Anda di halaman 1dari 13

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG

Pembakaran adalah segala perilaku yang mencakup penggunaan api, baik


yang disengaja maupun yang tidak disengaja dan sering kali mengakibatkan
kelalaian. Terkadang, pembakaran dapat memuaskan rasa ingin tahu seseorang
karena takjub. Seringkali, impulsivitas remaja dan daya tarik tertentu dengan api
menjadi dasar perilaku semacam itu. Terkadang, penggunaan obat-obatan tertentu
juga berpengaruh pada saat melakukan pelanggaran tersebut.1

Ada dua istilah umum untuk perilaku pembakaran. Arson merupakan


tindak pidana dimana seseorang dengan sengaja dan bermaksud jahat membakar
atau membantu membakar bangunan, tempat tinggal, atau milik orang lain. Arson
dianggap sebagai kejahatan yang bersifat umum, sering dilakukan oleh satu orang
di malam hari, lebih sering di kota daripada di komunitas pinggiran kota.
Pyromania, sebaliknya, adalah kondisi kejiwaan yang terdefinisi dengan baik.
Orang-orang yang menderita penyakit itu rentan terhadap kebakaran yang
disengaja dan patologis. Kraepelin menyebutnya kegilaan impulsif. Freud (1932),
sebaliknya, merasa itu adalah kelainan psikoseksual. Perilaku piromaniak bersifat
direncanakan. Mereka mengalami perasaan menggebu dan ketertarikan saat
menyaksikan kebakaran.1 Di pengadilan hukum, istilah "pyromania" telah
digunakan untuk menangkap perilaku pembakaran tanpa motif instrumental atau
berbahaya yang nyata, sementara arson menyiratkan motivasi atau niat untuk
menyakiti2.

Perilaku pembakaran secara berulang dan disengaja untuk menimbukan


sensasi kesenangan dan kepuasan setelahnya disebut piromania (Inggris:
pyromania). Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders
edisi ke-4 revisi (DSM-IV-TR), piromania digolongkan ke dalam gangguan
impuls-kontrol yang tidak diklasifikasi di tempat lain3.

Berdasarkan suatu penelitian di Universitas Erlangen dan Universitas


Hannover Jerman, dibandingkan dengan gangguan impuls-kontrol spesifik
lainnya, piromania merupakan gangguan impuls kontrol dengan prevalensi paling
sedikit bersama dengan kleptomania pada pasien psikiatrik rawat inap. Dari 234
pasien rawat inap yang diteliti, tidak ada yang mengidap gangguan impuls-
kontrol spesifik berupa piromania4. Demikian pula dalam studi di Finlandia, dari
90 residivis pembakaran yang diteliti, hanya tiga (3,3%) memenuhi kriteria DSM-
IV-TR untuk pyromania. Sembilan residivis pembakaran lainnya bisa saja
memenuhi kriteria pyromania namun mereka memiliki riwayat mengonsumsi
alkohol pada saat pembakaran, sehingga gagal memenuhi kriteria E5.

1.2. RUMUSAN MASALAH


Berdasarkan latar belakang masalah di atas, maka rumusan masalah yang
diajukan adalah sebagai berikut:
“Apakah itu piromania dan bagaimana gambaran klinis, penegakkan diagnosis,
terapi dan prognosis gangguan piromania?”.

1.3 TUJUAN MAKALAH

Untuk mengetahui definisi, epidemiologi, etiologi, gambaran klinis,


penegakkan diagnosis, diagnosis banding, terapi dan prognosis piromania.

1.4. MANFAAT MAKALAH


Sebagai sumber informasi dan sumber wawasan untuk pembaca mengenai
piromania.
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1. PIROMANIA

2.1.1. Definisi

Kata dasar piromania berasal dari bahasa Yunani: pyr, yang berarti api.
Piromania adalah pembakaran yang berulang dan disengaja dengan gambaran
yang terkait meliputi ketegangan atau kesadaran afektif sebelum melakukan
pembakaran; ketertarikan, rasa ingin tahu, atau keterpikatan terhadap api dan
aktivitas serta perlengkapan yang berhubungan dengan pemadam kebakaran; dan
kesenangan, kepuasan, atau kelegaan saat menyalakan api atau saat menyaksikan
atau berpartisipasi setelah melakukan pembakaran. Pasien mungkin melakukan
persiapan matang terlebih dahulu sebelum memulai pembakaran6.

Penderita piromania (atau biasa disebut pyromaniac) berbeda dengan para


arson, yaitu aktivitas pembakaran yang dilakukan dengan motif jelas: keuntungan
finansial, balas dendam, atau alasan lain dan direncanakan sebelumnya 6.
Pyromaniac menyulut api demi merangsang euforia, dan sering kali tertarik pada
hal-hal yang berkaitan dengan aktivitas pengendalian api, seperti pemadaman
kebakaran.

Menurut Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders edisi ke-4


revisi (DSM-IV-TR), piromania digolongkan ke dalam gangguan impuls-kontrol
yang tidak diklasifikasi di tempat lain bersama dengan Intermittent Explosive
Disorder (gangguan serangan/perusakan berselang), kleptomania (curi patologis),
judi patologis, trichotillomania (mania mencabut rambut), dan gangguan impuls-
kontrol lain yang tidak tergolongkan3. Selaras dengan DSM-IV-TR, menurut
Pedoman Penggolongan dan Diagnosis Gangguan Jiwa edisi ke-3, piromania
digolongkan ke dalam gangguan kebiasaan dan impuls (F63), yaitu gangguan
perilaku tertentu yang ditandai dengan tindakan berulang yang tidak mempunyai
motivasi rasional yang jelas, serta yang umumnya merugikan kepentingan
penderita sendiri dan orang lain (maladaptif)7.

Impulsivitas adalah kegagalan untuk menahan dorongan, drive, atau


godaan yang berpotensi membahayakan diri sendiri (misalnya trikotilomania, judi
patologis) atau orang lain (misalnya IED, pyromania, kleptomania) dan
merupakan masalah klinis umum serta gambaran inti tingkah laku manusia.
Dorongan bersifat gegabah dan tidak memiliki pertimbangan, bersifat tiba-tiba
dan singkat, atau peningkatan ketegangan yang mantap yang bisa mencapai
klimaks dalam ekspresi impuls yang eksplosif sehingga mengakibatkan tindakan
ceroboh tanpa memperhatikan konsekuensinya terhadap diri sendiri atau orang
lain. Impulsif dibuktikan sebagai perilaku yang diremehkan sebagai rasa bahaya,
kecerobohan, ekstroversi, ketidaksabaran, dan termasuk ketidakmampuan untuk
menunda kepuasan, dan kecenderungan mengambil risiko dan sensasi8.

2.1.2. Epidemiologi

Belum banyak informasi yang tersedia mengenai prevalensi piromania,


namun hanya sebagian kecil orang dewasa yang melakukan pembakaran yang
dapat digolongkan sebagai seorang yang pyromania. Gangguan ini ditemukan
jauh lebih sering pada pria dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 8:1. Lebih
dari 40% arsonis yang tertangkap berusia di bawah 18 tahun6.

Berdasarkan suatu penelitian di Universitas Erlangen dan Universitas


Hannover Jerman, dibandingkan dengan gangguan impuls-kontrol spesifik
lainnya, piromania merupakan gangguan impuls kontrol dengan prevalensi paling
sedikit bersama dengan kleptomania pada pasien psikiatrik rawat inap. Dari 234
pasien rawat inap yang diteliti, tidak ada yang mengidap gangguan impuls-
kontrol spesifik berupa piromania4. Demikian pula dalam studi di Finlandia, dari
90 residivis pembakaran yang diteliti, hanya tiga (3,3%) memenuhi kriteria DSM-
IV-TR untuk pyromania. Sembilan residivis pembakaran lainnya bisa saja
memenuhi kriteria pyromania namun mereka memiliki riwayat mengonsumsi
alkohol pada saat pembakaran, sehingga gagal memenuhi kriteria E5.

2.1.3. Etiologi

Etiologi piromania sendiri masih belum jelas. Beberapa teori telah


dikemukakan dan beberapa penelitian tentang perilaku piromania juga telah
dilakukan. Dari segi psikososial, Freud melihat api sebagai simbol seksualitas.
Beliau percaya kehangatan yang dipancarkan oleh api membangkitkan sensasi
yang sama yang menyertai keadaan eksitasi seksual, dan bentuk serta gerakan api
megisyaratkan aktivitas penis. Psikoanalis lain mengaitkan piromania dengan
keinginan yang tidak normal akan kekuatan dan prestise sosial. Beberapa pasien
dengan pyromania adalah petugas pemadam kebakaran sukarela yang menyalakan
api untuk membuktikan diri mereka berani, untuk memaksa petugas pemadam
lain melakukan tindakan, atau untuk menunjukkan kekuatan mereka untuk
memadamkan api. Tindakan pembakar adalah cara untuk melampiaskan
kemarahan yang terakumulasi karena frustrasi yang disebabkan oleh rasa
inferioritas sosial, fisik, atau seksual. Beberapa penelitian mencatat bahwa ayah
pasien pyromania jarang berada di rumah. Jadi, satu penjelasan tentang
pembakaran adalah bahwa hal itu merupakan harapan bagi ayah yang tidak hadir
untuk kembali ke rumah sebagai penyelamat, memadamkan api, dan
menyelamatkan anak dari keberadaan yang sulit.

Dari segi faktor biologis, tingkat CSF 5-HIAA dan 3-methoxy-4-


hydroxyphenylglycol (MHPG) yang signifikan rendah telah ditemukan pada para
pembakar, yang menunjukkan kemungkinan keterlibatan serotonergik atau
adrenergik. Adanya hipoglikemia reaktif, berdasarkan konsentrasi glukosa darah
pada uji toleransi glukosa, telah diajukan sebagai penyebab piromania. Diperlukan
penelitian lebih lanjut6.

Temuan penelitian baru mengaitkan berbagai bentuk perilaku impulsif,


termasuk perilaku bunuh diri impulsif, agresi impulsif, dan pembakaran impulsif,
dengan biomarker berupa fungsi serotonergik yang berubah. Dalam semua
keadaan ini, impulsif dipahami sebagai ekspresi cepat perilaku yang tidak
direncanakan, terjadi sebagai respons terhadap pemikiran mendadak. Hal ini
dilihat oleh beberapa orang sebagai lawan polos dari perilaku obsesif, di mana
pertimbangan atas sebuah tindakan mungkin tampak tidak akan berakhir.
Meskipun aspek perilaku impulsif yang tiba-tiba dan tidak terencana mungkin ada
dalam gangguan impulsif (seperti pada IED dan kleptomania), konotasi utama
kata impulsif, seperti yang digunakan untuk menggambarkan kondisi ini, adalah
ketidakterbatasan dorongan untuk bertindak8.

2.1.4. Gambaran Klinis

Berdasarkan PPDGJ III, gambaran yang esensial dari gangguan piromania


adalah:

a. Berulang-ulang melakuka pembakaran tanpa motif yang jelas, misalnya


motif untuk mendapatkan uang, balas dendam, atau alasan politik;
b. Sangat tertarik menonton peristiwa kebakaran; dan
c. Perasaan tegang sebelum melakukan dan sangat terangsang (intense
excitement) segera setelah berhasil dilaksanakan7.

2.1.5. Diagnosis
Berdasarkan DSM-IV-TR, diagnosis piromania ditegakkan melalui enam
kriteria diagnostik (disebut kriteria A – F):

A. Disengaja dan sengaja menyalakan api pada lebih dari satu kesempatan.
B. Ketegangan atau gairah afektif sebelum bertindak.
C. Memiliki daya tarik dengan, ketertarikan pada, rasa ingin tahu, atau atraksi
untuk menyalakan api dan konteks situasinya (misalnya, perlengkapan,
penggunaan, konsekuensi).
D. Kesenangan, kepuasan, atau kelegaan saat menyetel kebakaran, atau saat
menyaksikan atau ikut serta setelahnya.
E. Pengaturan kebakaran tidak dilakukan untuk keuntungan moneter, sebagai
ungkapan ideologi sosiopolitik, untuk menyembunyikan aktivitas kriminal,
untuk mengungkapkan kemarahan atau balas dendam, untuk memperbaiki
keadaan hidup seseorang, sebagai tanggapan atas khayalan atau halusinasi,
atau sebagai akibat dari gangguan penghakiman (misalnya, dalam
demensia, Retardasi Mental, Intoksikasi zat).
F. Pembakaran tersebut tidak dihitung untuk orang dengan gangguan
perilaku, episode manik, atau gangguan kepribadian antisosial3.

2.1.6. Diagnosis Banding

Penting untuk menyingkirkan penyebab lain dari kejadian pembakaran


sebelum menegakkan diagnosis pyromania.

a. Pembakaran yang disengaja dilakukan untuk mencari keuntungan


tertentu, sabotase, atau balas dendam; menyembunyikan kejahatan;
membuat pernyataan politik (misalnya, tindakan terorisme atau protes);
atau untuk menarik perhatian atau pengakuan (mis., menyetel api untuk
menemukannya dan menyelamatkannya).
b. Pembakaran juga dapat terjadi sebagai bagian dari eksperimen
perkembangan di masa kanak-kanak (mis., bermain dengan korek api,
mancis, atau api).
c. Beberapa individu dengan gangguan mental menggunakan api untuk
mengkomunikasikan keinginan, hasrat, atau kebutuhan, yang sering
diarahkan untuk mendapatkan perubahan sifat atau lokasi pelayanan.
Bentuk pembakaran ini disebut sebagai "pembakaran komunikatif" dan
harus dibedakan dengan saksama dari pyromania.
d. Diagnosis terpisah dari pyromania tidak diberikan saat pembakaran terjadi
sebagai bagian dari gangguan perilaku, Episode Manik, atau
Gangguan Kepribadian Antisosial, atau jika terjadi sebagai respons
terhadap waham atau halusinasi (misalnya pada skizofrenia)
e. Bukan efek fisiologis langsung dari kondisi medis umum (misalnya,
epilepsi).
f. Diagnosis pyromania juga tidak boleh diberikan saat pengaturan api
diakibatkan oleh gangguan kognitif terkait dengan demensia, retardasi
mental, atau intoksikasi zat3.

2.1.7. Tatalaksana

Literatur tentang pengobatan pyromania masih sedikit, dan mengobatinya


sulit karena kurangnya motivasi. Tidak ada pengobatan tunggal yang terbukti
efektif sehingga segala modalitas, termasuk pendekatan perilaku, harus dicoba.
Oleh karena sifat berulang pyromania, program perawatan apapun harus
mencakup pengawasan pasien untuk mencegah episode peringatan pengaturan
kebakaran. Penahanan (incarceration) merupakan satu-satunya cara untuk
mencegah kekambuhan. Terapi perilaku kemudian bisa diberikan di institusi.
Piromania pada anak-anak harus ditangani dengan sangat serius. Intervensi
intensif harus dilakukan bila memungkinkan, namun sebagai tindakan terapeutik
dan pencegahan, bukan sebagai hukuman. Dalam kasus anak-anak dan remaja,
pengobatan piromania harus mencakup terapi keluarga6.
2.1.8. Prognosis

Meskipun pembakaran sering dilakukan pada masa kanak-kanak, usia khas


onset piromania tidak diketahui. Saat onset di masa remaja atau dewasa,
pembakaran cenderung bersifat sengaja dan merusak. Pembakaran pada piromania
bersifat episodik dan frekuensinya mungkin naik-turun. Prognosis untuk
piromania pada anak-anak yang mendapatkan tatalaksana adalah baik, dan remisi
yang lengkap adalah tujuan yang realistis. Prognosis untuk orang dewasa terjaga,
karena mereka sering menyangkal tindakan mereka, menolak untuk bertanggung
jawab, bergantung pada alkohol, dan kurang memiliki wawasan6.
BAB III

KESIMPULAN DAN SARAN

3.1. KESIMPULAN

Piromania merupakan gangguan impulsif dan kontrol berupa pembakaran


yang dilakukan secara berulang dan disengaja tanpa motif yang jelas disertai
perasaan tegang sebelum membakar dan perasaan sangat terangsang setelahnya.
Piromania merupakan tipe gangguan impulsif dan kontrol yang prevalensinya
jarang dibandingkan tipe gangguan impulsif dan kontrol lainnya. Etiologi
piromania sendiri belum jelas, meskipun ada beberapa teori dan penelitian yang
mengaitkan piromania dengan aktivitas serotonergik. Diagnosis piromania
ditegakkan berdasarkan kriteria-kriteria diagnosis DSM-IV-TR tentang piromania.
Penatalaksanaan piromania dilakukan secara menyeluruh, terapi pengobatan
bersifat simtomatik. Prognosis pada anak-anak yang ditatalaksana lebih baik
daripada piromania pada orang dewasa.

3.2. SARAN

Piromania perlu dibedakan dengan aktivitas pembakaran lainnya yang


memiliki motif yang jelas, serta aktivitas pembakaran yang mungkin disebabkan
oleh gangguan kejiwaan lainnya dan yang merupakan efek dari intoksikasi zat
tertentu. Meskipun kejadiannya jarang, perlu diadakan penelitian-penelitian lebih
lanjut tentang piromania agar bisa menjadi rujukan dalam melakukan diagnosis
dan terapi yang lebih baik.
DAFTAR PUSTAKA

1. Palermo G. B. A Look at Firesetting , Arson , and Pyromania. 2015;


(1932):6–7.
2. Ward, A. K., Ruttle, E.M., Mackay, S. Pyromania. 2015;1–4.
3. American Psychiatric Association. Diagnostic And Statistical Manual Of
Mental Disorders, Fourth Edition, Text Revision. 2000. pg: 669-671;
4. Müller A, Rein K, Kollei I, Jacobi A, Rotter A, Schütz P, et al. Impulse
control disorders in psychiatric inpatients. Psychiatry Res [Internet].
2011;188(3):434–8. pg: 4-5. Available from:
http://dx.doi.org/10.1016/j.psychres.2011.04.006
5. Netherton E. Fire Setting and the Impulse-Control Disorder of Pyromania.
1967;14–6.
6. Sadock B, Sadock V, Grebb J. Kaplan and Sadock’s Synopsis of Psychiatry,
10th ed. Lippincott Williams and Wilkins; 2007. pg: 777-779
7. Maslim, R. Diagnosis Gangguan Jiwa, Rujukan Ringkas dari PPDGJ III.
Bagian Ilmu Kedokteran Jiwa FK Unika Atmajaya. 2001. hal: 108-109;
8. Kirsch JL, Simeon D, Berlin H. Impulse Control Disorders : Intermittent
Explosive Disorder , Kleptomania , and Pyromania. 2014. 1-87 p.

Anda mungkin juga menyukai