Anda di halaman 1dari 13

HUBUNGAN STIGMA DENGAN KUALITAS HIDUP

PASIEN KUSTA RAWAT JALAN DI PUSKESMAS


WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA

NASKAH PUBLIKASI

Oleh:

ROHAYANIH
NIM. 151420144106189

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN S1


SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN HARAPAN BANGSA
PURWOKERTO
2017
2
HUBUNGAN STIGMA DENGAN KUALITAS HIDUP PASIEN KUSTA RAWAT
JALAN DI PUSKESMAS WILAYAH KABUPATEN PURBALINGGA
Rohayanih1), Adiratna Sekar Siwi2), Madyo Maryoto3)
123
Prodi Keperawatan S1, STIKes Harapan Bangsa Purwokerto
1
Email: Rohayanihtriwahyu@g.mail.com
2
Email: Adiratna Siwi@g.mail.com
3
Email: Madyo Maryoto81@yahoo.com

Abstract

Leprosy is an infectious disease caused by Mycobacterium leprae that first attacks the peripheral
nerve system, skin, mucosa (mouth), upper respiratory tract, endothelial reticulo system, eyes,
muscle, bone and testes. Psychosocial problems arising in leprosy patients are more prominent than
the medical problem itself because of the stigma and leprophobia influenced by misinformation
about leprosy. Leprosy patients tend to close themselves, reduce social activities, feel depressed
and ashamed for treatment so that it will affect the life quality level. To know the relation of stigma
to the quality of life of leprosy outpatients in Purbalingga District Public Health Center. The
research used descriptive correlative method with cross sectional survey design. Sampling used
total sampling. There ara 45 respondents of leprosy patients in this research. The data comes from
leprosy registers in the Purbalingga District Health Office in 2016, WHOQOL-BREF questionnaire
and EMIC questionnaire. There is relationship of stigma to the quality of life of outpatients in
Purbalingga District Public Health Center with p value = 0,001 (p <0,05). Most leprosy patients in
Purbalingga District are 46-60 years old, male, elementary school graduation, 0 (zero) level defect,
having low stigma about leprosy and good quality of life.

Keywords: Quality of Life, Stigma, Leprosy

PENDAHULUAN Penyakit kusta tersebar diseluruh dunia


dengan endemisitas yang berbeda-beda.
Kusta merupakan penyakit tertua yang Indikator yang digunakan untuk menilai situasi
diketahui manusia dan sudah hampir 2000 kusta dalam suatu wilayah adalah jumlah
tahun sebelum masehi. Hal ini dapat diketahui penemuan kasus baru atau New Case Detection
dari catatan tulisan peninggalan sejarah dari Rate (NCDR) per 100.000 penduduk. Angka
Mesir, Tiongkok dan Mesopotamia, namun penularan kusta di dunia masih terjadi dan
tulisan yang memberikan gambaran kusta yang menjadi masalah kesehatan masyarakat ditandai
sebenarnya dicatat di India pada tahun 600 dengan masih ditemukannya 14.059 kasus baru
sebelum masehi (Pedoman Konseling Kusta, yang terdaftar pada tahun 2015 (WHO Weekly
Kemenkes RI 2011). Penyakit kusta merupakan Epidemical Record, 2016).
penyakit tropis yang masih terabaikan dengan Indonesia merupakan wilayah Asia
angka kejadiannya yang masih tinggi, dari lima Tenggara dengan angka kasus yang tinggi,
wilayah WHO (World Health Organization) sampai saat ini masih ada 14 Propinsi
Asia Tenggara menduduki tingkat pertama diantaranya yaitu Jawa Timur, Jawa Barat,
yaitu dengan jumlah penderita sebanyak 8.572 Jawa Tengah dan Sulawesi Selatan melaporkan
orang (WHO, 2016). lebih dari 1000 kasus kusta per tahun. Sampai
tahun 2010 Indonesia masih merupakan negara

3
ketiga di dunia dengan kasus kusta yang Masalah psikososial yang timbul pada penderita
tertinggi (Kemenkes RI, 2011). kusta lebih menonjol dibandingkan masalah
Menurut World Health Organization medis itu sendiri. Hal ini disebabkan oleh
Weekly Epidemiological Report (2016), selama adanya stigma dan leprofobi yang banyak
tahun 2015 terdapat 20.160 kasus baru di dipengaruhi oleh berbagai paham dan informasi
Indonesia dengan 14.545 kasus teridentifikasi yang keliru mengenai penyakit kusta. Sikap dan
sebagai kasus kusta tipe Multi Basiler (MB) perilaku masyarakat yang negatif terhadap
yang merupakan tipe menular. Dari data kasus penderita kusta seringkali menyebabkan
kusta baru tipe MB tahun 2015 tersebut 6.421 penderita kusta merasa tidak mendapat tempat
kasus diantaranya diderita kaum perempuan, di keluarganya dan lingkungan masyarakat
sebanyak 1.930 kasus diderita oleh anak-anak (Kemenkes RI, 2011).
sedangkan sisanya merupakan kasus kusta pada Kondisi penemuan penderita di Kabupaten
orang dewasa laki-laki yaitu sebanyak 6.194 Purbalingga dengan proporsi cacat tingkat 2
kasus. yang tinggi menandakan keterlambatan dalam
Data kementerian kesehatan menyebutkan penemuan dini penderita kusta sehingga
pada tahun 2012 tercatat New Case Detection menyebabkan penderita seringkali tidak dapat
Rate (NCDR) 8,3 per 100.000 penduduk dengan menerima kenyataan bahwa penderitanya
tipe pembagian NCDR tipe MB (Multi Basiler) mengalami penyakit kusta. Akibatnya penderita
dan tipe PB (Pausi Basiler). Di wilayah Jawa kusta akan berusaha untuk menyembunyikan
Tengah pada tahun 2014 dilaporkan tipe MB keadaannya sebagai orang yang menderita
sebanyak 1.252 kasus dan tipe PB sebanyak kusta. Hal ini tidak menunjang proses
207 kasus (Dinkes Jateng, 2015). pengobatan dan kesembuhan, sebaliknya akan
Kabupaten Purbalingga berada dalam memperbesar risiko timbulnya cacat.
peringkat ke-20 dari 35 Propinsi di Jawa Akibatnya penderita cacat kusta cenderung
Tengah untuk penemuan kasus kusta. Data yang hidup menyendiri dan mengurangi kegiatan
diperoleh dari Dinas Kesehatan Kabupaten sosial dengan lingkungan sekitar, tergantung
Purbalingga pada tahun 2014 terdapat 28 kasus kepada orang lain, merasa tertekan dan malu
baru dengan keadaan penderita kusta diakhir untuk berobat. Dari segi ekonomi penderita
pengobatan adalah RFT (Release From kusta cenderung mengalami keterbatasan
Treatment) sebanyak 23 orang, meninggal ataupun ketidakmampuan dalam bekerja
dunia 2 orang, Drop out 1 orang dan pindah 2 maupun mendapat diskriminasi untuk
orang. Data tahun 2015 terdapat 24 kasus baru mendapatkan hak dan kesempatan untuk
dengan angka prevalensi 0,3/10.000 penduduk, mencari nafkah akibat keadaan penyakitnya
dari 24 kasus baru tersebut proporsi penderita sehingga kebutuhan hidup tidak dapat
kusta tipe MB sebesar 98,9 % dan 6,9 % terpenuhi, apalagi mayoritas penderita kusta
merupakan kasus anak serta proporsi cacat berasal dari kalangan ekonomi menengah ke
tingkat 2 sebesar 29,2 %. bawah, padahal penderita kusta memerlukan
Kusta merupakan penyakit yang erat perawatan lanjut sehingga memerlukan biaya
kaitannya dengan stigma, dimana hal tersebut perawatan. Hal-hal tersebut yang akhirnya akan
menimbulkan dampak psikologis bagi pasien, mempengaruhi tingkat kualitas hidup
keluarganya dan masyarakat, bahkan pada (Linpakarnjanarat, 2011).
orang yang pernah mengalami penyakit
tersebut. Stigma akan menyebabkan pasien METODE
menyembunyikan diri sehingga terlambat Penelitian ini menggunakan metode
diobati dan akan menjadi sumber penularan
penelitian deskriptif korelatif dengan rancangan
bagi orang lain. Pasien yang terlambat diobati
juga akan besar kemungkinan menderita cacat survey cross sectional. Tehnik pengambilan
dan kondisi ini akan semakin memperburuk sampel menggunakan total sampling sebanyak
gambaran masyarakat terhadap orang yang 47 responden. Pengumpulan data dengan
mengalami kusta (Kemenkes RI, 2011). kuisioner EMIC dan WHOQOL-BREF yang

4
kemudian dianalisia dengan program computer. Tabel 2 Distribusi Frekuensi Stigma
Uji statistik yang digunakan yaitu uji Chi Penderita Kusta Rawat Jalan Di
square. Puskesmas Wilayah Kabupaten
Purbalingga Tahun 2017
HASIL Stigma Frekuensi Persentase (%)
1. Gambaran Karakteristik Responden Tinggi 40 78,9
Kusta Rawat Jalan Di Puskesmas Rendah 5 21,1
Jumlah 45 100
Wilayah Kabupaten Purbalingga.
Tabel 1 Gambaran Karakteristik
Responden Kusta Rawat Di Puskesmas Tabel 2 menunjukan sebagian
Wilayah Kabupaten Purbalingga Tahun besar responden yaitu sebanyak 40
2017 orang mempunyai stigma rendah
Karakteristik Jumlah (n) Persentase tentang kusta.
Individu (%)
Umur
3. Gambaran Kualitas Hidup Penderita
18-25 tahun 6 13,6
26-45 tahun 16 35,6 Kusta Rawat Jalan Di Puskesmas
46-60 tahun 23 51,1 Wilayah Kabupaten Purbalingga.
Jenis Kelamin Tabel 3 Distribusi Frekuensi Kualitas
Laki-laki 28 62,2 Hidup Penderita Kusta Rawat Jalan Di
Perempuan 17 37,8
Puskesmas Wilayah Kabupaten
Tingkat
Pendidikan Purbalingga Tahun 2017
Tidak tamat Kualitas Frekuensi Persentase
SD 16 35,6 Hidup (%)
Tamat SD 17 35,6 Kurang 10 22,2
Tamat SLTP 8 17,6 Baik 35 77,8
Tamat SLTA 3 6,6 Jumlah 45 100
D3/S1 1 1,2
Tingkat Tabel 3 menunjukan sebagian besar
kecacatan
responden memiliki kualitas hidup baik
Cacat tingkat 0 20 44,4
Cacat tingkat 1 16 35,6 yaitu sebanyak 35 orang (77,8%)
Cacat tingkat 2 9 20
4. Hubungan Antara Stigma Dengan
Karakteristik responden dalam Kualitas Hidup Penderita Kusta Rawat
penelitian yaitu sebagian besar Jalan Di Puskesmas Wilayah
penderita kusta berusia 46-60 tahun Kabupaten Purbalingga.
sebanyak 23 orang (51,1%), jenis Penderita kusta dengan stigma
kelamin laki-laki sebanyak 28 orang rendah sebagian besar memiliki kualitas
(62,2%), tingkat pendidikan tamat SD hidup baik yaitu sejumlah 34 orang
sebanyak 17 orang (37,8%) dan tingkat (85,00%), lebih besar dibandingkan
kecacatan kusta kategori tingkat 0 dengan yang terstigma rendah dengan
sebanyak 20 orang (44,4%). kualitas hidup kurang yaitu sebanyak 6
orang (15,00%). Penderita kusta dengan
2. Gambaran Stigma Penderita Kusta stigma tinggi mayoritas memiliki
Rawat Jalan Di Puskesmas Wilayah kualitas hidup kurang yaitu sejumlah 4
Kabupaten Purbalingga. orang (80,00%), sisanya yaitu sebanyak

5
1 orang (20,00%) memiliki kualitas diketahui (Depkes RI, 2006).
hidup baik. Berdasarkan hasil uji Umumnya penderita kusta di
statistik diperoleh nilai X2 = 25,368 Kabupaten Purbalingga merantau
keluar kota pada usia dewasa dan
dengan p value = 0,001 ( p value < 0,05
kembali ke Purbalingga setelah
), maka Ho ditolak. Sehingga dapat muncul gejala penyakit kusta setelah
disimpulkan ada hubungan yang memasuki usia lanjut (>45 tahun),
signifikan antara stigma dengan kualitas keterlambatan penegakan diagnosa
hidup pada penderita kusta rawat jalan kusta pada penderita ditunjukan
di Puskesmas Wilayah Kabupaten dengan tingginya penemuan penderita
Purbalingga. cacat tingkat 2 yaitu sebesar 20%
sedangkan target angka nasional <5%.
Penelitian terhadap penderita
PEMBAHASAN
kusta di kabupaten Lembata Nusa
1. Karakteristik Penderita Kusta Rawat
Tenggara Timur menyatakan bahwa
Jalan Di Puskesmas Wilayah
umur penderita kusta yang berusia 41-
Kabupaten Purbalingga.
60 tahun sebesar 38,3% dan usia lebih
Berdasarkan hasil penelitian
dari 60 tahun adalah 23,1%, penelitian
didapatkan gambaran umur penderita
lain oleh Ulfa (2015) terhadap
kusta terbanyak adalah usia 46-60
penderita kusta di Puskesmas Wilayah
tahun yaitu sejumlah 23 orang
Jember Jawa Timur menyatakan
(51,1%), ini menunjukan bahwa
karakteristik responden terbanyak
sebagian besar penderita kusta di
adalah usia 40-59 tahun yaitu sebanyak
Wilayah Kabupaten Purbalingga
55%, hal ini menunjukan kesamaan
berusia lansia pertengahan (middle
dengan karakteristik umur penderita
age). Hal ini mungkin disebabkan
kusta di Kabupaten Purbalingga yaitu
kurangnya pengetahuan tentang tanda
sebagian besar penderita adalah usia
dan gejala awal penyakit kusta, pada
lanjut. Berbeda dengan penelitian di
umumnya responden tidak mengetahui
Kota Tanggerang yang menyatakan
bahwa dirinya menderita kusta dan
sebagian penderita kusta berusia 18-40
informasi terkait penyakit kusta
tahun (usia produktif), selain itu
didapat dari petugas kesehatan di
Solikhah (2016) dalam penelitiannya
Puskesmas atau rumah sakit.
terhadap penderita kusta di Kabupaten
Menurut Harahap (2013) gejala
Sukoharjo menyatakan sebagian
klinik penyakit kusta biasanya
karakteristik umur penderita adalah
menunjukan gejala yang jelas pada
usia produktif 31-40 tahun yaitu
stadium lanjut dan diagnosa cukup
sebesar 40% sedangkan usia 41-50
ditegakkan dengan pemeriksaan fisik
tahun sebesar 28,6%. Kusta diketahui
saja. Selain itu rata-rata timbul gejala
terjadi pada semua umur berkisar
sejak pertama kali terinfeksi (masa
antara bayi sampai umur tua (3 minggu
inkubasi) adalah 2-5 tahun (Kemenkes
sampai lebih dari 70 tahun) tetapi yang
RI,2011). Pada penyakit kronik seperti
terbanyak adalah pada umur muda dan
kusta, informasi berdasarkan data
produktif (Depkes RI,2006).
prevalensi dan data umur pada saat
Karakteristik responden menurut
timbulnya penyakit mungkin tidak
jenis kelamin ditemukan bahwa
menggambarkan resiko spesifik umur.
sebagian penderita kusta sebanyak 28
Kebanyakan penelitian melaporkan
orang (62,2%) berjenis kelamin laki-
distribusi penyakit kusta menurut umur
laki, lebih besar persentasenya
berdasarkan prevalensi, hanya sedikit
dibandingkan dengan jenis kelamin
yang berdasarkan insiden karena pada
perempuan yaitu sebanyak 17 orang
saat timbulnya penyakit sangat sulit

6
(37,8%). Berdasarkan pengkajian data pada negara tersebut ternyata tidak
pada kartu pengobatan kusta yang menularkan kepada orang yang sosial
terdapat di Puskesmas umumnya ekonominya tinggi (Depkes RI, 2006).
penderita kusta berjenis kelamin laki- Penelitian lain oleh Making et al (2008)
laki memiliki riwayat merantau keluar menunjukan tingkat pendidikan
kota dan berinteraksi dengan orang- responden sebagian adalah tingkat SD
orang yang berasal dari daerah endemis yaitu sebanyak 51,2% dan menurut
kusta dan terpapar oleh bakteri kusta, Solikhah (2016) sebanyak 51,43%
sehingga mayoritas penderita kusta di responden kusta di Kabupaten
Kabupaten Purbalingga berjenis Sukoharjo hanya mengenyam
kelamin laki-laki. pendidikan sampai tingkat SD.
Data jumlah kasus dan prevalensi Pendidikan yang rendah merupakan
kusta menurut jenis kelamin di Propinsi salah satu faktor kurangnya
Jawa Tengah tahun 2014 menyatakan pengetahuan penderita terhadap
bahwa penderita kusta berjenis kelamin penyakit kusta, sehingga penderita tidak
laki-laki lebih besar dari perempuan memahami gejala awal dan akibat
yaitu sebanyak 1.341orang laki-laki buruk yang ditimbulkan penyakit kusta.
dan 772 orang perempuan, ini Berdasarkan hasil penelitian
menunjukan bahwa di Propinsi Jawa sebagian penderita kusta sebanyak 20
Tengah prevalensi penyakit kusta orang (44,4%) mengalami kecacatan
secara umum lebih banyak diderita oleh tingkat 0. Penderita kusta di
laki-laki. Penelitian oleh Making et al Wilayah Kabupaten Purbalingga
(2008) terhadap penderita kusta di seluruhnya merupakan penderita kusta
Kabupaten Lembata Nusa Tenggara tipe MB (multi basiler) dimana tipe ini
Timur menunjukan penderita kusta merupakan tipe kusta yang lebih berat
sebagian besar adalah laki-laki yaitu dari tipe PB (pausi basiler), namun
sebanyak 64,1%, selain itu penelitian di mayoritas dari 45 orang responden
Kabupaten Jember menunjukan yaitu sebanyak 20 orang hanya
penderita kusta laki-laki sebesar 70% menderita cacat tingkat 0, sedangkan
hampir dua kali lipat penderita sebanyak 16 orang mengalami cacat
perempuan (Ulfa, 2015). Harahap tingkat 1 dan sisanya sebanyak 9 orang
(2013) menyatakan bahwa distribusi mengalami cacat tingkat 2. Banyaknya
penyakit kusta dapat mengenai semua penderita kusta tipe MB dengan cacat
orang tetapi laki-laki lebih banyak tingkat 0 dimungkinkan karena faktor
terkena dibandingkan perempuan keteraturan berobat, seperti telah
dengan perbandingan 2:1. diketahui lama pengobatan kusta tipe
Karakteristik responden MB adalah satu tahun dimana
berdasarkan tingkat pendidikan diperlukan keteraturan dan disiplin
sebagian penderita kusta di Kabupaten penderita kusta dalam menjalankan
Purbalingga mengenyam pendidikan pengobatan.
sampai tamat SD yaitu sebanyak 17 Penelitian oleh Prastiwi (2010) di
orang (37,8%). Hal ini menunjukan rumah sakit kusta Kediri Jawa Timur
sebagian besar responden berstatus mengenai faktor-faktor yang
sosial ekonomi rendah. Sudah diketahui berhubungan dengan cacat tingkat 2
bahwa faktor sosial ekonomi berperan pada penderita kusta menunjukan
penting dalam kejadian kusta. Hal ini bahwa terdapat hubungan antara
terbukti pada negara-negara di Eropa, diagnosa dini, kepatuhan berobat,
dengan peningkatan sosial ekonomi reaksi kusta, luka akibat kusta dan lama
maka kejadian kusta sangat cepat sakit dengan kejadian cacat tingkat 2
menurun bahkan hilang. Kasus kusta pada penderita kusta. Beberapa faktor

7
yang berpengaruh terhadap kecacatan orang. Hal ini menunjukan adanya
pada penderita kusta diantaranya adalah penerimaan diri yang baik dari
tipe kusta, pengetahuan, lama sakit dan responden maupun keluarga, selain itu
keteraturan berobat (Laoming. K et al, umumnya responden mengatakan
2015), hal ini didukung dengan masyarakat disekitar tempat tinggal dan
penelitian yang dilakukan oleh teman-temannya tidak mengetahui
Eliningsih (2010) di Kabupaten Tegal bahwa dirinya menderita kusta
bahwa terdapat hubungan antara tipe sehingga tetangga penderita kusta di
kusta dengan kecacatan, besarnya Wilayah Kabupaten Purbalingga tidak
peluang tipe MB untuk menimbulkan memberikan stigma yang negatif
cacat dibandingkan tipe PB dikaitkan kepada responden sehingga
dengan ditemukannya Basil Tahan dimungkinkan berakibat pada sebagian
Asam (BTA) pada tipe MB, sedangkan besar penderita kusta di Wilayah
pada tipe PB tidak ditemukan (negatif). Kabupaten Purbalingga terstigma
Berbeda dengan penelitian yang rendah.
dilakukan oleh Saputri (2009) yang Menurut ILEP (2011) proses
meneliti kejadian cacat tingkat 2 di terjadinya stigma berawal dari pemberian
Kampung rehabilitasi rumah sakit kusta label kepada seseorang yang kemudian
Donorojo Jepara yang menyatakan menjadi pemisahan “kita” dan “mereka”
bahwa faktor yang berhubungan dengan kemudian terjadi kehilangan status
kejadian cacat tingkat 2 adalah hingga munculnya diskriminasi, stigma
pengetahuan penderita tentang berawal dari luar penderita (enacted
kecacatan, sikap penderita terhadap stigma) dimana orang yang menderita
kecacatan, perilaku pencegahan cacat kusta dianggap sangat menular,
penderita kusta, jenis kelamin, kemudian akan muncul stigma dari dalam
pendapatan, keteraturan berobat, diri penderita (self stigma) atau disebut
kelambatan berobat dan reaksi kusta juga stigma internal yaitu ketika
sedangkan faktor yang tidak seseorang telah terstigma atau merasakan
berhubungan dengan kejadian cacat stigma yang lama, penderita akan mulai
tingkat 2 pada penderita kusta adalah percaya apa yang orang lain katakan dan
tingkat pendidikan dan jenis kusta. berfikir tentang orang lain tersebut,
2. Gambaran Stigma Penderita Kusta akibatnya penderita mengalami
Rawat Jalan Di Puskesmas Wilayah kehilangan harga diri dan martabat, dan
Kabupaten Purbalingga. rasa malu, rasa takut, putus asa dan rasa
Dari hasil penelitian didapatkan bersalah. Jika orang lain tidak
gambaran stigma pasien kusta yaitu mengetahui bahwa seseorang menderita
sebanyak 40 responden (78,2%) kusta maka orang tersebut tidak akan
mempunyai stigma rendah, sedangkan memberikan perlakuan yang berbeda
sebanyak 5 responden (21,1%) sehingga stigma yang terdapat dalam diri
mempunyai stigma tinggi. Hasil penderita kusta (self stigma) menjadi
tersebut menunjukkan bahwa sebagian rendah. Penelitian di Kecamatan
besar penderita memiliki stigma yang Sumber Kabupaten Rembang Jawa
rendah tentang kusta. Berdasarkan Tengah oleh Ertiandani (2013) mengenai
penelitian dengan menggunakan penerimaan diri penderita kusta dan
kuesioner Explanatory Model Interview anggota keluarga penderita kusta dengan
Catalog (EMIC) sebagian besar menggunakan metode kualitatif deskriptif
penderita kusta di Kabupaten mengenai penerimaan diri penderita
Purbalingga menceritakan tentang kusta dan anggota keluarga penderita
penyakit yang dideritanya kepada kusta terkait dengan stigma dan
keluarga terdekat yaitu sebanyak 35 pengetahuan yang dimiliki tentang kusta.

8
Sebagian besar penderita kusta di dan sisanya terdapat 2 orang yang
Kecamatan Sumber memiliki mengalami cacat tingkat 0.
pengetahuan terbatas tentang kusta, Penderita kusta di Kabupaten
kekurangtahuan ini disatu sisi membawa Purbalingga umumnya memiliki skor
dampak positif yaitu penderita lebih kualitas hidup yang baik hal ini
mudah menerima penyakitnya dan dimungkinkan selain faktor tingkat
menjalani pengobatan. Selain itu kecacatan (cacat tingkat 0 sebesar 44,4%)
penelitian di Kecamatan Sumber ini juga akibat adanya persepsi individu
memberikan kesimpulan bahwa semakin yang positif dari masing-masing individu
kecil stigma di masyarakat tentang kusta yang tertuang dalam alat ukur kualitas
maka penerimaan diri penderita dan hidup dari WHOQOL-BREF, sesuai
anggota keluarga penderita semakin definisi yang dikemukakan oleh
meningkat. Penderita yang menerima O’Connor (1993) dalam Nofitri (2009)
dirinya akan berusaha mencari yaitu dalam mempersepsikan posisi
pengobatan ke pusat layanan kesehatan kehidupannya saat ini, individu melihat
seperti rumah sakit atau Puskesmas, seberapa jauh perbedaan antara kondisi
bersedia menjalani pengobatan dan kehidupannya saat ini dengan kondisi
beraktifitas seperti biasa, sedangkan kehidupan yang diinginkan. Menurut
penderita yang memiliki penerimaan diri Efklides (2013) kualitas hidup
yang buruk cenderung tidak merespon merupakan mekanisme yang terdiri dari
penyakitnya dengan membiarkan perspektif psikologi yang positif,
penyakit kusta semakin parah. Penderita khususnya emosi positif dan kekuatan
kusta yang menutupi penyakitnya yang berkontribusi terhadap kehidupan
menganggap remeh tanda-tanda kusta yang lebih bahagia, lebih sehat, lebih
pada tubuhnya dianggap sebagai penyakit sukses bahkan dalam menghadapi
kulit biasa sehingga terjadi dampak yang kesulitan. Dengan adanya persepsi
lebih parah pada tubuhnya. Penerimaan individu yang positif menyebabkan
keluarga terhadap penderita kusta sangat penderita kusta di Kabupaten
berperan dalam proses penyembuhan dan Purbalingga dapat menerima dirinya dan
mempengaruhi penerimaan diri penderita mau menjalani pengobatan hingga tuntas,
kusta karena keluarga merupakan dengan demikian tingkat kesehatan
komunitas terdekat para penderita. Selain penderita kusta di Kabupaten
itu para tetangga penderita kusta di Purbalingga dapat semakin ditingkatkan
Kecamatan Sumber tidak memberikan dan hal ini akan berimbas pada
pandangan negatif kepada penderita peningkatan kualitas hidup penderita
kusta. kusta itu sendiri.
3. Gambaran Kualitas Hidup Penderita Berdasarkan hasil penelitian yang
Kusta Rawat Jalan Di Puskesmas tertuang dalam kuesioner WHOQOL-
Wilayah Kabupaten Purbalingga. BREF nilai rata-rata skor tinggi (>50)
Hasil penelitian menunjukkan bahwa kualitas hidup penderita kusta di
lebih dari separuh penderita kusta yaitu Kabupaten Purbalingga berada pada
sebanyak 35 orang (77,8%) memiliki domain psikologi yaitu sebanyak 37
kualitas hidup baik, lebih tinggi responden. Domain kesejahteraan
persentasenya dibandingkan dengan yang psikologis meliputi: body image dan
memiliki kualitas hidup kurang yaitu appearance yang menggambarkan
sebanyak 10 orang (22,2%). Dari 10 bagaimana individu memandang keadaan
orang yang memiliki skor kualitas hidup tubuh dan penampilannya, perasaan
kurang sebanyak 6 orang yang negatif atau perasaan yang tidak
mengalami cacat tingkat 1, terdapat 2 menyenangkan dari individu, perasaan
orang yang mengalami cacat tingkat 2 positif atau perasaan menyenangkan yang

9
dimiliki individu, self esteem yaitu penderita kusta di Wilayah Kabupaten
melihat bagaimana individu menilai atau Purbalingga.
menggambarkan dirinya sendiri dan Adanya stigma yang rendah dalam
gambaran kognitif individu yang diri penderita kusta berakibat munculnya
memungkinkan untuk berkonsentrasi, psikologi yang positif, disamping itu
belajar dan menjalankan fungsi kognitif tingginya dukungan keluarga serta
lainnya. Hal ini menunjukan adanya keterlibatan aktif petugas dari Puskesmas
persepsi subyektif yang positif dan menyebabkan penderita kusta di Wilayah
penerimaan diri yang baik dalam diri Kabupaten Purbalingga bersedia
responden. menjalani pengobatan secara teratur
Penelitian kualitas hidup yang sesuai program, hal ini dapat
terbaru oleh Mazziya et al (2016) meminimalisasi tingkat kecacatan dan
berbasis Health Model Belief (HBM) meningkatkan kualitas hidup penderita
terhadap penderita kusta di Wilayah kusta. Umumnya penderita kusta di
Surabaya Utara menunjukan 83,3% Kabupaten Purbalingga tetap
penderita kusta memiliki kualitas hidup melanjutkan aktifitas sehari-hari yaitu
baik, persepsi individu, kerentanan dan bekerja, bersekolah (bagi yang masih
keseriusan menjadi faktor yang mengenyam pendidikan) dan mengikuti
mempengaruhi kualitas hidup penderita kegiatan sosial dalam lingkungannya.
kusta. Berbeda dengan penelitian yang Penelitian di kota Tanggerang oleh
dilakukan terhadap penderita kusta di Rahayuningsih (2012) terhadap penderita
Brazil dengan menggunakan instrumen kusta di Puskesmas Kedaung Wetan
WHOQOL-BREF yang menunjukan skor menunjukan adanya hubungan antara
rata-rata kualitas hidup penderita kusta perceived stigma dengan kualitas hidup
lebih rendah dan dipengaruhi oleh penderita kusta yaitu penderita yang
keterbatasan aktifitas yang dimiliki terstigma tinggi memiliki kualitas hidup
(Victor et al, 2015). yang lebih rendah dibandingkan dengan
4. Hubungan Stigma Dengan Kualitas yang terstigma rendah dan skor kualitas
Hidup Penderita Kusta Rawat Jalan Di hidup pada semua domain penilaian baik
Puskesmas Wilayah Kabupaten fisik, psikologis, sosial dan lingkungan
Purbalingga umumnya kurang. Sedangkan penelitian
Hasil penelitian menunjukkan di Kabupaten Tembalang Nusa Tenggara
bahwa penderita kusta dengan stigma Tengah menunjukan sebagian besar
rendah sebagian besar memiliki kualitas penderita kusta (82,1%) memiliki
hidup baik yaitu sejumlah 34 orang kualitas hidup yang baik dan stigma yang
(85,00%), lebih besar dibandingkan rendah dimana sebagian besar
dengan yang terstigma rendah memiliki masyarakat Lembata menganggap
kualitas hidup kurang sebanyak 6 orang penyakit kusta sebagai penyakit biasa
(15,00%). Sedangkan penderita kusta lainnya yang sering terjadi.
dengan stigma tinggi mayoritas memiliki Tsutsumi et al (2007) menyatakan
kualitas hidup kurang yaitu sejumlah 4 adanya hubungan yang erat antara stigma
orang (80,00%), sisanya yaitu sebanyak dari dalam diri penderita kusta dengan
1 orang (20,00%) memiliki kualitas penurunan kualitas hidup. Menurut
hidup baik. Berdasarkan hasil uji statistik Linpakarnjanarat (2011) kusta
diperoleh nilai X2 = 25,368 dengan p merupakan penyakit yang erat kaitannya
value = 0,001 ( p value < 0,05 ), maka dengan stigma dimana hal tersebut
Ho ditolak. Sehingga dapat disimpulkan menimbulkan dampak psikologis bagi
ada hubungan yang signifikan antara penderita, keluarga dan masyarakat,
stigma dengan kualitas hidup pada bahkan pada orang yang pernah
mengalami penyakit Penderita kusta yang

10
terstigma akan menyembunyikan atau KESIMPULAN
menyangkal penyakitnya yang berakibat Sebagian besar penderita kusta rawat
pada keterlambatan pengobatan dan jalan di Puskesmas Wilayah Kabupaten
meningkatkan terjadinya kecacatan yang Purbalingga berusia 46-60 tahun
berakibat pada penurunan kualitas (51,1%), berjenis kelamin laki-laki
hidupnya (Kemenkes RI,2011). Penderita (62,2%), berpendidikan tamat SD
kusta yang tidak terstigma memiliki (37,8%) dan mengalami cacat kusta
harapan positif yang berarti memiliki kategori tingkat 0.
keyakinan bahwa mereka masih dapat Sebagian besar penderita kusta
hidup nyaman dan dapat sembuh dari memiliki stigma rendah tentang kusta
penyakitnya, perasaan senang dan (78,9%), memiliki kualitas hidup baik
mampu menikmati hidup ini yang (77,8%) dan terdapat hubungan antara
meningkatkan kualitas hidup penderita, stigma dengan kualitas hidup penderita
karena pada dasarnya kualitas hidup kusta rawat jalan di Puskesmas Wilayah
berhubungan dengan kepuasan hidup, Kabupaten Purbalingga (p value=0,001)
kebahagiaan, moral dan kesehatan
(Making et al, 2008). SARAN
Kualitas hidup penderita kusta 1. Bagi responden
dipengaruhi oleh stigma dan diskriminasi Diharapkan penderita kusta dapat
yang kadang diterima oleh penderita, mempertahankan psikologi positif
kusta dianggap sebagai masalah yang dimiliki dan semakin
kesehatan yang cukup spesial karena meningkatkan kualitas hidup yang
kecacatan permanen yang dapat lebih baik dalam menunjukan
ditimbulkan berakibat penderitanya peranan diri terhadap lingkungan
mendapat cap yang buruk dari sosialnya.
masyarakat. Meskipun kemajuan 2. Bagi perawat
perawatan medis telah mampu Diharapkan petugas kesehatan lebih
mengurangi kejadian kusta secara drastis meningkatkan kompetensi dalam
di negara berkembang namun efeknya mengenal gejala dini penyakit kusta,
masih dirasakan terus menerus karena memberikan asuhan keperawatan
adanya kecacatan akibat penanganan secara komprehensif dan
yang terlambat. Adanya pandangan meningkatkan mutu pelayanan
negatif bahwa kusta tidak dapat khususnya yang berkaitan dengan
disembuhkan dan dapat menular, tidak pengendalian pengobatan dan
hanya pada orang yang berpendidikan perawatan/pencegahan cacat akibat
rendah tetapi juga pada orang yang penyakit kusta serta melibatkan
berpendidikan tinggi masih berperilaku peranan keluarga dalam perawatan
menjauhi penderita kusta. Pengalaman penderita kusta.
psikososial yang negatif ini dapat 3. Bagi Puskesmas dan Dinas
mempengaruhi kualitas hidup penderita Kesehatan Kabupaten
kusta, karena semakin seseorang merasa Sebagai bahan masukan dalam
diterima oleh lingkungannya maka akan pelaksanaan program
meningkatkan pandangan positif terhadap penanggulangan penyakit kusta
dirinya, meningkatkan perasaan berharga yaitu dengan melakukan kegiatan
dan pada akhirnya memiliki perasaan intervensi terkait stigma penderita
mampu berperan dalam kehidupan kusta dan stigma dari masyarakat
sehari-hari (Ulfa, 2015). terhadap penyakit kusta, diantaranya
penyebarluasan informasi mengenai
penyakit kusta dengan cara
melakukan penyuluhan kepada

11
masyarakat, pembuatan leaflet dan Propinsi Jawa Tengah. Semarang.
media penyuluhan lain. Dinas Kesehatan Propinsi Jawa
Mempertahankan peran aktif Tengah
petugas dalam memonitor
pengobatan dan selalu melaksanakan Efklides, A. 2013. A Positive Psychology
Preventif Of Disability (POD) setiap Perspective On Quality Of Life. Edisi
kali penderita berkunjung ke 1. Springer. Netherlands
Puskesmas untuk mencegah
kecacatan lebih lanjut dan Eliningsih, D. 2010. Faktor Yang Berhubungan
memberikan konseling yang sangat Dengan Kecacatan Pada Penderita
diperlukan oleh penderita kusta. Kusta Di Kabupaten Tegal. Jurnal.
4. Bagi peneliti selanjutnya Volume 18. No. 2
Diharapkan penelitian ini dapat Ertiandani, P. 2013. Penerimaan Diri Penderita
memotivasi peneliti selanjutnya Dan Anggota Keluarga Penderita
untuk meningkatkan kualitas hidup Kusta Di Keacamatan Sumber
penderita kusta dan menurunkan Kabupaten Rembang Provinsi Jawa
stigma baik dalam diri penderita Tengah. Jurnal. Departemen
maupupun stigma yang ada di Antropologi Fakultas Ilmu Sosial Dan
masyarakat mengenai penyakit kusta Ilmu Politik. Universitas Airlangga.
serta menggali faktor-faktor yang Surabaya
berhubungan dengan kejadian cacat
tingkat 2 pada penderita kusta, perlu Harahap, M. 2013. Ilmu Penyakit Kulit. Edisi 1,
dipertimbangkan pula untuk
menggunakan metode observasi dan Hipokrates. Jakarta
wawancara sehingga diperoleh hasil
yang lebih baik. International Federation of Anti-Leprosy
Association/ILEP. 2011. Guidelines
To Reduce Stigma. Edisi 1, London
DAFTAR PUSTAKA
Kemenkes RI. 2011. Pedoman Konseling
Departemen Kesehatan RI. 2006. Buku
Kusta. Kementrian Kesehatan RI
Pedoman Nasional Pemberantasan
Penyakit Kusta. Edisi 8. Dirjen Direktorat Jenderal Pengendalian
Pengendalian Penyakit Dan Penyakit dan Penyehatan Lingkungan.
Penyehatan Lingkungan. Jakarta Jakarta

Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga. 2015. Linpakarnjanarat, K. 2011. Enchanced Global


Profil Kesehatan Kabupaten Stategy for Futher Reducing The
Purbalingga tahun 2014. Dinas Desease Burden due to Leprosy 2010-
Kesehatan Kabupaten Purbalingga 2015. WHO. Geneva
Dinas Kesehatan Kabupaten Purbalingga. 2016. Making, M, Aulawi, K, Warsini, S. 2008.
Laporan Situasi Kusta di Kabupaten Gambaran Kualitas Hidup Penderita
Purbalingga. Dinas Kesehatan Kusta Di Kabupaten Lembata. Jurnal.
Kabupaten Purbalingga Program Studi Ilmu Keperawatan. FK
UGM. Yogyakarta
Dinas Kesehatan Propinsi Jawa Tengah. 2015.
Profil Kesehatan Kabupaten/kota Mazziya, N, Nursalam, N, Mariyanti, H. 2016.
Jumlah Angka dan Prevalensi Kualitas Hidup Penderita Kusta
Penyakit Kusta Menurut Tipe/jenis, Berbasis Teori Health Belief Model
Jenis Kelamin dan Kabupaten/kota

12
(HBM). Indonesian Nursing Journal Victor, S, Oliveira, LS, Castro, FDD, Gois-
Of Education And Clinic. Volume 1 Santos. VT, Lemos, LMD, Ribeiro,
MdCO. 2015. Functional Activity
Nofitri, NFM. 2009. Gambaran Kualitas Hidup Limitation And Quality Of Life Of
Penduduk Dewasa Pada Lima Leprosy Cases In an Endemic Area In
Wilayah Di Jakarta . FPsi UI. Skripsi. Notrheastern Brazil. PLOS. Neglected
Jakarta Tropical Disease 9 (7). Journal.
University Of Tennessee. United State
Prastiwi, T. 2010. Faktor-Faktor Yang
Berhubungan Dengan Cacat Tingkat World Health Organization/WHO. 2016.
II Pada Penderita Kusta Di Rumah Global Leprosy Update. Weekly
Sakit Kusta Kediri Jawa Timur. Epidemiological Record no. 35, 405-
Skripsi. Perpustakaan Universitas 420
Airlangga. Surabaya

Rahayuningsih, E. 2012. Analisis Kualitas


Hidup Penderita Kusta Di Puskesmas
Kedaung Wetan Kota Tanggerang
Tahun 2012. Tesis. FKM UI

Saputri, R. 2009. Faktor-Faktor Yang


Berhubungan Dengan Kejadian Cacat
Tingkat 2 Di Kampung Rehabilitasi
Rumah Sakit Kusta Donorojo Jepara
Tahun 2008. Skripsi. Fakultas Ilmu
Kesehatan Masyarakat. Universitas
Negeri. Semarang

Solikhah, A. 2016. Hubungan Tingkat


Pengetahuan Tentang Kusta Dengan
Perawatan Diri Penderita Kusta Di
Wilayah Kabupaten Sukoharjo.
Jurnal. Fakultas Ilmu Kesehatan.
Universitas Muhammadiyah Surakarta

Tsutsumi, A, Izutsu. T, Akramul. I, Amed. J.U,


Nakahara. S. 2004. Depressive status
of Leprosy Patient in Bangladesh:
Association with self-perception of
stigma. Pubmed Jurnal Vol.75 (1) 57-
66

Ulfa, F. 2015. Kualitas Hidup Orang Yang


Pernah Menderita Kusta (OYPMK)
Studi Kasus Di Wilayah Kerja
Puskesmas Jenggawah Dan Wilayah
Kerja Puskesmas Kemuningsari Kidul
Kabupaten Jember. Skripsi. Fakultas
Kesehatan Masyarakat. Universitas
Jember. Jawa Timur

13

Anda mungkin juga menyukai