Anda di halaman 1dari 40

BAB I

PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang

Berbagai macam pembaruan dilakukan agar dapat meningkatkan kualitas

pendidikan yang sudah ada seperti pembaharuan terhadap ilmu pengetahuan yang

dapat dilaksanakan melalui pendidikan. Pendidikan yang bermutu hanya akan dicapai

apabila proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru yang bermutu. Salah satu upaya

untuk meningkatkan kualitas pendidikan dapat ditempuh dengan memperbaiki kualitas

pembelajaran.

Salah satu komponen penting dalam mengelola pembelajaran adalah guru. Oleh

karena itu, guru harus berperan aktif dalam membimbing peserta didik untuk belajar.

Melalui guru peserta didik dapat memperoleh transfer pengetahuan dan pemahaman

yang dibutuhkan untuk pengembangan dirinya. Untuk itu guru harus mampu

merancang bagaimana peserta didik dapat berpartisipasi dalam pembelajaran.

Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai bidang yang memberikan pengalaman

belajar cara berfikir dari struktur pengetahuan yang utuh, IPA menggunakan

pendekatan empiris yang sistematis dalam mencari penjelasan fenomena alam.

Menurut Asy’ari (2006) IPA merupakan suatu faktor yang mengharuskan peserta didik

selain menguasai teori juga dapat mengaplikasikan konsep dalam kehidupan sehari-

hari. Namun, Kenyataannya peserta didik belum mampu mengaplikasikan teori dengan

kehidupan nyata atau alam sekitar. Bidang IPA merupakan ilmupengetahuan yang

dianggap sulit terutama kimia. Hal ini dipertegas oleh Sudjana (2014) yang

menyatakan bahwa “sampai saat ini masih banyak orang yang beranggapan bahwa IPA
merupakan ilmu pengetahuan yang sulit untuk dipelajari, namun sangat penting

diberikan pada siswa”. Hal ini berdampak pada hasil belajar peserta didik.

Kimia adalah salah satu mata pelajaran ilmu alam mempelajari gejala-gejala

alam, tapi mengkhususkan diri di dalam mempelajari struktur, susunan, sifat dan

perubahan materi, serta energi yang menyertai perubahan materi (Ratri, 2013).

Pembelajaran kimia diarahkan pada pendekatan saintifik dimana keterampilan proses

sains dilakukan melalui percobaan untuk membuktikan sebuah kebenaran sehingga

berdasarkan pengalaman secara langsung membentuk konsep, prinsip, serta teori yang

melandasinya (Magdalena, Octaviany. 2014).

Penelitian ini dilatarbelakangi oleh rendahnya hasil belajar yang dicapai siswa.

Dari hasil pengamatan selama proses pembelajaran menunjukkan bahwa siswa kurang

aktif, kurang kreatif dalam mengikuti proses pembelajaran, daya saing siswa kurang,

siswa kurang percaya diri dalam memecahkan masalah, dan guru jarang melaksanakan

inovasi pembelajaran sehingga proses pembelajaran masih berpusat pada guru. Hal ini

sejalan dengan hasil observasi terhadap hasil pembelajaran Kimia SMA Negeri 1

Dungaliyo tahun ajaran 2018/2019, wawancara dengan guru pengajar kimia dan

beberapa siswa di kelas tersebut, dapat diidentifikasi beberapa faktor penyebab

rendahnya hasil belajar kimia siswa adalah sebagai berikut :

Pertama, model pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran

kimia sering tidak sesuai dengan perencanaan. Kedua, kurangnya motivasi belajar dan

konsep diri siswa dapat diamati dari partisipasi siswa di kelas yang sangat kurang.

Motivasi dan konsep diri yang lemah dalam belajar terjadi akibat dari permasalahan
yang disajikan oleh guru kurang bersifat kontekstual, serta pada awal pembelajaran

guru belum menggali pengetahuan awal siswa. Ketiga, sumber belajar kimia yang ada

di masyarakat dan lingkungan sekitar belum dimanfaatkan secara optimal untuk

kepentingan pembelajaran. Guru kimia masih terfokus hanya pada penggunaan buku

teks sebagai sumber belajar. Demikian pula LKPD yang digunakan dalam proses

pembelajaran belum menyentuh keterkaitan antara materi dengan konteks dalam

kehidupan sehari-hari. Akibanya siswa sulit menghubungkan antara teori dengan

kondisi riil di lapangan. Keempat, soal-soal yang diberikan pada siswa dalam ulangan

harian lebih banyak menuntut siswa untuk menghafalkan atau mengulang informasi-

informasi yang ada dalam buku teks, sehingga lebih menekankan aspek pengetahuan

dan pemahaman, jarang sekali memberikan soal tipe aplikasi, analisis, sintesis, evaluasi

maupun menciptakan. Akibatnya hasil belajar siswa masih rendah.

Hasil belajar siswa merupakan faktor yang sangat penting karena hasil belajar

yang dicapai oleh peserta didik merupakan alat untuk mengukur sejauh mana peserta

didik menguasai materi pelajaran yang diajarkan. Salah satu faktor yang

mempengaruhi rendahnya hasil belajar yaitu kurang bervariasinya model

pembelajaran. Pada proses pembelajaran berlangsung guru haruslah kreatif dalam

memberikan pembelajaran kepada peserta didik agar tidak terjadi kejenuhan. Hal ini

selain untuk menghilangkan kejenuhan dengan menggunakan pembelajaran yang

konvensional dapat membuat pelajaran itu mengesankan dan bermakna serta dapat

memotivasi guru untuk melakukan inovasi pembelajaran yaitu dengan menggunakan

model pembelajaran yang bervariasi.


Model pembelajaran adalah suatu rancangan pembelajaran yang dilakukan oleh

guru untuk mengajarkan suatu materi kepada peserta didik. Untuk menjelaskan materi

IPA khususnya pelajaran kimia diperlukan model yang sesuai dengan materi

pelajarannya, sehingga peserta didik dapat memahami materi tersebut. Selain itu materi

yang diberikan harus terintegrasi dengan kehidupan, sehingga dapat memecahkan

permasalahan yang dihadapi. Salah satu model pembelajaran yang mengintegrasikan

materi dengan kehidupan sehari-hari adalah model pembelajaran berbasis masalah.

Model Problem Based Learning merupakan suatu model pembelajaran yang

menuntut peserta didik mandiri dan mampu mencari serta memecahkan masalah yang

ada. Peserta didik dituntut untuk mampu memecahkan masalah dari masalah yang ada,

sehingga peserta didik lebih mandiri dan mampu mengembangkan kemampuan

berpikirnya. Dari hasil pengembangan berpikir peserta didik dapat memadukannya

dengan kehidupan nyata. Perpaduan ini dapat membuat pelajaran lebih bermakna,

sehingga dengan penggunaan model pembelajaran berbasis masalah dapat

meningkatkan hasil belajar peserta didik.

Berdasarkan uraian di atas, penulis tertarik untuk menggunakan model Problem

Based Learning dalam pembelajaran kimia dengan melaksanakan penelitian yang

berjudul “Pengaruh Model Problem Based Learning Terhadap Hasil Belajar Peserta

Didik pada Materi Konfigurasi Elektron Di SMA Negeri 1 Dungaliyo”.

1.2 Identifikasi Masalah


Berdasarkan latar belakang tersebut, dapat diidentifikasi permasalahan-

permasalahan sebagai berikut:

1) Model pembelajaran yang digunakan oleh guru dalam pembelajaran kimia

sering tidak sesuai dengan perencanaan.

2) Peserta didik umumnya kurang aktif berpartisipasi dalam kegiatan proses

pembelajaran di kelas.

3) Peserta didik masih kesulitan dalam menerapkan pengetahuan yang dimiliki

dalam kehidupan sehari-hari.

4) Pembelajaran Kimia lebih sering dianggap sebagai suatu produk yang diperoleh

dengan cara menghafalkan suatu konsep dan bukan memahami konsep Kimia

tersebut.

1.3 Rumusan Masalah

Berdasarkan identifikasi masalah, maka dapat dirumuskan permasalahannya

yaitu apakah terdapat pengaruhmodel Problem Based Learning terhadap hasil belajar

peserta didik pada materi konfigurasi elektron di SMA Negeri 1 Dungaliyo?

1.4 Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian ini yaitu untuk mengetahui pengaruh model Problem Based

Learning terhadap hasil belajar siswa pada materi konfigurasi elektron di SMA Negeri

1 Dungaliyo.
1.5 Manfaat Penelitian

Adapun manfaat penelitian adalah sebagai berikut:

1) Bagi Calon Guru kimia

a. Untuk melatih diri mencari solusi dalam mengelola pembelajaran di kelas.

b. Memberikan gambaran dalam menggunakan model pembelajaran yang

bervariasi apabila nanti mengajar kimia di sekolah.

2) Bagi Peserta Didik

a. Memberikan suasana belajar lebih kondusif dan menyenangkan sehingga

peserta didik tidak jenuh belajar.

b. Melatih kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis terhadap suatu

permasalahan.

3) Bagi Guru

Hasil penelitian ini dapat digunakan guru untuk menggunakan model Problem

Based Learning sebagai alternatif dan bahan pertimbangan bagi guru dalam upaya

meningkatkan hasil belajar pada diri siswa dalam pembelajaran kimia.


BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hasil Belajar

Menurut Abdurrahman, 2003 dalam keseluruhan proses pendidikan di sekolah,

kegiatan belajar merupakan kegiatan yang paling pokok. Ini berarti bahwa berhasil

tidaknya pencapaian tujuan pendidikan banyak bergantung pada bagaimana proses

belajar yang dialami oleh siswa sebagai anak didik. Hasil belajar adalah kemampuan

yang diperoleh anak setelah melalui kegiatan belajar.

Hasil belajar merupakan bukti kemampuan atau keberhasilan siswa yang

didapatkan dari serangkaian proses belajar. Belajar pada hakikatnya adalah perubahan

yang terdiri didalam diri seseorang setelah berakhirnya melakukan aktivitas belajar

(Dalem, 2017). Hasil belajar adalah tingkat kemampuan peserta didik dalam menerima

suatu jenis pembelajaran yang diberikan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar

(Roestiyah, 1989).

Hamalik dalam Wulandari (2013) menyatakan bahwa hasil belajar

menunjukkan pada prestasi belajar sedangkan prestasi belajar itu merupakan indikator

adanya perubahan tingkah laku siswa. Hasil belajar sebagai tanda terjadinya perubahan

tingkah laku dalam bentuk perubahan pengetahuan. Perubahan tersebut terjadi dengan

peningkatan dan pengembangan yang lebih baik dibandingkan dengan yang

sebelumnya, misalnya dari tidak tahu menjadi tahu.

Hasil belajar memuat tiga ranah. Menurut Dimyati dalam Septiani (2013) yaitu:

a. Ranah kognitif
Ranah kognitif terdiri dari enam jenis perilaku, yaitu pengetahuan, pemahaman,

penerapan, analisis, sintesis, dan evaluasi.

b. Ranah afektif

Ranah afekif terdiri dari lima perilaku, yaitu penerimaan, partisipasi, penilaian, dan

penentuan sikap, organisasi, dan pembentukan pola hidup.

c. Ranah psikomotor

Ranah psikomotor terdiri dari tujuh jenis perilaku, yaitu persepsi, kesiapan, gerakan

terbimbing, gerakan yang terbiasa, gerakan kompleks, penyesuaian gerakan, dan

kreativitas.

Berdasarkan pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa hasil belajar adalah

sesuatu yang diperoleh setelah melakukan proses pembelajaran atau dapat juga

dikatakan sebagai tingkat kemampuan peserta didik dalam menerima suatu jenis

pembelajaran yang diberikan oleh guru dalam kegiatan belajar mengajar.

Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar


Secara global, faktor-faktor yang mempengaruhi hasil belajar siswa dapat

dibedakan menjadi tiga macam, yaitu:

1. Faktor internal siswa

Faktor yang berasal dari dalam diri siswa meliputi dua aspek, yaitu:

a. Aspek fisiologis

Kondisi umum jasmani dan tonus (tegangan otot) yang menandai tingkat

kebugaran organ-organ tubuh dan sendi-sendinya, dapat mempengaruhi semangat dan

intensitas siswa dalam mengikuti pelajaran. Kondisi organ tubuh yang lemah, apalagi
jika disertai pusing-pusing kepala misalnya, dapat menurunkan kualitas ranah cipta

(kognitif) sehingga materi yang dipelajarinya pun kurang atau tidak berbekas.

b. Aspek psikologis

Banyak faktor yang termasuk aspek psikologis yang dapat mempengaruhi kuantitas

dan kualitas perolehan pembelajaran siswa. Namun, menurut Muhibbin diantara faktor-

faktor rohaniah siswa pada umumnya dipandang lebih esensial adalah sebagai berikut:

Pertama, tingkat kecerdasan/inteligensi siswa, pada umumnya inteligensi

dapat diartikan sebagai kemampuan psiko-fisik untuk mereaksi rangsangan atau

menyesuaikan diri dengan lingkungan dengan cara yang tepat sehingga tidak dapat

diragukan lagi bahwa inteligensi (IQ) sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar

siswa. Ini berarti semakin tinggi kemampuan inteligensi seorang siswa maka semakin

besar peluangnya untuk meraih sukses. Kedua, sikap siswa, sikap adalah gejala

internal yang berdimensi afektif berupa kecenderungan untuk mereaksi atau merespon

(response tendency) dengan cara yang relatif tetap terhadap objek orang, barang, dan

sebagainya baik secara positif maupun negatif. Sikap (attitude) siswa yang positif,

merupakan pertanda awal yang baik bagi proses belajar siswa. Sebaliknya, sikap

negatif siswa dapat menimbulkan kesulitan belajar siswa. Ketiga, bakat siswa, secara

umum bakat (aptitude) adalah kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk

mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang. Dengan demikian, sebetulnya

setiap orang pasti memiliki bakat dalam arti berpotensi untuk mencapai prestasi sampai

ke tingkat tertentu sesuai dengan kapasitas masing-masing. Keempat, minat siswa

(interest) berarti kecenderungan dan kegairahan yang tinggi atau keinginan yang besar
terhadap sesuatu. Kelima, motivasi siswa, motivasi berarti pemasuk daya (energizer)

untuk bertingkah laku secara terarah (Syah, 2001).

Dari faktor-faktor internal siswa diatas dapat disimpulkan bahwa

kecerdasan/intelligensi siswa sangat menentukan tingkat keberhasilan belajar siswa,

sedangkan bakat merupakan kemampuan potensial yang dimiliki seseorang untuk

mencapai keberhasilan pada masa yang akan datang.

2. Faktor eksternal siswa

Seperti faktor internal siswa, faktor eksternal siswa juga terdiri atas tiga macam,

yaitu:

a. Lingkungan sosial

Lingkungan sosial sekolah seperti para guru, para staf administrasi, dan teman-

teman sekolah dapat mempengaruhi semangat belajar seorang siswa. Guru adalah

pengajar yang mendidik. Guru tidak hanya mengajar bidang studi yang sesuai dengan

keahliannya, tetapi juga menjadi pendidik, guru memusatkan perhatian pada

kepribadian siswa, khususnya berkenaan dengan kebangkitan belajar. Kebangkitan

belajar tersebut merupakan wujud emansipasi diri siswa. Tiap siswa berada dalam

lingkungan sosial siswa di sekolah. Ia memiliki kedudukan dan peranan yang diakui

oleh sesama. Jika seorang siswa terterima, maka siswa dengan mudah menyesuaikan

diri dan segera dapat belajar. Sebaliknya, jika siswa tertolak, maka Dia akan merasa

tertekan.
b. Lingkungan non-sosial

Faktor-faktor yang termasuk lingkungan nonsosial ialah prasarana dan sarana

pembelajaran. Prasarana pembelajaran meliputi gedung sekolah, ruang belajar,

lapangan olahraga, ruang ibadah, ruang kesenian, dan peralatan olahraga. Sarana

pembelajaran meliputi buku pelajaran, buku bacaan, alat dan fasilitas laboratorium

sekolah, serta berbagai media pengajaran yang lain. Lengkapnya prasarana dan sarana

pembelajaran merupakan kondisi pembelajaran yang baik.

c. Faktor pendekatan belajar (approach to learning),

Faktor pendekatan belajar (approach to learning) yaitu jenis upaya belajar

siswa yang meliputi strategi dan metode yang digunakan siswa untuk melakukan

kegiatan pembelajaran materi-materi pelajaran (Dimyati, 2006).

Dari faktor-faktor eksternal diatas dapat disimpulkan bahwa faktor eksternal

siswa sangat berpengaruh terhadap hasil belajar. Lingkungan yang penuh dengan

kompetisi, sehat, dan kondusif membuat pembelajaran yang nyaman sehingga siswa

akanmudah untuk menerima pelajaran yang diberikan.

2.2 Model Problem Based Learning

Menurut Soimin, A. (2014) mengemukakan bahwa model pembelajaran

Problem Based Learning merupakan pembelajaran yang diarahkan oleh suatu

permasalahan sehari-hari. Sedangkan menurut Riyanto dalam Megaria (2014) adalah

suatu model pembelajaran yang dirancang dan dikembangkan untuk mengembangkan

kemampuan peserta didik memecahkan masalah.


Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang melibatkan

siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa

dapat memahami pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan

sekaligus memiliki keterampilan bagi siswa untuk memecahkan masalah.

Pembelajaran berbasis masalah sebagai suatu pendekatan pembelajaran yang

menggunakan masalah kehidupan sehari-hari sebagai suatu konteks bagi siswa untuk

belajar tentang cara berpikir kritis dan keterampilan pemecahan masalah yang disertai

dengan diperolehnya pengetahuan dan konsep yang esensial dari materi pelajaran

(Dalem, 2017).

Problem Based Learning merupakan pembelajaran yang penyampaiannya

dilakukan dengan cara menyajikan suatu permasalahan,mengajukan pertanyaan-

pertanyaan,memfasilitasi penyelidikan, dan membuka dialog permasalahan yang dikaji

hendaknya merupakan permasalahan kontekstual yang ditemukan perserta didik dalam

kehidupan sehari-hari (Sani, 2014).

Menurut Fatimah (2014) bahwa model Problem Based Learning merupakan

model pembelajaran yang dapat membantu peserta didik untuk aktif dan mandiri dalam

mengembangkan kemampuan berpikir memecahkan masalah melalui pencarian data.

Model Problem Based Learning (PBL) adalah model pembelajaran yang ditandai

dengan kegiatan menyajikan kepada siswa situasi masalah yang autentik dan bermakna

yang dapat memberikan kemudahan kepada siswa untuk melakukan penyelidikan dan

inkuiri.
Menurut Suyanto & Jihad (2013) adalah untuk memberikan kemampuan dasar

dan teknik kepada siswa agar mampu memecahkan masalah, ketimbang hanya dicekoki

dengan sejumlah data dan informasi yang harus dihafalkan. Dengan metode mengajar

ini, pendidik memberikan bekal kepada siswa tentang kemampuan untuk memecahkan

masalah dengan menggunakan kaidah ilmiah tentang teknik dan langkah-langkah

berpikir kritis dan rasional. Bekal kemampuan tentang kaidah dasar dan teknik-teknik

pemecahan masalah tersebut akan sangat bermanfaat dalam kehidupan nyata.

Berdasarkan beberapa pendapat, dapat disimpulkan bahwa model pembelajaran

berbasis masalah adalah model pembelajaran yang dapat memecahkan masalah dengan

menghubungkannya dalam kehidupan sehari-hari melalui tahap-tahap tertentu. Dengan

model Problem Based Learning ini siswa lebih aktif dan mandiri dalam memecahkan

masalah yang telah diberikan oleh guru sehingga dapat mengembangkan cara berpikir

siswa untuk menemukan solusi pemecahan masalah berdasarkan data yang dicari

ditempat sekitar siswa.

Karakteristik Problem Based Learning

Problem Based Learning memiliki karakteristik-karakteristik sebagai berikut:

1) Belajar dimulai dengan suatu masalah,

2) Memastikan bahwa masalah yang diberikan berhubungan dengan dunia nyata

siswa/mahasiswa,

3) Mengorganisasikan pelajaran diseputar masalah bukan diseputar disiplin ilmu,

4) Memberikan tanggung jawab yang besar kepada pelajar dalam membentuk dan

menjalankan secara langsung proses belajar mereka sendiri,


5) Menggunakan kelompok kecil, dan

6) Menuntut pelajar untuk mendemontrasikan apa yang telah mereka pelajari dalam

bentuk suatu produk atau kinerja (Ngalimun, 2012).

Berdasarkan pendapat tentang model Problem Based Learning disimpulkan

bahwa pada model pembelajaran ini siswa terlibat langsung dalam pemecahan masalah

yang telah diberikan oleh guru dimana masalah yang digunakan adalah kehidupan

sehari-hari siswa dengan langkah-langkah pembelajaran seperti orientasi siswa pada

masalah, mengorganisasi siswa untuk belajar, membimbing penyelidikan terhadap

masalah, menyajikan hasil dari penyelidikan dan mengevaluasi proses pemecahan

masalah.

Menurut Shahram (2002), pembelajaran berdasarkan masalah memiliki ciri

seperti berikut ini.

a. Berpusat pada siswa, guru sebagai fasilitator atau pembimbing. Pada pembelajaran

disajikan situasi bermasalah. Peserta didik dibimbing untuk belajar

mengembangkan pengetahuan dan keterampilan menyelesaikan masalah. Peserta

didik belajar bersama kelompok yang nantinya informasi yang mereka peroleh dapat

bermakna bagi dirinya sendiri.

b. Belajar melampaui target. Kemampuan memecahkan masalah dalam model ini

membantu menganalisis situasi. Masalah yang diberikan merupakan wahana belajar

untuk mengembangkan keterampilan pemecahan masalah.

Menurut Arends (2008), model pembelajaran berdasarkan masalah memiliki

karakteristik sebagai berikut:


a. Pengajuan pertanyaan atau masalah. Pembelajaran berdasarkan masalah

mengorganisasikan pengajaran di sekitar masalah sosial yang penting bagi peserta

didik. Peserta didik dihadapkan pada situasi kehidupan nyata, mencoba membuat

pertanyaan terkait masalah dan memungkinkan munculnya berbagai solusi untuk

menyelesaikan permasalahan.

b. Berfokus pada keterkaitan antardisiplin. Meskipun pembelajaran berdasarkan

masalah berpusat pada pelajaran tertentu (IPA, matematika, sejarah), namun

permasalahan yang diteliti benar-benar nyata untuk dipecahkan. Peserta didik

meninjau permasalahan itu dari berbagai mata pelajaran.

c. Penyelidikan autentik. Pembelajaran berdasarkan masalah mengharuskan peserta

didik untuk melakukan penyelidikan autentik untuk menemukan solusi nyata untuk

masalah nyata. Peserta didik harus menganalisis dan menetapkan masalah,

kemudian mengembangkan hipotesis dan membuat prediksi, mengumpulkan dan

menganalisis informasi, melaksanakan percobaan (bila diperlukan), dan menarik

kesimpulan.

d. Menghasilkan produk dan mempublikasikan. Pembelajaran berdasarkan masalah

menuntut peserta didik untuk menghasilkan produk tertentu dalam bentuk karya

nyata atau peragaan yang dapat mewakili penyelesaian masalah yang mereka

temukan.

e. Kolaborasi. Pembelajaran berdasarkan masalah ditandai oleh peserta didik yang

saling bekerja sama, paling sering membentuk pasangan dalam kelompok-

kelompok kecil. Bekerja sama memberi motivasi untuk secara berkelanjutan dalam
penugasan yang lebih kompleks dan meningkatkan pengembangan keterampilan

sosial.

Berdasarkan uraian dari beberapa ahli dapat ditarik kesimpulan bahwa

karakteristik model pembelajaran berdasarkan masalah adalah menekankan pada upaya

penyelesaian permasalahan. Peserta didik dituntut aktif untuk mencari informasi dari

segala sumber berkaitan dengan permasalahan yang dihadapi. Hasil analisis peserta

didik nantinya digunakan sebagai solusi permasalahan dan dikomunikasikan.

Kelebihan dan Kelemahan Model Problem Based Learning

Kelebihan Model Problem Based Learning menurut Shoimin, A. (2014)

sebagai berikut:

1) Siswa didorong untuk memiliki kemampuan memecahkan masalah dalam situasi

nyata

2) Siswa memilki kemampuan membangun pengetahuannya sendiri melalui aktivitas

belajar

3) Pembelajaran berfokus pada masalah sehingga materi yang tidak ada hubungannya

tidak perlu dipelajari oleh siswa. Hal ini mengurangi beban siswa dengan menghafal

atau menyimpan informasi.

4) Terjadi aktivitas ilmiah pada siswa melalui kerja kelompok.

5) Siswa terbiasa menggunakan sumber-sumber pengetahuan, baik dari perpustakaan,

internet, wawancara, dan observasi.

6) Siswa memiliki kemampuan untuk melakukan komunikasi ilmiah dalam kegiatan

diskusi atau presentasi hasil pekerjaan mereka.


7) Kesulitan belajar siswa secara individual dapat diatasi melalui kerja kelompok

Adapun kelemahan model Problem Based Learning yaitu :

1) Model Problem Based Learning tidak dapat diterapkan untuk setiap materi

pelajaran, ada bagian guru berperan aktif dalam menyajikan materi. Model Problem

Based Learning lebih cocok untuk pembelajaran yang menuntut kemampuan

tertentu yang kaitannya dengan pemecahan masalah.

2) Dalam satu kelas yang memiliki tingkat keragaman siswa yang tinggi akan terjadi

kesulitan dan pembagian tugas.

Sintaks model Problem Based Learning

Sintaks PBLmenurut Muslimin (2012) dapat dilihatpada Tabel 2.1


Tabel 2.1 Sintaks model PBL
Tahap Aktifitas Guru Aktifitas Siswa

Orientasi siswa Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, Siswa mendengarkan


pada masalah menjelaskan logistik yang dibutuhkan, tujuan pembelajaran yang
mengajukan fenomena atau demonstrasi atau disampaikan oleh guru dan
cerita untuk memunculkan masalah, menentukan masalah yang
3memotivasi siswa untuk terlibat dalam akan dipecahkan
penyelesaian masalah yang dipilihnya

Mengorganisasi Guru membantu siswa untuk mendefinisikan Meninjau masalah secara


siswa untuk dan mengorganisasikan tugas belajar yang kritis dari berbagai sudut
belajar berhubungan dengan masalah tersebut dan pandang dan membentuk
membentuk kelompok belajar kelompok

Membimbing Guru mendorong siswa untuk Siswa merumuskan


penyelidikan mengumpulkan informasi yang sesuai, berbagai kemungkinan
individual maupun melaksanakan eksperimen, untuk pemecahan sesuai dengan
kelompok mendapatkan penjelasan dan pemecahan pengetahuan yang
masalah dimilikinya, serta mencari
dan menggambarkan
informasi yang diperlukan
untuk pemecahan masalah
Mengembangkan Guru membantu siswa dalam Siswamenyajikan hasil
dan menyajikan merencanakan dan menyiapkan karyanya yang sesuai
hasil karya karya yang sesuai seperti dengan permasalahan yang
laporan, video, dan model serta telah dibahas
membantu mereka untuk
berbagi tugas dengan temannya
Menganalisis dan Guru membantu siswa untuk melakukan Siswa melakukan refleksi
mengevaluasi refleksi atau evaluasi terhadap penyelidikan atau evaluasi terhadap
proses pemecahan mereka dan proses-proses yang mereka penyelidikan mereka dan
masalah gunakan proses-proses yang
digunakan

2.1. Konfigurasi Elektron


Suatu cara penulisan yang menunjukkan distribusi elektron dalam orbital-

orbital pada kulit utama dan subkulit disebut konfigurasi elektron. Pada penulisan

konfigurasi elektron perlu dipertimbangkan tiga aturan (asas), yaitu prinsip Aufbau,

asas larangan Pauli, dan kaidah Hund.

1. Prinsip Aufbau

“Pengisian Orbital selalu dimulai dari subkulit dengan tingkat energi

energi terendah”. Elektron-elektron dalam suatu atom berusaha untuk menempati

subkulit-subkulit yang berenergi rendah, kemudian baru ke tingkat energi yang lebih

tinggi. Dengan demikian, atom berada pada tingkat energi minimum. Pengisisan orbital

dapat dilihat pada Gambar 2.1.

1s Jumlah elektron maksimal pada sub


kulit : S=2, P=6, d=10, f=14
2s 2p

3s 3p 3d 1s2 2s2 2p6 3s2


4s 4p 4d 4f 3p64s2 3d104p6 5s2
5s 5p 5d 5f 4d10 5p6 6s2 4f14
6s 6p 6d
5d10 6p6 7s2 5f14
6d10 7p6
7s 7p
Gambar 2.1 Pengisian Orbital Menurut Aufbau
Jadi, pengisian orbital dimulai dari orbital 1s, 2s, 2p, dan seterusnya. Pada

Gambar 2.1 dapat dilihat bahwa subkulit 3dmempunyai energi lebih tinggi daripada

subkulit 4s. Oleh karena itu, setelah 3pterisi penuh maka elektron berikutnya akan

mengisi subkulit 4s, kemudian akan mengisi subkulit 3d.

2. Kaidah Hund

Untuk menyatakan distribusi elektron-elektron pada orbital-orbital dalam suatu

subkulit, konfigurasi elektron dapat dituliskan dalam bentuk diagram orbital. Suatu

orbital dilambangkan dengan strip, sedangkan dua elektron yang menghuni satu orbital

dilambangkan dengan dua anak panah yang berlawanan arah. Jika orbital hanya

mengandung satu elektron, anak panah dituliskan mengarah ke atas.

Dalam kaidah Hund, dikemukakan oleh Friedrich Hund (1894 – 1968) pada

tahun 1930, disebutkan bahwa elektron-elektron dalam orbital-orbital suatu subkulit

cenderung untuk tidak berpasangan. Elektron-elektron baru berpasangan apabila pada

subkulit itu sudah tidak ada lagi orbital kosong. “Pada Orbital yang memiliki energi

sama, elektron tidak akan membentuk pasangan sebelum masing-masing berisi 1

elektron”.

Contoh : 4 elektron pada 2p4 ↑↓ ↑ ↑

3. Larangan Pauli

Pada tahun 1928, Wolfgang Pauli (1900 – 1958) mengemukakan bahwa tidak

ada dua elektron dalam satu atom yang boleh mempunyai keempat bilangan kuantum
yang sama. Dua elektron yang mempunyai bilangan kuantum utama, azimuth, dan

magnetik yang sama dalam satu orbital, harus mempunyai spin yang berbeda. Kedua

elektron tersebut berpasangan.

Setiap orbital mampu menampung maksimum dua elektron. Untuk

mengimbangi gaya tolak-menolak di antara elektron-elektron tersebut, dua elektron

dalam satu orbital selalu berotasi dalam arah yang berlawanan.

 Subkulit s (1 orbital) maksimum 2 elektron

 Subkulit p (3 orbital) maksimum 6 elektron

 Subkulit d (5 orbital) maksimum 10 elektron

 Subkulit f (7 orbital) maksimum 14 elektron

“Tidak ada dua elektron dalam satu orbital yang memiliki keempat

bilangan kuantum yang sama”.

Contoh asas larangan Pauli pada 3Li = 1s2 2s1


↑↓ ↑
1s2 2s1
e- Pertama : n=1, l=0, m=0, s=+1/2

e- Kedua : n=1, l=0, m=0, s=-1/2

e- Ketiga : n=2, l=0, m=0, s=+1/2

“Pasti ada bilangan kuantum yang beda”

4. Penyimpangan Konfigurasi Elektron


Berdasarkan eksperimen, terdapat penyimpangan konfigurasi elektron dalam

pengisian elektron. Penyimpangan pengisian elektron ditemui pada elektron yang

terdapat pada orbital subkulit d dan f.

Penyimpangan pada orbital subkulit d dikarenakan orbital yang setengah penuh

(d5) atau penuh (d10) bersifat lebih stabil dibandingkan dengan orbital yang hampir

setengah penuh (d4) atau hampir penuh (d8 atau d9). Dengan demikian, jika elektron

terluar berakhir pada d4, d8 atau d9 tersebut, maka satu atau semua elektron pada orbital

s (yang berada pada tingkat energi yang lebih rendah dari d) pindah ke orbital subkulit

d. Sebagai contoh untuk setengah penuh 24Cr dan untuk yang penuh 29Cu dapat dilihat

pada Tabel 2.2.

Tabel 2.2 Penyimpangan orbital subkulit d


Unsur Teoritis Kenyataan Eksperimen
24Cr [Ar] 4s23d4 [Ar] 4s13d5
29Cu [Ar] 4s2 3d9 [Ar] 4s13d10

5. Penulisan Konfigurasi Elektron Pada Ion

Konfigurasi ion positif dan negatif bergantung pada jumlah elektron yang

dimiliki ion tersebut. Atom-atom atau ion-ion yang memiliki jumlah elektron yang

sama disebut dengan isoelektronis dan konfigurasi elektronnya sama.

Penulisan konfigurasi elektron berlaku pada atom netral. Penulisan konfigurasi

elektron pada ion yang bermuatan pada dasarnya sama dengan penulisan konfigurasi

elektron pada atom netral.


Atom bermuatan positif (misalnya x+) terbentuk karena atom netral melepaskan

elektron pada kulit terluarnya sebanyak x, sedangkan ion negatif (misalnya y–)

terbentuk karena menarik elektron sebanyak y. Sebagai contoh, konfigurasi ion Na+

dengan F-. Ion Na+ dapat terbentuk jika atom Na melepaskan satu elektronnya (pada

3s1), sedangkan ion F- dapat terbentuk jika atom F menerima satu elektron. Konfigurasi

kedua ion itulah yang disebut dengan isoelektronis. Contoh penulisan konfigurasi

elektron Titanium (Z=22) yaitu:

22Z = 1s2 2s2 2p6 3s23p64s2 3d2


+
22Z = 1s2 2s2 2p6 3s23p64s2 3d1
-
22Z = 1s2 2s2 2p6 3s23p64s2 3d3

6. Hubungan Konfigurasi Elektron dengan Periode dan Golongan

Periode dapat ditentukan dengan nomor subkulit terluar dari konfigurasi

elektron, sedangkan golongan dapat ditentukan dengan:

 Jika elektron terakhir mengisi subkulit s pada sp terletak pada golongan A dan

IIA

 Jika elektron terakhir mengisi subkulit p pada sp terletak pada golongan III A s/d

VIIIA

 Jika elektron terakhir mengisi subkulit d pada s terletak pada golongan


s+d = 3 s/d 7 → Gol. IIIB s/d VIIB
Contoh: s+d = 11 → Gol. IB

s+dTentukan
= 8,9, 10 konfigurasi,
→ Gol. VIIIB s+d =
periode, dan golongan →(Z=26)!
12Fe
dari Gol. IIB

Jawab:
Konfigurasi Elektron :1s2 2s2 2p6 3s23p64s2 3d6

Periode :4

Golongan :VIIIB

2.2. Kajian Penelitian Yang Relevan

Beberapa penelitian yang terkait dengan judul penelitian ini yaitu penelitian

yang dilakukan oleh Raudhatul Hanifa di MAN 1 PIDIE tahun 2017 menyimpulkan

bahwa berdasarkan data yang dianalisis menggunakan uji t diperoleh nilai signifikan

0,000 < 0,005 maka dapat diputuskan bahwa H0 ditolak. Sehingga dapat disimpulkan

bahwa adanya pengaruh penggunaan model pembelajaran Problem Based Learning

(PBL) terhadap hasil belajar siswa pada materi stoikiometri di MAN 1 Pidie.

Penelitian selanjutnya dilakukan oleh I Dewa Putu Agastya Dalem di SMA

Negeri 1 Seputih Mataram 2017. Berdasarkan hasil pretest kelas eksperimen diperoleh

33,72 dan posttest sebesar 59,97 dengan peningkatan rata-rata hasil belajar sebesar

26,25 dan hasil pretest kelas kontrol diperoleh 36,19 dan posttest sebesar 50,28 dengan

peningkatan rata-rata hasil belajar sebesar 14,09. Berdasarkan hasil uji perbedaan hasil

belajar menggunakan Independent Sampel T Test diperoleh nilai signifikan sebesar

0,000 maka dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh penggunaan model

pembelajaran berbasis masalah terhadap hasil belajar fisika siswa. Dapat dikatakan

bahwa model pembelajaran berbasis masalah dapat meningkatkan hasil belajar siswa.

Penelitian lainnya dilakukan oleh I NyomanTriyana tahun 2014 di kelas V SD

GUGUS IV TAMPAKSIRING menunjukkan bahwa terdapat perbedaan yang

signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar melalui model pembelajaran
berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui pembelajaran konvesional. Hal ini

ditunjukkan dari hasil uji t sebesar 2,47. Pada taraf signifikansi 5% (α=0,05) atau

tingkat kepercayaan 95% dengan dk 31 + 32 – 2 = 61 diperoleh ttabel2,000. Jadi thitung

lebih besar dari ttabel yakni 2,47>2,000. Karena thitung>ttabel maka H0 ditolak. Yang

berarti ada perbedaan yang signifikan hasil belajar IPA antara siswa yang belajar

melalui model pembelajaran berbasis masalah dengan siswa yang belajar melalui

pembelajaran konvensional. Nilai rata-rata yang diperoleh antara siswa yang belajar

melalui model pembelajaran berbasis masalah yaitu sebesar 77,48 dan siswa yang

belajar melalui pembelajaran konvensional yaitu sebesar 69,78. Dengan demikian

dapat disimpulkan bahwa terdapat pengaruh model pembelajaran berbasis masalah

terhadap hasil belajar IPA siswa kelas V SD Gugus IV Tampaksiring.

Penelitian yang sejenis juga dilakukan oleh Novi Bandi pada tahun 2015 di

Kelas VIII SMP NEGERI 12 KENDARI menyimpulkan bahwa:(1) Hasil belajar

matematika siswa kelas VIII SMP Negeri 12 Kendari sebelum menggunakan model

pembelajaran berbasis masalah pada materi operasi bilangan bulat tergolong cukup dan

baik dimana 25 orang atau 78,13%, siswa memperoleh nilai antara 46 dan 53 serta 7

orang atau 21,87%, siswa memperoleh antara 57 dan 64. (2) Hasil belajar matematika

siswa kelas VIII SMP Negeri 12 Kendari sesudah menggunakan model pembelajaran

berbasis masalah pada materioperasi aljabar tergolong baik dan tinggi dimana 21 orang

atau 65,62% siswa memperoleh skor 67 dan 82 serta 9 orang atau 28,13% siswa

memperoleh skor 82 dan 92. Dengan demikian model pembelajaran berbasis masalah
memberikan pengaruh positif yang signifikan terhadap hasil belajar matematika siswa

pada materi operasi aljabar, kelas VIII semester ganjil SMP Negeri 12 Kendari.

Nurun Yuni 2014 dengan model pembelajaran berbasis masalah dapat

membantu siswa dalam pembelajaran materi perbaikan dan setting ulang PC dapat

meningkatkan keterampilan berpikir kritis siswa dalam pembelajaran yaitu sebesar

24,2%, Keterampilan berpikir kritis siswa setelah penerapan PBM yaitu siswa dengan

kategori keterampilan berpikir kritis sangat tinggi sebanyak 20 siswa (69%), kategori

tinggi sebanyak 7 siswa (24,2%), kategori rendah sebanyak 2 siswa (6,9%) dan

kategori sangat rendah yaitu sebanyak 0 siswa (0%), penerapan PBM dapat

meningkatkan hasil belajar siswa sebesar 31,03%, dan (d) Hasil belajar siswa setelah

penerapan PBM yakni jumlah siswa yang mencapai KKM sebanyak 29 siswa (100%).

Selanjutnya penelitian Amin, Saiful 2017 di kelas XI IPS SMAN 6 Malang

yang menggunakan model eksperimen semu dengan desain non equivalent control

group. Analisis data menggunakan uji t (independent sample t-test). Hasil penelitian

menunjukan bahwa model pembelajaran Problem Based Learning berpengaruh

terhadap kemampuan berpikir kritis dan hasil belajar geografi siswa SMAN 6 Malang.

Nilai rata-rata dain skor kelas eksperimen lebih besar yaitu 33,10 dibandingkan kelas

kontrol yaitu 16,24. Hasil perhitungan analisis data dengan uji t yaitu 0,000 lebih kecil

dari signifikan 0,050.

2.3. Kerangka Berfikir

Model pembelajaran memiliki peranan yang penting dalam pencapaian tujuan

pembelajaran karena model pembelajaran memiliki fungsi sebagai pedoman


perancangan dan pelaksanaan pembelajaran. Dimana dengan menggunakan model

pembelajaran siswa akan dapat melakukan kegiatan belajar secara efektif dan efisien

sehingga hasil belajarnya pun akan lebih optimal, agar diperoleh hasil belajar yang

optimal maka dalam proses pembelajaran diperlukan suatu model pembelajaran yang

tepat. Dengan menggunakan model Problem Based Learning, siswa akan dituntut

untuk memecahkan masalah yang diberikan oleh guru dengan langkah-langkah belajar

dimulai dengan suatu masalah, memastikan bahwa masalah yang diberikan

berhubungan dengan dunia nyata siswa, menggunakan kelompok kecil dalam

pembelajaran dan mengevaluasi pemecahan masalah. Sehingga siswa akan

menemukan sendiri jawaban dari masalah yang sedang mereka hadapi dan siswa akan

lebih berperan aktif dalam pembelajaran maka pembelajaran akan lebih efektif dan

efisien.

Penelitian ini merupakan penelitian eksperimen yang menggunakan dua kelas,

kelas eksperimen yang diberi perlakuan dengan model Problem Based Learning dan

kelas kontrol yang diberi perlakuan dengan model konvensional. Pada awal

pembelajaran guru memberikan soal pretest untuk mengukur pengetahuan siswa.

Kemudian penerapan model pembelajaran berbasis masalah ini diukur dengan cara

melihat rata-rata hasil belajar siswa. Model pembelajaran ini diduga dapat

meningkatkan hasil belajar siswa pada pelajaran kimia khususnya pada ranah afektif

dan kognitif. Untuk mendapatkan gambaran yang jelas tentang kerangka pemikiran

dapat dilihat pada Gambar 2.2


Pre-test Pre-test

Model Pembelajaran Model Konvensional


Berbasis Masalah

(Post-test )
(Post-test )

Hasil belajar
Hasil belajar

Bandingkan

Gambar 2.2 Bagan Kerangka Berpikir

2.4 Hipotesis Penelitian

Berdasarkan kerangka teoritis dan kerangka pemikiran yang telah diungkapkan,

maka rumusan hipotesis yang diajukan pada penelitian ini yaitu terdapat pengaruh

problem based learningterhadap hasil belajar peserta didik pada materi konfigurasi

elektron.
BAB III
METODE PENELITIAN

3.1 Tempat dan Waktu Penelitian

Penelitian ini dilaksanakan di kelas X IPA SMA Negeri 1 Dungaliyo yang

terletak di Jln. Raja Eyato Desa Dungaliyo Kecamatan Dungaliyo Kabupaten

Gorontalo. Penelitian dilakukan pada semester ganjil tahun ajaran 2019/2020.

3.2 Desain Penelitian

Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dengan Quasi Experimental

Design yaitu dalam bentuk desain Pretest-Posttest Control Group Design (Sugiyono,

2016). Dalam rancangan desain ini menggunakan dua kelas, kelas eksperimen yang

diberi perlakuan dengan model Problem Based Learning dan kelas kontrol yang diberi

perlakuan dengan model konvensional. Pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan

memberikan pretest terlebih dahulu, kemudian diberikan perlakuan berupa

pembelajaran model Problem Based Learning (PBL) untuk kelas eksperimen dan

model konvensional untuk kelas kontrol. Setelah itu diberikan Posttest untuk

mengetahui hasil belajar siswa pada materi konfigurasi elektron. Rancangan penelitian

ini dapat dilihat pada Tabel 3.1.

Tabel 3.1 Rancangan desain penelitian


Grup Pre-test Perlakuan Post-test
Eksperimen O1 X O2
Kontrol O1 _ O2
Dengan:
O1 = Pemberian Pre-test
X = Perlakuan dengan model Problem Based Learning
O2 = Pemberian Post-test

3.3 Variabel Penelitian

3.3.1 Variabel Terikat

Menurut Sugiyono (2016),variabel terikat atau variabel dependent sering

disebut juga sebagai variabel output, kriteria, konsekuen. Variabel terikat merupakan

variabel yang dipengaruhi atau menjadi akibat, karena adanya variabel bebas atau

karena ada tindakan. Variabel terikat ada penelitian ini yaitu sesuatu yang dipengaruhi

dalam hal ini berkenaan dengan hasil belajar siswa.

a. Definisi Konseptual Variabel Terikat

Hasil belajar adalah kemampuan-kemampuan yang dimiliki siswa setelah

menerima pengalaman belajarnya. Kemampuan-kemampuan tersebut mencakup aspek

kognitif, afektif, dan psikomotor. Hasil belajar yang diteliti dalam penelitian ini adalah

hasil belajar kognif dengan indikator yang meliputi pengetahuan (C1), pemahaman

(C2), penerapan (C3), dan Analisis (C4), aspek belajar afektif yang terdiri dari lima

indikator yaitu penerimaan, tanggapan, penghargaan, pengorganisasian, dan

karakterisasi, serta aspek psikomotor yang terdiri dari imitasi, manipulasi, dan

artikulasi.

b. Definisi Operasional Variabel Terikat

Kemampuan kognitif adalah skor hasil posttestsiswa yang mencakup empat

ranah kognitif yaitu pengetahuan (C1), pemahaman (C2), penerapan (C3), dan Analisis

(C4), berdasarkan skor yang diperoleh dari tes yang diberikan pada siswa maka dapat
dilihat hasil belajar kognitif siswa dari yang mendapatkan nilai tertinggi sampai

terendah.

Hasil belajar afektif adalah aspek yang berkenaan dengan sikap siswa.

Pencapaian aspek afektif ini dapat diperoleh dari lembar observasi dengan indikator

yang meliputi penerimaan, tanggapan, penghargaan, pengorganisasian, dan

karakterisasi. Skor rata-rata sikap siswa yang diperoleh dari lembar pengamatan dapat

diungkap dalam persentasi pencapaian hasil belajar afektif.

Hasil belajar psikomotor adalah aspek yang berkenaan dengan keterampilan

dan kemampuan bertindak siswa. Pencapaian aspek psikomotor dapat diperoleh dari

lembar observasi dengan indikator yang terdiri dari imitasi, manipulasi, dan artikulasi.

Skor rata-rata keterampilan siswa yang diperoleh dari lembar pengamatan dapat

diungkap dalam persentasi pencapaian hasil belajar psikomotor.

c. Kisi-kisi Instrumen

Kisi-kisi tes hasil belajar kognitif siswa dapat dilihat pada Tabel 3.2.

Tabel 3.2Kisi-kisi Tes Hasil Belajar Kognitif Siswa


Indikator Tingkatan Kognitif Item soal

Menjelaskan prinsip dan aturan penulisan C1, C1, C4 1, 2, 4


konfigurasi elektron
Menuliskan konfigurasi elektron dalam bentuk C4, C3, C1, C3, 3, 5, 6, 9, 11,
diagram orbital C3,C1 13, 14

Menentukan bilangan kuantum dari setiap C4 15


elektron.
Menjelaskan perkembangan sistem periodik C3, C3, C3, C4 7, 8, 10, 12
unsur dikaitkan dengan letak unsur dalam Tabel
Periodik Unsur berdasarkan konfigurasi elektron.
Kisi-kisi instrumen lembar observasi hasil belajar afektif dapat dilihat pada

Tabel 3.3.

Tabel 3.3Kisi-kisi Lembar Observasi Aspek Afektif


No Aspek yang di nilai Kriteria

1 Penerimaan (Receiving) 1. Menerima materi pelajaran


2. Mengikuti jalannya pembagian kelompok
dengan tertib
3. Mematuhi aturan dalam kelas
2 Tanggapan (Responding) 1. Menjaga kebersihan dan kerapian selama proses
pembelajaran
2. Menjawab pertanyaan yang diberikan oleh guru
3. Menyelesaikan tugas sesuai dengan waktu yang
diberikan
3 Penghargaan (Valuing) 1. Menghargai pendapat teman
2. Menyumbang ide atau pendapat pada saat
diskusi
3. Melengkapi jawaban teman dalam diskusi
4 Pengorganisasian 1. Bekerja sama dengan teman satu kelompok
(Organization) 2. Tetap berada dalam kelompoknya selama proses
pembelajaran
3. Bertukar pendapat antarteman dalam kelompok
5 Karakterisasi 1. Santun dalam menyampaikan pendapat
(Characterization) 2. Jujur dalam menjawab LKPD
3. Dapat memecahkan masalah yang ada pada
LKPD dalam kelompok

Rubrik penilaian aspek afektif siswa dapat dilihat pada Tabel 3.4.

Tabel 3.4 Rubrik penilaian aspek afektif


Rubrik Penilaian Nilai observasi

Skor 85-100 = sangat baik

Skor 75-84 = baik 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟


Nilai = 𝑥 100
15
Skor 65-74 = cukup

Skor 30-64 = kurang

Skor 0-29 = kurang


Kisi-kisi instrumen lembar observasi hasil belajar psikomotor dapat dilihat pada

Tabel 3.5.

Tabel 3.5 Kisi-kisi Lembar Observasi Aspek Psikomotor


No Aspek yang diamati Indikator

1 Imitasi 1. Mengerjakan tugas sesuai instruksi


2. Menuliskan hasil jawaban LKPD dengan benar
2 Manipulasi 1. Membuat pertanyaan dari materi yang belum dipahami
2. Membuat kesimpulan dari hasil pekerjaan
3 Artikulasi 1. Mengkomunikasikan hasil jawaban pada kelompok lain
2. Menanggapi pendapat teman

Rubrik penilaian aspek psikomotor siswa dapat dilihat pada Tabel 3.6.

Tabel 3.6Rubrik penilaian aspek psikomotor


Rubrik Penilaian Nilai observasi pada saat praktikum

Skor 85-100 = sangat terampil

Skor 75-84 = terampil 𝐽𝑢𝑚𝑙𝑎ℎ 𝑠𝑘𝑜𝑟


Nilai = 𝑥 100
6
Skor 65-74 = cukup terampil

Skor 30-64 = kurang terampil

Skor 0-29 = sangat kurang terampil

(Arikunto,2009)

3.3.2 Variabel Bebas

Menurut Sugiyono (2016), Variabel bebas atau variabel independent sering

disebut juga sebagai variabel stimulus, prediktor, antecedent. Variabel bebas adalah

variabel yang mempengaruhi atau yang menjadi sebab perubahannya atau timbulnya

variabel dependen (terikat). Dalam penelitian ini variabel eksperimen adalah model

pembelajaran berbasis masalah (PBL).

a. Definisi Konseptual Variabel Bebas


Problem Based Learning merupakan model pembelajaran yang melibatkan

siswa untuk memecahkan masalah melalui tahap-tahap metode ilmiah sehingga siswa

dapat memahami pengetahuan yang berhubungan dengan masalah tersebut dan

sekaligus memiliki keterampilan bagi siswa untuk memecahkan masalah. Adapun

tahap pembelajaran Problem Based Learning yaitu orientasi pada masalah, dimana

siswa memunculkan masalah dan terlibat langsung dalam pemecahan masalah tersebut.

Tahap berikut guru mengorganisasikan siswa utuk belajar dalam hal ini dibentuk

kelompok, kemudian mencari informasi dari berbagai literatur yang berhubungan

dengan masalah. Tahap terakhir yaitu siswa menyajikan hasil karya dan mengevaluasi

pemecahan masalah.

b. Definisi Operasional Variabel Bebas

Secara operasional variabel bebas pada penelitian ini adalah sebagai proses

pelaksanaan pembelajaran dengan model Problem Based Learning. Dapat dilihat dari

segi keaktifan proses yang ditunjukan oleh adanya kemampuan masing-masing siswa

sebagai pelaku utama dalam kegiatan tersebut. Adapun tahapan yang akan dilakukan

siswa adalah orientasi pada masalah, berorganisasi dalam kelompok, mengumpulkan

informasi, menyajikan hasil karya, dan mengevaluasi pemecahan masalah.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X IPA SMA Negeri 1

Dungaliyo tahun ajaran 2018/2019 yang terdiri dari 4 kelas yaitu X IPA 1, X IPA 2, X

IPA 3, X IPA 4 yang berjumlah 122 orang, dimana kelas X IPA 1 berjumlah 30 orang,
kelas X IPA 2 berjumlah 30 orang, kelas X IPA 3 berjumlah 31 orang, dan kelas X IPA

4 berjumlah 31 orang.

3.4.2 Sampel

Sampel adalah bagian dari jumlah dan karakteristik yang dimiliki oleh populasi

tersebut. Apa yang dipelajari dari sampel itu, kesimpulannya akan dapat diberlakukan

untuk populasi. Untuk itu sampel yang diambil dari populasi harus betul-betul

mewakili (Sugiyono, 2016). Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini

menggunakan Random Sampling (sampel acak). Sampel pada penelitian ini adalah X

IPA 1 sebagai kelas eksperimen dan X IPA 2 sebagai kelas kontrol.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

Teknik pengumpulan data merupakan suatu langkah yang dilakukan untuk

mendapatkan data. Tanpa mengetahui teknik pengumpulan data, maka peneliti tidak

akanmendapatkan data yang memenuhi standar. Teknik pengumpulan data yang

digunakan dalam penelitian ini yaitu sebagai berikut.

3.5.1 Tes

Tes ini dilakukan untuk menguji taraf pemahaman siswa terhadap materi yang

yang telah diajarkan dengan model Problem Based Learning. Tes yang diberikan

terbagi dua, yaitu pretest dan posttest. Pretest diberikan sebelum proses pembelajaran

berlangsung, sedangkan posttest diberikan sesudah pembelajaran berlangsung.

Teknik pengumpulan data yang digunakan dalam penelitian ini berupa

instrument tes dalam bentuk tes pilihan ganda. Tes pilihan ganda ini mengacu pada
indikator hasil belajar siswa yang akan diukur yaitu pengetahuan (C1), pemahaman

(C2), penerapan (C3), dan analisis (C4).

3.5.2 Observasi

Observasi merupakan suatu proses yang kompleks,suatu proses yang tersusun

dari berbagai proses biologis dan psikologis. Dua diantara yang terpenting adalah

proses-proses pengamatan dan ingatan (Sugiyono, 2015). Teknik observasi adalah

caramengumpulkan data dengan cara mengadakan pengamatan terhadap kegiatan yang

sedang berlangsung. Dalam penelitian ini observasi dilakukan secara nonpartisipatif.

Dalam observasi nonpartisipatif pengamat tidak ikut dalam kegiatan, hanya berperan

mengamati kegiatan. Lembar observasi digunakan untuk mengunpul data aspek afektif

dan psikomotor siswa.

3.5.3 Uji Validitas

Instrumen yang digunakan dalam penelitian harus valid. Instrumen yang valid

menunjukan bahwa alat ukur yang digunakan untuk memperoleh data itu valid. Sebuah

tes dapat dikatakan valid jika hasilnya sesuai dengan kriterium, Sebuah tes dikatakan

memiliki validitas jika hasilnya sesuai dengan kriterium, dalam arti memiliki

kesejajaran antara hasil tes tersebut dengan kriterium. Validitas yang digunakan dalam

penelitian ini adalah validitas setiap butir soal tes berbentuk pilihan ganda (multiple

choice) yang dihitung dengan rumus point biserial, adalah:

𝑀𝑝−𝑀𝑡 𝑝
𝛾𝜌𝑏𝑖 = √
𝑆𝑡 𝑞

Keterangan:
𝛾𝜌𝑏𝑖 = koefisien korelasi biserial
Mp = rerata skor dari subyek yang menjawab betul bagi item yang
dicari validitasnya.
Mt = rerata skor total
St = standar deviasi dari skor total proporsi
p = proporsi siswa yang menjawab benar
q = proporsi siswa yang menjawab salah (q=1- p)

banyaknya siswa yang benar


𝑝=
jumlah seluruh siswa

(Arikunto, 2008)

3.5.4 Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah keakuratan dan ketepatan dari suatu alat ukur dalam suatu

prosedur pengukuran. Suatu hasil pengukuran dapat dipercaya apabila dalam beberapa

kali pelaksanaan pengukuran terhadap kelompok subjek yang sama, di peroleh hasil

pengukuran yang relatif sama selam aspek yang diukur dalam diri subjek memang

belum berubah. Menurut Sudjana (2005), reliabilitas alat penilaian adalah ketepatan

atau keajegan alat tersebut dalam menilai apa yang dinilai artinya kapanpun alat

penilaian tersebut digunakan akan memberikan hasil yang relatif sama. Pada instrumen

soal ini dihitung reliabilitas untuk mengetahui apakah instrumen tes yang digunakan

reliabel atau tidak. Pengujian reliabel dalam penelitian ini menggunakan rumus KR 15

yaitu sebagai berikut.

𝑘 𝑠𝑡2 − ∑𝑝𝑖 𝑞𝑖
ri = (𝑘−1) ( )
𝑠𝑖2

Keterangan :
k = Jumlah item dalam instrumen
M = Mean skor total
st2 = Varians total (Sugiyono, 2016)
Setelah tes divalidasi dan di tes realibitas maka tes siap diujikan pada siswa

untuk mengukur perbedaan hasil belajar siswa menggunakan dua model yang berbeda.

Nilai koefisien tingkat reliabilitas dapat dilihat pada Tabel 3.7

Tabel 3.7 nilai koefisien dari tingkat reliabilitas.


Interval Tingkat Reliabilitas
< 0,20 Sangat rendah
0,2-0,399 Rendah
0,4-0,599 Cukup
0,6-0,799 Tinggi
0,8-1 Sangat tinggi

3.6 Teknik Analisis Data

Analisis data merupakan kegiatan setelah seluruh sumber data terkumpul.

Tahap ini merupakan tahap yang paling penting karena tahap ini merupakan tahap

penentuan dari hasil penelitian. Analisis data bertujuan untuk membatasi penemuan-

penemuan hingga menjadi suatu data yang teratur, tersusun dan mudah dipahami.

3.6.1 Uji Normalitas

Pada Teknik analisi data dilakukan pengujian normalitas data untuk mengetahui

bahwa data yang diambil berasal dari populasi akan terdistribusi normal atau tidak. Hal

ini dapat dilakukan dengan uji statistik non-parametrik. Caranya adalah menentukan

terlebih dahulu hipotesis pengujianya yaitu:

H0 = data berasal dari populasi terdistribusi normal

Ha = data tidak berasal dari populasi terdistribusi normal


Uji normalitas dilakukan dengan rumus Liliefors, yaitu:

L0 = |F(Zi)-S(Zi)|

Untuk mencari L0, maka harus diketahui Zi,F(Zi) dan S(Zi) dengan persamaan

masing-masing :

𝐱 𝐢 − 𝐱̅
𝐙𝐢 =
𝐬

F(Zi) = data Zi dilihat berdasarkan tabel uji standar normalitas


𝑢𝑟𝑢𝑡𝑎𝑛 𝑑𝑎𝑡𝑎
S(Zi) = 𝑁

Keterangan:

L0 = Harga mutlak terbesar


F(Zi) = Peluang angka baku
S(Zi) = Proposi angka baku
N = Banyaknya siswa
Xi = Skor siswa
̅
X = Nilai rata-rata
S = Simpangan Baku
Menurut Arikunto kriteria pengujian dengan α = 5% jika Lhitung<Ltabel maka

data terdistribusi normal demikian juga sebaliknya.

3.6.2 Uji Homogenitas

Uji Homogenias adalah uji yang digunakan untuk mengetahui ada atau tidaknya

kesamaan dari suatu populasi. Uji homogenitas dilakukan setelah data terdistribusi

normal dengan menghitung statistik varian menggunakan uji Fisher melalui

perbandingan varian terbesar dengan varian terkecil antara kedua kelompok kelas

sampel. Rumus uji Fisher menurut (Sugiyono, 2016) yaitu:


𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑏𝑒𝑠𝑎𝑟
F= 𝑉𝑎𝑟𝑖𝑎𝑛 𝑡𝑒𝑟𝑘𝑒𝑐𝑖𝑙

Dengan kriteria pengujian jika Fhitung≤ Ftabel maka H0 diterima, yang berarti

varians kedua populasi homogen dan jika Fhitung≥ Ftabel maka H0 ditolak, yag berarti

varians kedua populasi tidak homogen.

3.7 Hipotesis Statistik

Untuk menguji hipotesis pada penelitian ini, digunakan uji statistik yaitu uji t

untuk mengetahui ada atau tidaknya perbedaan rata-rata antara dua kelompok sampel

yang tidak berhubungan. Hipotesis yang akan di uji adalah:

H0 : Tidak terdapat pengaruh model Problem Based Learning terhadap hasil belajar

peserta didik pada materi konfigurasi elektron.

Ha : Terdapat pengaruh model Problem Based Learning terhadap hasil belajar

peserta didik pada materi konfigurasi elektron.

Adapun rumus yang digunakan menurut Sugiyono (2016)sebagai berikut:


̅̅̅̅
X1 −X̅̅̅̅
2
t=
𝑆2 𝑆2
√ 1+ 2
n1 n2

Dimana:

t = nilai hitung
𝑋̅1 = nilai rata-rata kelas eksperimen
𝑋̅2 = nilai rata-rata kelas kontrol
𝑆12 = Varian eksperimen
𝑆22 = Varin kontrol
n1 = jumlah anggota kelas eksperimen
n2= jumlah anggota kelas kontrol
Kriteria pengujian terima H0jika Thitung< Ttabel pada taraf signifikan α = 0,05.

Sebaliknya terima Hajika Thitung > Ttabel pada taraf signifikan α = 0,05 dengan derajat

kebebasan (dk) = n1 + n2 – 2.

Sehingga secara operasional sebagai berikut:

Tolak Ha jika :

H0: μ1 = μ2: Tidak terdapat pengaruh model Problem Based Learning terhadap hasil

belajar peserta didik pada materi konfigurasi elektron.

Terima Ha jika :

Ha: μ1 ≠ μ2:Terdapat pengaruh model Problem Based Learning terhadap hasil belajar

peserta didik pada materi konfigurasi elektron.

Anda mungkin juga menyukai