sering digunakan
untuk uji impak yaitu charpy dan izod. Metode charpy lebih sering digunakan
karena energi dari beban pendulum yang hilang akibat tahanan dari peletak
spesimen lebih kecil dari pada metode izod. Pada pengujian kali ini kita
mengunakan metode Charpy, karena pada pengujian ini energi yang digunakan
seluruhnya digunakan untuk memberikan beban kepada spesimen. Posisi peletakan
spesimen pada metode yang kita gunakan ini digambarkan sebagai berikut :
Pada dasarnya prinsip kerja uji impak hanyalah pengukuran energi yang
diserap oleh spesimen sehingga spesimen tersebut patah. Pada pengujian kali ini
kita gunakan beban pendulum untuk mematahkan spesimen. Dari sini terlihat
adanya perbedaan ketinggian pendulum sebelum menumbuk spesimen dan setelah
menumbuk spesimen. Semua energi yang hilang tersebut diasumsikan merupakan
energi yang diserap atau energi yang diperlukan untuk mematahkan spesimen
tersebut. Pada keadaan sebenarnya tidak semua energi yang hilang tersebut diserap
spesimen karena ada sebagian energi yang hilang karena adanya tahanan spesimen,
untuk itu dalam pengujian ini kita pilih metode charpy yang karena besarnya energi
yang hilang akibat tahanan spesimen yang menghambat pendulum dapat
diminimalisir. [1]
Hasil dari uji charpy yaitu untuk memilih material yang tahan terhadap
patah getas dengan menggunakan kurva temperature peralihan. Dapat kita
golongkan temperature peralihan menjadi 3 golongan yaitu :
1. FCC materials
Material jenis ini memiiki ketangguhan takik yang tinggi sehingga
patah getas bukan menjadi suatu persoalan masalah. Dapat menyerap
energy yang besar berapapun nilai temperaturnya.
2. High-strenght materials
Material jenis ini memiliki ketangguhan getas yang rendah sehingga
dapat terjadi patah getas di daerah elastis pada berapapun nilai
temperature dan laju regangan-nya. Pada suhu tinggi terjadi perpatahan
dengan menyerap energi yang rendah sedangkan pada suhu rendah
terjadi patahan getas.
3. Low-strenght bcc materials
Material jenis ini sangat tergantung pada temperatur, pada suhu
rendah terjadi patahan getas namun pada suhu tinggi terjadi patahan ulet.
Jadi terdapat peralihan dari patahan getas menjadi patahan ulet apabila
suhu dinaikkan. Contoh material ini yaitu keramik.
Gambar 2.5. Kurva Energi yang diserap dengan Temperatur untuk kategori logam
Dimana :
HI = harga impak (J/𝑚𝑚2 )
E = energi yang diserap oleh spesimen (Joule)
A = luas penampang spesimen (𝑚𝑚2 )
Tabel 3.3 Hasil Pengolahan Data Uji Impak Pada Material Alumunium
Tabel 3.4 Hasil Pengolahan Data Uji Impak Pada Material Baja ST37
Dari data pengolahan pada Tabel 3.3 dan Tabel 3.4, maka kita dapat
membuat kurva Energy Absorbed terhadap Temperatur sebagai berikut :
Gambar 3.1. Kurva energi serap terhadap temperature pada Baja
Dari hasil percobaan dapat ditentukan jenis patahan yang terjadi pada
spesimen melalui pengamatan permukaan patahan yang terjadi pada spesimen.
Berikut merupakan gambar permukaan patahan baja dan aluminium :
Gambar 3.3. Permukaan patahan spesimen baja
ANALISIS DATA
Pada pengujian impak kali ini digunakan dua jenis material standar ASTM
E23 yaitu baja ST37 dan Aluminium. Pada kedua jenis spesimen ini masing-masing
dilakukan perlakuan panas, dingin, dan pada temperature kamar. Salah satu masing-
masing baja dan Alumunium dipanaskan pada temperature 40 oC dan 80 oC dengan
menggunakan heater, kemudian salah satu masing-masing baja dan Alumunium
didinginkan pada temperature -40 oC dan -20 oC dengan menggunakan nitrogen cair.
Lalu 1 spesimen masing-masing pada suhu kamar yaitu 25,5 oC.
Berdasarkan literature baja memiliki struktur Kristal BCC dan cenderung
memiliki sifat getas karena jumlah bidang slip sedikit hanya 8 buah. Sedangkan
alumunium memiliki struktur kristal FCC dan cenderung bersifat ulet karena
jumlah bidang slip banyak yaitu 12 buah. Berdasarkan pengujian dapat disimpulkan
bahwa dengan adanya kenaikan temperature maka membuat baja yang harusnya
patah getas menjadi patah ulet, jadi baja memiliki temperature transisi. Sedangkan
alumunium ketika dipanaskan maka akan memiliki patahan yang bersifat lebih ulet
disbanding awal, jadi aluminium tidak memiliki temperatur transisi.
Berdasarkan hasil pengujian dapat kita simpulkan bahwa semakin tinggi
harga impak dari suatu material, maka akan semakin aman untuk digunakan
terutama untuk benda yang prinsip kerja nya mengalami beban impak dan material
tersebut akan semakin ulet.
Jika dibandingkan, harga impak spesimen baja pada temperatur tinggi yaitu
diatas 0 oC lebih tinggi dari pada aluminium. Sedangkan pada temperature rendah
yaitu dibawah 0 oC spesimen baja lebih rendah dari pada aluminium. Jadi dapat kita
simpulkan bahwa baja lebih baik dalam menyerap energi pada temperatur tinggi
dibandingkan dengan aluminium. Sedangkan pada temperature rendah aluminium
lebih baik dalam menyerap energi dari pada baja. Pada temperatur tinggi baja akan
memiliki sifat ulet sedangkan pada temperatur rendah baja akan bersifat getas.
Hasil pengujian yang didapatkan mengenai baja sesuai dengan literature
dimana baja sama-sama memiliki temperatur transisi. Pada aluminium pun juga
sudah sesuai literatur dimana sama-sama tidak memiliki temperatur transisi.
Bentuk patahan pada spesimen baja dan alumunium didapat bahwa seluruh
aluminium yang ditreatment dengan pendinginan, pemanasan, dan pada suhu kamar
mengalami patah ulet. Pada Aluminiium, spesimen nomor 1 mengalami patah ulet
karena permukaannya tidak rata, sedangkan spesimen nomor 2,3,4, dan 5 tidak
patah sehingga menunjukkan spesimen tersebut mengalami deformasi plastis dan
bersifat ulet.
Pada spesimen baja, spesimen yang ditreatment dengan pemanasan dan
pada suhu kamar tidak patah sehingga dapat disimpulkan spesimen uji baja nomor
1,2,dan 3 berdeformasi plastis dan bersifat ulet. Sedangkan pada spesimen yang
ditreatment dengan pendinginan yaitu spesimen uji baja nomor 4 dan 5 menglami
patah getas karena permukaan patahannya cenderung rata.
BAB V
5.1 Kesimpulan
5.2 Saran
[2] http://widimaterial.blogspot.co.id/2015/03/laporan-praktikum-pengujian-
mekanik_69.html. diakses pada 24 maret 2017 pukul 22.15 WIB
Jawab :
1. Jawaban soal nomer satu terdapat pada Gambar 3.1 dan Gambar 3.2 pada
Bab III pengolahan data.
2. Pada percobaan kali ini dapat dilihat dalam grafik, bahwa temperatur
transisi dari Baja ST – 37 adalah : 40oC. Sedangkan pada Aluminium tidak
memiliki temperatur transisi karena memilki struktur kristal FCC.
Kegunaan temperatur transisi pada pengaplikasiannya adalah untuk
mengetahui batas kondisi penggunaan material apakah akan mengalami
patah ulet ataupun getas dan mengantisipasi terjadinya kegagalan material
yang tidak diinginkan.
3. Jawaban soal nomer tiga tentang analisis bentuk permukaan patahan dapat
dilihat pada bab IV analisis data.
Tugas Tambahan Praktikum
Jawab :
1. Slip pada FCC yaitu bidang slip nya {111}, arah slip nya <110>, dan
memiliki 12 sistem slip. Sedangkan pada BCC yaitu bidang slip nya {110}
{123} {112}, arah slip nya <111>, dan memiliki 48 sistem slip.
FCC BCC
2. Pada metode charpy, pengaruh arah hot roll yaitu apabila jumlah butir yang
searah dengan arah pengerollan semakin sedikit maka akan menurunkan
nilai temperatur transisi, efek diameter butir juga berpengaruh apabila
diameter butir semakin kecil terhadap arah pengerollan maka temperature
transisi juga semakin kecil.
Data Percobaan