Anda di halaman 1dari 13

Kanker Laring adalah keganasan pada pita suara, kotak suara (laring) atau daerah sekitarnya di

tenggorokan. Secara anatomi karsinoma laring dibagi atas 3 bagian yaitu supra glotik (tumor pada plika
ventrikularis, aritenoid, epiglotis dan sinus piriformis), Glotis : tumor pada korda vokalis, subglotis : tumor
dibawah korda vokalis.

2.6 PENATALAKSANAAN KARSINOMA LARING

A. Stadium I dikirim untuk radiasi, stadium 2 dan 3 untuk operasi dan stadium 4 operasi dengan
rekonstruksi atau radiasi
B. Terapi Radiasi
Pada pasien yang hanya mengalami satu pita suara yang sakit dan normalnya dapat
digerakkan. Terapi radiasi juga dapat digunakan secara proferatif untuk mengurangi ukuran
tumor.
C. Operasi : Laringektomi
1. Laringektomi parsial (Laringektomi-Tirotomi)

Laringektomi parsial direkomendasikan pada kanker area glotis tahap dini ketika
hanya satu pita suara yang terkena. Tindakan ini mempunyai mempunyai angka
penyembuhan yang sangat tinggi. Dalam operasi ini satu pita suara diangkat dan semua
struktur lainnya tetap utuh. Suara pasien kemungkinan akan menjadi parau. Jalan nafas akan
tetap utuh dan pasien seharusnya tidak memiliki kesulitan menelan.

2. Laringektomi supraglotis (horisontal)

Laringektomi supraglotis digunakan dalam penatalaksanaan tumor supraglotis. Tulang


hioid, glotis, dan pita suara palsu diangkat. Pita suara, kartilago krikoid, dan trakea tetap
utuh. Selama operasi, dilakukan diseksi leher radikal pada tempat yang sakit. Selang
trakeostomi dipasang dalam trakea sampai jalan nafas glotis pulih. Selang trakeostomi ini
biasanya diangkat setelah beberapa hari dan stoma dibiarkan menutup. Nutrisi diberikan
melalui selang nasogastrik sampai terdapat penyembuhan dan tidak ada lagi bahaya aspirasi.
Pasca operasi pasien akan mengalami kesulitan menelan selama 2 minggu pertama.
Keuntungan utama operasi ini adalah bahwa suara akan kembali pulih seperti biasa. Masalah
utamanya adalah bahwa kanker tersebut akan kambuh.

3. Laringektomi hemivertikal

Laringektomi hemivertikal dilakukan jika tumor meluas diluar pita suara, tetapi
perluasan tersebut kurang dari 1 cm dan terbatas pada area subglotis. Dalam prosedur ini,
kartilago tiroid laring dipisahkan dalam garis tengah leher dan bagian pita suara (satu pita
suara sejati dan satu pita suara palsu) dengan pertumbuhan tumor diangkat. Kartilago
aritenoid dan setengah kartilago tiroid diangkat. Kartilago aritenoid dan setengah kartilago
tiroid diangkat. Pasien beresiko mengalami aspirasi pascaoperasi. Beberapa perubahan dapat
terjadi pada kualitas suara (sakit tenggorok) dan proyeksi. Namun demikian jalan nafas dan
fungsi menelan tetap utuh.

4. Laringektomi total

Laringektomi total dilakukan ketika kanker meluas diluar pita suara. Lebih jauh ke
tulang hioid, epiglotis, kartilago krikoid, dan dua atau tiga cincin trakea diangkat. Lidah,
dinding faringeal, dan trakea ditinggalkan. Banyak ahli bedah yang menganjurkan
dilakukannya diseksi leher pada sisi yang sama dengan lesi bahkan jika tidak teraba nodus
limfe sekalipun. Rasional tindakan ini adalah bahwa metastasis ke nodus limfe servical
sering terjadi. Masalahnya akan lebih rumit jika lesi mengenai struktur garis tengah atau
kedua pita suara. Dengan atau tanpa diseksi leher, laringektomi total dibutuhkan stoma
trakeal permanen. Stoma ini mencegah aspirasi makanan dan cairan ke dalam saluran
pernafasan bawah, karena laring yang memberikan perlindungan stingfer tidak ada lagi.
Pasien tidak akan mempunyai suara lagi tetapi fungsi menelan akan normal. Laringektomi
total mengubah cara dimana aliran udara digunakan untuk bernafas dan berbicara.

D. Pemakaian Sitostatika belum memuaskan, biasanya jadwal pemberian sitostatika tidak


sampai selesai karena keadaan umum memburuk.
E. Rehabilitasi khusus (voice rehabilitation), agar pasien dapat berbicara/ bersuara sehingga
dapat berkomunikasi secara verbal.
Definisi
Kanker Nasofaring adalah jenis kanker yang tumbuh di rongga belakang hidung dan belakang
langit-langit rongga mulut.

Etiologi dan Faktor Risiko

Proses karsinogenesis pada karsinoma nasofaring mencakup banyak tahap dan dapat
ditimbulkan oleh beberapa faktor, antara lain:

1. Infeksi virus Epstein-Barr

Terdapat peningkatan antibodi IgA terhadap viral capsid antigen (VCA) dan
early antigen complex (EA) dan ditemukannya genom virus pada sel tumor. Virus
Epstein-Barr (VEB) terdeteksi secara konsisten pada pasien karsinoma nasofaring di
daerah dengan insidensi tinggi dan daerah dengan insidensi rendah. Lesi premaligna di
nasofaring telah menunjukkan kandungan VEB, yang menunjukkan infeksi terjadi pada
fase awal karsinogenesis. Terdeteksinya bentuk tunggal DNA viral menyarakankan
bahwa tumor merupakan

proliferasi klonal dari sel tunggal yang pada awalnya terinfeksi VEB

(Mc Dermott et al., 2001; Cottrill dan Nutting, 2003).

2. Ikan asin dan nitrosamin

Beberapa penelitian epidemiologik dan laboratorium menyokong hipotesa yang


menyebutkan bahwa konsumsi dini ikan asin menyebabkan karsinoma nasofaring di
Cina Selatan dan Hongkong. Didalam ikan asin tersebut terkandung nitrosamin yang
merupakan zat yang dapat meningkatkan risiko terjadinya karsinoma nasofaring

(Ahmad, 2002 ; Cottrill dan Nutting, 2003).

3. Sosial ekonomi, lingkungan, dan kebiasaan hidup

Udara yang penuh asap dan uap di rumah-rumah dengan ventilasi kurang baik di
Cina, Indonesia, dan Kenya juga meningkatkan insiden karsinoma nasofaring.
Pembakaran dupa di rumah-rumah juga dianggap berperan dalam menimbulkan
karsinoma nasofaring di Hongkong (Mc Dermott et al., 2001; Ahmad, 2002). Perokok
berat meningkatkan risiko karsinoma nasofaring pada daerah endemik (Cottrill dan
Nutting, 2003).

4. Sering kontak dengan bahan karsinogen, antara lain: benzopyren, gas kimia, asap industri,

asap kayu, debu kayu, formaldehid, dan asap rokok (Mc Dermott et al., 2001).

5. Ras dan keturunan


Insiden tertinggi di dunia ternyata terdapat pada ras Cina, baik di daerah asal
ataupun di perantauan. Insiden karsinoma nasofaring tetap tinggi pada penduduk Cina
yang bermigrasi ke Asia Tenggara atau ke Amerika Utara, tapi lebih rendah pada
penduduk Cina yang lahir di

Amerika Utara dari pada yang lahir di Cina Selatan (Ahmad, 2002).

6. Radang kronis di nasofaring

Dengan adanya peradangan menahun di nasofaring, mukosa nasofaring menjadi


lebih rentan terhadap karsinogen penyebab karsinoma nasofaring. Proses peradangan
dan kondisi-kondisi benigna di telinga, hidung, dan tenggorokan merupakan faktor
predisposisi terjadinya transformasi pada mukosa nasofaring yang meningkatkan risiko
terjadinya keganasan (Mc Dermott et al., 2001).

Secara histologis, WHO membagi klasifikasi karsinoma nasofaring atas 3

tipe:

1. Tipe 1, keratinizing squamous cell carcinoma, diferensiasi sel skuamosa baik dengan adanya

jembatan interseluler dan/atau keratinisasi diatasnya, merupakan 25% dari seluruh

karsinoma nasofaring.

2. Tipe 2, differentiated non keratinizing carcinoma, diferensiasi sel tumor dengan rangkaian

maturasi yang terjadi di dalam sel, tidak/sedikit berkeratin, merupakan 20% dari seluruh

karsinoma nasofaring.

3. Tipe 3, undifferentiated carcinoma, sel-sel tumor memiliki inti vesikuler yang oval atau bulat

dan nukleolus yang menonjol, batas sel tidak terlihat, dan tumor menunjukkan gambaran

sinsitial. Tipe ini merupakan 55% dari seluruh karsinoma nasofaring.

Tumor tipe 2 dan tipe 3 biasanya lebih radiosensitif dan memiliki hubungan yang
kuat dengan virus Epstein-Barr. (Cottrill dan Nutting,

2003)

2.4 Patofisiologi

Karsinoma nasofaring merupakan munculnya keganasan berupa tumor yang berasal dari
sel-sel epitel yang menutupi permukaan nasofaring. Tumbuhnya tumor akan dimulai pada
salah satu dinding nasofaring yang kemudian akan menginfiltrasi kelenjar dan jaringan
sekitarnya. Lokasi yang paling sering menjadi awal terbentuknya karsinoma nasofaring adalah
pada fosa Rossenmuller. Penyebaran ke jaringan dan kelenjar limfa sekitarnya kemudian terjadi
perlahan, seperti layaknya metastasis lesi karsinoma

lainnya.

Penyebaran karsinoma nasofaring dapat berupa (Averdi Roezin, 2001):

1. Penyebaran ke atas Tumor meluas ke intrakranial menjalar sepanjang fosa medialis, disebut

penjalaran Petrosfenoid, biasanya melalui foramen laserum, kemudian ke sinus kavernosus,

fosa kranii media dan fosa kranii anterior mengenai saraf-saraf kranialis anterior (N. I dan N.

VI). Kumpulan gejala yang terjadi akibat rusaknya saraf kranialis anterior akibat metastasis

tumor ini disebut Sindrom Petrosfenoid. Yang paling sering terjadi adalah diplopia dan

neuralgia trigeminal (parese N. II N.VI).

2. Penyebaran ke belakang Tumor meluas ke belakang secara ekstrakranial menembus fascia

faringobasilaris yaitu sepanjang fosa posterior (termasuk di dalamnya foramen spinosum,

foramen ovale dan sebagainya), di mana di dalamnya terdapat N. IX dan XII; disebut penjalaran

retroparotidian. Yang terkena adalah grup posterior dari saraf otak yaitu N. VII dan N. XII

beserta nervus simpatikus servikalis. Kumpulan gejala akibat kerusakan pada N. IX dan N. XII

disebut

Sindrom Retroparotidean/Sindrom Jugular Jackson. Nervus VII dan VIII jarang mengalami
gangguan akibat tumor karena letaknya yang tinggi dalam sistem anatomi tubuh.

3. Penyebaran ke kelenjar getah bening merupakan salah satu penyebab utama sulitnya

menghentikan proses metastasis suatu karsinoma. Pada karsinoma nasofaring, penyebaran

ke kelenjar getah bening sangat mudah terjadi akibat banyaknya stroma kelenjar getah bening

pada lapisan submukosa nasofaring. Biasanya penyebaran ke kelenjar getah bening diawali

pada nodus limfatik yang terletak di lateral retrofaring yaitu Nodus Rouvierre. Di dalam

kelenjar ini sel tersebut tumbuh dan berkembang biak sehingga kelenjar menjadi besar dan
tampak sebagai benjolan pada leher bagian samping. Benjolan ini dirasakan tanpa nyeri

karenanya sering diabaikan oleh pasien. Selanjutnya sel-sel kanker dapat berkembang terus,

menembus kelenjar dan mengenai otot di bawahnya. Kelenjar menjadi lekat pada otot dan

sulit digerakkan. Keadaan ini merupakan gejala yang lebih lanjut lagi. Limfadenopati servikalis

merupakan gejala utama yang mendorong pasien datang ke dokter.

4. Metastasis jauh sel-sel kanker dapat ikut mengalir bersama getah bening atau darah,

mengenai organ tubuh yang letaknya jauh dari nasofaring. Yang sering ialah tulang, hati dari

paru. Hal ini merupakan stadium akhir dan prognosis sangat buruk.

Prognosis
Secara keseluruhan, angka bertahan hidup 5 tahun adalah 45 %. Prognosis diperburuk oleh
beberapa faktor, seperti:

• Stadium yang lebih lanjut


• Usia lebih dari 40 tahun
• Ras Cina dari pada ras kulit putih
• Adanya pembesaran kelenjar leher
• Adanya kelumpuhan saraf otak
• Adanya kerusakan tulang tengkorak
• Adanya metastasis jauh

2.1.18 Komplikasi
Telah disebutkan terdahulu, bahwa tumor ganas nasofaring dapat menyebabkan penurunan
pendengaran tipe konduksi yang refersibel.Hal ini terjadi akibat pendesakan tumor primer terhadap
tuba Eustachius dan gangguan terhadap pergerakan otot levator pelatini yang berfungsi untuk membuka
tuba. Kedua hal diatas akan menyebabkan terganggunya fungsi tuba.

5. Infiltrasi tumor melalui liang tuba Eustachius dan masuk kerongga telinga tengah jarang sekali

terjadi. Dengan radiasi, tumor akan mengecil atau menghilang dan gangguan-gangguan diatas

dapat pula berkurang atau menghilang, sehingga pendengaran akan membaik kembali.
CA PARU

Patofisiologi

Kanker disebabkan oleh mutasi DNA di dalam sel. Akumulasi dari mutasi-mutasi tersebut
menyebabkan munculnya tumor. Sebenarnya sel kita memiliki mekanisme perbaikan DNA (DNA repair)
dan mekanisme lainnya yang menyebabkan sel merusak dirinya sendiri dengan apoptosis jika kerusakan
DNA sudah terlalu berat. Apoptosis adalah proses aktif kematian sel yang ditandai dengan pembelahan
DNA kromosom, kondensasi kromatin, serta fragmentasi nukleus dan sel itu sendiri. Mutasi yang menekan
gen untuk mekanisme tersebut biasanya dapat memicu terjadinya kanker. Kanker sendiri sebenarnya
adalah istilah untuk segolongan penyakit yang ditandai dengan pembelahan sel abnormal dan
kemampuan sel-sel tersebut untuk menyerang jaringan biologis lainnya, baik dengan pertumbuhan
langsung di jaringan yang bersebelahan (invasi) atau dengan migrasi sel ke tempat yang jauh (metastasis).
Pertumbuhan yang tidak terkendali tersebut disebabkan kerusakan DNA, dan bahkan menyebabkan
mutasi di gen vital yang mengontrol pembelahan sel(3). Beberapa buah mutasi mungkin dibutuhkan untuk
mengubah sel normal menjadi sel kanker. Mutasi-mutasi tersebut sering diakibatkan oleh agen kimia
maupun fisik yang disebut sebagai zat karsinogen. Mutasi tersebut dapat terjadi secara spontan
(diperoleh) ataupun diwariskan (mutasi germline).

Dari etiologi yang menyerang percabangan segmen/ sub bronkus menyebabkan silia hilang dan
deskuamasi sehingga terjadi pengendapan karsinogen. Dengan adanya pengendapan karsinogen maka
menyebabkan metaplasia, hyperplasia dan displasia. Bila lesi perifer yang disebabkan oleh metaplasia,
hyperplasia dan displasia menembus ruang pleura, biasa timbul efusi pleura, dan bisa diikuti invasi
langsung pada kosta dan korpus vertebra. Lesi yang letaknya sentral berasal dari salah satu cabang
bronkus yang terbesar. Lesi ini menyebabkan obstuksi dan ulserasi bronkus dengan diikuti dengan
supurasi di bagian distal. Gejala – gejala yang timbul dapat berupa batuk, hemoptysis, dispneu, demam,
dan dingin. Pada stadium lanjut, penurunan berat badan biasanya menunjukkan adanya metastase,
khususnya pada hati. Kanker paru dapat bermetastase ke struktur – struktur terdekat seperti kelenjar
limfe, dinding esofagus, pericardium, otak, tulang rangka(4).

E. Klasifikasi
Secara garis besar kanker paru dibagi menjadi 2 bagian yaitu Small Cell Lung Cancer
(SCLC) dan Non Small Cell Lung Cancer (NCLC).

1. Small Cell Lung Cancer (SCLC)

Kejadian kanker paru jenis SCLC ini hanya sekitar 20 % dari total kejadian kanker paru. Namun
jenis ini berkembang sangat cepat dan agresif. Apabila tidak segera mendapat perlakuan maka
hanya dapat bertahan 2 sampai 4 bulan.

2. Non Small Cell Lung Cancer

80 % dari total kejadian kanker paru adalah jenis NSCLC. Secara garis besar dibagi menjadi 3
yaitu:

a. Adenokarsinoma, jenis ini adalah yang paling banyak ditemukan (40%).

b. Karsinoma Sel Skuamosa, banyaknya kasus sekitar 20 – 30%.

c. Karsinoma Sel Besar, banyaknya kasus sekitar 10 – 15%.

Sebagian besar pasien yang didiagnosa dengan NSCLC (70–80%) sudah dalam stadium lanjut III
– IV. Berbagai keterbatasan sering menyebabkan dokter spesialis Patologi Anatomi mengalami
kesulitan menetapkan jenis sitologi/histologis yang tepat. Karena itu, untuk kepentingan pemilihan
jenis terapi, minimal harus ditetapkan, apakah termasuk kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK
atausmall cell lung cancer, SCLC) atau kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil
(KPKBSK, nonsmall cell lung cancer, NSCLC)

Pemeriksaan Fisik

Pemeriksaan jasmani harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang didapat
sangat bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru ukuran kecil dan
terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada pemeriksaan. Tumor dengan ukuran
besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau
penekanan vena kava akan memberikan hasil yang lebih informatif dimana pada pemeriksaan
perkusi didapatkan suara redup dan suara nafas melemah. Pemeriksaan fisik pada organ lain juga
dapat memberikan data untuk penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor di
luar paru. Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan
funduskopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya fraktur patologis
sebagai akibat metastasis ke tulang.

Diagnosa Banding

Kanker paru mempunyai gejala yang spesifik pada saluran pernafasan, tetapi juga tidak jarang
bermanifestasi ke organ lain dikarenakan kanker sudah bermetastasis ke organ lain sehingga
diagnosa banding di luar kelainan paru harus dipikirkan, diantaranya:

 Benign tumors of the lung


 Bronchitis
 Fungal infections of the lung
 Lung abscess
 Metastatic cancer
 Pneumonia
 TBC

K. Penatalaksanaan

Menurut Persatuan Ahli Bedah Onkologi Indonesia (2005), penatalaksanaan/pengobatan


utama penyakit kanker meliputi empat macam yaitu pembedahan, radioterapi, kemoterapi dan
hormoterapi. Pembedahan dilakukan untuk mengambil ‘massa kanker‘ dan memperbaiki
komplikas yang mungkin terjadi. Sementara tindakan radioterapi dilakukan dengan sinar ionisasi
untuk menghancurkan kanker. Kemoterapi dilakukan untu membunuh sel kanker dengan obat anti-
kanker (sitostatika). Sedangkan hormonterapi dilakukan untuk mengubah lingkungan hidup
kanker sehingga pertumbuhan sel-selnya terganggu dan akhirnya mati sendiri.

a. Pembedahan
Indikasi pembedahan pada kanker paru adalah untuk KPKBSK stadium I dan II.
Pembedahan juga merupakan bagian dari “combine modality therapy”, misalnya kemoterapi
neoadjuvan untuk KPBKSK stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang
memerlukan intervensi bedah, seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superiror berat.
Prinsip pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan KGB
intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi. Segmentektomi atau reseksi baji
hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi. Tepi sayatan diperiksa dengan
potong beku untuk memastikan bahwa batas sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum
diambil dengan diseksi sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis.

b. Radioterapi

Radioterapi pada kanker paru dapat menjadi terapi kuratif atau paliatif. Pada terapi kuratif,
radioterapimenjadi bagian dari kemoterapi neoadjuvan untuk KPKBSK stadium IIIA. Pada
kondisi tertentu, radioterapi saja tidak jarang menjadi alternatif terapi kuratif. Radiasi sering
merupakan tindakan darurat yang harus dilakukan untuk meringankan keluhan penderita, seperti
sindroma vena kava superiror, nyeri tulang akibat invasi tumor ke dinding dada dan metastasis
tumor di tulang atau otak.

Penetapan kebijakan radiasi pada KPKBSK ditentukan beberapa faktor:

1. Staging penyakit

2. Status tampilan

3. Fungsi paru

Bila radiasi dilakukan setelah pembedahan, maka harus diketahui :

- Jenis pembedahan termasuk diseksi kelenjar yang dikerjakan

- Penilaian batas sayatan oleh ahli Patologi Anatomi (PA)


Dosis radiasi yang diberikan secara umum adalah 5000 – 6000 cGy, dengan cara pemberian 200
cGy/x, 5 hari perminggu.

Syarat standar sebelum penderita diradiasi adalah :

1. Hb > 10 g%

2. Trombosit > 100.000/mm3

3. Leukosit > 3000/dl

b. Kemoterapi

Kemoterapi merupakan pilihan utama untuk kanker paru karsinoma sel kecil (KPKSK) dan beberapa
tahun sebelumnya diberikan sebagai terapi paliatif untuk kanker paru karsinoma bukan sel kecil
(KPKBSK) stage lanjut. Tujuan pemberian kemoterapi paliatif adalah mengurangi atau menghilangkan
gejala yang diakibatkan oleh perkembangan sel kanker tersebut sehingga diharapkan akan dapat
meningkatkan kualiti hidup penderita.
TUMOR MEDIASTINUM
PENATALAKSANAAN

Penatalaksanaan untuk tumor mediastinum yang jinak adalah pembedahan sedangkan untuk
tumor ganas, tindakan berdasarkan jenis sel kanker. Tumor mediastinum jenis limfoma Hodgkin's
maupun non Hondgkin's diobati sesuai dengan protokol untuk limfoma dengan memperhatikan
masalah respirasi selama dan setelah pengobatan.

Penatalaksanaan tumor mediastinum nonlimfoma secara umum adalah multimodality meski


sebagian besar membutuhkan tindakan bedah saja, karena resisten terhadap radiasi dan
kemoterapi tetapi banyak tumor jenis lain membutuhkan tindakan bedah, radiasi dan
kemoterapi, sebagai terapi adjuvant atau neoadjuvan.

Syarat untuk tindakan bedah elektif adalah syarat umum, yaitu pengukuran toleransi berdasarkan
fungsi paru, yang diukur dengan spirometri dan jika mungkin dengan body box. Bila nilai
spirometri tidak sesuai dengan klinis maka harus dikonfirmasi dengan analis gas darah. Tekanan
O2 arteri dan Saturasi O2 darah arteri harus >90%.

Syarat untuk radioterapi dan kemoterapi adalah:


· Hb > 10 gr%

· leukosit > 4.000/dl

· trombosit > 100.000/dl

· tampilan (performance status) >70 Karnofsky

Jika digunakan obat antikanker yang bersifat radiosensitaizer maka radio kemoterapi dapat
diberikan secara berbarengan (konkuren). Jika keadaan tidak mengizinkan, maka kombinasi
radiasi dan kemoterapi diberikan secara bergantian (alternating: radiasi diberikan di antara siklus
kemoterapi) atau sekuensial (kemoterapi > 2 siklus, lalu dilanjutkan dengan radiasi, atau radiasi
lalu dilanjutkan dengan kemoterapi). Selama pemberian kemoterapi atau radiasi perlu diawasi
terjadinya melosupresi dan efek samping obat atau toksisiti akibat tindakan lainnya.

Anda mungkin juga menyukai