Oleh
Sandra Ibrahim
441416040
Berbagai macam pembaruan dilakukan agar dapat meningkatkan kualitas pendidikan yang
sudah ada seperti pembaharuan terhadap ilmu pengetahuan yang dapat dilaksanakan melalui
pendidikan. Pendidikan yang bermutu hanya akan dicapai apabila proses pembelajaran yang
dilakukan oleh guru yang bermutu. Salah satu upaya untuk meningkatkan kualitas pendidikan
dapat ditempuh dengan memperbaiki kualitas pembelajaran.
Salah satu komponen penting dalam mengelola pembelajaran adalah guru. Oleh karena itu,
guru harus berperan aktif dalam membimbing peserta didik untuk belajar. Melalui guru peserta
didik dapat memperoleh transfer pengetahuan dan pemahaman yang dibutuhkan untuk
pengembangan dirinya. Untuk itu guru harus mampu merancang bagaimana peserta didik dapat
berpartisipasi dalam pembelajaran.
Ilmu Pengetahuan Alam (IPA) sebagai bidang yang memberikan pengalaman belajar cara
berfikir dari struktur pengetahuan yang utuh, IPA menggunakan pendekatan empiris yang
sistematis dalam mencari penjelasan fenomena alam. Menurut Asy’ari (2006) IPA merupakan
suatu faktor yang mengharuskan peserta didik selain menguasai teori juga dapat mengaplikasikan
konsep dalam kehidupan sehari-hari. Namun, Kenyataannya peserta didik belum mampu
mengaplikasikan teori dengan kehidupan nyata atau alam sekitar. Bidang IPA merupakan ilmu
pengetahuan yang dianggap sulit terutama kimia. Hal ini dipertegas oleh Sudjana (2014) yang
menyatakan bahwa “sampai saat ini masih banyak orang yang beranggapan bahwa IPA merupakan
ilmu pengetahuan yang sulit untuk dipelajari, namun sangat penting diberikan pada siswa”. Hal
ini berdampak pada hasil belajar peserta didik.
Kimia adalah salah satu mata pelajaran ilmu alam mempelajari gejala gejala alam, tapi
mengkhususkan diri di dalam mempelajari struktur, susunan, sifat dan perubahan materi, serta
energi yang menyertai perubahan materi (Ratri, 2013). Pembelajaran kimia diarahkan pada
pendekatan saintifik dimana keterampilan proses sains dilakukan melalui percobaan untuk
membuktikan sebuah kebenaran sehingga berdasarkan pengalaman secara langsung membentuk
konsep, prinsip, serta teori yang melandasinya (Magdalena, Octaviany. 2014).
Mengajar tidak sembarangan,tetapi ada tuijuan yang hendak di capai yaitu meningkatkan
dan memelihara perhatian anak didik terhadap relevensi proses belajar mengajar,memberikan
kesempatan fungsinya motivasi, membentuk sikap positif terhadap guru dan sekolah memberikan
kemungkinan pilihan dan fasilitas belajar individual dan mendorong anak untuk belajar. Inti pokok
dari pembelejaran adalah siswa yang belajar. Belajar dalam arti perubahan dan peningkatan
kemampuan kognitif, afektif dan psikomotorik untuk memperoleh prestasi belajar yang tinggi.
Kemampuan kognitif siswa dapat dilihat dari keaktifan siswa dan kemandirian siswa
maupun kemampuan siswa dalam pembelajaran. Dalam melaksanakan kegiatan belajar mengajar
agar dapat meningkatkan kemampuan kognitif siswa bukanlah hal yang mudah. Banyak sekali
ditemukan siswa yang mendapat nilai rendah dalam sejumlah mata pelajaran. Ada pula yang dapat
nilai tinggi dalam sejumlah mata pelajaran, namun mereka masih kurang mampu menerapkan
dengan baik berupa pengetahuan, ketrampilan maupun sikap dan situasi yang lain.
Berkaitan dengan masalah diatas, pada pembelajaran kimia ditemukan keragaman masalah
sebagai berikut: keaktifan siswa dalam mengikuti pelajaran kimia hampir tidak nampak. Siswa
jarang mengajukan pertanyaan, walaupun guru sering meminta agar siswa bertanya jika ada hal
yang belum paham. Keaktifan dalam mengerjakan soal-soal latihan pada proses pembelajaran
belum kelihatan masih kurang. Biasanya siswa baru menulis setelah guru menulis jawaban.
Kemandirian siswa dalam belajar kimia juga belum nampak pada pembelajaran kimia,
banyak ditemukan siswa yang belum mengerjakan tugas rumah, pengulangan materi ajar yang
biasanya diberikan pada awal pembelajaran. Karena banyak siswa yang tidak mempelajari
dirumah, maka dapat menghambat proses belajar mengajar.
Kognitif merupakan suatu proses dan produk pikiran untuk mencapai pengetahuan yang
berupa aktivitas mental seperti mengingat, mensimbolkan, mengkategorikan, memecahkan
masalah, menciptakan dan berfantasi. Perkembangan kognitif sendiri adalah perkembangan fungsi
intelek atau proses proses perkembangan kemampuan atau kecerdasan otak anak. Kemampuan
kognitif berkaitan dengan pengetauan kemampuan berfikir dan kemampuan memecahkan
masalah. Kemampuan kognitif juga erat hubungannya dengan prestasi belajar matematika. Tanpa
kemampuan kognitif sulit dibayangakn seorang siswa dapat barfikir, karena tanpa mustahil siswa
tersebut dapat memahami materi-materi pelajaran yang disajikan kepadanya. Upaya
pengembangan kognitif secara terarah, baik oleh orang tua maupun guru sangat penting.
Model pembelajaran adalah suatu rancangan pembelajaran yang dilakukan oleh guru untuk
mengajarkan suatu materi kepada peserta didik. Untuk menjelaskan materi IPA khususnya
pelajaran kimia diperlukan model yang sesuai dengan materi pelajarannya, sehingga peserta didik
dapat memahami materi tersebut. Selain itu materi yang diberikan harus terintegrasi dengan
kehidupan, sehingga dapat memecahkan permasalahan yang dihadapi. Jadi model pembelajaran
yang cocok adalah model pembelajaran kooperatif tipe rotating trio exchange.
Menurut Silberman (2009: 85) model cooperative learning tipe rotating trio exchange
(RTE) merupakan sala satu model pembelajaran yang efektif bagi siswa untuk berdiskuksi tentang
berbagai masalah pembelajaran dengan beberapa anak didalam kelas. Pertukaran tiga anak yang
dirotasikan, akan berjalan dengan mudah jika dilengkapi dengan materi pembelajaran yang
mendukung. Berdasarkan teori ini dapat disimpulkan bahwa rotating trio exchange (RTE) adalah
sala satu model pembelajaran cooperative learning yang menerapkan pembelajaran secara
berkelompok dimana setiap kelompok terdiri atas tiga orang (trio). Trio tersebut akan diputar
dengan ketentuan satu anggota tetap di tempat.
Tujuan penelitian ini untuk mengetahui pengaruh pembelajaran Kooperatif Tipe Rotating
Trio Exchange Terhadap Kemampuan Koognitif Siswa di SMA Negeri 1 Telaga pada Materi
Larutan Elektrolit dan Non Elekrolit
1.5 Manfaat Penelitian
Adapun manfaat penilitian adalah sebagai berikut:
a. Bagi Siswa
Memberikan suasana belajar lebih kondusif dan menyenangkan sehingga peserta didik
tidak jenuh belajar. Dan Melatih kemampuan peserta didik dalam berpikir kritis terhadap suatu
permasalahan.
b. Bagi Guru
Hasil penelitian ini dapat digunakan guru untuk menggunakan model Pembelajaran
Kooperatif Tipe Rotating Trio Exchange sebagai alternatif dan bahan pertimbangan bagi guru
dalam upaya meningkatkan kemampuan koognitif pada diri siswa dalam pembelajaran kimia.
c. Bagi Sekolah
Sekolah dapat menjadikan hasil penelitian ini sebagai referensi untuk meningkatkan
kualitas proses pembelajaran yang dilakukan oleh guru. Serta sekolah dapat mendukung guru
untuk melaksanakan metode pembelajaran yang cocok untuk setiap materi dalam
pembelajaran.
d. Bagi Peneliti
Kemampuan koognitif adalah proses yang terjadi secara internal di dalam pusat susunan
syaraf pada waktu manusia sedang berfikir. Menurut Abdurrahman kemampuan koognitif
berkembang secara bertahap, sejalan dengan perkembangan fisik dan syaraf-syaraf yang berada di
pusat susunan syaraf. Sala satu teori yang berpengaruh dalam menjelaskan perkembangan
koognitif ini adalah teori Piaget (Mulyono: 2012). Koognitif adalah proses yang terjadi secara
internal di dalam pusat susunan syaraf pada waktu manusia sedang berpikir. Kemampuan koognitif
ini berkembang secara bertahap, sejalan dengan perkembangan fisik dan syaraf-syaraf yang berada
di pusat susunan syaraf.
Menurut Ahmad Susanto bahwa Kognitif adalah suatu proses berpikir, yaitu kemampuan
individu untuk menghubungkan, menilai, dan mempertimbangkan suatu kejadian atau peristiwa.
Kemampuan koognitif merupakan dasar bagi kemampuan anak untuk berpikir. Jadi proses
koognitif berhubungan dengan tingkat kecerdasan (intelegensi) yang menandai seseorang dengan
berbagai minat terutama sekali ditunjukan kepada ide-ide belajar.
Sendangkan menurut Husdarta dan Nurlan bahwa perkembangan Koognitif adalah suatu
proses terus menerus, namun hasilnya tidak merupakan kelanjutan dari hasil-hasil yang telah
dicapai sebelumnya. Anak akan melewati tahapan perkembangan koognitif atau periode
perkembangan. Setiap periode perkembangan, anak berusaha mencari keseimbangan antara
struktur koognitifnya dengan pengalaman barunya. Ketidakseimbangan memerlukan
pengakomodasian baru serta merupakan transformasi keperiode berikutnya.
Menurut Zainal Aqib, Koognitif lebih terkait dengan kemampuan anak untuk
menggunakan otaknya secara menyeluruh. Kemampuan yang termasuk dalam aspek kognitif
sangat banyak dan cakupannya pun sangat luas.
Berdasarkan beberapa pendapat diatas dapat diambil pendapat diatas dapat diambil
pengertian bahwa faktor kognitif mempunyai peran penting bagi keberhasilan anak dalam belajar
karena sebagian besar aktivitas dalam belajar selalu berhubungan dengan masalah mengingat dan
berpikir. Kemampuan kognitif yang dimaksud agar anak mampu melakukan eksplorasi terhadap
dunia sekitar melalui panca inderanya sehinga dengan pengetahuan yang didapatkannya tersebut
anak dapat melangsungkan hidupnya.
2.1.1 Fase Perkembangan Kognitif
Menurut Mulyono Abdurrahman, sala satu teori yang berpengaruh dalam menjelaskan
perkembangan koognitif ini adalah teori Piaget. “Jean Piaget, yang hidup dari tahun 1896
sampai tahun 1980, adalah seorang ahli biologi dan psikologi berkebangsaan Swiss. Ia
merupakan sala saru seorang yang merumuskan teori yang dapat menjelaskan fase-fase
perkembangan kognitif. Teori ini dibangun berdasarkan dua sudut pandang yang disebut sudut
pandang aliran structural (structuralism) dan aliran konstruktif (constructivism).
Aliran structural yang mewarnai teori Piaget dapat dilihat dari pandangannya tentang
inteligensi yang berkembang melalui serangkaian tahap perkembangan yang ditandai oleh
perkembangan kualitas truktur kognitif. Aliran konstruktif terlihat dari pandangan Piaget yang
menyatakan bahwa, anak membangun kemampuan kognitif melalui interaksinya dengan dunia
sekitarnya.
Dalam hal ini, piaget menyamakan anak dengan peneliti yang selalu sibuk membangun
teori-teorinya tentang dunia disekitarnya. Hasil dari interaksi ini adalah terbentunya struktur
kognitif, atau skemata (dalam bentuk tunggal disebut skema) yang dimulai dari terbentuknya
struktur berpikir secara logis, kemudian berkembang menjadi suatu generalisasi kesimpulan
umum.
Pada masa dua tahun kehidupannya, anak berinteraksi dengan dunia di sekitarnya,
terutama melalui aktivitas sensoris (melihat, meraba, merasa, mencium, dan mendengar) dan
persepsinya terhadap gerakan fisik, dan aktivitas yang berkaitan dengan sensoris tersebut.
Koordinasi aktivitas ini disebut dengan istilah sensorimotor.
Fase sensorimotor dimulai dengan gerakan-gerakan refleks yang dimiliki anak sejak ia
dilahirkan. Fase ini berakhir pada usia 2 tahun. Pada masa ini, anak mulai membangun
pemahamannya tentang lingkungannya melalui kegiatan sensorimotor, seperti menggenggam,
mengisap, melihat, melempar, dan secara perlahan ia mulai menyadari bahwa suatu benda
tidak menyatu dengan lingkungannya, atau dapat dipisahkan dari lingkungan di mana benda
itu berada.
Pada fase praoperasional, anak mulai menyadari bahwa pemahamannya tentang benda-
benda disekitarnya tidak hanya dapat dilakukan melalui kegiatan sensorimotor, akan tetapi
juga dapat dilakukan melalui kegiatan yang bersifat simbolis. Kegiatan simbolis ini dapat
berbentuk dari percakapan melalui telepon mainan atau pura-pura menjadi bapak atau ibu, dan
kegiatan simbolis lainnya.
Pada fase praoperasional, anak tidak berpikir secara operasional yaitu suatu proses
berpikir yang dilakukan dengan jalan menginternalisasi suatu aktivitas yang memungkinkan
anak mengaitkannya dengan kegiatan yang telah dilakukannya sebelumnya.
Fase ini merupakan rasa permulaan bagi anak untuk membangun kemampuannya
dalam menyusun pikirannya. Oleh sebab itu, cara berpikir anak pada fase ini belum stabil dan
tidak terorganisasi secara baik. Fase praoperasional dapat dibagi ke dalam tiga subfase, yaitu
subfase fungsi simbolis, subfase berpikir secara egosentris dan subfase berpikir secara intuitif.
Subfase fungsi symbol ini terjadi pada usia 2 – 4 tahun.
Pada masa ini, anak telah memiliki kemampuan untuk menggambarkan suatu objek
yang secara fisik tidak hadir. Kemampuan ini membuat anak dapat menggunakan balok-balok
kecil untuk membangun rumah-rumahan, menyusun puzzle, dan kegiatan lainnya. Pada masa
ini, anak sudah dapat menggambarkan manusia secara sederhana. Sunfase berpikir secara
egosentris terjadi pada usia 2-4 tahun. Berpikir secara egosentris ditandai oleh ketidak
mampuan anak untuk memahami perspektif atau cara berpikir orang lain. Benar atau tidak,
bagi anak fase ini ditentukan oleh cara pandangnya sendiri yang disebut dengan istilah
egosentris.
Subfase berpikir secara intuitif terjadi pada usia 4-7 tahun. Masa ini disebut subfase
berpikir secara intuitif karena pada saat ini anak kelihatannya mengerti dan mengetahui
sesuatu, seperti menyusun balok mejadi rumah-rumahan, akan tetapi pada hakikatnya anak
tidak mengetahui alas an-alasan yang menyebabkan balok itu dapat disusun menjadi rumah.
Dengan kata lain, anak belum memiliki kemampuan untuk berpikir secara kritis tentang apa
yang ada dibalik suatu kejadian.
Fase operasi formal ditandai dengan perpindahan dari cara berpikir konkret ke cara
berpikir abstrak. Kemampuan berpikir abstrak dapat dilihat dari kemampuan mengemukakan
ide-ide, memprediksi kejadian yang akan terjadi, dan melakukan proses berpikir ilmiah, yaitu
mengemukakan hipotesis dan menentukan cara untuk membuktikan kebenaran hipotesis
(Sujiono: 2008).
Perkembangan kognitif anak menunjukkan perkembangan dari cara berpikir anak. Ada
faktor yang mempengaruhi perkembangan tersebut. Faktor yang mempengaruhi
perkembangan kognitif menurut Piaget yang dikutip oleh Siti Partini bahwa “pengalaman yang
berasal dari lingkungan dan kematangan,keduanya mempengaruhi perkembangan kognitif
anak”. Sedangkan menurut Soemiarti dan Patmonodewo perkembangan kognitif dipengaruhi
oleh pertumbuhan sel otak dan perkembangan hubungan antar sel otak. Kondisi kesehatan dan
gizi anak walaupun masih dalam kandungan ibu akan mempengaruhi pertumbuhan dan
perkembangan anak.
Menurut Piaget yang dikutip oleh Asri Budiningsih makin bertambahnya umur
seseorang maka makin komplekslah susunan sel sarafnya dan makin meningkat pada
kemampuannya. Ketika individu berkembang menuju kedewasaan akan mengalami adaptasi
biologis dengan lingkungannya yang akan menyebabkan adanya perubahan-perubahan
kualitatif di dalam sruktur kognitifnya.
Ada pendapat lain yang menyatakan bahwa banyak faktor yang dapat mempengaruhi
perkembangan kognitif. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi perkembangan kognitif
antara lain: (Ahmad Sutanto: 2011)
a. Faktor Hereditas/Keturunan
Teori hereditas atau nativisme yang dipelopori oleh seorang ahli filsafat
Schopenhauer, mengemukakan bahwa manusia yang lahir sudah membawa potensi
tertentu yang tidak dapat dipengaruhi oleh lingkungan. Taraf intelegensi sudah ditentukan
sejak lahir.
b. Faktor Lingkungan
John Locke berpendapat bahwa, manusia dilahirkan dalam keadaan suci seperti
kertas putih yang belum ternoda, dikenal dengan teori tabula rasa. Taraf intelegensi
ditentukan oleh pengalaman dan pengetahuan yang diperolehnya dari lingkungan
hidupnya.
c. Faktor Kematangan
Tiap organ (fisik maupaun psikis) dikatakan matang jika telah mencapai
kesanggupan menjalankan fungsinya masing-masing. Hal ini berhubungan dengan usia
kronologis.
d. Faktor Pembentukan
f. Faktor Kebebasan
Keleluasaan manusia untuk berpikir divergen (menyebar) yang berarti manusia
dapat memilih metode tertentu dalam memecahkan masalah dan bebas memilih masalah
sesuai kebutuhan.
Berdasarkan beberapa pendapat di atas dapat disimpulkan bahwa faktor utama yang
mempengaruhi perkembangan kognitif anak adalah faktor kematangan dan pengalaman
yang berasal dari interaksi anak dengan lingkungan. Dari interaksi dengan lingkungan,
anak akan memperoleh pengalaman dengan menggunakan asimilasi, akomodasi, dan
dikendalikan oleh prinsip keseimbangan. Pada anak TK, pengetahuan itu bersifat subyektif
dan akan berkembang menjadi obyektif apabila sudah mencapai perkembangan remaja
atau dewasa.
2.2.1 Pengertian
Nasution dalam Isjoni (2009:20) mengemukakan belajar kelompok itu efektif bila setiap
individu merasa bertanggung jawab terhadap kelompok, anak turut berpartisipasi dan bekerja sama
dengan individu lain secara efektif, menimbulkan perubahan yang konstruktif pada kelakuan
seseorang dan setiap anggota aman dan puas di dalam kelas.
a. Penghargaan Kelompok
Pembelajaran kooperatif adalah suatu sistem yang didalamnya terdapat elemen- elemen
yang saling terkait. Menurut Nurhadi dan Senduk dalam Wena (2009:150) dan Lie dalam Wena
(2009:190) ada berbagai elemen yang merupakan ketentuan pokok dalam pembelajaran kooperatif,
yaitu :
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi siswa juga
harus mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif.
Keterampilan kooperatif ini berfungsi untuk melancarkan hubungan kerja dan tugas.Peranan
hubungan kerja dapat dibangun dengan menggunakan tugas anggota kelompok selam kegiatan.
(Slavin: 2008)
Roger & David Johnson (Suprijono: 2012) mengatakan bahwa tidak semua belajar
kelompok bisa dianggap pembelajaran kooperatif. Untuk mencapai hasil yang maksimal, lima
unsur dalam pembelajaran kooperatif harus diterapkan. Lima unsur tersebut adalah:
Metode Rotating Trio Exchange merupakan salah satu metode pembelajaran dari
Cooperative Learning. Model cooperative learning menuntut kerjasama dan interdependensi siswa
dalam struktur tugas, struktur tujuan, dan struktur reward-nya. Siswa dalam situasi cooperative
learning didorong dan/atau dituntut untuk mengerjakan tugas yang sama secara bersama-sama, dan
mereka harus mengoordinasikan usahanya untuk menyelesaikan tugas itu. Di samping itu, dalam
cooperative learning, dua individu atau lebih saling bergantung (interindependen) untuk
mendapatkan reward yang akan mereka bagi, bila mereka sukses sebagai kelompok. Pelajaran
dengan cooperative learning menurut Ricard I, Arens (2007: 344-345) dapat ditandai oleh fitur-
fitur berikut ini:
Model pembelajaran kooperatif tipe Rotating Trio Exchange adalah sebuah cara mendalam
bagi peserta didik untuk berdiskusi tentang berbagai masalah dengan beberapa (namun biasanya
tidak semua) teman kelasnya. Pertukaran ini dapat dengan mudah dilengkapi dengan materi
pelajaran (Mel Silberman, 2006: 85). Diskusi kelas merupakan suatu desain kegiatan untuk
menghasilkan pemufakatan kelompok melalui pembicaraan dan perenungan yang bertujuan untuk
menstimulasi kemampuan analisis, interpretasi, serta mengembangkan atau mengubah perilaku
(Kenneth H. Hoover, 1979: III-7).
Metode pembelajaran kooperatif tipe Rotating Trio Exchange ini memungkinkan siswa
saling berkelompok dengan teman sekelasnya untuk saling bertukar pendapat dalam memecahkan
suatu permasalahan. Metode Rotating Trio Exchange juga mengembangkan sebuah lingkungan
belajar yang aktif dengan menciptakan siswa bergerak secara fisik untuk saling berbagi pikiran
secara terbuka untuk memperoleh pengetahuan. Dengan adanya lingkungan belajar yang aktif
maka akan tercipta pula peningkatan aktivitas belajar yang menghasilkan prestasi belajar siswa
menjadi lebih baik.
Menurut Isjoni (2010:59) di dalam pembelajaran kooperatif terdapat beberapa model atau
tipe yang diterapkan seperti Student Teams Achievement Division (STAD), tipe Jigsaw, tipe
Group Investigation (GI), tipe Resume, dan tipe Rotating Trio Exchange (RTE).
2.3.1 Aktivitas Peserta Didik Dalam Pembelajaran Kooperatif Tipe Rotating Trio Exchange
Aktivitas murid dalam kelas terbagi menjadi dua kegiatan, yaitu kegiatan di dalam tuhgas (on task)
dan kegiatan di luar tugas (off task). Dalam kaitannya dengan aktivitas murid dalam tugas
dibedakan menjadi dua jenis aktivitas murid di dalam kelompok kooperatif yaitu aktivitas aktif
dan aktivitias pasif.
a. Aktivitas aktif
Di dalam tugas, ada empat kategori aktivitas aktif yang dapat diamati sebagai berikut:
1) Mendengarkan penjelasan
2) Membaca materi pelajaran
1) Peserta didik membicarakan atau membahas hal-hal yang tidak berkaitan dengan materi
pembelajaran
2) Peserta didik membaca sumber lain yang tidak berkaitan dengan tugas yang dihadapi
3) Peserta didik bermain, tidur-tiduran atau melamun
Dalam pembelajaran kooperatif tidak hanya mempelajari materi saja, tetapi peserta didik
juga mempelajari keterampilan-keterampilan khusus yang disebut keterampilan kooperatif.
Salah satu aspek penting dalam pembelajaran kooperatif adalah bahwa disamping model
pembelajaran kooperatif membantu mengembangkan tingkah laku kooperatif dan hubungan yang
lebih baik diantara peserta didik, secara bersamaan. Model pembelajaran ini juga membantu
peserta didik dalam meningkatkan akademiknya. Slavin (Ibrahim, 2005:6) menyatakan:
Mengamati dan melaporkan hasil penelitian kelas kooperatif menunjukkan hasil belajar yang lebih
tinggi daripada kelas non kooperatif untuk berbagai bidang studi. Dari 45 orang yang diamati oleh
Slavin, 37 diantaranya menyatakan bahwa model kooperatif menunjukkan hasil yang lebih tinggi
dan 8 orang menunjukkan hasil ini negatif hasilnya.
Hasil penelitian lain seperti dikemukakan oleh Linda Lundgren (Arifiah, 2006) juga
menunjukkan bahwa “pembelajaran kooperatif memiliki dampak yang amat positif untuk murid
yang rendah hasil belajarnya”. Hal tersebut berkaitan dengan konsep teori motivasi bahwa
pembelajaran kooperatif memotivasi murid untuk belajar lebih giat. Unsur motivasi dalam
pembelajaran kooperatif terletak bagaimana bentuk hadiah atau struktur pencapaian tujuan saat
murid melaksanakan kegiatan. Pada pembelajaran kooperatif murid yakin bahwa tujuan tersebut
secara ringkas dapat disimpulkan bahwa suatu kerangka teoritis dan empiric yang kuat untuk
pembelajaran kooperatif mencerminkan pandangan bahwa manusia belajar dari pengalaman-
pengalaman mereka dan partisipasi aktif dalam kelompok kecil membantu murid belajar
keterampilan social yang penting dan secara Bersama mengembangkan sikap demokrasi dan
kemampuan berpikir logis.
2.3.2 Langkah-Langkah Pembelajaran Kooperatif Tipe Rotating Trio Exchange Pada tipe Rotating
Trio Exchange (RTE), adapun langkah-langkahnya yaitu:
a. Kelas dibagi dalam beberapa kelompok yang terdiri dari 3 orang. Kelas ditata sedemikian
rupa sehingga setiap kelompok dapat melihat kelompok lainnya di sebelah kiri dan
kanannya.
b. Setiap trio tersebut diberikan pertanyaan yang sama untuk didiskusikan.
c. Setelah selesai berdiskusi, setiap anggota trio diberi nomor. Contohnya: nomor 1, 2, dan 3.
d. Kemudian siswa dirotasikan, siswa nomor 2 berpindah searah putaran jarum jam dan siswa
nomor 3 berpindah berlawanan dengan putaranjarum jam, sedangkan siswa nomor 1 tetap
ditempat. Rotasi ini akan mengakibatkan timbulnya trio baru.
e. Setiap trio baru tersebut akan diberikan lagi pertanyaan-pertanyaan baru untuk
didiskusikan dengan ditambah sedikit tingkat kesulitannya.
f. Setelah itu siswa dirotasikan seusai setiap pertanyaan yang telah disiapkan
g. Setelah diskusi, lembar jawaban dari tiap kelompok atau individu dikumpul untuk
diperiksa kemudian dikembalikan lagi kepada siswa.Pada akhir pertemuaan diumumkan
kelompok terbaik kemudian diberikan penghargaan.
2.3.3 Kelebihan Koopertif Tipe Rotating Trio Exchange Kelebihan dari pembelajaran kooperatif
tipe Rotating Trio Exchange (RTE) ialah sebagai berikut:
METODE PENELITIAN
Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 1 Telaga semester genap tahun ajaran
2019/2020.
Penelitian ini termasuk penelitian kuantitatif dengan True Experimental Design yaitu dalam bentuk
desain Pretest-Posttest Control Group Design (Sugiyono, 2016). Dalam rancangan desain ini
menggunakan dua kelas, kelas eksperimen yang diberi perlakuan dengan model Kooperatif Tipe
Rotating Trio Exchange dan kelas control yang diberikan perlakuan dengan model konvesional.
Pelaksanaan penelitian ini dimulai dengan memberi pretest terlebih dahulu, kemudian diberikan
perlakuan berupa pembelajaran model Kooperatif Tipe Rotating Trio Exchange untuk kelas
eksperimen dan model konvesional untuk kelas kontrol. Rancangan penelitian ini dapat dilihat
pada table 3.1.
Keterangan :
KE = Kelompok Eksperimen
O1 = Pretest KE
O2 = Posttest KE
KK = Kelompok Kontrol
O3 = Pretest KK
O4 = Posttest KK
Variable yang dilakukan pada penelitian ini yaitu Variabel Independen (Bebas) dan
Variabel Dependen (Terikat) sebagai berikut.
3.3.1 Variabel Independen (bebas)
Variabel Independen (bebas) adalah variable yang memengaruhi atau yang menjadi sebab
perubahannya atau timbulnya variable dependen (terikat). Pada penelitian ini variabel bebasnya
yaitu Model Pembelajaran Kooperatif Tipe Rotating Trio Exchange (X).
Variabel Dependen (terikat) merupakan variable yang dipengaruhi atau yang menjadi
akibat, karena adanya variabel bebas. Pada penelitian ini variabel terikat yaitu Kemampuan
Kognitif Siswa. (Y).
X Y
3.4.2 Sampel
Sampel dalam penelitian ini diambil dengan menggunakan Simple random sampling, dimana
pengambilan sampel dari populasi secara acak tanpa memperhatikan strata yang ada dalam
populasi.
3.5 Teknik Pengumpulan Data