Anda di halaman 1dari 43

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah

Proses belajar mengajar sebagai upaya menciptakan lingkungan yang positif harus

mengembangkan potensi dasar yang dimiliki anak didik sehingga mampu menolong dirinya

sendiri. Guru berperan penting dalam memajukan dan mengembangkan pendidikan. Seorang

guru memikul tanggung jawab besar dalam proses pendidikan karena dari pembelajaran yang

diberikan oleh guru disekolah siswa dapat mengembangkan potensi yang ada dalam diri. Para

pendidik hendaknya memposisikan peserta didik sebagai insan yang harus dihargai

kemampuanya dan diberi kesempatan untuk mengembangkan potensi yang dimiliki. Oleh

karena itu, dalam proses pembelajaran perlu adanya suasana yang terbuka, akrab, dan saling

menghargai. Sebaiknya perlu menghindari suasana yang kaku, penuh ketegangan dan sarat

dengan perintah yang membuat peserta didik menjadi pasif, tidak bergairah dan merasakan

bosan.

Kimia merupakan ilmu yang mencari jawaban atas pertanyaan apa, mengapa, dan

bagaimana gejala-gejala alam yang berkaitan dengan komposisi, struktur dan sifat, perubahan

dinamika dan zat yang melibatkan penampilan dan penalaran (Depdikanas, 2013). Selain itu

mata pelajaran kimia ini merupakan mata pelajaran yang membutuhkan hafalan, hitungan,

dan konsep. Dalam kehidupan sehari-haripun juga erat hubungannya dengan ilmu kimia,

sehingga mata pelajaran ini sangat penting manfaatnya. Ilmu kimia bersifat abstrak dan

memerlukan keaktifan siswa dalam memecahkan berbagai masalah dalam persoalan yang

berhubungan dengan kimia baik dalam ruang lingkup sekolah maupun diluar ruang lingkup

sekolah (sehari- hari). Materi reaksi reduksi dan oksidasi (reaksi redoks) merupakan salah

satu materi pada pokok bahasan di semester II kelas X. Materi tentang reaksi redoks sering
dijumpai dalam kehidupan sehari-hari. Reaksi perkaratan besi, fotosintesis, dan pembakaran

minyak bumi adalah beberapa contoh dari sekian banyak reaksi redoks yang sering dijumpai.

Berdasarkan hasil observasi dan wawancara yang telah dilakukan terhadap guru

kimia, SMA Negeri 4 Grontalo, peneliti mendapatkan informasi bahwa nilai rata-rata hasil

belajar siswa kelas X dalam materi reaksi redoks yakni 65, dimana nilai tersebut berada

dibawah nilai KKM 75. Dari total peserta didik dalam satu kelas yang berjumlah 25 siswa,

sekitar 4-5 peserta didik saja yang tuntas dalam pelajaran kimia khususnya dalam materi

reaksi redoks. Wawancara dilakukan kepada peserta didik kelas X di sekolah tersebut.

Sebagian besar dari peserta didik mengatakan bahwa pelajaran kimia sukar untuk dipahami

dan rumit sehingga mereka sering merasa bosan dalam kegiatan pembelajaran. Hal tersebut

yang membuat peserta didik lebih sering melakukan proses pembelajaran dengan

mengharapkan seluruh informasi dari guru saja tanpa memgutamakan keterampilan proses

dalam menemukan konsep. Selain menggali informasi melalui hasil wawancara, peneliiti juga

melakukan pengamatan terhadap proses belajar mengajar peserta didik pada saat PPL

(program pengalaman lapangan). Dari hasil pengamatan terlihat bahwa aktivitas peserta didik

yang relevan dalam pembelajaran masih rendah. Aktivitas yang dominan dilakukan peserta

didik pada proses pembelajaran antara lain memperhatikan, mendengarkan dan mencatat.

Peserta didik jarang sekali mengajukan pertanyaan terkait hal yang belum jelas ataupun yang

belum diketahui. Saat guru mengajukan pertanyaan kepada peserta didik hanya beberapa

peserta didik yang berkemampuan akademik tinggi saja yang menjawab pertanyaan dari guru.

Sedangkan sebagian besar peserta didik yang lain hanya diam dan sebagian peserta didik

yang lain mencari kesibukan lain, seperti mengobrol dengan teman sebangku, melamun, dan

membuat kegaduhan serta ada yang mengerjakan tugas mata pelajaran lain.

Selain itu, dilihat dari segi pokok bahasan ilmu kimia itu sendiri, materi yang

diberikan pada siswa SMA kelas X adalah reaksi redoks. Kemampuan yang dituntut dari
peserta didik dalam mempelajari konsep reaksi redoks di kelas X SMA meliputi: kemampuan

mengidentifikasi jenis suatu reaksi (oksidasi, reduksi, atau oksidasi-reduksi) bila diketahui

persamaan reaksinya, kemampuan menentukan bilangan oksidasi suatu unsur dalam suatu

senyawa netral dan ion poliatom, kemampuan menentukan zat yang bertindak sebagai

oksidator atau reduktor serta menghubungkan konsep reaksi redoks dengan kejadian yang

terjadi dalam kehidupan sehari-hari. Materi ini menyajikan fakta-fakta tentang peristiwa yang

terjadi dalam kehidupan sehari-hari, sehingga menuntut siswa untuk mengembangkan daya

pikir dan penguasaan konsep yang mendasari materi reaksi reduksi-oksidasi. Sehingga yang

diharapkan dari peseta didik itu sendiri adalah menghubungkan konsep yang dipelajari

dengan permasalahan-permasalahan khususnya dalam materi reaksi redoks dengan kehidupan

sehari-hari.

Berdasarkan analisis yang dilakukan oleh Baharuddin (2008) tentang kesulitan yang

dihadapi peserta didik dalam mempelajari reaksi reduksi oksidasi (redoks) melalui skema

pemecahan masalah, ternyata peserta didik kesulitan dalam hal menyetarakan jumlah atom

yang mengalami perubahan muatan dan menentukan zat yang dioksidasi atau direduksi.

Selain itu peserta didik juga mengalami kesulitan dalam menentukan oksidator dan reduktor,

serta mengidentifikasi bilangan oksidasi masing-masing unsur. Dalam hal menentukan

peristiwa yang melibatkan reaksi redoks dalam kehidupan sehari-hari, hanya sebagian kecil

siswa yang telah memahami konsep tersebut. Hal ini disebabkan kurangnya pemahaman

siswa terhadap konsep prasyarat yang mendukung konsep dari materi tersebut.

Seperti dalam mengerjakan soal, peserta didik hanya berorientasi pada hasil jawaban

soal tanpa memahami alur proses dalam memperoleh hasil tersebut. Secara tidak langsung ini

sangat berpengaruh terutama kepada cara pandang peserta didik dalam memperoleh informasi

dan menganalisisnya. Sehubungan dengan hal ini mengakibatkan kemampuan penalaran,

komunikasi, dan koneksi akademis serta pemecahan masalah peserta didik dirasa kurang
mumpuni. Untuk menjawab permasalahan ini diperlukan upaya yang nyata, rencana yang

matang, dan dikaji dengan saksama agar kemampuan peserta didik dalam mencari solusi

terhadap suatu masalah dapat tumbuh dan berkembang sesuai potensi peserta didik masing-

masing.

Maka upaya yang dirancang adalah dengan memberikan pembelajaran yang berbasis

masalah atau PBL dengan melakukan penyelidikan secara berkelompok (group

investigation). Penerapan model pembelajaran Group Investigation berbasis Problem Based

Learning (PBL) dalam kegiatan pembelajaran dapat melatih peserta didik bekerja sama untuk

mempelajari isu suatu masalah yang kemudian akan mereka rancang suatu solusi dari

pemecahan masalah tersebut. Harapannya dengan menerapkan penyelidikan secara

berkelompok dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik dalam

kehidupan sehari-hari yang berkaitan dengan pelajaran khususnya materi reaksi redoks.

Kemampuan pemecahan masalah dan hubungannya dengan penerapan model

pembelajaran group investigation berbasis Problem Based Learning (PBL), Mentari (2015)

menyatakan bahwa penerapan metode Group Investigation berbasis model PBL memberikan

kontribusi sebesar 19,36% terhadap perkembangan kemampuan pemecahan masalah. Pada

siswa kelas X MIA di SMA Negeri 2 Batang, Fathhulkhoir (2015) menyatakan bahwa

pembelajaran kimia dengan model pembelajaran group investigation memberikan pengaruh

positif dan signifikan terhadap kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang

ditunjukkan dari rata-rata skor N-Gain kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas

kontrol yaitu 0,59 dan 0,40 di kelas XI MA Negeri 2 Bantul, Yogyakarta. Selanjutnya

penelitian yang dilakukan oleh Hija alvia (2016) menjelaskan bahwa aktivitas dan respon

siswa dalam memecahkan masalah matematis rata-rata 84,31% dengan 77,94% menggunakan

pembelajaran group investigation.


Dari latar belakang tersebut maka perlu diadakan penelitian terhadap “Pengaruh

penerapan model pembelajaran Group investigation berbasis Problem Based

Learning(PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah siswa kelas X di SMA

Negeri 4 Gorontalo pada materi reaksi redoks”.

1.2 Identifikasi Masalah


1. Pendidik sebagai salah satu faktor tercapainya tujuan pendidikan masih belum

menerapkan tipe pembelajaran pada kegiatan belajar-mengajar dikelas

2. Pendidik menggunakan model pembelajaran yang monoton sehingga peserta didik

kurang aktif dalam proses pembelajaran

3. Pendidik kurang membantu peserta didik dalam menguasai kemampuan pemecahan

masalah demi tercapainya tujuan pembelajaran

4. Kemampuan pemecahan masalah peserta didik masih rendah.

1.3 Rumusan Masalah


Berdasarkan latar belakang masalah diatas, maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah apakah terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran Group

Investigation berbasis Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan

masalah siswa kelas X di SMA Negeri 4 Gorontalo pada materi reaksi redoks?

1.4 Tujuan Penelitian


Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh penerapan model

pembelajaran Group investigation berbasis Problem Based Learning (PBL) terhadap

kemampuan pemecahan masalah siswa kelas X di SMA Negeri 4 Gorontalo pada materi

reaksi redoks.

1.5 Manfaat Penelitian


Penelitian ini diharapkan dapat memberikan manfaat sebagai berikut:

1. Bagi siswa

Melalui penerapan model pembelajaran group investigation berbasis PBL,

diharapkan peserta didik dapat lebih tertarik dan mudah dalam pemahaman sehingga

dapat meningkatkan kemampuan pemecahan masalah.

2. Bagi guru

Hasil penelitian ini dapat dijadikan sebagai salah satu alternatif pengetahuan

dalam proses pembelajaran, untuk lebih meningkatkan kualitas suatu materi kimia

dengan penerapan model pembelajaran group investigation berbasis PBL.

3. Bagi sekolah

Hasil penelitian ini diharapkan dapat memberikan sumbangsih bagi sekolah,

khususnya untuk meningkatkan kualitas dalam pembelajaran dan peningkatan mutu

sekolah tersebut.
BAB II
KAJIAN TEORITIS DAN HIPOTESIS

2.1 Kajian Teoretis

2.1.1 Kemampuan Pemecahan Masalah

Masalah dapat timbul dalam macam situasi. Siagian dalam Mahira (2012)

berpendapat bahwa masalah adalah suatu stimulus yang menuntut suatu respon tertentu,

masalah dapat timbul setiap kali terjadi perubahan yang tidak menguntungkan dalam

lingkungan.Menurut Hamalik dalam Rahayu (2008) menjelaskan bahwa pemecahan masalah

adalah suatu proses berpikir sebagai upaya dalam menemukan suatu masalah dan

memecahkannya berdasarkan informasi yang dikumpulkan dari berbagai sumber sehingga

dapat diambil suatu kesimpulan yang tepat. Sedangkan menurut pendapat Polya dalam Warli

(2006) mengemukakan bahwa pemecahan suatu masalah adalah menemukan makna yang

dicari sampai akhirnya dapat dipahami dengan jelas. Hal ini juga diungkapkan Nasution

dalam Faulina (2008) yang menjelaskan bahwa memecahkan masalah dapat dipandang

sebagai proses dimana pelajar mengemukakan kombinasi aturan-aturan yang telah

dipelajarinya lebih dahulu yang digunakan untuk memecahkan masalah yang baru.

Berdasarkan uraian tersebut dapat disimpulkan bahwa pemecahan masalah adalah

suatu proses berpikir dengan melibatkan informasi yang dapat diperoleh dari berbagai sumber

sehingga mampu mengatasi permasalahan-permasalahan yang dihadapi. Kemampuan

memecahkan masalah bukan sekedar menerapkan aturan-aturan yang diketahui, tetapi juga

menghasilkan pelajaran baru, dalam memecahkan masalah pelajar harus berpikir, mencoba

hipotesis dan bila berhasil memecahkan masalah itu ia mempelajari sesuatu yang baru. Jadi,

semakin banyak masalah yang dapat diselesaikan maka siswa akan semakin banyak memiliki

kemampuan yang nantinya akan membantu dirinya untuk menghadapi masalah di kehidupan

sehari-hari.
Tujuan adanya pemecahan masalah yang diberikan kepada siswa menurut Ruseffendi

(1991) yaitu:

1. Dapat menimbulkan keingintahuan dan adanya motivasi, menumbuhkan sifat kreativitas.

2. Di samping memiliki pengetahuan dan keterampilan, disyaratkan adanya kemampuan

untuk terampil membaca dan membuat pernyataan dengan benar.

3. Dapat menimbulkan jawaban yang asli, baru, khas, beraneka ragam dan dapat menambah

pengetahuan baru.

4. Dapat meningkatkan aplikasi dari ilmu pengetahuan yang sudah diperolehnya.

5. Mengajak siswa untuk memiliki prosedur pemecahan masalah, mampu membuat analisis

dan sintesis, dan dituntut untuk membuat evaluasi terhadap hasil pemecahannya.

6. Merupakan kegiatan yang penting bagi siswa bukan saja satu bidang studi tetapi (bila

diperlukan) banyak bidang studi, malahan dapat melibatkan pelajaran lain di luar

pelajaran sekolah, merangsang siswa untuk menggunakan segala kemampuannya. Ini

bagi siswa untuk menghadapi kehidupannya kini dan dikemudian hari.

2.1.2 Indikator Kemampuan Pemecahan Masalah

Beberapa strategi yang digunakan dalam pemecahan masalah menurut Polya dan

Pasmep dalam Depdiknas (2004) yaitu:

1. Mencoba-coba

Strategi ini biasanya digunakan untuk mendapatkan gambaran umum pemecahan

masalahnya dengan mencoba-coba (trial and error).

2. Membuat diagram

Strategi ini berkaitan dengan pembuatan sket atau gambar untuk mempermudah

memahami masalahnya dan mempernudah mendapatkan gambaran umum penyelesaian.

3. Mencobakan pada soal yang sederhana

Strategi ini berkenaan dengan penggunaan contoh-contoh khusus yang lebih mudah
dan lebih sederhana, sehingga gambaran umum penyelesaian masalahnya akan lebih

mudah dianalisis dan akan lebih mudah ditemukan.

4. Membuat tabel

Strategi ini digunakan untuk membantu menganalisis permasalahan atau jalan

pikiran kita, sehingga segala sesuatunya tidak hanya dibayangkan oleh otak yang

kemampuannya sangat terbatas.

5. Menemukan pola

Strategi ini berkaitan dengan pencarian keteraturan-keteraturan. Dengan keteraturan

yang sudah didapatkan tersebut akan lebih memudahkan kita untuk menemukan

penyelesaian masalahnya.

6. Memecah tujuan

Strategi ini berkaitan dengan pemecahan tujuan umum yang hendak kita capai

menjadi satu atau beberapa tujuan bagian. Tujuan bagian ini dapat digunakan sebagai

batu loncatan untuk mencapai tujuan yang sebenarnya.

7. Memperhitungkan setiap kemungkinan

Strategi ini berkaitan dengan pengguanaan aturan-aturan yang dibuat sendiri oleh

para pelaku selama proses pemecahan masalah berlangsung, sehingga dapat dipastikan

tidak akan ada satupun alternatif yang terabaikan.

8. Berfikir logis

Strategi ini berkaitan dengan penggunaan penalaran ataupun penarikan kesimpulan

yang sah atau valid dari berbagai informasi atau data yang ada.

9. Bergerak dari belakang

Dengan strategi ini kita mulai dengan menganalisis bagaimana cara mendapatkan

tujuan yang hendak dicapai. Dengan strategi ini, kita memulai proses pemecahan
masalahnya dari yang diinginkan atau ditanyakan lalu menyesuaikannya dengan yang

diketahui.

10. Mengabaikan hal yang tidak mungkin

Dari berbagai alternatif yang ada, alternatif yang sudah jelas-jelas tidak mungkin

agar dicoret/ diabaikan sehingga perhatian dapat tercurah sepenuhnya untuk hal-hal yang

tersisa dan masih mungkin saja. Strategi ini sangat penting bagi siswa karena dapat

digunakan untuk mempelajari mata pelajaran yang membutuhkan kemampuan

pemecahan masalah.

Selain strategi pemecahan masalah, tentunya siswa juga harus mengetahui prosedur

atau langkah-langkah dalam pemecahan masalah. Prosedur dalam pemecahan telah dijelaskan

Rebori dalam Rahayu (2008) sebagai berikut:

1. Menemukan adanya masalah.

Ketika seseorang mampu menggambarkan masalah, ia akan mengetahui situasi yang

sebenarnya berdasarkan fakta yang ia temukan.

2. Mengidentifikasi dan menemukan penyebab utama dari suatu masalah.

Untuk dapat memecahkan suatu masalah diperlukan kemampuan identifikasi dan

kemampuan menganalisis penyebab dari permasalahan tersebut.

3. Menghasilkan beberapa alternatif solusi.

Pada tahapan ini dihasilkan lebih dari satu solusi yang dapat digunakan untuk

memecahkan masalah.

4. Menentukan alternatif solusi.

Setelah didapatkan beberapa solusi alternatif, kemudian dipilih solusi terbaik untuk

memecahkan masalah.

5. Mengembangkan suatu rencana tindakan.


Perencanaan tindakan dilakukan untuk mengetahui keefektifan dari solusi yang

dipilih.

6. Penerapan.

Setelah membuat perencanaan tindakan, dilakukan penerapan solusi yang dipilih

untuk memecahkan permasalahan yang dihadapi.

Proses pemecahan masalah juga telah diungkapkan oleh Berry Beyer dalam Nasution

(1999), yaitu:

1. Merumuskan masalah atau soal

a. Menyadari adanya problem atau persoalan

b. Melihat maknanya

c. Mengusahakan agar masalah itu dapat dikendalikan

2. Mengembangkan jawaban sementara (hipotesis)

a. Meneliti dan mengklasifikasi data yang ada

b. Mencari hubungan, membuat tafsiran yang logis

c. Merumuskan hipotesis

3. Menguji jawaban sementara

a. Mengumpulkan data/bukti

b. Menyusun data/bukti

c. Menganalisis data/bukti

4. Mengembangkan dan mengambil kesimpulan

a. Mengevaluasi hubungan antara bukti dan hipotesis

b. Merumuskan kesimpulan

5. Menerapkan kesimpulan pada data atau pengalaman baru

a. Menguji dengan bukti baru


b. Membuat generalisasi tentang hasilnya.

Sedangkan Polya dalam Warli (2006) mengemukakan bahwa dalam pemecahan

masalah memuat empat langkah fase penyelesaian yaitu:

1. Memahami masalah

Siswa tidak mungkin dapat menyelesaikan masalah dengan benar, bila tidak

memahami masalah yang diberikan.

2. Merencanakan penyelesaian.

Fase ini sangat bergantung pada pengalaman siswa dalam menyelesaikan

masalah, semakin bervariasi pengalaman mereka, ada kecenderungan siswa lebih kreatif

dalam menyusun rencana penyelesaian masalah.

3. Menyelesaikan masalah sesuai rencana.

Bila penyusunan rencana telah dibuat, selanjutnya dilakukan penyelesaian

masalah sesuai rencana.

4. Melakukan pengecekan kembali

Fase terakhir ini adalah melakukan pengecekan atas apa yang telah dilakukan

mulai dari fase pertama sampai fase ke tiga.

Dari penjelasan tersebut untuk melatih kemampuan pemecahan masalah maka

indikator kemampuan pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian ini adalah:

1. Mengidentifikasi masalah

2. Merencanakan suatu penyelesaian

3. Menyelesaikan masalah

4. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil yang telah diselesaikan (membuat

kesimpulan)
2.2 Model pembelajaran Group Investigation (GI)

2.2.1 Pengertian Model pembelajaran Group Investigation (GI)

Group adalah kata yang berasal dari bahasa Inggris yang berarti kelompok, yaitu

kumpulan lebih dari dua orang yang bergabung untuk melakukan hal yang sama. Sedang

investigation adalah kata yang juga berasal dari bahasa Inggris yaitu investigasi atau

pengamatan. Menurut Sudjana (2011) model group investigation merupakan salah satu tipe

model pembelajaran kooperatif yang menekankan pada partisipasi dan aktivitas siswa untuk

mencari sendiri informasi pelajaran yang akan dipelajari melalui bahan-bahan yang tersedia,

misalnya dari buku pelajaran atau siswa dapat mencari melalui internet. Menurut Komalasari

(2011) group Investigation merupakan model pembelajaran yang melibatkan siswa sejak

perencanaan, baik dalam bentuk topik maupun cara untuk mempelajarinya melalui

investigasi. Group Investigation menuntut para siswa untuk memiliki kemampuan yang baik

dalam berkomunikasi ataupun dalam keterampilan proses kelompok. Sedangkan menurut

Rusman (2011) model pembelajaran kooperatif group investigation juga dirancang untuk

membantu terjadinya rasa tanggung jawab ketika peserta didik mengikuti proses

pembelajaran. Dari beberapa pengertian para ahli tersebut maka dapat disimpulkan bahwa

Group Investigation merupakan model pembelajaran yang dapat melatih nilai sosial dan

intelektual pada peserta didik dengan bergabung dalam kelompok-kelompok kecil yang

heterogen. Pada model pembelajaran Group Investigation peserta didik dilatih untuk aktif

dalam proses pembelajaran, hal itu dapat terjadi saat peserta didik berinteraksi dengan

kelompoknya, menginvestigasi materi yang sedang dipelajari, dan memadukan semua

pengalaman yang dimiliki dengan sumber belajar yang lain untuk membantu pemahaman

materi pada saat proses pembelajaran.

2.2.2 Tahapan model pembelajaran Group Investigation

Menurut Slavin (2005), dalam group investigation, siswa bekerja melalui enam
tahapan yaitu sebagai berikut.

a. Tahap 1: mengidentifikasi topik dan mengorganisasi siswa dalam kelompok dapat

dijelaskan sebagai berikut:

1. Siswa membaca sepintas sumber, tujuan topik, dan mengkategorikan saran.

2. Siswa bersama-sama kelompok mempelajari topik yang ditentukan.

3. Komposisi kelompok didasarkan pada minat dan keheterogenan.

4. Guru membantu dalam pengorganisasian pengumpulan informasi dan fasilitas.

b. Tahap 2: merencanakan tugas yang akan dipelajari secara bersama-sama anggota

kelompok. Merencanakan tugas belajar, yaitu dengan menjawab pertanyaan-pertanyaan

berikut: Apa yang kita pelajari? Bagaimana kita belajar? Siapa yang melakukan apa

(pembagian tugas)? Untuk tujuan atau sasaran apa kita menginvestigasi topik ini?

c. Tahap 3: melakukan investigasi dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Siswa dalam kelompok mengumpulkan informasi, menganalisa data, dan mencapai

kesimpulan.

2. Masing-masing anggota kelompok memberikan kontribusi pada usaha kelompok.

3. Masing-masing anggota kelompok mempertukarkan, mendiskusikan, mengklarifikasi,

dan mensintesis ide-ide.

d. Tahap 4: mempersiapkan laporan akhir dapat dijelaskan sebagai berikut.

1. Anggota kelompok menentukan informasi esensial dari proyek mereka.

2. Anggota kelompok merencanakan apa yang akan mereka laporkan dan bagaimana

mereka akan membuat presentasi mereka.

3. Kelompok mewakili bentuk suatu komite pelaksana untuk mengkoordinasikan

rencana presentasi.

e. Tahap 5: mempresentasikan laporan akhir dapat dijelaskan sebagai berikut:


1. Presentasi dibuat untuk seluruh kelas dalam berbagai bentuk.

2. Bagian dari presentasi secara aktif melibatkan pendengar.

3. Pendengar mengevaluasi kejelasan, dan mempertimbangkan presentasi sesuai dengan

kriteria yang ditentukan sebelumnya oleh seluruh kelas.

f. Tahap 6: evaluasi dapat dijelaskan sebagai berikut.

 Siswa memberikan umpan balik tentang topik permasalahan yang telah diselesaikan,

yaitu tentang apa yang mereka kerjakan, dan tentang pengalaman afektif mereka.

 Guru dan siswa bekerjasama dalam mengevaluasi belajar siswa.

 Penilaian belajar harus mengevaluasi tingkat pemikiran yang lebih tinggi

2.3 Model pembelajaran berbasis masalah (PBL)

2.3.1 Pengertian Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Model pembelajaran merupakan suatu pendekatan pembelajaran yang digunakan

untuk meningkatkan aktivitas, sikap, dan pengetahuan siswa. Hal tersebut sejalan dengan

pendapat Hanafiah (2009) yang mengungkapkan bahwa model pembelajaran merupakan

salah satu pendekatan dalam rangka mensiasati perubahan perilaku peserta didik secara

adaptif maupun generatif. Sedangkan Zubaidi (2011) mengungkapkan bahwa model

pembelajaran adalah bentuk pembelajaran yang tergambar dari awal sampai akhir yang

disajikan secara khas oleh guru di kelas. Selanjutnya, pada pengembangan model

pembelajaran menurut pandangan konstruktivis harus memperhatikan dan

mempertimbangkan pengetahuan awal siswa yang mungkin diperoleh di luar sekolah serta

dalam pembelajarannya harus melibatkan siswa dalam suatu kegiatan yang nyata (Rusman,

2011).

Berdasarkan berberapa pendapat di atas, dapat disimpulkan bahwa model


pembelajaran merupakan suatu pendekatan yang digunakan guru pada proses pembelajaran

di dalam kelas yang memperhatikan pengetahuan awal siswa dan melibatkan siswa secara

langsung berupa kegiatan nyata sehingga aktivitas, keterampilan, sikap, dan pengetahuan

siswa dapat meningkat.

Menurut Duch (1995), Problem Based Learning (PBL) merupakan model

pembelajaran yang menantang siswa untuk “belajar bagaimana belajar”, bekerja secara

berkelompok untuk mencari solusi dari permasalahan dunia nyata. Masalah ini digunakan

untuk mengikat siswa pada rasa ingin tahu pada pembelajaran yang dimaksud. Menurut

Arends (Trianto, 2007), Problem Based Learning (PBL) merupakan suatu pendekatan

pembelajaran dimana siswa dihadapkan pada masalah autentik (nyata) sehingga diharapkan

mereka dapat menyusun pengetahuannya sendiri, menumbuhkembangkan keterampilan

tingkat tinggi dan inkuiri, memandirikan siswa dan meningkatkan kepercayaan dirinya.

Sedangkan menurut Glazer (2001), mengemukakan Problem Based Learning (PBL)

merupakan suatu strategi pengajaran dimana siswa secara aktif dihadapkan pada masalah

kompleks dalam situasi yang nyata.

Berdasarkan beberapa pendapat di atas, peneliti menyimpulkan PBL adalah suatu

model pembelajaran yang berorientasi pada pemecahan masalah yang diintegrasikan dengan

kehidupan nyata. Dalam PBL diharapkan siswa dapat membentuk pengetahuan atau konsep

baru dari informasi yang didapatnya, sehingga kemampuan berpikir siswa benar-benar

terlatih.

2.3.2 Karakteristik Model PBL

Setiap model pembelajaran, memiliki karakteristik masing-masing untuk

membedakan model yang satu dengan model yang lain. Seperti yang diungkapkan Trianto

(2009) bahwa karakteristik model PBL yaitu: (a) adanya pengajuan pertanyaan atau masalah,

(b) berfokus pada keterkaitan antar disiplin, (c) penyelidikan autentik, (d) menghasilkan
produk atau karya dan mempresentasikannya, dan (e) kerja sama.

2.3.3 Tahapan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Model PBL memiliki beberapa langkah pada implementasinya dalam proses

pembelajaran. Menurut Ibrahim dan Nur (dalam Rusman, 2010) mengemukakan bahwa

tahapan PBL adalah sebagai berikut:

a. Orientasi siswa pada masalah

Guru menjelaskan tujuan pembelajaran, menjelaskan logistik yang diperlukan,

dan memotivasi siswa terlibat pada aktivitas pemecahan masalah.

b. Mengorganisasi siswa untuk belajar.

Guru membantu siswa mendefinisikan dan mengorganisasikan tugas belajar yang

berhubungan dengan masalah tersebut.

c. Membimbing pengalaman individual/kelompok.

Guru mendorong siswa untuk mengumpulkan informasi yang sesuai,

melaksanakan eksperimen untuk mendapatkan penjelasan dan pemecahan masalah.

d. Mengembangkan dan menyajikan hasil karya.

Guru membantu siswa dalam merencanakan dan menyiapkan karya yang sesuai

seperti laporan, dan membantu mereka untuk berbagi tugas dengan temannya

e. Menganalisis dan mengevaluasi proses pemecahan masalah.

Guru membantu siswa untuk melakukan refleksi atau evaluasi terhadap

penyelidikan mereka dan proses yang mereka lakukan (Trianto, 2007).

2.3.4 Keunggulan dan Kelemahan Model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL)

Setiap model pembelajaran memiliki kelebihan dan kekurangan, sebagaimana model

PBL juga memiliki kelemahan dan kelebihan yang perlu dicermati untuk keberhasilan

penggunaannya. Menurut Warsono dan Hariyanto (2012) keunggulan dan kelemahan PBL

antara lain:
1. Keunggulan dari penerapan model pembelajaran berbasis masalah (PBL) antara lain:

a. Siswa akan terbiasa menghadapi masalah (problem posing) dan tertantang untuk

menyelesaikan masalah tidak hanya terkait dengan pembelajaran di kelas tetapi juga

menghadapi masalah yang ada dalam kehidupan sehari-hari (real world).

b. Memupuk solidaritas sosial dengan terbiasa berdiskusi dengan temanteman.

c. Makin mengakrabkan guru dengan siswa.

d. Membiasakan siswa melakukan eksperimen.

2. Kelemahan dari penerapan model Pembelajaran Berbasis Masalah (PBL) antara lain:

a. Tidak banyak guru yang mampu mengantarkan siswa kepada pemecahan masalah.

b. Seringkali memerlukan waktu yang panjang.

c. Aktivitas siswa di luar sekolah sulit dipantau.

Ulfah (2014) mengungkapkan bahwa Groupinvestigation adalah model pembelajaran

yang berbasis penemuan, model ini sangat relevan dalam meningkatkan keterampilan proses

peserta didik. Sehingga model ini dirasa cocok oleh peneliti dalam menunjang proses

pembelajaran PBL, karena memiliki tujuan akhir yang hendak dikembangkan oleh peserta

didik yaitu peningkatan kemampuan pemecahan masalah. Untuk itu dalam hal ini peneliti

mengkolaborasikan 2 model pembelajaran yaitu group investigation dan PBL yang dirasa

mampu meningkatkan kemampuan pemecahan maslah peseta didik. Adapun rancangan

pembelajaran model pembelajaran group investigation berbasis PBL dapat dilihat pada

halaman 68-69 (lampiran 1).

2.4 Reaksi Redoks

A. Bilangan oksidasi

Bilangan oksidasi adalah angka atau nilai yang menentukan jumlah electron yang

dapat diterima dan dilepas oleh suatu atom dalam bentuk molekul atau ion. Dalam reaksi

redoks, perpindahan elektron menyebabkan terjadinya perubahan bilangan oksidasi.


Penentuan bilangan oksidasi dari suatu atom unsur dalam molekul atau ion mengikuti

beberapa aturan sebagai berikut :

Tabel 2.1 Aturan-aturan dalam penentuan bilangan oksidasi


N Aturan Contoh
o

1 Bilangan oksidasi atom dalam BO: Na(s), O2(g), Cl2(g), P(s),


unsur-unsur bebas adalah 0 C(s) adalah 0

2 Bilangan oksidasi ion monoatomik BO: Na+ = +1, Cl- = -1


sama dengan muatan ion

3 Bilangan oksidasi F dalam BO F dalam LiF adalah -1


senyawa selalu -1

4 Bilangan oksidasi O dalam 1. Dalam NO2, HNO3, NaOH, H2O,


senyawa dan anion okso adalah -2, NO3, SO42- dan lain-lain. BO atom O
kecuali dalam senyawa peroksida (= -1) = -2
dan superoksida (= -1/2) 2. Dalam senyawa peroksida seperti
H2O3, Na2O2 dan B2O2. BO atom O
= -1
3. Dalam senyawa superoksida seperti
KO2, BO atom O = -1/2
5 Bilangan oksidasi H dalam 1. Dalam HCl, BO H = +1
senyawa hidrida nonlogam = +1. Dalam 2. Dalam LiH dan LiAlH4, BO H= -1
senyawa Hidrida logam dan boron, Dalam BH3, BO H = -1
bilangan oksidasi H = -1.

6 Dalam senyawa unsur-unsur 1. Bo Ca (golongan IIA) dalam CaCO3


golongan IA, IIA dan aluminium berturut- adalah +2
turut memiliki BO = +1, +2, dan +3 2. BO Na (golongan IA) dalam NaOH
adalah +1
3. BO Al dalam AlCl3 adalah +3
7 Jumlah bilangan oksidasi semua Dalam NH3- : BO N + 3(BO H)
atom dalam molekul senyawa sama =0
dengan 0

8 Jumlah bilangan oksidasi semua Dalam NO3- : BO N + 3(BO O)


atom dalam ion poliatomik sama dengan = -1
muatan ion

9 Dalam senyawa, Unsur yang Dalam NO, BO O = -2 (negatif)


paling elektronegatif memiliki bilangan kerena keelektronegatifan O (3,5) lebih
oksidasi negative besar dari keelektronegatifan N (3,0)

B. Konsep Oksidasi dan Reduksi


Redoks adalah singkatan dari Reduksi dan Oksidasi. Konsep oksidasi dan reduksi
1. Reaksi Oksidasi

Istilah oksidasi pertama kali digunakan untuk menggambakan reaksi penggabungan

oksigen dengan suatu unsur atau senyawa membentuk zat baru. Saat ini pengertian oksidasi

tidak hanya terkait dengan reaksi suatu zat dengan oksigen, tetapi juga reaksi-reaksi yang

melibatkan pelepasan hydrogen, pelepasan elektron, dan peningkatan oksigen.

a. Oksidasi : Penangkapan Oksigen

Reaksi oksidasi dapat diartikan sebagai reaksi penangkapangas oksigen oleh suatu

zat. Sebagai contoh, jika arang dibakar, karbon dalam arang akar teroksidasi menjadi gas

karbon dioksida menurut persamaan kimia:

C (s) + O2 (g) CO2 (g)

Jadi, karbon teroksidasi karena menangkap oksigen.

b. Oksdasi : Pelepasan Hidrogen

Suatu zat mengalami oksidasi jika melepaskan hidrogen. Sebagai contoh, jika

ammonia dilewatkan pada tembaga (II) oksida panas, terjadi reaksi sebagai berikut:

Ammonia + tembaga (II) oksida  nitrogen + tembaga + uap air

2NH3(g) + 3CuO(S) N2(g) + 3Cu(s) + 3H2O(g)


Pada reaksi di atas, ammonia mengalami pelepasan hidrogen, berarti ammonia

teroksidasi menjadi nitrogen.

c. Oksidasi : Pelepasan Elektron

Dalam reaksi yang berlangsung melalui transfer elektron, oksidasi didefinisikan

sebagai reaksi pelepasan elektron dari suatu zat. Perhatikan reaksi antara magnesium

dan klor membentuk magnesium klorida berikut ini:

Magnesium + klor magnesium klorida


Mg (s) + Cl2 (g) MgCl2 (s)

Selama reaksi berlangsung, elektron ditransfer dari magnesium ke klor dengan

persamaan setengah reaksi sebagai berikut:

Atom magnesium melepaskan elektron


Mg(s) Mg2+ (s) + 2e membentuk ion magnesium

Molekul klor menangkap elektron


Cl2(g) + 2e 2Cl (s) membentuk ion klorida

Dalam reaksi ini, magnesium teroksidasi menjadi ion magnesium.

d. Oksidasi : Peningkatan Bilangan Oksidasi

Reaksi oksidasi menyebabkan terjadinya kenaikan bilangan oksigen untuk

mengimbangi terjadinya pelepasan elektron. Sebagai contoh, dalam oksidasi tembaga

menjadi ion tembaga (II) terjadi kenaikan bilangan oksidasi dari 0 menjadi +2, karena dalam

reaksi ini terjadi pelepasan dua elektron.

Cu(s) Cu2+ (aq) + 2e-

0 +2
Ingat! Muatan elektron = -1
BO naik

2. Reaksi Reduksi

Reaksi redukasi adalah kebalikan dari reaksi oksidasi, yaitu reaksi yang melibatkan

proses pelepasan oksigen, penangkapan hidrogen, penangkapan elektron, dan penurunan

bilangan oksidasi

a. Reduksi : Pelepasan Oksigen

Jika campuran serbukk seng (Zn) dan tembaga (II) oksida (CuO) dipanaskan, reaksi

berikut akan terjadi:


Seng + tembaga (II) oksida seng oksida + tembaga

Zn(s) + CuO(s) ZnO(s) + Cu(s)

reduksi

Dalam reaksi ini, tembaga (II) oksida kehilangan oksigen. Dapat dikatakan bahwa

tembaga (II) oksida tereduksi menjadi tembaga.

b. Reduksi : Penangkapan Hidrogen

Jika campuran gas klor dan gas hidrogen dipaparkan pada sinar matahari, asap putih

hidrogen klorida akan dihasilkan melalui persamaan kimia sebagai berikut:

hidrogen + klor hidrogen klorida

H2(g) + Cl2(g) 2HCl(g)

Klor tereduksi karena menangkap hidrogen.

c. Reduksi : Penangkapan Elektron

Reduksi juga didefinisikan sebagai reaksi penangkapan elektron oleh suatu zat. Jika

gas hidrogen sulfide dilewatkan pada larutan besi (III) klorida (FeCl3), larutan hijau besi (II)

klorida (FeCl2) dan endapan kuning belerang (S) akan dihasilkan dari reaksi ini.

besi (III) klorida +hidrogen sulfida Besi (II) klorida + hidrogen klorida + belerang

2FeCl3(aq) + H2S(g)  2FeCl2(aq) + 2HCl(aq) + S(s)


Reaksi tersebut dapat ditulisan dengan persamaan ionik sebagai berikut:

2Fe3+(aq) + H2S(g) 2Fe2+(aq) + 2H+(aq) + S (s)

Dalam reaksi ini, setiap ion Fe3+ menangkap satu elektron membentuk ion Fe2+.

Fe3+(aq) + e- Fe2+(aq)

Dapat dikatakan bahwa ion Fe3+ mengalami reaksi reduksi menjadi ion Fe2+.
d. Reduksi : Penurunan Bilangan Oksidasi

Reduksi juga dapat didefinisikan sebagai penurunan bilangan oksigen suatu zat

setelah menerima elektron. Sebagai contoh, dalam persamaan ionic antara lembaga (II)

sulfat (CuSO4) dengan seng bilangan oksidasi turun dari +2 (pada Cu2+) menjadi 0 (Pada

Cu).

Cu2+(aq) + Zn (s) Cu (s) + Zn2+(aq)

+2 0

BO turun

Dalam reaksi ini, ion tembaga (II) tereduksi menjadi atom logam tembaga.

C. Penggunaan konsep bilangan oksidasi

Pada reaksi redoks, dikenal juga reaksi autoredoks, yaitu suatu zat yang berfungsi

sebagai oksidator juga reduktor. Reaksi autoredoks dengan mudah dapat dijelaskan dengan

konsep bilangan oksidasi.

1. Membedakan reaksi redoks dan bukan redoks

Suatu reaksi redoks dapat kita bedakan dari reaksi bukan redoks denagn melihat

perubahan bilangan oksidasi pada unsur-unsur yang menyusun senyawa yang bereaksi.

Jika terjadi kenaikan bilangan oksidasi, artinya unsur tersebut mengalami oksidasi dan

bersifat sebagai reduktor. Sementara itu, jika terjadi penurunan bilangan oksidasi, artinya

unsur tersebut mengalami reduksi dan bersifat sebagai oksidator. Contoh dari reaksi

redoks dan bukan redoks adalah sebagai berikut:

a. Reaksi redoks
Unsur H mengalami kenaikan biloks dari

0 menjadi +1 (beroksidasi). Unsur Cl

mengalami penurunan biloks dari 0


H2 + Cl2  2HCl

0 0 +1 -1
oksidasi
Reduksi

b. Reaksi bukan redoks Tidak ada kenaikan biloks dari


CuO + 2HCl CuCl2 + H2O
unsur-unsur yang telibat dalam.
+2 +2
Bukan redoks Artinya, reaksi yang terjadi bukan

reaksi redoks

Beberasa reaksi kimia melibatkan unsur bebas yang memiliki biloks sama dengan

0 (nol). Jika bereaksi dengan zat lain, molekul atau unsur bebas tersebut akan menjadi

ion negatif untuk nonlogam dari ion positif untuk logam. Jadi dapat disimpulkan bahwa

jika suatu reaksi kimia melibatkan unsur bebas, maka reaksi tersebut termasuk reaksi

redoks. Contohnya adalah sebagai berikut:

SnCl2+ I2 + 2HCl  SnCl4 + 2HI


+2 0 +4 -1
oksidasi
Reduksi
Reaksi diatas merupakan reaksi redoks. I2 merupakan unsurbebas yang

mengalami reduksi, terjadi penurunan biloks 0 menjadi -1. Unsur Sn mengalami

kenaikan biloks dari +2 menjadi +4 (beroksidasi). Artinya, reaksi yang terjadi adalah

reaksi redoks yang melibatkan unsur bebas (I2).

2. Reaksi Autoredoks
Pada beberapa reaksi redoks, Zat-zat yang bertindak sebagai oksidator dan

reduktor merupakan zat yang sama. Reaksi redoks seperti itu disebut reaksi autoredoks

(Reaksi disproporsionasi). Contohnya pada rekasi berikut


oksidasi
Cl2 + 2OH- Cl- + ClO- + H2O
Reduksi
Sebagai pereduksi dan sebagai pengoksidasi

Pada reaksi tersebut, Cl2 merupakan pereduksi sekaligus pengoksidasi. Biloks Cl

dalam Cl2 = 0, sedangkan biloks Cl dalam Cl- dan ClO- berturut-turut -1 dan +1

(Muchtaridi, 2016).

D. Aplikasi Reaksi redoks dalam kehidupan sehari-hari


Reaksi redoks memiliki banyak manfaat dalam kehidupan sehari-hari atau dalam

industri. Berikut ini akan dijelaskan beberapa aplikasi reaksi redoks dalam kehidupan sehari-

hari dan industri.

1. Reaksi Redoks pada Pengolahan logam.

Reaksi redoks ini diterapkan pada proses setelah dipisahkan dari batu reja (karang)

baik secara kimia maupun fisika yang kemudian dipekatkan menjadi bijih pekat. Bijih pekat

tersebut direduksi dengan zat pereduksi yang paling tepat.

Contoh : reaksi elektrolisis logam aluminium.

3C(s) + 4Al3+(l) + 6O2-(l)  4Al(s) + 3CO2(g)

2. Reaksi Pembakaran

Pencernaan makanan didalam tubuh juga dapat dikategorikan sebagai reaksi

pembakaran dan merupakan salah satu contoh dari reaksi redoks. Karena kandungan

makanan yang kita makan seperti glukosa akan mengalami oksidasi dengan oksigen yang

kita hirup. Peristiwa oksidasi tersebut kemudian akan menghasilkan energi untuk tubuh kita

dan mengeluarkan zat sisa berupa CO2 dan H2O.

Reaksi yang terjadi :


C6H12O6(aq) + 6O2(g)Energi + 6CO2(g) + 6H2O(g)

3. Reaksi Redoks pada Penyambungan Besi.

Rel-rel besi dilas dengan proses termit. Campuran aluminium dan besi oksida disulut

untuk memulai reaksi redoks dan panas yang dihasilkan dapat melumerkan permukaan rel.

Reaksi: 2Al(s) +Fe2O3(s)  2Fe(s) + Al2O3(s)

4. Reaksi Redoks pada Sel Aki.

Reaksi penggunaan sel aki sebagai berikut

PbO2 + Pb + 2H2SO42PbSO4 + 2H2O

Pada saat aki digunakan terjadi reaksi redoks, di mana Pb mengalami reaksi oksidasi

membentuk PbSO4 dan PbO2 mengalami reaksi reduksi membentuk PbSO4

5. Oksidasi Pada Buah Apel


Buah apel yang dibelah dan kemudian dibiarkan beberapa saat maka bagian yang

terbelah tersebut akan mengalami perubahan warna manjadi kecoklatan ini terjadi karena

adanya reaksi oksidasi antara zat yang terkandung dalam buah apel dengan lingkungan

sekitar (O2)

6. Reaksi Redoks pada Baterai (Sel Leclanche).

Perubahan bilangan oksidasi pada reaksi pemakaian baterai.

Zn(s) + 2NH4+(aq) + 2MnO2(s)  Zn2+(aq) + Mn2O3(s) + 2NH3(aq) + H2O(l)

7. Reaksi Aluminotermik

Salah satu pemanfaatan aluminium adalah dengan adanya Reaksi Aluminotermik.

Reaksinya adalah sebagai berikut :

4Al + 3O2 2Al2O3

Reaksi ini tahan dengan suhu yang cukup tinggi, biasanya reaksi aluminotermik

digunakan untuk melindungi logam-logam yang tahan dengan suhu tinggi namun tidak tahan

terhadap korosi dan oksidasi logamnya cukup buruk contohnya yaitu niobium dan tantalium

(logam refraktori), reaksi aluminotermik ini digunakan sebagai pelindung logam-logam


tersebut terhadap korosi dan oksidasi logam tersebut. Dilihat dari reaksi aluminotermik

sendiri yang menggunakan oksigen, sehingga reaksi ini termasuk dalam konsep

perkembangan redoks berdasarkan pelepasan dan pengikatan oksigen.

2.5 Kajian yang Relevan

Beberapa penelitian yang relevan yang mendukung penelittian ini adalah sebagai berikut:

Penelitian yang dilakukan olehRizkyawati (2015) tentang “Implementasi group

investigation dalam model PBL materi redoks untuk meningkatkan kemampuan pemecahan

masalah”. Penelitian ini bertujuan untuk meningkatkan kemampuan pemecahan masalah

siswa dengan menerapkan metode Group Investigation berbasis Probelm Based Learning

(PBL). Penerapan metode Group Investigation berbasis model PBL memberikan kontribusi

sebesar 19,36% terhadap perkembangan kemampuan pemecahan masalah. Berdasarkan hasil

analisis dan pembahasan maka dapat diambil kesimpulan bahwa penerapan metode

pembelajaran Group Investigation berbasis model PBL dapat meningkatkan kemampuan

pemecahan masalah siswa kelas X MIA di SMA Negeri 2 Batang.

Penelitian Fathhulkhoir (2015) tentang pengaruh penggunaan model pembelajaran

kooperatif tipe group investigation(GI) terhadap kemampuan pemecahan masalah peserta

didik kelas XI pada materi koloid di MA Negeri 2 Bantul Yogyakarta”. Tujuan dari

penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh pengaruh penggunaan model pembelajaran

kooperatif tipe group investigation(GI) terhadap kemampuan pemecahan masalah peserta

didik kelas XI pada materi koloid di MA Negeri 2 Bantul Yogyakarta. Pembelajaran kimia

dengan model pembelajaran Group Investigation memberikan pengaruh positif dan signifikan

terhadap kemampuan pemecahan masalah peserta didik yang ditunjukkan dari rata-rata skor

N-Gain kelas eksperimen lebih tinggi dibandingkan kelas kontrol yaitu 0,59 dan 0,40.

Penelitian Hija alvia (2016) tentang pengaruh penggunaan model pembelajaran Group

Investigation(GI) terhadap kemampuan pemecahan masalah matematis siswa pada materi


Peluang kelas X MIPA. Tujuan dari penelitian ini adalah untuk mengetahui pengaruh

penggunaan model pembelajaran Group Investigation(GI) terhadap kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa pada materi Peluang kelas X MIPA. Kemampuan pemecahan

masalah matematis siswa kelas yang diberikan model pembelajaran Group Investigation lebih

baik dibanding kelas yang diberikan pembelajaran konvensional.Hasil perhitungan aktivitas

siswa diperoleh rata-rata sebesar 84,31% dengan kategori sangat aktif dan respon siswa

terhadap model pembelajaran Group Iinvestigation pada materi peluang sebesar 77,94%

maka dapat dikategorikan kuat.

2.6 Kerangka Berpikir

Kemampuan pemecahan masalah di SMA Negeri 1 Suwawa masih terbilang rendah.

Banyak permasalahan yang ditemukan antara lain peserta didik hanya mengandalkan seluruh

informasi dari guru dan peserta didik tidak dilibatkan dalam menemukan konsep, serta

aktivitas peserta didik yang relevan dalam pembelajaran masih rendah. Aktivitas yang

dominan dilakukan peserta didik pada proses pembelajaran antara lain memperhatikan,

mendengarkan dan mencatat. peserta didik jarang sekali mengajukan pertanyaan terkait hal

yang belum jelas ataupun yang belum diketahui. Seharusnya proses belajar mengajar

disekolah lebih berpusat pada peserta didik, guru hanya berperan sebagai fasilitator. Selain itu

kegiatan pembelajaran yang digunakan harus dilengkapi metode yang dapat mengaktifkan

peserta didik sehingga lebih antusias.

Kesulitan yang dihadapi peserta didik dalam mempelajari reaksi reduksi oksidasi

(redoks) melalui skema pemecahan masalah, ternyata peserta didik kesulitan dalam hal

menyetarakan jumlah atom yang mengalami perubahan muatan dan menentukan zat yang

dioksidasi atau direduksi. Selain itu peserta didik juga mengalami kesulitan dalam

menentukan oksidator dan reduktor, serta mengidentifikasi bilangan oksidasi masing-masing

unsur. Begitu juga dalam hal mengerjakan soal, peserta didik hanya berorientasi pada hasil
jawaban soal tanpa memahami alur proses dalam memperoleh hasil tersebut. Secara tidak

langsung ini sangat berpengaruh terutama kepada cara pandang peserta didik dalam

memperoleh informasi dan menganalisisnya

Upaya untuk mengembangkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik dalam

kegiatan pembelajaran dipengaruhi oleh model yang diterapkan oleh guru. Pengembangan

cara berpikir peserta didik ini dapat dilatih dalam suatu pembelajaran dengan memberikan

masalah-masalah yang dipecahkan dengan membentuk Group Investigation.

Groupinvestigation adalah model pembelajaran yang berbasis penemuan, model ini sangat

relevan dalam meningkatkan keterampilan proses peserta didik. Sebab, akan merangsang pola

berpikir peserta didik dalam mencari solusi dan mengambil keputusan, dorongan-dorongan

ini yang kemudian mampu mengembangkan kemampuan pemecahan masalah peserta didik

karena melakukan penyelidikan secara berkelompok dan akan terjun langsung dilapangan

untuk mengatasi permasalahan terkait materi yang dipelajari. Sehingga model ini dirasa

cocok dalam menunjang proses pembelajaran model PBL. Dimana model PBLmerupakan

model pembelajaran yang mendorong peserta didik untuk berlatih memecahkan masalah

karena langkah pembelajaran ini adalah dengan menyajikan suatu masalah sebagai awal

proses pembelajaran. Model pembelajaran ini dirancang untuk dapat melatih kemampuan

memecahkan masalah yang ada dalam kehidupan sekitar sehingga nantinya dapat

memperdalam penguasaan konsep dalam pengetahuan karena memiliki tujuan akhir yang

hendak dikembangkan didik yaitu peningkatan kemampuan pemecahan masalah.

Fakta disekolah: yang seharusnya


disekolah:
 Pembelajaran kimia  Pembelajaran harus
masih berpusat pada berpusat pada siswa,
guru guru bertindak
 Minat siswa dalam sebagai fasilitator
pembelajaran kimia  Kegiatan
masih kurang pembelajaran harus
 Dalam pembelajaran menggunakan
siswa masih kurang metode lain yang
terlibat aktif dapat membuat
siswa antusias
Kemampuan pemecahan
masalah peserta didik harus
dilatih agar berkembang

Indikator kemampuan Sintak GI berbasis PBL:


pemesahan masalah:  Memahami dan
1. Mengidentifikasi Penerapan model mengorganisasikan
masalah pembelajaran masalah
2. Merencanakan suatu Group  Mengorientasikan
penyelesaian Investigation siswa dalam
3. Menyelesaikan masalah berbasisis kelompok belajar
4. Menjelaskan atau Problem based  Melakukan
menginterpretasikan learning (PBL) investigasi
hasil yang telah (mandiri/kelompok)
diselesaikan (membuat  Mengembangkan dan
kesimpulan) menyajikan hasil
karya
Gambar 2.1 Diagram Kerangka Berpikir  Analisis dan evaluasi

2.7 Hipotesis

Berdasarkan rumusan masalah dan kajian teoritis yang telah diuraikan diatas,

hipotesis yang diharapkan dalam penelitian ini yaitu terdapat pengaruh penerapan model

pembelajaran Group investigation berbasis Problem Based Learning (PBL) terhadap

kemampuan pemecahan masalah siswa kelas X di SMA Negeri 1 Suwawa pada materi reaksi

redoks.
BAB III
METODOLOGI PENELITIAN
3.1 Waktu dan Tempat

Penelitian ini dilaksanakan di SMA Negeri 4 Gorontalo, dan waktu penelitian yaitu

pada bulan Maret pada tahun ajaran 2018/2019 yang meliputi tahapan pertama yakni tahap

persiapan meliputi observasi awal, menyiapkan bahan ajar, RPP, LKPD dan soal tes yang

akan digunakan dalam penelitian. Tahap kedua yakni pelaksanaan meliputi melakukan

penelitian dan pengambilan data.

3.2 Desain Penelitian

Jenis penelitian ini menggunakan metode kuantitatif Quasy Experiment atau

penelitian eksperimen semua, yakni suatu desain eksperimen yang memungkinkan peneliti

untuk mengendalikan variabel sebanyak mungkin dari situasi yang ada. Desain penelitian

yang digunakan dalam penelitian ini adalah Control Group Pretes-postes Design. Rancangan

ini terdiri atas dua kelompok yakni kelompok pertama kelas eksperimen menggunakan model

pembelajaran group Investigation berbasis PBL dan kelas kontrol menggunakan model

pembelajaran konvensional (PBL) saja. Sebelum dilakukan penelitian pada kedua kelompok

tersebut diberikan tes awal (pretest) dan setelah dilakukan penelitian kedua kelompok

diberikan tes akhir (postest). Untuk lebih jelasnya rancangan penelitian tersebut dinyatakan

dalam gambar 3.1 berikut:

KelasPre-tes Perlakuan Post-tes

I O1 X O2

II O3 O4
Gambar 3.1 Desain Penelitian

Keterangan:

I = Kelas eksperimen;

II = Kelas kontrol;

X = Pembelajaran kimia dengan menerapkan model pembelajaran group investigation

berbasis PBL,

O1= Tes awal (pretest) untuk kelas eksperimen sebelum diberi perlakuan

O2= Tes akhir (postest) untuk kelas eksperimen setelah diberi perlakuan

O3= Tes awal (pretest) untuk kelas kontrol

O4= Tes akhir (postest) untuk kelas kontrol (Sugiyono, 2016).

3.3 Variabel Penelitian


Menurut Suharsimi Arikunto (2010) “Variabel adalah objek penelitian atau apa yang

menjadi titik perhatian suatu penelitian”.

3.3.1 Variabel Bebas atau independent variable (X)

3.3.1.1 Definisi Konseptual Variabel Bebas

Model pembelajaran berbasis masalah (PBL) adalah suatu model pembelajaran yang

berorientasi pada pemecahan masalah yang diintegrasikan dengan kehidupan nyata. Dalam

model pembelajaran PBL ini diterapkan pula model pembelajaran Group Investigation yang

merupakan model pembelajaran yang berbasis penemuan. Sehingga dengan menggabungkan

dua model ini diharapkan peserta didik dapat membentuk pengetahuan atau konsep baru dari

informasi yang didapatnya, sehingga kemampuan pemecahan masalah siswa benar-benar

terlatih.

3.3.1.2 Definisi Operasional Variabel Bebas


Secara operasional variabel bebas pada penelitian ini adalah sebagai proses

pelaksanaan pembelajaran dengan menerapkan model pembelajaran Group Investigation

berbasis Problem based Learning (PBL).

3.3.2 Variabel Terikat atau dependent variable (Y)

3.3.2.1 Definisi Konseptual Variabel Terikat

Kemampuan pemecahan masalah adalah suatu proses berpikir dengan melibatkan

informasi yang dapat diperoleh dari berbagai sumber sehingga mampu mengatasi

permasalahan-permasalahan yang dihadapi.

Adapun indikator kemampuan Pemecahan masalah yang digunakan dalam penelitian

ini adalah:

1. Mengidentifikasi masalah

2. Merencanakan suatu penyelesaian

3. Menyelesaikan masalah

4. Menjelaskan atau menginterpretasikan hasil yang telah diselesaikan (membuat

kesimpulan)

Kisi-kisi tes tertulis yang digunakan untuk mengukur kemampuan pemecahan

masalah dapat dilihat pada tabel berikut:

Tabel 3.1 Kisi-kisi penomoran tes kemampuan pemecahan masalah


No Indikator materi Indikator kemampuan Nomor
pemecahan masalah soal
1 Mampu mengidentifikasi  Mengidentifikasi masalah 1
perkembangan reaksi redoks  Merencanakan suatu
2 Mampu menentukan penyelesaian 2, 3
bilangan oksidasi atom unsur  Menyelesaikan masalah
dalam suatu senyawa atau
ion  Menjelaskan atau
menginterpretasikan hasil
3 Dapat menjelaskan yang telah diselesaikan 4, 5
penerapan redoks dalam (membuat kesimpulan)
kehidupan sehari-hari
3.3.2.2 Definisi Operasional Variabel Terikat

Indikator hasil capaian dari variabel terikat ini adalah mengidentifikasi masalah,

merencanakan suatu penyelesaian, menyelesaikan masalah dan menjelaskan atau

menginterpretasikan hasil yang telah diselesaikan (membuat kesimpulan). Semua indikator

tesebut akan tercapai dengan menerapkan model pembelajaran Group Investigation berbasis

PBL.

3.4 Populasi dan Sampel

3.4.1 Populasi

Populasi dalam penelitian ini adalah seluruh siswa kelas X IPA SMA Negeri 1

Suwawa yang berjumlah 75 orang, dimana kelas X IPA 1 berjumlah 25 orang, kelas X IPA 2

berjumlah 25 orang, dan kelas X IPA 3 berjumlah 25 orang.

3.4.2 Sampel

Teknik pengambilan sampel dalam penelitian ini adalah dengan simple

random sampling. Dikatakan simpel (sederhana) karena pengambilan anggota sampel dari

populasi dilakukan secara acak tanpa memperhatikan starata yang ada dalam populasi itu

(Sugiyono, 2016). Sehingga diperoleh kelas X IPA 3 sebagai kelas eksperimen dan X IPA 1

sebagai kelas kontrol.

3.5 Teknik Pengumpulan Data

3.5.1 Tes Tertulis

Tes tertulis digunakan untuk mengukur tingkat kemampuan pemecahan masalah

siswa dalam materi reaksi redoks. Tes tertulis yang diberikan kepada siswa meliputi pretes

dan posttest di kelas eksprimen dan pretes dan posttest pada kelas kontrol bertujuan untuk

mengetahui kemampuan pemecahan masalah siswa sesudah di berikan perlakuan.

3.5.2 Dokumentasi
Dokumentasi digunakan untuk memperkuat data yang diperoleh dari hasil observasi

dan tes. Data yang diperoleh dari dokumantasi berupa RPP, hasil pekerjaan siswa dan foto-

foto yang memberikan gambaran keadaan pelaksanaan pembelajaran.

3.6 Teknik Analisis Data

3.6.1 Analisis Perangkat tes

3.6.1.1 Analisis Validitas Tes

Suatu instrumen pengukuran dikatakan valid jika instrumen dapat mengukur sesuatu

dengan tepat apa yang hendak diukur. Uji validitas instrumen dilakukan untuk menguji

validitas (ketepatan) tiap butir/item instrumen. Untuk mengetahui validitas perangkat tes

digunakan rumus korelasi product moment sebagai berikut:

𝑁∑XY−(∑X)(∑Y)
rxy =
√(𝑁∑𝑋 2 −(∑𝑋)2 )(𝑁∑𝑌 2 )−(∑𝑌)2 )

Dimana:

Rxy = Koefisien korelasi

n = Banyaknya siswa

X = Skor total pada butir soal

Y = Skor total siswa (Arikunto, 2010)

Dengan taraf signifikan 5%, apabila dari hasil perhitungan didapat r hitung > r tabel maka

dikatakan butir soal nomor tersebut telah signifikan atau telah valid (Arikunto, 2010)

Tabel 3.2 Kategori validitas butir soal


Batasan Kategori

0,80 < Rxy ≤ 1,00 Sangat tinggi/sangat baik

0,60 < Rxy ≤ 0,80 Tinggi/baik

0,40 < Rxy ≤ 0,60 cukup/sedang


0,20 < Rxy ≤ 0,40 Rendah/kurang

0,00 < Rxy ≤ 0,20 Sangat rendah/sangat kurang

Dengan menggunakan taraf nyata α = 0,05 dan N = 24 dengan kriteria interval

kepercayaan 95% maka diperoleh harga rtabel = 0,404 yang dapat dilihat pada halaman 164

(lampiran 20). Dengan membandingkan harga rtabel dengan rhitung setiap item soal, diperoleh

bahwa rtabel < rhitung. Hal ini menunjukkan bahwa seluruh item soal valid dan baik jika

digunakan sebagai instrumen pengumpulan data. Hasil perhitungannya dapat dilihat pada

halaman 125-133 (lampiran 10). Koefisien validasi tersebut dapat dilihat pada tabel 3.3

dibawah ini

Tabel 3.3Koefisien validasi dan status validasi


No.It Koefisien validasi Status
em
rhitung rtabel

1 0,734 0,404 Valid

2 0,764 0,404 Valid

3 0,517 0,404 Valid

4 0,413 0,404 Valid

5 0,785 0,404 Valid

3.6.1.2 Analisis Reliabilitas Tes

Pengujian realibilitas instrumen dapat dilakukan secara eksternal maupun internal.

Dalam penelitian ini digunakan pengujian instrumen secara internal dengan menganalisis

butir-butir yang ada pada instrumen dengan teknik tertentu. Untuk perhitungan reliabilitas

dalam penelitian ini digunakan rumus sebagai berikut:


𝑛 ∑S2𝑖
r11 = (𝑛−1) (1 − )
𝑠𝑡2

Dimana:

r11 : Koefisien realibilitas tes

n : Banyaknya butir item yang dikeluarkan dalam tes

1 : Bilangan konstan

∑S𝑖2 :Jumlah varian skor dari tiap-tiap butir item

𝑠𝑡2 :Varian total (Arikunto, 2010)

Tabel 3.4 Kategori realibilitas butir soal


Batasan Kategori

0,80 < Rxy ≤ 1,00 Sangat tinggi/sangat baik

0,60 < Rxy ≤ 0,80 Tinggi/baik

0,40 < Rxy ≤ 0,60 cukup/sedang

0,20 < Rxy ≤ 0,40 Rendah/kurang

0,00 < Rxy ≤ 0,20 Sangat rendah/sangat kurang

Pengujian realibilitas tesmenggunakan Alfa Crombach dengan langkah-langkah

sebagai berikut:

1. Menentukan varians tiap item soal dengan menggunakan rumus:

(Ʃ𝑋𝑡 )²
Ʃ𝑋𝑡 ² −
𝑆𝑡 ² = 𝑁
𝑁

Hasil perhitungan varians dapat dilihat pada tabel 3.5 dibawah ini:

Tabel 3.5 Varians tiap item soal


No Item 𝑆𝑡 ² Varian

1 𝑆𝑖2 1 1,916

2 𝑆𝑖2 2 1,873

3 𝑆𝑖2 3 0,789
4 𝑆𝑖2 4 1,373

5 𝑆𝑖2 5 1,526

2. Menghitung Varians total

Berdasarkan data hasil perhitungan pada tabel diatas dapat diperoleh varians total

yaitu 𝑆𝑡 ² = 15,805

3. Menghitung realibilitas tes

Dari hasil perhitungan pada lampiran diperoleh realibilitas tes r11 = 0,6585. hal ini

dapat dilihat pada halaman 134-139 (lampiran 11). Berdasarkan pedoman interpretasi

koefisien realibilitas terlihat bahwa r11 = 0,6585 berada pada koefisien realibilitas tinggi.

Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa tes reliabel artinya dapat digunakan sebagai

pengumpul data pada penelitian ini.

3.6.2 Analisis data

3.6.2.1 Uji Normalitas

Uji normalitas dilakukan untuk melihat sejauh mana normal data yang akan dianalisis.

Untuk mengetahui bahwa data sampel yang diambil dari populasi berdistribusi normal

digunakan rumus liliefors untuk menguji hipotesis. Secara statistik dapat dituliskan sebagai

berikut:

H0 = data berasal dari populasi terdistribusi normal

Ha = data tidak berasal dari populasi terdistribusi normal

Lo = ‫׀‬F (Zi) − S (Zi)‫׀‬

Untuk mencari Lo maka harus diketahui Zi, F(Zi) Dan S(Zi) dengan persamaan

masing-masing:
𝑋𝑋−𝑋
Zi = 𝑋

F(Zi) = Data Zi yang dilihat berdasarkan tabel uji standar normalitas


𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋
S(Zi) = 𝑋

Keterangan:

L0 = harga mutlak terbesar

F(Zi) = peluang angka baku

S(Zi) = proporsi angka baku

N = Banyaknya Siswa

Xi = Skor Siswa

X = Nilai Rata-rata

S = Simpangan Baku

Menurut Arikunto kriteria pengujian dengan α = 5% jika Lhitung< Ltabel maka data

terdistribusi normal demikian juga sebaliknya.

3.6.2.2 Uji Homogenitas


Uji homogenitas digunakan untuk mengetahui kesamaan antara dua keadaan atau

populasi. Dari jumlah sampel yang ada dapat dilihat bahwa penilitian ini memiliki jumlah

anggota sampel yang berbeda atau n1 ≠ n2 akan tetapi peneliti tidak bisa mengetahui apakah

data hasil analisis menunjukan varian yang homogen (σ2 = σ2) atau varian yang tidak

homogen (σ2 ≠ σ2 ). Untuk mengetahui suatu varian homogen atau tidak maka perlu diuji

homogenitas variannya terlebih dahulu dengan uji F.

𝑋21 𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋
𝑋= =
𝑋22 𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋

Jika:

 Fhitung< F tabel maka varian kedua kelompok tersebut adalah Homogen

 Fhitung ≥ F tabel maka varian kedua kelompok tersebut tidak Homogen

Untuk mengetahui kelompok mana yang memiliki nilai varian terbesar dan kelompok

mana yang memiliki nilai varian terkecil. Dapat menggunakan rumus varians (s2).

nn∑X12 – (∑X1)2
S2=
n (n-1)
Keterangan :

F = Uji Fisher

S = Simpangan baku

X = nilai

n = Jumlah anggota sampel (Supardi, 2016)

3.6.2.3 Uji Normalized Gain (N-Gain)

Uji ini dilakukan untuk menguji peningkatan hasil belajar kognitif peserta didik

berdasarkan indikator kemampuan pemecahan masalah antara kelas eksperimen dengan kelas

kontrol dengan menggunakan rumus N-gain.


𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋−𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑡𝑋𝑋𝑋
N-gain = 𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋−𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋𝑋

Kriteria n-Gain diambil berdasarkan kriteria menurut Hake (dalam Sunyono, 2014)

yang disajikan pada tabel 3.6

Tabel 3.6. Kriteria n-Gain


Nilai n-Gain Kriteria

n-Gain > 0,70 Tinggi

0,30 < n-Gain ≤ 0,70 Sedang

n-Gain ≤ 0,70 Rendah

3.7 Uji Hipotesis

Analisis data yang digunakan dalam penelitian ini adalah statistik deskriptif yang

digunakan untuk menganalisis data dengan cara mendeskripsikan atau menggambarkan data

yang telah dikumpulkan. Data dikelompokkan berdasarkan aktivitas atau kegiatan siswa yang

diamati melalui kegiatan pembelajaran dengan menerapkan model Group Investigation

berbasis PBL dan kemampuan pemecahan masalah siswa melalui hasil test.
Kemudian untuk mengetahui kuatnya hubungan antara variabel dilakukan analisis

data dalam hal ini menggunakan teknik analisis statistik uji t-independen. Rumus persamaaan

uji t-independen, sebagai berikut:


̅̅̅̅
X1 −X̅̅̅̅2
t= 1 1
S√ +
n1 n2

Dimana :

t = nilai hitung

̅ 1 = nilai rata-rata kelas eksperimen


𝑋

̅ 2 = nilai rata-rata kelas kontrol


𝑋

n1 = jumlah anggota kelas eksperimen

n2 = jumlah anggota kelas kontrol

𝑋 = simpangan baku

Untuk menguji hipotesis pada penelitian ini digunakan uji t. Setiap hipotesis

penelitian harus memiliki hipotesis pembanding. Hipotesis pembanding biasanya dikenal

dengan hipotesis nol (Arikunto, 2009)

Ha : μ1≠μ2 Terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran Group Investigation berbasis

Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan masalah

siswa kelas X di SMA Negeri 4 Grontalo pada materi reaksi redoks.

H0 : μ1=μ2 Tidak terdapat pengaruh penerapan model pembelajaran Group


Investigation berbasis Problem Based Learning (PBL) terhadap kemampuan pemecahan
masalah siswa kelas X di SMA Negeri 4 Gorontalo pada materi reaksi redoks.
DAFTAR PUSTAKA

Arikunto, S. 2010. Prosedur Penelitian (Ed Revisi). Jakarta: Rineka Cipta

Depdiknas. 2004. Contoh-contoh masalah untuk meningkatkan kemampuan menggunakan


strategi dalam proses pemecahan masalah. Yogyakarta: Depdiknas

Duch, J,B. 1995. Problem Based Learning in Physics. The Power Of Student Theaching
Student

Faulina, Herlin. 2008. Meningkatkan aktivitas belajar Matematika siswa kelas VIII-C melalui
metode Pemecahan masalah. Bandar lampung: Universitas Lampung

Glazer. 2001. Using Internet Primary Sources to Teach Critical Thinking Skill In
Amthematics. London: Greenwood press

Hamalik, Oemar. 2008. Dasar-dasar pengembangan kurikulum. Bandung: Rosdakarya

Hanafiah, N. d. 2009. Konsep Strategi Pembelajaran. Bandung: PT Refika Adiatma

Komalasari, Kokom. 2011. Pembelajaran kontekstual konsep dan aplikasi. Bandung: PT


Refika Adiatma

Mahira.2012. Penerapan model ProjectBased Learning (PjBL) untuk meningkatkan


kemampuan memecahkan masalah siswa pada konsep Pencemaran lingkungan.
Skripsi. Bandung: UPI

Mentari.2015. Implementasi Group Investigation Dalam ModelPBL Materi Redoks Untuk


MeningkatkanKemampuan Pemecahan Masalah Siswa
Sman 2 Batang.Skripsi,Semarang:UNS

Muchtaridi. 2016. Kimia SMA kelas X. Jakarta:Yudistira

Nasution, S. 1999. Kurikulum dan pengajaran. Bandung: Bumi aksara

Rahayu, S. 2008. Analisis kemampuan siswa dalam memecahkan masalah pada subkonsep
pencemaran lingkungan melaluimetode studi kasus. Bandung: UPI

Ruseffendi. 1991. Pengantar kepada membantu gurumengembangkan kompetensinya dalam


pengajaran Matematika untuk meningkatkan CBSA. Bandung :Tarsito
Rusman. 2011. Model-Model Pembelajaran Mengembangkan Profesionalisme Guru. Jakarta:
PT Raja Grafindo

Sudjana, N. 2011. Dasar-dasar proses belajar mengajar. Bandung: Sinar Bina Algesinda

Sudjana. 2005. Metoda Statistika. Bandung: Tarsito.

Trianto. 2007. Model-model Pembelajaran Inovatif Berorientasi Konstruktivistik: Konsep,


Landasan Teoritis-Praktis dan Implementasinya. Jakarta: Prestasi pustaka
Ulfah, A. 2014. Pengaruh Model Pembelajaran Group Investigation Terhadap Proses
Ketrampilan Sains Pada Materi Koloid di SMA. Jurnal Pendidikan
Kimia 3(10): 2-10.

Warli. 2006. Prosiding Konferensi Nasional Matematika XIII. Semarang: Universitas


Diponegoro

Anda mungkin juga menyukai