Anda di halaman 1dari 4

Jumat 04 November 2016, 06:02 WIB

Akhir Sengketa Merek Adidas Internasional Vs Adidas Lokal


Edward Febriyatri Kusuma - detikNews

Jakarta - Pemegang merek Adidas AG mencabut gugatan pembatalan merek 3-bars terhadap
logo sportmen milik pengusaha Indonesia Jimmy Sanjaya. Gugatan itu sebelumnya
dilayangkan karena antara Adidas AG dengan Adidas versi Jimmy dinilai memiliki
kemiripan yang signifikan.

Perkara ini bermula ketika Adidas AG menilai Jimmy Sanjaya meniru logo miliknya pada
merek Sportmen. Sementara Jimmy berdalih telah mendaftarkan mereknya 3-strip ke
Direktorat Jenderal Kekayaan Intelektual (Ditjen KI) dengan No. IDM000210005 dan No.
IDM0001533sd dengan kelas barang (nice) nomor 25.

Adidas internasional menilai logo yang digunakan Jimmy dalam merek Sportment memiliki
persamaan yang menonjol dengan miliknya. Hal itu dilihat dari logo 3-bars miliknya yang
memiliki persamaan pada pokoknya atau keseluruhan.
Sementara Adidas versi Jimmy memiliki proporsi tiga balok dengan perberdaan tinggi
bertahap. Adidas AG mengklaim logo itu menyerupai dengan 3-Bars dan 3-Stripes miliknya
yang terkenal. Atas hal itu, Adidas AG lalu mengajukan gugatan ke Pengadilan Niaga pada
Pengadilan Negeri Jakarta Pusat.

Tetapi, belakangan gugatan dengan registrasi No 38/Pdt.Sus-HKI/Merek/2016/PN JKT.PST


telah dicabut. Ketua majelis hakim Syamsul Edi langsung membuatkan penetapan
permohonan pencabutan oleh Adidas AG.

"Mengabulkan permohonan pencabutan penggugat. Menyatakan perkara perdata Nomor


38/PDT.Sus.Merek/2016/PN.Niaga JKT.PST dicabut," ujar Syamsul dalam amar putusannya
sebagaimana dilansir dalam website Mahkamah Agung (MA) yang dikutip detikcom, Kamis
(3/11/2016).Pencabutan itu dilakukan pada 22 September 2016 proses administrasi berupa
pengetikan, pembedelan serta pengesahan suatu perkara selesai pada 11 Oktober 2016.

Dikonfirmasi secara terpisah kuasa hukum Adidas AG dari kantor Suryomurcito & Co,
Derbie Manurung mengatakan putusan tersebut tertulis di situs SIPP Pengadilan Negeri
Jakarta Pusat. Namun pihaknya tidak dapat memberikan alasan pencabutan secara gamblang.
"Kami tidak bisa memberikan komentar, karena belum dapat izin dari prinsipal kami," ujar
Derbie.
Cakra Mineral kehilangan kepemilikan di Dunestone di pengadilan
Kamis, 11 Oktober 2018 / 10:19 WIB

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Cakra Mineral Tbk (CKRA) kehilangan hak atas


kepemilikan Dunestone Development S.A yang bergerak dalam bidang perdagangan
komoditas mineral di Indonesia sesuai dengan putusan perkara perdata dalam tingkat banding
pada tanggal 21 September 2018.

Dalam keterbukaan informasi Bursa Efek Indonesia (BEI), Rabu (10/10) disamapaikan CKRA
telah menerima salinan putusan dari Pengadilan Tinggi Jakarta dalam tingkat banding No.
375/Pdt/2018/PT DKI (putusan) terhadap perkara perdata No.623/Pdt.G/2017/PN.Jkt.Sel yang
diajukan oleh Rami Sadek M. Kuwatly, dalam hal ini sebagai penggugat atau pembanding.

Ada tiga isi keputusan. Pertama, mengabulkan gugatan pembanding semula penggugat untuk
seluruhnya. Kedua, menyatakan bahwa ada kekhilafan dalam pembuatan dan penandatangan
perjanjian jual-beli saham tertanggal 12 Desember 2013.

"Ketiga, menyatakan bahwa perjanjian jual-beli saham tertanggal 12 Desember 2013 yang
dibuat dan ditandatangani antara penggugat dan tergugat dibatalkan, sehingga tidak memiliki
kekuatan hukum yang mengikat," kata Dexter Sjarif Putra, Director/ Secretary Corporate
CKRA, Rabu (10/10) dalam keterangan tertulis.

Sebelumnya, pasca gagal mengakuisisi Brooksvale Capital Limited, karena aturan pemerintah
mengenai larangan ekspor bahan mentah pertambangan, pemegang saham Brooksvale, Rami
Sadek menyarankan membeli Dunestone yang dinilai lebih menguntungkan. Cakra Mineral
akhirnya mengakuisisi 100% saham Dunestone 100% senilai Rp 579 miliar.

Namun, alasan penggugatan tidak dijelaskan lebih panjang lebar dalam keterbukaan Informasi
BEI. "Tidak berdampak apapun terhadap kegiatan operasional, kondisi keuangan dan
kelangsungan usaha CKRA karena Dunestone Development S.A belum memberikan
kontribusi laba yang signifikan," pungkas Dexter.

Kasus IPB dan Amerika


IPB melakukan perjanjian untuk mengirim 800 kera ke Amerika, Kera tersebut hanya akan
diambil anaknya saja dan babonnya akan dikembalikan ke Indonesia. Harga perekor disepakati
sebesar 80 (delapan puluh) juta dan pihak Amerika Serikat hanya membutuhkan anaknya saja
dan harus beranak di Amerika serikat. Ketika posisi pesawat masih di Swiss, seekor monyet
stress dan lepas,melahirkan anaknya. Karena induknya telah dilumpuhkan dan mati, maka
dokter hewan IPB menyuntik mati anak monyet tersebut karena pertimbangan rasa kasihan .
Lawyer Amerika serikat menuntut IPB atas dasar perlindungan satwa dan dianggap tak
memenuhi prestasi dengan sempurna serta membunuh seekor anak monyet. Disatu sisi, Kera
di Indonesia tidak lebih sebagai hama, sedangkan bagi Amerika serikat merupakan satwa yang
harus mendapat perlindungan.

Fakta-faktanya :
1. IPB melakukan perjanjian dengan Amerika untuk mengirim 800 kera ke Amerika, kera
tersebut hanya akan diambil anaknya saja dan harga perekornya 80 juta.
2. Amerika hanya membutuhkan anaknya saja dan harus beranak di Amerika Serikat.
3. Ketika posisi pesawat di Swiss, seekor monyet stress dan lepas, melahirkan anaknya,
dan induknya telah dilumpuhkan dan mati.
4. Dokter hewan IPB menyuntik mati anak monyet atas dasar rasa kasihan.
5. Lawyer Ameika menuntut IPB atas dasar perlindungan satwa dan dianggap tidak
memenuhi prestasi, serta membunuh seekor anak monyet.
6. Anak monyet bagi Amerika merupakan satwa yang dilindungi.

Titik Taut Primer :


Titik taut primer adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang memperlihatkan bahwa kita
berhadapan dengan peristiwa hukum perdata Internasional. Atau faktor-faktor dan keadaan-
keadaan yang memperlihatkan bahwa suatu hubungan atau peristiwa adalah peristiwa hukum
perdata Internasional.
Dalam kasus ini titik taut primernya adalah kewarganegaraan dari para pihak. Dimana pihak
penggugat yaitu Lawyer berkewarganegaraan Amerika Serikat, sedangkan pihak tergugat yaitu
dokter hewan IPB berkewarganegaraan Indonesia.

Titik Taut Sekunder :


Titik taut sekunder adalah faktor-faktor dan keadaan-keadaan yang menentukan hukum Negara
mana yang harus berlaku dalam suatu peristiwa hukum perdata internasional.
Dalam kasus ini titik taut sekundernya karena dari perjanjian antara IPB dan Amerika Serikat
tidak ada pilihan hukum atau pilihan forum yang diatur secara tegas dalam perjanjiannya, maka
titik taut sekundernya ada lebih dari satu yaitu :
1. Lex Loci Contractus (hukum tempat dilangsungkannya perjanjian).
2. Lex Loci Solutionis (hukum tempat dilaksanakannya perjanjian).
3. Lex Loci Delicti Commisi (hukum tempat perbuatan melawan hukum
dilakukan).
4. The Most Characteristic Connection (pihak yang lebih menonjol dalam
kontrak).
Hukum Yang Berlaku :
1. Berdasarkan Lex Loci Contractus,maka hukum yang berlaku adalah hukum
perdata Indonesia karena perjanjian dibuat di Indonesia.
2. Berdasarkan Lex Loci Solutionis, maka hukum yang berlaku adalah hukum
Amerika Serikat karena perjanjian dilaksanakan di Amerika Serikat yaitu, anak
monyet yang diperjanjikan harus beranak di Amerika Serikat.
3. Berdasarkan Lex Loci Delicti Commisi, maka hukum yang berlaku adalah
hukum Swiss, karena perbuatan melawan hukum berupa penyuntikan mati anak
monyet yang diperjanjikan dilakukan ketika pesawat berada diatas wilayah
Negara Swiss.
4. Berdasarkan The Most Characteristic Connection, maka hukum yang berlaku
adalah hukum perdata Indonesia, karena pihak yang paling menonjol adalah
IPB (Indonesia) sebagai penjual kera, karena IPB yang harus menyerahkan
kera,merawat dan menjaga kera dengan baik sampai nanti kera diserahkan
kepada pihak AmerikaSerikat. Dan dalam perjanjian jual-beli pihak yang paling
menonjol atau dominan adalah pihak penjual dalam hal ini adalah IPB.

Anda mungkin juga menyukai