Anda di halaman 1dari 26

REFERAT Maret 2018

“Tetanus Pada Anak”

Nama : Musyarafa

No. Stambuk : N 111 17 058

Pembimbing : dr. Kartin Akune, Sp.A

DEPARTEMEN ILMU KESEHATAN ANAK

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS TADULAKO

RUMAH SAKIT UMUM DAERAH UNDATA

PALU

2018

1
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL ........................................................................................... i


DAFTAR ISI ........................................................................................................ ii
BAB I PENDAHULUAN .................................................................................. 3
BAB II TINJAUAN PUSTAKA......................................................................... 4
A. Definisi ...................................................................................................... 5
B. Etiologi ...................................................................................................... 5
C. Epidemilogi ............................................................................................... 6
D. Patogenesis ................................................................................................ 8
E. Manifestasi Klinis ................................................................................... 10
F. Diagnosis ................................................................................................. 16
G. Diagnosis Banding .................................................................................. 17
H. Komplikasi .............................................................................................. 18
I. Penatalaksanaan ...................................................................................... 20
J. Prognosis ................................................................................................. 22
K. Pencegahan .............................................................................................. 22

BAB III PENUTUP ........................................................................................... 25


DAFTAR PUSTAKA

2
BAB I
PENDAHULUAN

Kata tetanus diambil dari bahasa Yunani yaitu tetanos dari teinein yang
berarti menegang.Tetanus adalah penyakit dengan tanda utama kekakuan otot spasme
tanpa disertai gangguan kesadaran. Gejala ini bukan disebabkan kuman secara
langsung, tetapi sebagai dampak eksotosin (tetanospasmin) yang dihasilkan oleh
kuman pada sinaps ganglion sambungan sumsum tulang belakang, neuro muscular
junction, dan saraf otonom.1,2
Penyakit tetanus kebanyakan terdapat pada anak-anak yang belum pernah
mendapatkan imunasi tetanus (DPT). Dan pada umumnya terdapat pada anak dari
keluarga yang belum mengerti pentingnya imunasi dan pemeliharaan kesehatan,
seperti kebersihan lingkungan dan perorangan. Penyebab penyakit seperti pada
tetanus, yaitu Clostridium tetani yang hidup anaerob, berbentuk spora selama di luar
tubuh manusia, tersebar luas di tanah, juga terdapat di tempat yang kotor, besi
berkarat sampai pada tusuk sate bekas. Basil ini bila kondisinya baik (di dalam tubuh
manusia) akan mengeluarkan toksin. Toksin ini dapat menghancurkan sel darah
merah, merusak leukosit, dan merupakan tetanospasmi, yaitu neurotropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot.1,3
Penyakit ini adalah penyakit infeksi di saat spasme otot tonik dan
hiperrefleksia menyebabkan trismus (lockjaw), spasme otot umum, melengkungnya
punggung (opistotonus), spasme glotal, kejang, dan paralisis pernapasan. Spora
Clostridium tetani biasanya masuk kedalam tubuh melalui luka pada kulit oleh karena
terpotong, tertusuk ataupun luka bakar serta pada infeksi tali pusat (Tetanus
Neonatorum).2,4,5
Tetanus sudah dikenal oleh orang-orang dimasa lalu, yang dikenal karena
hubungan antara luka-luka dan kekejangan-kekejangan otot fatal. Pada tahun 1884,
Arthur Nicolaier mengisolasi toksin tetanus yang seperti strychnine dari tetanus yang
hidup bebas, bakteri lahan anaerob. Etiologi dari penyakit itu lebih lanjut diterangkan

3
pada tahun 1884 oleh Antonio Carle dan Giorgio Rattone, yang mempertunjukkan
sifat mengantar tetanus untuk pertama kali. Mereka mengembangbiakan tetanus di
dalam tubuh kelinci-kelinci dengan menyuntik saraf mereka di pangkal paha dengan
nanah dari suatu kasus tetanus manusia yang fatal di tahun yang sama tersebut. Pada
tahun 1889, Clostridium tetaniterisolasi dari suatu korban manusia, oleh Kitasato
Shibasaburo, yang kemudiannya menunjukkan bahwa organisme bisa menghasilkan
penyakit ketika disuntik ke dalam tubuh binatang-binatang, dan bahwa toksin bisa
dinetralkan oleh zat darah penyerang kuman yang spesifik. Pada tahun 1897, Edmond
Nocard menunjukkan bahwa penolak toksin tetanus membangkitkan kekebalan pasif
di dalam tubuh manusia, dan bisa digunakan untuk perlindungan dari penyakit dan
perawatan. Vaksin lirtoksin tetanus dikembangkan oleh P.Descombey pada tahun
1924, dan secara luas digunakan untuk mencegah tetanus yang disebabkan oleh luka-
luka pertempuran selama Perang Dunia II.5

4
BAB II
TETANUS

II.1 Definisi
Tetanus adalah suatu penyakit infeksi akut yang disebabkan oleh kuman
clostridium tetani dengan tanda-tanda meningginya tonus otot serat lintang dan
kejang tonik yang bersifat umum. Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai
dengan meningkatnya tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin,
suatu toksin protein yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani, tanpa
gangguan kesadaran. Tetanus ini biasanya akut dan menimbulkan paralitik spastik
yang disebabkan tetanospasmin.1

II.2 Etiologi
Kuman yang menghasilkan toksin adalah Clostridridium tetani, kuman
berbentuk batang dengan ukuran panjang 2–5 um dan lebar 0,3–0,5 um memiliki
sifat:1,2,3
 Basil Gram-positif dengan spora pada pada salah satu ujungnya sehingga
membentuk gambaran tongkat penabuh drum atau raket tenis.
 Obligat anaerob (berbentuk vegetatif apabila berada dalam lingkungan anaerob)
dan dapat bergerak dengan menggunakan flagella.
 Mampu membentuk spora (terminal spore) yang mampu bertahan dalam suhu
tinggi (dalam autoklaf pada suhu 121°C selama 10–15 menit), kekeringan dan
desinfektans (fenol dan lainnya). Spora dapat menyebar kemana-mana,
mencemari lingkungan secara fisik dan biologik. Spora mampu bertahan dalam
keadaan yang tidak menguntungkan selama bertahun-tahun.
 Kuman hidup di tanah, debu, dan di dalam usus binatang, terutama pada tanah di
daerah pertanian/peternakan. Umumnya, spora bakteri ini terdistribusi pada tanah

5
dan saluran pencernaan serta feses dari kuda, domba, anjing, kucing, tikus, babi,
dan ayam.
 Clostridium tetani menghasilkan 2 eksotosin yaitu tetanospamin dan tetanolisin.
Fungsi dari tetanolisin tidak diketahui dengan pasti, namun juga dapat
menyebabkan lisis dari sel-sel darah merah. Tetanospamin yang dapat
menyebabkan penyakit tetanus, merupakan toksin yang neurotropik yang dapat
menyebabkan ketegangan dan spasme otot. Tetanospasmin merupakan protein
dengan berat molekul 150.000 Dalton, larut dalam air, labil pada panas dan
cahaya, rusak dengan enzim proteolitik. Perkiraan dosis mematikan minimal dari
kadar toksin (tetanospamin) adalah 2,5 ng/kgBB atau 175 ng untuk 70 kilogram
(154lb) manusia.
 Clostridium tetani tidak menghasilkan lipase maupun lesitinase, tidak memecah
protein dan tidak memfermentasi sakarosa dan glukosa juga tidak menghasilkan
gas H2S. Menghasilkan gelatinase dan indol positif.

Gambar 1. Mikroskopis Clostridium tetani

II.3 Epidemiologi
Tetanus tersebar di seluruh dunia dengan angka kejadian tergantung pada
jumlah populasi masyarakat yang tidak kebal, tingkat populasi masyarakat yang tidak
kebal, tingkat pencemaran biologi lingkungan peternakan/ pertanian, dan adanya luka
pada kulit atau mukosa. Tetanus pada anak tersebar di seluruh dunia, terutama pada

6
daerah risiko tinggi dengan cakupan imunisasi DTP yang rendah angka kejadian pada
anak laki-laki lebih tinggi, akibat perbedaaan aktivitas fisiknya.1
Di negara berkembang seperti Indonesia, insiden dan angka kematian akibat
tetanus masih cukup tinggi, hal ini disebabkan karena tingkat kebersihan masih
sangat kurang, mudah terjadi kontaminasi, perawatan luka yang kurang diperhatikan,
kurangnya kesadaran masyarakat akan pentingnya kebersihan dan kekebalan terhadap
tetanus. Oleh karena itu tetanus masih menjadi masalah kesehatan, terutama
penyebab kematian neonatal tersering oleh karena tetanus neonatorum. Akhir-akhir
ini dengan adanya penyebarluasan program imunisasi di seluruh dunia, maka angka
kesakitan dan kematian menurun secara drastis.
Reservoir utama kuman ini adalah yang mengandung kotoran ternak, kuda
dan sebagainya, sehingga risiko penyakit ini di daerah peternakan sangat besar. Spora
kuman Clostridium tetani yang tahan terhadap kekeringan dapat bertebaran di mana-
mana; misalnya dalam debu jalanan, lampu operasi, bubuk antiseptik (dermatol),
ataupun pada alat suntik dan operasi.1
Pada dasarnya tetanus adalah penyakit akibat penyakit pencemaran
lingkungan oleh bahan biologis (spora), sehingga upaya kausal menurunkan attack
rate berupa cara mengubah lingkungan fisik atau biologis. Port d’entre tak selalu
dapat diketahui dengan pasti, namun diduga melalui:1,2

1. Luka tusuk (paku, serpihan kaca, injeksi tidak steril, injeksi obat, tindik), patah
tulang komplikasi kecelakaan, gigitan binatang, luka bakar yang luas
2. Luka operasi (benang terkontaminasi), luka yang tak dibersihkan (debridement)
dengan baik (goresan-goresan upacara, sirkumsisi wanita).
3. Otitis media, karies gigi, abses gigi, luka kronik (ulkus kronik), gangren
4. Pemotongan tali pusat yang tidak steril, pembubuhan punting tali pusat dengan
kotoran binatang, bubuk kopi, bubuk ramuan dan daun-daunan merupakan
penyebab utama masuknya spora pada punting tali pusat yang menyebabkan
terjadinya kasus tetanus neonatorum.

7
II.4 Patogenesis
Biasanya penyakit ini terjadi setelah luka yang dalam misalnya luka yang
disebabkan tertusuk paku, pecahan kaca, kaleng atau luka tembak, karena luka
tersebut menimbulkan keadaan anaerob yang ideal. Selain itu luka laserasi yang
kotor, luka bakar dan patah tulang juga akan mengakibatkan keadaan anaerob yang
ideal untuk pertumbuhan C. tetani ini. Walaupun demikian luka-luka ringan seperti
luka gores, lesi pada mata, telinga, atau tonsil dan traktus digestivus serta gigitan
serangga dapat pula merupakan port d’entré (tempat masuk) dari C. tetani.
Spora yang masuk ke dalam tubuh dan berada dalam lingkungan anerobik,
berubah menjadi vegetatif dan berbiak cepat sambil menghasilkan toksin. Dalam
jaringan yang anaerobik ini terdapat penurunan potensial oksidasi reduksi jaringan
dan turunnya tekanan oksigen jaringan akibat adanya benda asing, seperti bambu,
pecahan kaca dan sebagainya.1,2
Hipotesis mengenai cara absorbsi dan bekerjanya toksin:1,2,4
1. Toksin diabsorbsi pada ujung saraf motorik dan melalui aksis silindrik dibawa ke
kornu anterior susunan saraf pusat.
2. Toksin diabsorbsi oleh susunan limfatik, masuk ke dalam sirkulasi darah arteri
kemudian masuk ke dalam susunan saraf pusat.
Hipotesis bahwa toksin pada awalnya merambat dari tempat luka lewat motor
endplate dan aksis silinder saraf tepi ke kornu anterior sumsum tulang belakang dan
menyebar ke seluruh susunan saraf pusat, lebih banyak dianut daripada lewat
pembuluh limfe dan darah. Pengangkutan toksin ini melewati saraf motorik, terutama
serabut motor. Reseptor khusus pada ganglion menyebabkan fragmen C toksin
tetanus menempel erat dan kemudian melalui proses perlekatan dan internalisasi,
toksin diangkut ke arah sel secara ekstra aksional dan menimbulkan perubahan
potensial membrane dan gangguan enzim yang menyebabkan kolin-esterase tidak
aktif, sehingga kadar asetilkolin menjadi sangat tinggi pada sinaps yang terkena.
Toksin menyebabkan blokade pada simpul yang menyalurkan impuls pada tonus otot,

8
sehingga tonus otot meningkat dan menimbulkan kekakuan. Bila tonus makin
meningkat akan timbul kejang, terutama pada otot yang besar.
Tempat kerja utama toksin adalah pada sinaps inhibisi dari susunan saraf
pusat, yaitu dengan jalan mencegah pelepasan neurotransmitter inhibisi seperti glisin,
Gamma Amino Butyric Acid (GABA), dopamine, dan noradrenalin.GABA adalah
neuroinhibitor yang paling utama pada susunan saraf pusat, yang berfungsi mencegah
pelepasan impuls saraf yang eksesif. Toksin tetanus tidak mencegah sintesis atau
penyimpanan glisin maupun GABA, namun secara spesifik menghambat pelepasan
kedua neurotransmitter tersebut di daerah sinaps dangan cara mempengaruhi
sensitifitas terhadap kalsium dan proses eksositosis.4
Efek terhadap inhibisi presinap menimbulkan keadaan terjadinya letupan
listrik yang terus-menerus yang disebut sebagai Generator of pathological enhance
excitation.Keadaan ini menimbulkan aliran impuls dengan frekuensi tinggi dari SSP
ke perifer, sehingga terjadi kekakuan otot dan kejang.Semakin banyak saraf inhibisi
yang terkena makin berat kejang yang terjadi. Stimulus seperti suara, emosi, raba, dan
cahaya dapat menjadi pencetus kejang karena motorneuron di daerah medula spinalis
berhubungan dengan jaringan saraf lain seperti retikulospinalis. Kadang kala
ditemukan saat bebas kejang (interval), hal ini mungkin karena tidak semua saraf
inhibisi dipengaruhi toksin, ada beberapa yang resisten terhadap toksin.4
 Dampak Toksin
1. Dampak pada ganglion pra sumsum tulang belakang disebabkan oleh
karena eksotoksin memblok sinaps jalur antagonis, mengubah keseimbangan
dan koordinasi impuls sehingga tonus otot meningkat dan otot menjadi kaku.
2. Dampak pada otak, diakibatkan oleh toksin yang menempel pada cerebral
gangliosides diduga menyebabkan kekakuan dan kejang yang khas pada
tetanus
3. Dampak pada saraf autonom, terutama mengenai saraf simpatis dan
menimbulkan gaya keringat yang berlebihan, hipertermia, hipotensi,
hipertensi, aritmia, heart block atau takikardia

9
II.5 Manifestasi Klinis
Variasi masa inkubasi sangat lebar, biasanya berkisar anatara 5-14 hari.Makin
lama masa inkubasi, gejala yang timbul makin ringan.Derajat berat penyakit
selain berdasarkan gejala klinis yang tampak juga dapat diramalkan dari lama
masa inkubasi atau lama period of onset.Kekakuan dimulai pada otot setempat
atau trismus, kemudian menjalar ke seluruh tubuh, tanpa disertai gangguan
kesadaran.Kekakuan tetanus sangat khas, yaitu fleksi kedua lengan dan ekstensi
pada kedua kaki, fleksi pada kedua kaki, tubuh kaku melengkung bagai busur.
Kesukaran menelan, gelisah, mudah terangsang, nyeri anggota badan sering
merupakan gejala dini.1,2,4-7
Tetanus pada anak hipertoni dan spasme otot : trismus : sukar makan/minum,
bicara tidak jelas. Spasme otot leher, leher sakit dan kaku, kernig sign positif,
risus sardonikus, spasme otot lain : opistotonus, dinding perut tegang, anggota
gerak spastik, sukar duduk/jalan.
Kejang tonik dengan kesadaran tidak terganggu. Gag reflex positif, mungkin
ada luka/riwayat luka atau otitis media perforata.
Penyakit ini biasanya terjadi mendadak dengan ketegangan otot yang makin
bertambah terutama pada rahang dan leher. Dalam waktu 48 jam penyakit ini
menjadi nyata dengan:1

 Trismus
Adalah kekakuan otot maseter sehingga sukar membuka mulut. Pada neonates
kekakuan ini menyebabkan mulut mencucu seperti mulut ikan sehingga bayi
tidak dapat menetek. Secara klinis untuk menilai kemajuan kesembuhan, lebar
bukaan mulut diukur setiap hari.
 Risus sardonikus
Akibat spasme otot muka, sehingga tampak dahi mengkerut, alis tertarik ke
atas, mata agak tertutup, sudut mulut tertarik ke luar dan ke bawah, bibir
tertekan kuat pada gigi.

10
 Opistotonus
Adalah kekakuan otot yang menunjang tubuh seperti otot punggung, otot
leher (kaku kuduk), otot badan, dan trunk muscles.Kekakuan yang sangat
berat dapat menyebabkan tubuh melengkung seperti busur.
Spasme mula-mula intermitten diselingi periode relaksasi.Kemudian tidak
jelas lagi dan serangan tersebut disertai rasa nyeri.Kadang-kadang terjadi
perdarahan intramusculus karena kontraksi yang kuat.
 Ketegangan otot dinding perut sehingga dinding perut seperti papan.
 Kejang umum
Bila kekakuan semakin berat, akan timbul kejang umum yang awalnya hanya
terjadi setelah dirangsang (karena toksin terdapat di kornu anterior), misalnya
dicubit, digerakkan dengan kasar, atau terkena sinar yang kuat. Lambat laun
“masa istirahat” kejang semakin pendek sehingga anak jatuh dalam status
konvulsivus.
 Asfiksia dan sianosis
Terjadi akibat kejang yang terus menerus atau serangan pada otot pernapasan
dan laring (spasme laring).Retensi urin dapat terjadi karena spasme otot
sfingter uretra.Fraktur tulang panjang dan kolumna vertebralis dapat pula
terjadi karena kontraksi otot yang sangat kuat.
 Gangguan saraf autonom
Pengaruh toksin terhadap saraf autonom menyebabkan gangguan irama
jantung atau kelainan pembuluh darah, suhu tubuh yang tinggi (febris) atau
keringat banyak.

11
Gambar 2. Opistotonus

Gambar 3. Trismus, fleksi ekstremitas superior

12
Ada 4 bentuk klinik dari tetanus, yaitu:
1. Localized tetanus
Pada tetanus lokal dijumpai adanya kontraksi otot yang persisten, pada
daerah tempat dimana luka terjadi (agonis, antagonis, dan fiksator).Hal ini
merupakan tanda dari tetanus lokal.Kontraksi otot tersebut biasanya ringan,
bisa bertahan dalam beberapa bulan tanpa progres dan biasanya menghilang
secara bertahap.
Tetanus lokal ini bisa berlanjut menjadi generalized tetanus, tetapi
dalam bentuk yang ringan dan jarang menimbulkan kematian. Bisa juga lokal
tetanus ini dijumpai sebagai prodromal dari tetanus klasik atau dijumpai
secara terpisah.Hal ini terutama dijumpai sesudah pemberian profilaksis
antitoksin.
2. Chepalic Tetanus
Cephalic tetanus adalah bentuk yang jarang dari tetanus.Masa
inkubasi berkisar 1-2 hari, yang berasal dari otitis media kronik (seperti
dilaporkan di India), luka pada daerah muka dan kepala, termasuk adanya
benda asing dalam rongga hidung.Tetanus sefalik dicirikan oleh lumpuhnya
saraf kranial VII yang paling sering terlibat.Tetanus Ophthalmoplegic ialah
tetanus yang berkembang setelah menembus luka mata dan luka dalam
dengan kelumpuhan dari saraf kranial III dan adanya ptosis.Selain itu bisa
juga kelumpuhan dari N. IV, IX, X, XI, dapat sendiri-sendiri maupun
kombinasi dan menetap dalam beberapa hari bahkan berbulan-bulan.
Tetanus sefalik dapat berkembang menjadi tetanus umum.Pada
umumnya prognosisnya buruk.

3. Generalized tetanus
Bentuk ini yang paling banyak dikenal.Sering menyebabkan
komplikasi yang tidak dikenal beberapa tetanus lokal oleh karena gejala
timbul secara diam-diam. Trismus merupakan gejala utama yang sering

13
dijumpai (50 %), bersamaan dengan kekakuan otot leher yang menyebabkan
terjadinya kaku kuduk dan kesulitan menelan. Gejala lain berupa risus
sardonicus (Sardonic grin), opistotonus, dan kejang dinding perut. Spasme
dari laring dan otot-otot pernafasan bisa menimbulkan sumbatan saluran
nafas, sianosis, dan asfiksia.
Kenaikan temperatur biasanya hanya sedikit, tetapi dapat mencapai
40o C. Bila dijumpai hipertermi atau hipotermi, tekanan darah tidak stabil, dan
dijumpai takikardia, penderita biasanya meninggal.Diagnosa ditegakkan
hanya berdasarkan gejala klinis.
Derajat penyakit, beratnya penyakit dapat ditentukan berdasarkan :
a. Kriteria patel dan Joaq
1. Trismus
2. Kejang
3. Masa tunas ≤ 7 hari
4. Onset period ≤ 48 jam
5. Suhu rektal ≥ 39,5 C dan suhu axilla 38,5 C dalam 24 jam
pertama di rumah sakit. Penyakit terhitung derajat 1, bila hanya
1 kriteria ditemukan. Derajat 2 bila ada 2 kriteria dan
seterusnya derajat 5 bila terdapat semua kriteria.
b. Kriteria trismus dan kejang
Dapat dibedakan 3 stadium :
1. Trismus (>3 cm) tanpa kejang tonik umum bila dirangsang
2. Trismus (≤3 cm) dengan kejang tonik umum bila dirangsang.
3. Trismus (≤1 cm) dengan kejang umum spontan.
Klasifikasi tetanus umum berdasarkan derajat panyakit menurut
modifikasi dari klasifikasi Ablett’s dapat dibagi menjadi 4 diantaranya,
yaitu(8):
 Derajat I (tetanus ringan)
- Trismus ringan sampai sedang (3cm)

14
- Kekakuan umum: kaku kuduk, opistotonus, perut papan
- Tidak dijumpai disfagia atau ringan
- Tidak dijumpai kejang
- Tidak dijumpai gangguan respirasi
 Derajat II (tetanus sedang)
- Trismus sedang (3cm atau lebih kecil)
- Kekakuan jelas
- Dijumpai kejang rangsang, tidak ada kejang spontan
- Takipneu
- Disfagia ringan

 Derajat III (tetanus berat)


- Trismus berat (1cm)
- Otot spastis, kejang spontan
- Takipne, takikardia
- Serangan apne (apneic spell)
- Disfagia berat
- Aktivitas sistem autonom meningkat

 Derajat IV (stadium terminal), derajat III ditambah dengan :


- Gangguan autonom berat
- Hipertensi berat dan takikardi, atau
- Hipotensi dan bradikardi
- Hipertensi berat atau hipotensi berat
4. Tetanus neonatorum
Tetanus yang terjadi pada bayi baru lahir, disebabkan adanya infeksi
tali pusat, umumnya karena teknik pemotongan tali pusat yang aseptik dan ibu
yang tidak mendapat imunisasi yang adekuat.Gejala yang sering timbul adalah
ketidakmampuan untuk menetek, kelemahan, irritable diikuti oleh kekakuan

15
dan spasme. Posisi tubuh klasik: trismus, opistotonus yang berat dengan
lordosis lumbal. Bayi mempertahankan ekstremitas atas fleksi pada siku
dengan tangan mendekap dada, pergelangan tangan fleksi, jari mengepal,
ekstremitas bawah hiperekstensi dengan dorsofleksi pada pergelangan dan
fleksi jari-jari kaki.Kematian biasanya disebabkan henti nafas, hipoksia,
pneumonia, kolaps sirkulasi, dan kegagalan jantung paru.

II.6 Diagnosis
Biasanya tidak sukar. Anamnesis terdapat luka dan ketegangan otot yang khas
terutama pada rahang sangat membantu.Anamnesis yang teliti dan terarah selain
membantu menjelaskan gejala klinis yang kita hadapi juga mempunyai arti diagnostik
dan prognostik.
Anamnesis yang dapat membantu diagnosis antara lain:1
• Apakah dijumpai luka tusuk, luka kecelakaan/patah tulang terbuka, luka
dengan nanah atau gigitan binatang
• Apakah pernah keluar nanah dari telinga
• Apakah menderita gigi berlobang
• Apakah sudah pernah mendapat imunisasi DT atau TT, kapan imunisasi
yang terakhir
• Selang waktu antara timbulnya gejala klinis pertama (trismus atau
spasme lokal) dengan kejang yang pertama (period of onset)
Hasil pemeriksaan laboratorium tidak khas. Temuan laboratorium:1
- Leukosit normal atau leukositosis ringan
- Glukosa dan kalsium darah normal
- Cairan serebrospinal normal tetapi tekanan dapat meningkat
- Enzim otot serum, SGOT, serum aldolase mungkin meningkat
- EKG dan EEG biasanya normal

16
- Kultur anaerob dan pemeriksaan mikroskopis nanah yang diambil dari luka
dapat membantu, tetapi Clostridium tetani sulit tumbuh dan batang gram
positif berbentuk tongkat penabuh drum seringnya tidak ditemukan.

II.7 Diagnosis Banding4

PENYAKIT GAMBARAN DIFFERENTIAL


INFEKSI
Meningoencephalitis Demam, trismus tidak ada, sensorium depresi, abnormal
CSF
Polio Trismus tidak ada, paralisa tipe flasid, abnormal CSF

Rabies Gigitan binatang, trismus tidak ada, hanya


oropharingeal spasm
Lesi oropharyngeal Hanya lokal, rigiditas seluruh tubuh atau spasme tidak
ada
Peritonitis Trismus atau spasme seluruh tubuh tidak ada
KELAINAN
METABOLIK Hanyacarpopedal dan laryngeal spasm, hipokalsemia
Tetani Relaksasi komplit diantara spasme

Keracunan strihnin Distonia, respons dengan diphenhydramine


Relaksasi
phenothiazine
PENYAKIT CNS
Stastus epilepticus
Sensorium depressi
Hemorrhage atau
Trismus tidak ada, sensorium depressi
tumor

17
KELAINAN
PSIKIATRIK Trismus inkonstan, relaksasi komplet diantara spasme
Hysteria
KELAINAN
MUSKULOSKLETAL
Trauma Hanya lokal

- Kreatinin fosfokinase dapat meningkat karena aktivitas kejang (> 3U/ml).

II.8 Komplikasi
Sistem Komplikasi

Jalan nafas Aspirasi*

Laringospasme/obstruksi*

Obstruksi berkaitan dengan

sedatif*

Respirasi Apnea*

Hipoksia*

Gagal nafas tipe 1*

(atelektasis, aspirasi,

pneumonia)

Gagal nafas tipe 2* (spasme

laringeal, spasme trunkal

berkepanjagan, sedasi

18
berlebihan)

ARDS*

Komplikasi bantuan ventilasi

berkepanjagan (seperti

pneumonia)

Komplikasi trakeosromi

(seperti stenosis trakea)

Kardiovaskular Takikardia*, hipertensi*,

iskemia*

Hipotensi*, bradikardia*

Takiartmia*, bradiartmia*

Asistol*

Gagal jantung*

Ginjal Gagal ginjal curah tinggi*

(high output renal failure)

Gagal ginjal oligouria*

Stasis urin dan infeksi

Gastrointestinal Stasis gaster

lleus

Diare

Perdarahan*

19
Lain-lain Penurunan berat badan*

Tromboembolus*

Sepsis dengan gagal organ

multipel*

Fraktur vertebra selama

spasme

Ruptur tendon akibat spasme

II.9 Penatalaksanaan
Jenis tindakan :
a. Anti toksin tetanus
Dosis : TN : 10.000 SI
TA : 20.000 SI
Cara memberikan : secara intramuskuler, namun sebelumnya terlebih dahulu
dilakukan tes kulit.
Pengobatan pada tetanus terdiri dari penatalaksanaan umum yang terdiri dari
kebutuhan cairan dan nutrisi, menjaga kelancaran jalan nafas, oksigenasi,
mengatasi kejang, perawatan luka atau port’d entre lain. Sedangkan
penatalaksanaan khusus terdiri dari pemberian antibiotik dan serum anti tetanus.1
Penatalaksanaan umum
- Penderita perlu dirawat dirumah sakit, diletakkan pada ruang yang tenang
pada unit perawatan intensif dengan stimulasi yang minimal.
- Pada hari pertama perlu pemberian cairan secara intravena, sekaligus
memberikan obat-obatan dan bila sampai hari ke-3 infus belum dapat dilepas
sebaiknya dipertimbangkan pemberian secara parenteral. Setelah kejang

20
mereda dapat dipasang sonde lambung untuk makanan dan obat-obatan
dengan perhatian khusus pada kemungkinan terjadinya aspirasi.
- Menjaga saluran nafas tetap bebas, kalau berat perlu trakeostomi
- Memberikan tambahan oksigen dengan sungkup
- Mengurangi spasme dan mengatasi kejang
Diazepam merupakan golongan benzodiazepin yang sering digunakan.Obat
ini mempunyai aktivitas sebagai penenang, anti kejang, dan pelemas otot yang
kuat tanpa menekan pusat kortikal. Dosis diazepam yang direkomendasikan
adalah 0,1-0,3 mg/kgBB dengan interval 2-4 jam sesuai gejala klinis atau
dosis yang direkomendasikan untuk usia < 2 tahun adalah 8 mg/kgBB/hari
diberikan oral dalam dosis 2-3 mg/3 jam. Kejang harus segera dihentikan
dengan pemberian diazepam 5 mg per rektal untuk BB < 10 kg dan 10 mg
untuk BB > 10 kg, atau dosis diazepam intravena untuk anak 0,3
mg/kgBB/kali. Setelah kejang berhenti, pemberian diazepam dilanjutkan
dengan dosis rumatan sesuai dengan klinis pasien. Alternatif lain untuk bayi
diberikan dosis inisial 0,1-0,2 mg/kgBB/hari untuk menghilangkan spasme
akut, diikuti infuse kontinu 15-40 mg/kgBB/hari. Setelah 5-7 hari dosis
diazepam diturunkan bertahap 5-10 mg/hari dan dapat diberikan melalui
OGT.Tanda klinis membaik bila tidak dijumpai kejang spontan, badan masih
kaku, kesadaran membaik, tidak dijumpai gangguan nafas.Bila dosis
diazepam maksimal telah tercapai namun anak masih kejang atau mengalami
spasme laringm sebaiknya dipertimbangkan untuk dirawat di ruang perawatan
intensif sehingga otot dapat dilumpuhkan dan mendapat bantuan pernafasan
mekanik.Apabila dengan terapi antikonvulsan dengan dosis rumatan telah
memberikan respon klinis yang diharapkan, dosis dipertahankan 3-5 hari.
Selanjutnya pengurangan dosis secara bertahap (sekitar 20 % dari dosis setiap
2 hari)
Penatalaksanaan khusus
- Antibiotik

21
Antibiotik ini hanya bertujuan membunuh bentuk vegetatif dari C.tetani,
bukan untuk toksin yang dihasilkannya. Antibiotik lini pertama yang
diberikan adalah metronidazole IV/oral dengan dosis awal secara loading dose
15 mg/kgBB dalam 1 jam dilanjutkan 30 mg/kgBB/hari selama 1 jam perinfus
setiap 6 jam selama 7-10 hari. Lini kedua dapat diberikan penisilin prokain
50.000-100.000/kgBB/hari selama 7-10 hari, jika terdapat hipersensitif
terhadap penisilin dapat diberikan tetrasiklin 50 mg/kgBB/hari (untuk anak
usia> 8 tahun). Penyulit yang ada diberikan antibiotik yang sesuai.
- Anti serum
Dosis ATS yang dianjurkan adalah 100.000 IU dengan 50.000 IU IM dan
50.000 IU IV. Pemberian ATS harus berhati-hati akan terjadinya reaksi
anafilaksis. Pada tetanus anak pemberian anti serum dapat disertai imunisasi
aktif DT setelah anak pulang dari rumah sakit.Bila fasilitas tersedia dapat
diberikan HTIG (Human Tetanus Immune Globulin) 3.000-6000 IU IM.

II.10 Prognosis
Prognosis tetanus pada anak dipengaruhi oleh beberapa faktor. Jika masa
inkubasi pendek (kurang dari 7 hari), usia yang sangat muda (neonatus), period of
onset yang pendek (jarak antara trismus dan timbulnya kejang kurang dari 48 jam),
frekuensi kejang yang tinggi, pengobatan terlambat, adanya komplikasi terutama
spasme otot pernapasan dan obstruksi jalan napas, semua ini prognosisnya buruk.1,8,9
Mortalitas tetanus masih tinggi, di bagian Ilmu Kesehatan Anak RSCM
Jakarta didapatkan angka 80 % untuk tetanus neonatorum dan 30 % untuk tetanus
anak.1

II.11 Pencegahan
Mengingat perawatan kasus tetanus sulit dan mahal maka untuk pencegahan,
perlu dilakukan:1,2,4

22
 Perawatan luka
Perawatan luka harus segera dilakukan terutama pada luka tusuk, luka kotor
atau luka yang diduga tercemar dengan spora tetanus.Luka dibersihkan atau
dilakukan debridement.Terutama perawatan luka guna mencegah timbulnya
jaringan anaerob.
 Pemberian ATS dan Toksoid Tetanus pada luka
Profilaksis dengan pemberian ATS hanya efektif pada luka baru (kurang dari
6 jam) dan harus segera dilanjutkan dengan imunisasi aktif.
 Imunisasi aktif
Imunisasi aktif yang diberikan yaitu DPT, dT, atau Toksoid Tetanus.Jenis
imunisasi tergantung dari jumlah golongan umur dan jenis kelamin. Vaksin
DPT diberikan sebagai imunisasi dasar sebanyak 3 kali, DPT IV pada usia 18
bulan dan DPT V pada usia 5 tahun, dan saat usia 12 tahun diberikan dT.
Toksoid tetanus diberikan pada wanita usia subur, perempuan usia 12 tahun,
dan ibu hamil. DPT/dT diberikan setelah pasien sembuh dilanjutkan imunisasi
ulangan diberikan sesuai jadwal, oleh karena tetanus tidak menimbulkan
kekebalan yang berlangsung lama.
Imunisasi DPT (Diphteri Pertussis Tetanus)10
Vaksin DPT adalah vaksin 3-in-1 yang bisa diberikan kepada anak yang
berumur kurang dari 7 tahun.Biasanya vaksin DPT terdapat dalam bentuk
suntikan, yang disuntikkan pada otot lengan atau paha. Imunisasi DPT diberikan
sebanyak 3 kali, yaitu pada saat anak berumur 2 bulan (DPT I), 3 bulan (DPT II)
dan 4 bulan (DPT III); selang waktu tidak kurang dari 4 minggu. Imunisasi DPT
ulang diberikan 1 tahun setelah DPT III dan pada usia prasekolah (5-6 tahun).
DPT merupakan salah satu jenis vaksin combo.Terdapat 2 jenis vaksin DPT,
yaitu DTwP dan DTaP.DTwP adalah vaksin yang mengandung seluruh sel kuman
pertusis, sedangkan DTap mengandung komponen spesifik toksin dari kuman

23
pertusis.Keuntungan DTaP adalah angka kejadian komplikasi yang kecil
dibandingkan DTwP. Kerugiannya DTaP lebih mahal.
DPT sering menyebakan efek samping yang ringan, seperti demam ringan
atau nyeri di tempat penyuntikan (42,9 % kasus) selama beberapa hari. Efek samping
tersebut terjadi karena adanya komponen pertusis di dalam vaksin. Pada kurang dari
1% penyuntikan, DPT menyebabkan komplikasi berikut:
 Demam tinggi (lebih dari 40,5° Celsius) pada 2,2 % kasus
 Kejang demam terjadi sebanyak 0,06 %. Risiko lebih tinggi pada anak yang
sebelumnya pernah mengalami kejang atau terdapat riwayat kejang dalam
keluarganya.
 Reaksi alergi dan ensefalopati sangat jarang

24
BAB III
PENUTUP

Tetanus adalah gangguan neurologis yang ditandai dengan meningkatnya


tonus otot dan spasme, yang disebabkan oleh tetanospasmin, suatu toksin protein
yang kuat yang dihasilkan oleh Clostridium tetani.
Clostridium tetani dalam bentuk spora masuk ke tubuh melalui luka yang
terkontaminasi dengan debu, tanah, tinja binatang, jika dinding sel kuman lisis maka
dilepaskan eksotoksin, yaitu tetanospasmin dan tetanolisin.
Secara klinis tetanus ada 3 macam: tetanus umum, tetanus lokal dan tetanus
sefalik.
Strategi terapi tetanus melibatkan tiga prinsip penatalaksanaan: organisme
yang terdapat dalam tubuh hendaknya dieliminasi untuk mencegah pelepasan toksin
lebih lanjut, toksin yang terdapat dalam tubuh, diluar sistem saraf pusat hendaknya
dinetralisasi dan efek dari toksin yang telah terikat pada sistem saraf pusat
dieliminasi.
Prognosis dipengaruhi oleh beberapa faktor: masa inkubasi, umur, period of
onset, pengobatan, ada tidaknya komplikasi, frekuensi kejang.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Soedarmo SSP, Garna H, Hardinegoro SRS, Satari HI. Tetanus. Buku Ajar
Infeksi & Pediatri Tropis. Edisi Ke-2.Jakarta: Badan Penerbit IDAI. 2010;
hal.322-9.
2. Behrman RE, Kliegman RM, Jenson HB. Tetanus. Nelson Textbook of
Pediatrics. 17th ed. Jenson Publisher: Saunders. 2007; p. 951-3.
3. Todar K.Pathogenic Clostridia, including Botulism and Tetanus. [Cited 2013
February 23]. Available from:
http://textbookofbacteriology.net/clostridia.html.
4. Hinfey PB. Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/229594-overview.
5. Alvarez N. Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available from:
http://www.emedicinehealth.com/tetanus/article_em.htm.
6. Tolan Jr. RW. Pediatric Tetanus. [Cited 2013 February 23]. Available from:
http://emedicine.medscape.com/article/972901-overview.
7. Grunau BE, Olson J. An Interesting Presentation of Pediatric Tetanus. CJEM
2010;12(1):69-72.
8. Pai PN. Tetanus in children: Treatment and prognostic factors.British
Homoeopathic Journal. 2005. Vol.54, Issue 3:190-9.
9. Chalya PL, Mabula JB, Dass RM, Mblenge N, Mshana SE, Glyoma JM.
Tetanus. WJES. 2007. Vol. 34, No. 12: 1021-1025.
10. Tim IDAI. Pedoman Imunisasi di Indonesia. Edisi ke-4. Jakarta: Badan
Penerbit IDAI. 2010; hal. 87-9.

26

Anda mungkin juga menyukai