Anda di halaman 1dari 10

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Sejak zaman dahulu yaitu pada zaman Yayoi sekitar 300 SM, kehidupan
masyarakat Jepang sebagian besar bekerja sebagai petani. Mereka membagi tugas
menjadi beberapa kelompok dengan tujuan memperoleh hasil panen yang baik.
Para Petani juga mengadakan matsuri atau perayaan setelah panen sebagai
penyampaian rasa syukur pada dewa. Kegiatan-kegiatan tersebut menekankan
adanya kehidupan kelompok pada para petani dengan tujuan untuk memenuhi
kebutuhan hidup mereka. Karena itulah, para petani harus memprioritaskan
kepentingan kelompok dibandingkan kepentingan pribadi agar kebutuhannya
dapat terpenuhi. Hal ini disebut kebersamaan atau Shuudan Shugi. Mitsue
(1991:41) juga menyatakan bahwa rasa berkelompok atau juga disebut dengan
shuudanshugi pada masyarakat Jepang terbentuk dari kehidupan bertani.
Shuudan shugi berasal dari kata shuudan ( 集 団 ) yang berarti
kelompok dan shugi ( 主 義 ) yang artinya paham. Kebersamaan atau Shuudan
Shugi adalah suatu kecenderungan dimana orang jepang lebih mengutamakan
kepentingan kelompok daripada kepentingan Individu. Kebersamaan ini bermula
pada zaman feodalisme yaitu pada zaman pemerintahan Tokugawa sekitar tahun
1457-1742 dengan politik isolasinya. Pada masa ini dibawah kepemimpinan
bakufu Toyotomi Hideyoshi pada tahun 1591 terciptalah strata sosial atau yang
disebut dengan shinokosho. Shinokoso ini membagi masyarakat Jepang menjadi
empat strata yang terdiri dari kaum militer (bushi) yaitu kaum samurai, nomin
atau petani, kosakunin atau pengrajin, dan shonin atau pedagang. Masa politik
isolasi selama 250 tahun inilah yang menyebabkan kehidupan berkelompok di
dalam masyarakat Jepang terus terpelihara sampai sekarang.
Disamping menjadi anggota keluarga, ia juga nantinya akan menjadi
warga masyarakat di lingkungan sekitar rumahnya, warga di lingkungan

Universitas Darma Persada


2

sekolahnya, di tempat les, dan lain-lain. Ia juga merupakan salah satu warga umat
beragama, warga suatu suku bangsa (etnis), dan warga negara dimana ia berada.
Ketika ia menjadi warga di lingkungan sekolahnya seorang individu pasti
mempunyai kelompok teman bermain dan belajar di kelas. Oleh karena itu
shuudan shugi di sekolah juga sangat penting.
Sejak dahulu masyarakat Jepang sudah menganggap pendidikan itu
penting, meskipun pendidikan modern Jepang dimulai pada masa Meiji, namun
pada masa Tokugawa pun sudah ada lembaga-lembaga pendidikan yang tidak
dapat diabaikan maknanya. Pada masa itu, shogunat dan para daimyo mengadakan
sekolah-sekolah untuk anak-anak samurai. Meskipun memang lembaga-lembaga
pendidikan itu lebih mementingkan pendidikan watak dan olahraga yuda, tetapi
diberikan juga pendidikan berhitung, menulis, dan membaca. Bentuk paham
kelompok (shuudan shugi) dalam lingkungan sekolah yaitu adanya kelompok
yang terbentuk di lingkungan sekolah sejak masa kanak-kanak sampai masa
perkuliahan di perguruan tinggi atau universitas.
Seiring dengan berjalannya waktu, kerjasama kelompok yang tadinya
memiliki dampak positif, seperti rasa kebersamaan, saling berbagi, bekerja sama
dalam menyelesaikan suatu masalah, bagi kehidupan masyarakat Jepang saat ini
perlahan seperti melenceng dari hakikat awalnya, hal ini dibuktikan seperti
contohnya pada paham kelompok yang dilakukan oleh para remaja. Paham
kelompok pada remaja yang belakangan sering terdengar adalah berkelompok
untuk melakukan berbagai macam kenakalan terhadap anggota kelompoknya
sendiri maupun pihak lain yang berujung pada tindakan kriminal, hal ini jelas
memberikan dampak negatif yaitu merugikan dan mencelakai pihak lain. Sebagai
contoh tiga kasus kriminal yaitu dalam kasus keluarnya korban dari sekolah
karena dianiaya oleh teman dan gurunya, kasus pembunuhan oleh kelompok
remaja dan kasus pemukulan oleh kelompok remaja. Kasus keluarnya korban dari
sekolah karena dianiaya oleh teman dan gurunya ini terjadi pada bulan Febuari
1984 di distrik Hokuriku. Seorang murid SMP menolak untuk kembali bersekolah
karena telah menjadi korban ijime selama enam bulan. Sehari sebelumnya, korban

Universitas Darma Persada


3

pulang dalam kondisi fisik sudah mengalami luka memar di sekujur wajah dan
tubuhnya yang diduga sebagai akibat dari pemukulan.
Kasus pembunuhan ini melibatkan dua kelompok remaja yaitu kelompok
pelaku yang menjadi korban dan kelompok korban yang menjadi pelaku
pembunuhan, menurut judul artikel Teenage Gang Arrested for Killing Case in
Japan dalam Japan Today (1999), pada bulan Febuari 1999, di temukan mayat
seorang anak SMU di sungai Saitama. Anak kelas dua SMU yang pada saat
meninggal berusia 19 tahun tersebut merupakan korban balas dendam dari tujuh
orang remaja berusia antara 17-19 tahun yang dulu sering Ia ancam dan mintai
uang. Ia dipaksa masuk ke sungai yang pada saat itu ketinggian mencapai
kedalaman lima meter sampai tenggelam dan meninggal. Kasus pemukulan oleh
kelompok remaja jepang kepada seorang lelaki tua yang berusia 69 tahun yang
berhutang kepada empat siswi SMP berusia 14 dan 15 tahun. Menurut judul
artikel Four Teenage Face the Criminal Over killed the Old Man dalam Japan
Today (2000), kasus yang terjadi pada 17 Febuari 2000 di Urawa perfektur
Saitama seorang lelaki tua ini awalnya dipukul dan ditendang oleh keempat siswi
ini di apartemen kecilnya karena tidak mau membayar uang sejumlah tiga ribu
yen yang korban pinjam dari mereka, setelah mereka memukul dan menendang
korban mereka lalu menusuk korban hingga meninggal.
Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk mengkaji lebih jauh
tentang “Dampak Negatif Dari Penerapan Konsep Shuudan Shugi Dalam
Kehidupan Remaja Di Jepang”.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka identifikasi masalah
dalam penelitian ini adalah:
1. Paham kelompok mulai muncul di Jepang pada zaman Yayoi yaitu pada
masyarakat pertanian sampai di zaman modern sekarang yang terjadi pada
remaja;
2. Paham kelompok mempunyai dampak yang positif dan dampak negatif ;
3. Dampak negatif dari adanya paham kelompok adalah tindak kekerasan,
pemerkosaan, pembunuhan, dan sebagainya.

Universitas Darma Persada


4

1.3 Pembatasan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka pembatasan masalah


dalam penelitian ini adalah seperti apa paham kelompok dan dampak negatif yang
ditimbulkan dalam kehidupan remaja di Jepang.

1.4 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah di atas, maka rumusan masalah dalam


penelitian ini adalah:

1. Apa konsep Shuudan Shugi yang ada di Jepang?


2. Apa dampak negatif adanya Shuudan Shugi dalam kehidupan remaja di
Jepang?

1.5 Tujuan Penelitian

Berdasarkan rumusan masalah di atas, maka tujuan penelitian dalam


penelitian ini adalah untuk mengetahui:

1. Konsep Shuudan Shugi yang ada di Jepang.


2. Dampak negatif adanya Shuudan Shugi dalam kehidupan remaja di
Jepang.

1.6 Landasan Teori


Untuk memperkuat penulisan skripsi ini, maka penulis menggunakan
teori dari Kamus Nihonggo Daijiten, Yoshino mengenai pengertian Shuudan
Shugi, Budi Saronto mengenai Dua Komponen Dalam Shuudan Shugi, dan Ruth
Benedict di dalam bukunya “Chrysanthenum and The Sword” yang menjelaskan
mengenai contoh sifat yang mendukung kecenderungan orang Jepang untuk hidup
berkelompok.
1. Konsep Shuudan Shugi
Pengertian Shuudan Shugi menurut kamus Nihonggo Daijiten
(Anggraini, 2008:16) yaitu merupakan pembentukan susunan atau formasi suatu
status yang disatukan oleh keinginan dalam suatu kelompok yang mengatur

Universitas Darma Persada


5

berbagai tuntutan dari tiap individu yang dilaksanakan oleh sebagian besar
masyarakat yang menganut ideologi kelompok.
Shuudan shugi merupakan paham berkelompok yang dikenal sebagai
bentuk budaya orang jepang. Dijelaskan dalam kutipan berikut:
日本人は集団主義的である、というのが日本文化輪において日本
人を持徴 つ”ける最も顕著な見方である。この見地から、日本人
は自我意識に次ける。この集団主義の見方は、文化人類学。社会
学。社会心理学を始めとして多くの分野における日本研究に現わ
れる。(Yoshino,1992:19).

Terjemahan:
Orang jepang berpaham kelompok dimana pandangan tersebut dianut
oleh orang Jepang yaitu adanya pandangan mengenai ciri khas bahwa
orang jepang harus memiliki pandangan dari shuudan ishiki di dalam diri
sendiri. Dan dilihat dari pandangan shuudan shugi muncul penelitian
jepang yang mencakup penelitian yang luas berawal dari ilmu psikologi
masyarakat, ilmu mengenai masyarakat, dan ilmu mengenai budaya
masyarakat (Yoshino,1992:19)

Shuudan Shugi sering diterjemahkan ke dalam grupisme atau


kelompokisme. Kebersamaan atau shuudan shugi kalau ditelaah lebih lanjut
mengandung dua komponen yaitu:
 We Feeling (rasa kebersamaan antara sesama)
We feeling merupakan ungkapan yang dibicarakan secara tidak langsung (indirect
spoken expression), dan bersifat emosional serta irasional. Selanjutnya irasional
ini dapat berubah menjadi rasional, tetapi rasional untuk kepentingan bersama.
We-feeling ini merupakan komponen kebijaksanaan untuk membentuk perilaku
grup atau berkelompok.

 Goal achievement
Sebaliknya goal achievement ini merupakan komponen motivasi untuk
kepentingan pengambilan keputusan oleh kelompok minoritas. Sehingga dapat
pula dikatakan bahwa we-feeling merupakan value orientation (nilai orientasi)
orang-orang Jepang, sedangkan goal achievement merupakan orientasi
objektifnya seperti dalam bidang politik, ekonomi, sosial, militer, dan lain-lain
(Budi Saronto,2005:281).

Universitas Darma Persada


6

Ruth Benedict (1887-1948)


Ruth Benedict dalam Antonius mengatakan Ruth Benedict di dalam
bukunya “Chrysanthenum and The Sword” (1946) tidak secara khusus membahas
mengenai “kolektivisme” Bangsa Jepang, namun ia memberikan beberapa contoh
sifat yang mendukung kecenderungan orang Jepang untuk hidup berkelompok.
Misalnya sifat “ketulusan hati” (seijitsu) dan “martabat diri” (jicho). Bila sifat
“ketulusan hati” adalah sifat manusia yang harus dimiliki dan ditunjukkan kepada
orang lain, demikian pula dengan “martabat diri” . Jicho atau martabat diri adalah
menjaga diri agar tidak “merepotkan” atasan atau orang-orang yang posisinya
berada di atas kita. Kesadaran bahwa “setiap orang menempati posisi mereka
masing-masing” adalah merupakan prinsip dasar dalam hubungan antar manusia
di Jepang. Oleh karena itu, dalam kehidupan setiap orang Jepang mereka akan
selalu berpikir bahwa perilaku mereka akan dinilai oleh orang lain. Sehingga
mereka harus selalu berhati-hati dalam bersikap. Demikian pula sebaliknya,
sebagai bagian dari anggota kelompok (masyarakat) setiap individu juga harus
memperhatikan orang lain. Hal ini bertujuan selain untuk menunjukkan eksistensi
atau keberadaan diri sendiri, juga menunjukkan eksistensi orang lain tersebut. Di
dalam masyarakat terhadap apa yang “benar” dan apa yang “salah” ditentukan
oleh masyarakat itu sendiri, sehingga setiap individu harus menyesuaikan dengan
aturan yang berlaku di masyarakat tersebut.

2. Teori Psikologi Remaja Jepang


Masa Remaja
Masa remaja sering disebut sebagai adolesensi atau adolescence
(inggris),
dan berasal dari kata latin adolescere yang berarti tumbuh ke arah kematangan
(Sarwono, 1990). Menurut Sarwono (1990) kematangan yang dimaksud meliputi
kematangan fisik, psikis dan sosial. Sarwono (1997) mengatakan bahwa masa
remaja adalah masa peralihan dari anak-anak ke dewasa, bukan hanya dalam

Universitas Darma Persada


7

artian psikologis tetapi juga fisik. Bahkan perubahan-perubahan fisik yang terjadi
itulah yang merupakan gejala primer dalam pertumbuhan remaja, sedangkan
perubahan-perubahan psikologis muncul antara lain sebagai akibat dari
perubahan-perubahan fisik itu.
Hurlock (1976) mengatakan bahwa remaja membutuhkan suatu
kepercayaan, hal itu disebabkan karena remaja sedang berada dalam suatu periode
yang penuh ketegangan dan merasa kurang aman, maka remaja membutuhkan
keyakinan di dalam hidupnya dan dapat memberikan perasaan aman. Di banyak
negara, anak yang dijadikan sebagai objek dan diperlakukan sewenang-wenang
masih terjadi sampai sekarang. Sampai abad ke-19 anak masih dianggap sebagai
“batu olahan” yang dapat diukir sesuka hati orangtuanya. Masa remaja adalah
masa yang pasti dialami setiap orang. Masa remaja adalah masa yang penuh
dengan permasalahan. Masa remaja merupakan masa badai dan tekanan yang
dirujuk sebagai masa yang mempengaruhi karakteristik remaja yang sedang
berproses untuk mencari identitas diri ini juga sering menimbulkan masalah pada
diri remaja.
Masa remaja sering dianggap sebagai periode badai dan tekanan (storm
and stress period), suatu masa dimana ketegangan emosi meningkat secara
signifikan akibat perubahan fisik dan hormon yang tidak menentu. Meningginya
tingkat emosi dapat disebabkan karena remaja berada di bawah tekanan sosial dan
termasuk selama masa kanak-kanak, individu tersebut kurang mempersiapkan diri
untuk menghadapi keadaan dan masalah tersebut. Sehingga mereka mengalami
ketidakstabilan emosi sebagai dampak dari penyesuaian diri terhadap pola
perilaku dan lingkungan sosial yang baru (Grebb, 1994:127).
Ciri-ciri individu yang memasuki remaja memiliki karakteristik dan
gejala-gejala seperti kecanggungan dalam pergaulan dan kekakuan dalam gerakan
dan ketidakstabilan dalam emosi. Adanya perasaan kosong akibat perombakan
pandangan dan petunjuk hidup. Adanya sikap menentang orang tua, pertentangan
di dalam dirinya sering menjadi pangkal penyebab pertentangan dengan orang tua,
kegelisahan karena banyak hal yang diinginkan tetapi remaja tidak sanggup

Universitas Darma Persada


8

memenuhi semuanya, mempunyai hasrat senang bereksperimentasi dan


bereksplorasi terhadap segala hal dalam hidup. Remaja juga memiliki banyak
fantasi, khayalan, bualan dan juga adanya tendensi, kecenderungan membentuk
kelompok dan kegiatan berkelompok. Remaja sama seperti manusia lain adalah
makhluk monodualis, yang berarti sebagai makhluk individu mereka juga
makhluk sosial yang membutuhkan orang lain, yang juga dipengaruhi oleh
keadaan sosial yang ada di sekelilingnya. Hal ini disebabkan karena usia remaja
sangat rentan terhadap lingkungan sosialnya yaitu mereka mudah terbawa arus
pergaulan, minimnya perhatian dari orangtua, ditambah dengan berbagai macam
bentuk penolakan dalam lingkungan sosial akan secara langsung berdampak
kepada kondisi kejiwaaan seorang remaja yang pada akhirnya menjadikannya
seseorang yang cenderung melakukan tindakan brutal atau perilaku menyimpang.
Menurut Petronio (1990:497) perilaku remaja dalam arti kenakalan anak
atau Juvenile Deliquency, adalah tindakan seseorang yang belum dewasa dan ia
melakukan praktek pelanggaran hukum secara sadar dan diketahui oleh individu
itu sendiri bahwa jika perbuatannya itu diketahui oleh petugas hukum ia bisa
dikenai hukuman, konsep ini menjelaskan bahwa remaja yang mendapatkan pola
didik yang benar, tidak menjamin bahwa individu tersebut dapat berkembang
menjadi dewasa dan membentuk pribadi yang siap untuk membaur dalam
masyarakat.
Remaja di berbagai belahan dunia juga memiliki keunikan tersendiri,
karena berbagai faktor yang mempengaruhi mental dan pola pikir mereka di
tempat mereka tumbuh menjadi dewasa. Khususnya para remaja Jepang yang
terkenal dengan berbagai fenomena hidup yang khas, masyarakatnya yang
homogen membuat anak muda Jepang juga memiliki ciri-ciri yang hampir sama
seperti kebanyakan anak muda lainnya. Lida (2005:60) menjelaskan remaja
diartikan sebagai berikut:

「若者という住々にして、経験が朝育成に自己主張だだけは一人
前ですから聞いているほうがきちんと来ることだってありま
す。」.

Universitas Darma Persada


9

Terjemahan : Anak muda biasanya kurang memiliki pengalaman, tetapi


bertingkah seperti tahu segalanya. Orang yang mendengarnya bisa saja
menjadi jengkel.

Dalam kehidupan sehari-hari, memahami orang lain bukanlah suatu hal


yang dapat dikatakan mudah untuk dilaksanakan, bahkan untuk perilaku yang
sederhana atau biasa-biasa saja. Seperti yang diterangkan di atas, remaja Jepang
secara umum digambarkan sebagai tipikal pribadi yang kurang berpengalaman. Di
lain sisi mereka juga sangat ingin mencoba berbagai hal baru yang belum mereka
ketahui resikonya. Dari pernyataan di atas juga tergambar bahwa mereka
cenderung bertindak menurut apa yang mereka anggap benar. Oleh karena itu,
pemberontakan akan sangat mungkin terjadi di rumah ataupun di sekolah.

1.7 Metode Penelitian


Metode yang digunakan dalam penelitian ini adalah metode kepustakaan.
Metode kepustakaan adalah segala usaha yang dilakukan oleh peneliti untuk
menghimpun informasi yang relevan dengan topik atau masalah yang akan atau
sedang diteliti. Dalam hal ini, Informasi itu mempergunakan buku-buku ilmiah
dari Perpustakaan Universitas Darma Persada, Perpustakaan Pusat Kebudayaan
Jepang, Perpustakaan Japan Foundation, Laporan Penelitian, Karangan-Karangan
Ilmiah, Tesis dan Disertasi, Peraturan-Peraturan, Ketetapan-Ketetapan, Buku
Tahunan, Ensiklopedia, dan Sumber-Sumber Tertulis baik tercetak maupun
elektronik lain.

1.8 Manfaat Penelitian


Manfaat penelitian yang dikemukakan dalam pembahasan skripsi ini
adalah sebagai berikut:
 Bagi Penulis :
Dapat mengetahui lebih jauh mengenai sifat dan perilaku orang Jepang
dalam penerapan konsep shuudan shugi di berbagai aspek kehidupan.

Universitas Darma Persada


10

 Bagi Pembaca :
Calon peneliti selanjutnya,diharapkan dapat memberikan sumbangan
wawasan dan dapat dijadikan referensi dalam penelitian selanjutnya yang
sejenis,khususnya yang berkaitan dengan shuudan shugi.

1.9 Sistematika Penulisan


Berdasarkan hasil analisis dan penelitian kepustakaan, maka penulisan skripsi
Ini dibagi menjadi tiga bab yaitu :

BAB I PENDAHULUAN berisi tentang latar belakang masalah,


identifikasi masalah, rumusan masalah, tujuan penelitian, metode penelitian,
manfaat penelitian, landasan teori, dan sistematika penelitian.

BAB II SHUUDAN SHUGI DALAM MASYARAKAT JEPANG berisi


tentang awal mula adanya shuudan shugi secara singkat, konsep shuudan shugi
secara umum, jenis-jenis shuudan shugi beserta contohnya, konsep shuudan shugi
di lingkungan pekerjaan, konsep shuudan shugi di lingkungan sekolah, konsep
shuudan shugi di lingkungan sosial masyarakat.

BAB III SHUUDAN SHUGI DALAM KEHIDUPAN REMAJA DI


JEPANG berisi faktor penyebab munculnya dampak negatif
shuudan shugi dalam kehidupan remaja, timbulnya ijime akibat
dampak negatif shuudan shugi dalam kehidupan remaja di jepang,
analisis kasus kekerasan sebagai dampak negatif shuudan shugi
dalam kehidupan remaja di Jepang.

BAB IV KESIMPULAN

Universitas Darma Persada

Anda mungkin juga menyukai