Anda di halaman 1dari 22

Tugas Revisi Makalah

PENDIDIKAN KARAKTER BAGI SISWA DI SEKOLAH MENURUT THOMAS


LICKONA

Untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah


Filsafat Pendidikan Islam

Di Susun Oleh:
Dwi Pratiningsih
NIM: 25131764-2
Dosen Pengasuh:
Dr. Syahbuddin Gade, M. Ag

PROGRAM PASCASARJANA
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI (UIN) AR-RANIRY
DARUSSALAM-BANDA ACEH
2014
KATA PENGANTAR

Ahamdulillah, puji dan syukur kehadirat Allah SWT atas rahmat dan karunia yang
diberikan sehingga kami dapat menyelesaikan penelitian ini. Shalawat dan salam kepada
Rasulullah SAW yang telah mengeluarkan manusia dari alam kejahilan dan kebidaban menuju ke
alam berpengetahuan dan berakhlak mulia serta telah berhasil memperjuangkan emansipasi kami
kaum hawa. Menyusun makalah merupakan suatu tuntutan yang harus kami kerjakan untuk
menunaikan tugas sebagai mahasiswa. Adapun judul yang penulis dapatkan yaitu Pendidikan
Karakter Bagi Siswa Di Sekolah Menurut Thomas Lickona.
Dalam menyelesaikan makalah ini, penulis menghadapi berbagai hambatan yang
disebabkan oleh keterbatasan ilmu yang penulis miliki, namun berkat pertolongan Allah serta
bantuan dari berbagai pihak penulis telah dapat menyelesaikan dengan sebaik mungkin. Penulis
menyadari, walaupun makalah ini dipersiapkan semaksimal mungkin, namun sebagai insan yang
sarat dengan kelemahan dan keterbatasan sudah tentu terdapat kepincangan dn kekurangan dalam
penyusunan. Oleh karena itu kritikan dan saran yang positif dan konstruktif dari semua pihak
sangat kami harapkan dalam rangakaian penyempurnaan makalah ini.
Akhirnya hanya kepada Allah hamba berserah diri, kiranya apa yang kami rencanakan
dapat terlaksana sebagaimana mestinya. Amin...

Meureudu, 7 Agustus 2014

Dwi Pratiningsih
DAFTAR ISI

KATA PENGANTAR .......................................................................................... 2


DAFTAR ISI......................................................................................................... 3
BAB I PENDAHULUAN ..................................................................................... 4
BAB II PEMBAHASAN ...................................................................................... 6
A. Ringkasan Riwayat Hidup Thomas Lickona .............................................. 6
B. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Karakter
Menurut Thomas Lickona .......................................................................... 7
C. Isi Karakter Menurut Thomas Lickona ...................................................... 8
D. Strategi Pendidikan Karakter Menurut Thomas Lickona ........................... 10
E. Analisa Pemikiran Pendidikan Thomas Lickona ....................................... 20

BAB III KESIMPULAN....................................................................................... 24


DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 25
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Pendidikan karakter akhir-akhir ini semakin banyak diperbincangkan ditengah-tengah
masyarakat Indonesia, terutama dikalangan akademisi.1 Sikap dan prilaku masyarakat dan bangsa
Indonesia sekarang cenderung mengabaikan nilai-nilai luhur yang sudah lama dijunjung tinggi dan
mengakar dalam sikap dan prilaku sehari-hari. Krisis karakter seperti narkoba, tawuran remaja,
prilaku seks bebas, korupsi, kekerasan seksual anak dan masih banyak permasalahan lain yang
terjadi perdetiknya di dunia ini pada umumnya dan di Indonesia pada khususnya.
Yang paling dan sangat memiriskan adalah krisis karakter ini tidak hanya terjadi
dikalangan masyarakat awam tetapi juga sudah merambah ke para profesional, tokoh masyarakat,
para terpelajar, para pendidik, elit politik, bahkan hingga para pemimpin bangsa dan negara.
Seorang profesor pendidikan dari Cortland University yaitu Thomas Lickona merupakan
tokoh yang menggalakkan pentingnya pendidikan karakter mengatakan bahwa ada 10 tanda jaman
yang kini terjadi dan dapat membawa bangsa menuju jurang kehancuran:
1. Meningkatnya kekerasan di kalangan remaja.
2. Penggunaan bahasa dan kata-kata yang buruk.
3. Pengaruh peer grup yang kuat dalam tindakan kekerasan
4. Meningkatnya perilaku yang merusak diri seperti narkoba, sex bebas, dan alkhohol
5. Kaburnya pedoman moral baik dan buruk
6. Penurunan etos kerja
7. Rendahnya rasa hormat kepada orang tua dan guru
8. Rendahnya rasa tanggung jawab baik sebagai individu dan warga negara
9. Ketidakjujuran yang telah membudaya
10. Adanya arasa saling curiga dan kebencian diantara sesama

1
Jamil Suprihatiningrum, Strategi Pembelajaran: Teori Dan Aplikasi, (Yogyakarta: Ar-Ruzz Media, 2013),
h. 258.
Menurutnya bangkitnya logika positivisme yang menyatakan bahwa tidak ada kebenaran
mutlak dan tidak ada sasaran benar dan salah, telah menenggelamkan pendidikan moral dari
permulaan dunia pendidikan Barat. Begitu juga pemikiran relativitas moral dengan pandangannya
bahwa semua nilai adalah relatif, berpengaruh terhadap terlupakannya pendidikan karakter. Paham
personalisme yang menyatakan setiap individu bebas untuk memilih nilai-nilai sendiri dan tidak
bisa dipaksakan oleh siapapun, dan meningkatnya paham pluralisme yang mempertanyakan nilai-
nilai siapakah yang diajarkan, semakin melengkapi penolakan pendidikan karakter.2
Dari fenomena yang terjadi sampai sekarang, maka sudah sepatutnya untuk menyegerakan
pendidikan karakter. Karena sesungguhnya anak itu tidak hanya di didik intelektualitas dan
emosionalnya saja, namun juga karakternya juga harus dibangun agar nantinya tercipta pendidikan
yang unggul dan berakhlak mulia. Namun sebelumnya, kita harus memahami dulu bagaimana
pendidikan karakater itu sendiri. Oleh karena itu penulis tertarik untuk mengetahui konsep
pendidikan karakter menurut Thomas Lickona dalam rangka memperkaya pemahaman tentang
pendidikan karakter yang mungkin selanjutnya dapat dijadikan referensi untuk pendidikan Islam.
B. Rumusan Masalah
Adapun permasalah yang akan dicari jawabannya dari pembahasan ini adalah Bagaimana
Konsep Pendidikan Karakter bagi Siswa di Sekolah Menurut Thomas Lickona yang kemudian
akan di analisa yang bertujuan untuk dijadikan sebuah referensi ataupun untuk dikritik.
C. Tujuan Pembahasan
1. Untuk mengetahui Pendidikan Karakter bagi Siswa di Sekolah Menurut Thomas Lickona?
2. Untuk mengetahui kritik terhadap Pendidikan karakter bagi siswa menurt Thomas
Lickona?

2
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility, Terj.
Juma Abdu Wamaungo, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 10-11.
BAB II
PEMBAHASAN

A. Ringkasan Riwayat Hidup Thomas Lickona


Thomas Lickona adalah seorang psikolog perkembangan dan profesor pendidikan di State
University Of New York, Cortland dimana ia memperoleh penghargaan atas pekerjaannya di
bidang pendidikan guru dan saat ini memimpin Center For The Fourth And Fifth Rs (Respect And
Responsibility). Penulis juga kerap menjadi profesor tamu di Boston dan Harvard University. 3
Setelah menjadi presiden di Association for Mural Education, lickona menjabat sebagai
dewan komisaris di Character Education Partnership dan sebagai dewan penasihat di Character
Counts Coalition and Medical Institute For Sexsual Health.
Lickona sering menjadi konsultan disekolah-sekolah mengenai pendidikan karakter dan
menjadi pembicara diberbagai seminar untuk para guru, orang tua, pendidik agama, dan kelompok
yang peduli akan perkembangan moral kaum muda. Penulis mengajarkan nilai moral baik diskolah
maupun di rumah mulai dari Amerika Serikat, Kanada, Jepang, Singapura, Swiss, Irlandia, Dan
Amerika Latin.
Lickona memperoleh gelar Ph. D dalam bidang psikologi dari State Universiy Of New York,
Albany dengan risetnya mengenai perkembangan penalaran moral anak-anak. Penulis dianugrahi
State University Of New York Faculty Exchange Scholar dan menerima penghargaan alumni
kehormatan, Distinguished Alumni Award dari State University of New York Di Albany.
Karay-karyanya yang telah dipublikasikan, termasuk skripsi antara lain Moral
Development And Behavior (1976), buku populer untuk para orang tua, Raising Good Children
(1983), buku mengenai penjabaran 12 poin program pendidikan karakter, Educating For Character:
How School Can Teach Respect and Respnsibility (1992). Buku Educating Character mendapat
pujian sebagai “definiteve work di bidangnya” dan menjadi pemenang penghargaan Christhoper
Award pada tahun 1992 atas “penegasannya terhadap nilai-nilai utama seorang manusia.” Karya
lain yang ditulis bersama istrinya, Judith, and William Boudreau, MD., adalah buku untuk kaum
muda , Sex, Love and You (Ave Maria Press, 1994), yang bertujuan memprtahankan seks untuk
pernikahan. Buku-buku terbarunya antara lain Character Matter- How To Help Our Children

3
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility, Terj.
Juma Abdu Wamaungo, ..., h. 595.
Develop Good Judgment, Integrety and Other Essential Virtue (2004) dan Character Quotations
(2004) yang ditulis bersama Mattew Davidson. Kegiatan baru lickona meliputi pengarahan
pembelajaran dua tahun pendidikan karakter di sekolah menengah, dan menulis buku Smart And
Good High School: Developing Excellent And Ethics For Success In School, Work, And Beyod
bersama dengan Mattew Davidson.4
Karya lickona pernah ditampilkan sebagai cover story dimajalah New York Time,
“teaching johnny to be good” (30 april 1995), dijadikan vidio, “Character Education: Restoring
Respect Dan Responsibility In Our School” And “Eleven Principle Of Effective Character
Education” (National Professional Resources), dan seri video pelatihan menganai pendidikan
karakter yang terdiri atas 4 bagian. Pada tahun 2001, Character Education Partnership
mempersembahkan pnghargaan Sanford N. Mcdonnell Lifetime Achievement Award di bidang
pendidikan karakter kepada Lickona.
Lickona kerap menjadi bintang tamu diberbagai acara bincang-bincang di radio maupu televisi.
Lickona dan istrinya dikaruniai dua anak laki-laki serta sebelas cucu dan saat ini menetap di
Cortland, New York.

B. Pengertian dan Tujuan Pendidikan Karakter Menurut Thomas Lickona


Secara terminologis makna karakter dikemukakan oleh Thomas Lickona, adalah “A
riliable inner disposition to respond to situations in a morally good way”. Selanjutnyan Lickona
menambahkan, “ Character so conceived has three interrelated parts: moral knowing, moral
feeling, and moral behavior”.
Menurut Lickona karakter tampak dalam kebiasaan (habitus).5 Karena itu, seseorang
dikatakan berkarakter baik manakala dalam kehidupan nyata sehari-hari memiliki tiga kebiasaan,
yaitu: memikirkan hal yang baik (habits o f mind), menginginkan hal yang baik (habits o f heart),
dan melakukan hal yang baik (habits o f action).6
Pendidikan karakter adalah upaya yang dilakukan dengan Sengaja untuk mengembangkan
karakter yang baik (good character) berlandaskan kebajikan-kebajikan inti (core virtues) yang
secara objektif baik bagi individu maupun masyarakat.7

4
Thomas Lickona, Educating for Character, (New York: Bantam Books, 1991), h. 596.
5
Thomas Lickona, Character Matters, (New York: Somon & Schuster,2004), h.36.
6
Thomas Lickona, Educating for Character, (New York: Bantam Books, 1991), h. 56
7
Sedangkan pendidikan karakter menurutnya adalah pendidikan untuk membentuk
kepribadian seseorang melalui pendidikan budi pekerti, yang hasilnya terlihat dalam tindakan
nyata seseorang yaitu tingkah laku yang baik, jujur, bertanggung jawab, menghormati hak orang
lain, kerja keras dan sebagainya.
Dengan demikian dapat disimpulkan bahwa pendidikan karakter menurut Thomas Lickona
adalah sebuah pendidikan untuk membentuk kepribadian seseorang menjadi kepribadian yang
mulia meliputi pengetahuan tentang kebaikan, lalu menimbulakan komitmen (niat) terhadap
kebaikan, dan akhirnya benar-benar melakukan kebaikan.
Adapun tujuan dari pendidikan karakter adalah:8
1. untuk mengembangkan siswa secara sosial, etis dan akademis dengan menanamkan
pengembangan karakter ke dalam setiap aspek dari budaya sekolah dan kurikulum.
2. Untuk membantu siswa mengembangkan karakter baik, yang mencakup mengetahui,
peduli dan bertindak atas nilai-nilai etika inti seperti hormat, tanggung jawab, kejujuran,
keadilan dan kasih sayang.
C. Isi Karakter Menurut Thomas Lickona
Berdasarkan hasil penelitian yang telah dilakukan, memberikan suatu dukungan baru bagi
para theolog dan filsuf bahwa terdapat sebuah dasar hukum moral yang melarang tindakan yang
bersifat tidak adil terhadap orang lain. Dasar hukum moral ini seiring dengan prinsip-prinsip
agama yang menyatakan untuk menyayangi orang terdekat dan mencuri merupakan perbuatan
yang tidak boleh dilakukan. Selain itu dasar hukum moral ini juga dapat dibuktikan dengan
menggunakan alasan manusiawi yang bersifat rasional.9
Implikasi pendidikan terhadap hukum dasar yang berlaku secara universal ini sangatlah
penting, memberikan sebuah tujuan bagi sekolah dalam memberikan materi moral yaitu berlaku
adil dan peduli terhadap sesama. Program pendidikan moral yang berdasarkan pada dasar hukum
moral dapat dilaksanakan dalam dua nilai moral yang utama yaitu sikap hormat dan bertanggung
jawab. Nilai-nilai tersebut mewakili dasar moralita utama yang berlaku secara universal. Nilai

8
Thomas Lickona, Chapter 13 of Character Educating Partnership, hal. 153.
9
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility, Terj.
Juma Abdu Wamaungo, (Jakarta: Bumi Aksara, 2013), h. 69.
tersebut memiliki tujuan, nilai yang nyata, dimana mereka mengandung nilai-nilai baik bagi semua
orang baik sebagai individu maupun sebagai bagian dari masyarakat.10
Dengan demikian dapat dikatakan bahwa Menurut Lickona substansi dari karakter baik
adalah kebajikan. Kebajikan merupakan kecenderungan untuk melakukan tindakan yang baik
menurut sudut pandang moral universal. Maksud dari moral universal ini adalah tindakan-tindakan
tersebut dilakukan oleh orang yang memiliki kualitas-kualitas yang secara objektif dan intrinsik
baik.
Secara objektif baik maksudnya, bahwa kualitas-kualitas itu diakui dan dijunjung tinggi
oleh agama-agama dan masyarakat beradab di segenap penjuru dunia. Secara intrinsik baik,
maksudnya kualitas-kualitas itu merupakan tuntutan dari hati nurani manusia beradab. Karena itu,
kualitas-kualitas itu dianggap mengatasi ruang dan waktu. Ia berlaku di mana pun dan kapan pun
(walaupun bentuk ekspresi konkretnya bisa jadi berbeda-beda antara daerah yang satu dengan
lainnya, demikian pula antara zaman dulu, sekarang serta masa depan).
Oleh karena itu, maka menurut Lickona ada dua macam kebajikan fundamental yang
dibutukan untuk membentuk karakter yang baik yaitu rasa hormat dan tanggung jawab.
Rasa hormat berarti menunjukkan penghargaan seseorang terhadap orang lain atau sesuatu.
Hal itu terwujud dalam tiga bentuk, yaitu rasa hormat terhadap diri sendiri, orang lain, dan segala
bentuk kehidupan beserta dengan lingkungan yang mendukung keberlangsungannya. Sedangkan
tanggung jawab adalah perluasan dari rasa hormat. Tanggung jawab merupakan tindakan aktif
untuk menanggapi secara positif kebutuhan pihak lain.11
Selain dua kebajikan fundamental itu, ada ada beberapa kebajikan lain yang dibutuhkan
untuk membentuk karakter yang baik. Kebajikan-kebajikan lain itu adalah kejujuran, keadilan,
toleransi, kebijaksanaa, disiplin diri, tolong menolong, peduli sesama, keja sama, keberanian, dan
sikap demokratis. Nilai-nilai khusus tersebut merupakan bentuk dari rasa hormat dan atau
tanggung jawab ataupun sebagai media pendudkung untuk bersikap hormat dan bertanggung
jawab.12

10
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 69.
11
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 70-72.
12
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 74.
D. Strategi Pendidikan Karakter Menurut Thomas Lickona
Strategi pendidikan karakter menurut lickona terbagi dua, yaitu strategi kelas dan strategi
umum sekolah. Adapun strategi kelas dalam menananmkan pendidikan karakter sebagai berikut:
1. Guru Sebagai Pengasuh (Pemberi Kasih Sayang), Contoh, Dan Mentor
Dalam kelas siswa memiliki dua hubungan yaitu hubungan dengan guru dan hubungan
dengan siswa lainnya. Kedua hubungan ini berpotensial sekali dalam memberi pengaruh, baik
positif maupun negaif terhadap perkembangan karakter seorang anak.13
Bentuk dasar dari pendidikan moral adalah perlakuan yang kita terima. Anak-anak akan
merasa senang jika diperlakukan dengan baik dan hangat, sumber utama kebahagian mereka
adalah dengan diperlakukan seperti itu. Ketika anak-anak didukung dengan perlakuan seperti itu,
mereka akan senang memperlakukan orang lain, hewan, bahkan benda mati dengan baik dan
hangat.14
Dalam menanamkan pendidikan karakter guru memilki kekuatan setidaknya dengan tiga
cara. Pertama guru dapat menjadi seorang penyayang yang efektif, menyayangi dan menghormati
murid-murid, membantu mereka meraih sukse disekolah, membangun kepercayaan diri mereka,
dan membuat mereka mengerti apa itu moral dengan melihat cara guru mereka memperlakukan
mereka dengan etika yang baik. Kedua guru dapat menjadi seorang model, yaitu orang-orang yang
beretika yang menunjukkan rasa hormat dan tanggung jawabnya yang tinggi, baik didalam maupun
diluar kelas. Guru dapat memberi contoh dalam hal-hal yang berkaitan dengan moral beserta
alasannya, yaitu dengan cara menunjukkan etikanya dalam bertindak disekolah dan di
lingkungannya. Ketiga guru dapat menjadi mentor yang beretika, memberikan instruksi moral dan
bimbingan melalui penjelasan, diskusi kelas, bercerita, pemberian motivasi secara personal,
memberikan umpan balik yang korektif ketika ada siswa yang menyakiti temannya atau menyakiti
dirinya sendiri.15
2. Menciptakan komunitas yang bermoral dikelas
Sekolah merupakan sebuah bentuk dari komunitas kehidupan. Pendidikan telah gagal jika
pendidikan mengabaikan tentang hal tersebut. Oleh sebab itu guru harus membuat perkembangan

13
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 111.
14
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 113.
15
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 112.
komunitas moral kelas sebagai sebuah objektif dari sentral pendidikan. Namun, tidak mudah
menghidupkan komunitas tersebut dalam kelas. Terdapat tiga syarat untuk menciptakan sebuah
komunitas yang bermoral dalam kelas. Pertama para siswa mengenal satu sama lain. Kedua para
siswa saling menghormati, menguatkan, dan peduli satu sama lain. Ketiga para siswa merasa
menjadi bagian dan bertanggung jawab terhadap kelompok mereka.16
Adapun langkah-langkah yang ditempuh guru dalam membangun komunitas moral dalam
kelas yaitu:17
a. Guru membantu siswa untuk saling mengenal. Hal ini dapat mempermudah untuk
menilai orang lain dan merasa saling menyayangi jika sudah mengenal.
b. Guru mengajarkan siswa untuk saling menghormati, menguatkan dan peduli. Ketika
para siswa saling mengetahui seluk beluk temanya masing-masing, guru akan lebih
mudah untuk mengembangkan aspek kedua dari komunitas moral, yaitu rasa hormat,
saling menguatkan dan peduli siswa dengan temannya. Ini merupakan salah satu cara
untuk mencegah kekerasan pada anak, membangun nilai-nilai respek dan kebaikan, dan
membangun kepercayaan diri diantara para siswa.
c. Guru mengembangkan rasa kebersamaan siswa. Salah satu caranya yaitu guru
mengembangkan sebuah identitas kelas melalui kebiasaan dan tradisi. Selain itu guru
mengembangkan perasaan setiap siswa agar merasa menjadi seorang anggota
kelompok yang berharga. Kemudian guru juga mengembangkan rasa tanggung jawab
siswa terhadap kelompok.
3. Disiplin moral
Sebuah pendidikan moral terhadap kedisiplinan menggunakan disiplin sebagai sebuah alat
pengajaran menuju nilai-nilai rasa hormat dan tanggung jawab. Pendekatan ini memegang peranan
bahwa tujuan utama dari kedisiplinan adalah kedisiplinan diri sendiri, yaitu sebuah jenis
pengendalian diri yang menggarisbawahi pemenuhan secara sukarela dengan hanya peraturan dan
hukum, yang menandai karakter kedewasaan dan harapan masyarakat.18

16
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 139.
17
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 156.
18
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 167.
Disiplin moral telah memiliki tujuan jangka panjang dalam menolong anak-anak muda
untuk berperilaku dengan penuh rasa tanggung jawab disegala situasi, tidak hanya ketika mereka
dibawah pengawasan. Para guru yang melakukan latihan disiplin moral harus melakukan empat
hal, yaitu:19
a. Guru merencanakan kebijakan rasa moralitas mereka, yaitu hak dan kewajiban mereka
untuk mengajarkan rasa hormat dan tanggung jawab kepada siswa, serta menjaga
mereka menjadi dapat diperhitungkan kedalam standar-standar prilaku.
b. Pendekatan disiplin guru harus meliputi pengaturan peratuaran, sebagai bagian
persiapan dari sesuatu yang lebih besar, usaha-usaha nyata untuk mengembangkan
komunitas moral yang baik dalam kelas.
c. Guru harus membangun dan menjalankan konsekuensi di jalur pendidikan, yaitu
seseorang atau sistem yang dapat membantu siswa menghargai tujuan-tujuan dari
sebuah perauran, membuat batasan dalam pencegahan sebuah penyimpangan, dan
mengemban tanggung jawab dalam mengembangkan prilaku mereka.
d. Guru harus menyampaikan rasa peduli dan hormat bagi setiap individu siswa dengan
mencoba mencari penyebab masalah disiplin dan sebuah solusi yang dapat menolong
para siswa menjadi seseorang yang sukses, serta menjadi seorang anggota yang
bertanggung jawab di dalam komunitas kelas.
4. Menciptakan Lingkungan Kelas Yang Demokratis: Bentuk Pertemuan Kelas
Pertemuan kelas adalah sebuah pertemuan keseluruhan kelas, yang menitikberatkan
diskusi interaktif diantara anggota kelas. Dipimpin oleh seorang guru, seorang siswa, atau seorang
guru dan seorang siswa yang bekerja sama. Kapanpun waktu yang memungkinkan, pertemuan
kelas dapat dilaksanakan di dalam sebuah lingkungan yang berfungsi untuk melakukan kontak
mata diantara patisipan. Dilakukan pada saat jadwal saat sekolah dan merespon apabila ada
kebutuhan yang kusus. Biasanya durasi waktu pertemuan kelas antara 10 sampai dengan 30
menit.20
Tujuan perkembangan karakter dari pertemuan kelas yaitu untuk:21

19
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 168.
20
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 211-212.
21
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 212.
a. Mengembangkan, melalui kebiasaan, komunikasi tatap muka, kemampuan siswa untuk
mendengarkan dengan penuh rasa hormat kepada yang lain dan mengerti sudut
pandang mereka.
b. Menyediakan sebuah forum untuk menuangkan pemikiran para siswa bernilai dan
dimana mereka dapat meningkatkan kepercayaan diri mereka sendiri yang berasal dari
pembelajaran untuk mengapresiasikan diri merek dalam sebuah kelompok.
c. Membantu perkembangan ketiga bagian karakter, kebiasaan penilaian moral, perasaan,
dan perilaku melalui tantangan yang berkelanjutan dalam menempatkan rasa hormat
dan tanggung jawab dengan melakukan latihan setiap hari dalam kehidupan dikelas.
d. Menciptakan komunitas moral sebagai sebuah struktur dukungan untuk memelihara
dan memegang wilayah sebuah kualitas karakter yang baik bahwa sejatinya para siswa
itu berkembang.
e. Mengembangkan sikap dan kemampuan yang dibutuhkan untuk mengambil peranan
dalam kelompok pengambil keputusan secara demokratik dan menjadi berpertisipasi
sebagai warga negara yang berdemokratik.
5. Mengajarkan Nilai Melalui Kurikulum
Kurikulum merupakan urusan yang paling penting dalam sekolah. Guru akan melewatkan
peluang yang besar jika tidak menggunakan kurikulum sebagai saran untuk mengembangkan nilai-
nilai moral dan kesadaran beretika. Masing-masing sekolah bertugas untuk menyisipkan nilai
moral dengan cara apappun yang dapat dilakukan melalui kurikulum dan kegiatan sehari-hari.
Guru harus mampu menggali kurikulum sekolah untuk mendapatkan potensi etika yang mesti
ditanamkan pada siswa. Setelah guru mengidentifikasi adanya celah dalam kurikulum yang dapat
digunakan untuk mengeksplorasi nilai moral, langkah berikutnya adalah untuk merencanakan
pelajaran yang efektif mengenai nilai moral. Artinya guru harus mampu memilih materi yang baik.
Salah satu yang ditawarkan adalah sejarah pada abad pertengahan sebagai kurikulum moral. Ini
dipilih dikarenakan terdapat kemiripan masalah sehari-hari dengan kehidupan pada masa abad
pertengahan. Setelah itu guru merancang metodologi mengajar yang efektif.22

22
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 242-263.
6. Pembelajaran Kooperatif
Seperti kurikulum berbasis nilai moral, proses belajar kooperatif mengajarka nilai moral
dan akademik sekaligus. Apabila pendidikan dengan kurikulum berbasis nilai moral bekerja
melalui isi materi dalam mata pelajaran, proses belajar kooperatif bekerja melalui proses
intruksional. Adapun keuntungan yang spesifik dari proses belajar kooperatif yaitu mengajarkan
nilai kerja sama, membangun komunitas di dalam kelas, mengajarkan keterampilan dasar
kehidupan, memperbaiki pencapaian akademik, rasa percaya diri, dan penyikapan terhadap
sekolah, menawarkan alternatif dalam pencatatan, dapat mengontrol efek negatif dari
persaingan.23
Untuk dapat memaksimalkan efek dari proses belajar kooperatif terhadap perkembangan
karakter dan juga pencapaian akademik, seorang gurur sebaiknya memanfaatkan bentuk belajar
kooperatif, yaitu partner belajar, pengaturan duduk berkelompok, proses belajar tim, proses belajar
jigsaw, ujian berkelompok, proyek kelompok kecil, kompetisi tim, dan proyek satu kelas.24
Sedangkan untuk memaksimalkan keberhasilan proses balajar kooperatif yaitu guru
menjelaskan bahwa kerja sama merupakan tujuan yang penting bagi kelas, membangun komunitas,
guru mengajarkan keterampilan spesifik untuk dapat bekerja sama, buat aturan-aturan dalam
bekerja sama, asuh akuntabilitas setiap anggota kelompok untuk bekerja sama dan berkontribusi,
mengikutsertakan semua siswa untuk merefleksikan kerja sama, menugaskan peran pada anggota
kelompok, mencocokkan proses belajar kooperatif dengan tugas yang diberikan, gunakan berbagai
proses belajar kooperatif.25
7. Kesadaran Nurani
Literatur mengenai pendidikan moral biasanya memisahkan pembelajaran moral dan
pembelajaran akademik. Akan tetapi, pendidikan moral itu termasuk bagian dari pekerjaan
akademik karena pekerjaan memiliki kepentingan moral.26 Urusan utama sekolah adalah bekerja
sebagai pembelajaran. Oleh karena terdapat nilai moral dalam pekerjaan, tantangan bagi sekolah

23
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 276.
24
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 281-291.
25
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 292.
26
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 310.
adalah bagaimana menumbuhkan kesadaran nurani dan mengembangkan kualitas karakter yang
melekat pada kapasitas untuk bekerja.27
Kesadaran nurani membuat kita melakukan pekerjaan dengan baik, apapun seharusnya itu.
Untuk memiliki kesadaran nurani yang berkembang, seseorang harus memiliki kapasitas
merasakan kepuasan saat pekerjaan selesai dengan baik dan merasa malu saat pekerjaan itu
dilakukan dengan ceroboh. Kesadaran nurani ini memotivasi seseorang untuk mengerjakan
sesuatu bukan hanya kepuasaan orang lain, tetapi juga kepuasaan dirinya sendiri. Hal tersebut
adalah tanda karakter seseorang yang peduli untuk melakukan pekerjaan dan tugasnya dengan
baik.
Adapun strategi yang ditawarkan oleh Thomas Lickona yaitu langkah pertama bagi sekolah
adalah memperlakukan pekerjaan seperti memiliki kepentingan moral dan bekrja sebagai
pembelajaran, seperti aktivitas moral yang berkontribusi dalam pengembangan karakter. Langkah
kedua adalah menyadari bahwa sekolah bukan hanya melibatkan pendidikan yang buruk, tetapi
juga pendidikan moral yang buruk jika, untuk alasan apapun, siswa tidak melakukan pekerjaan
sebagai suatu pembelajaran. Langkah ketiga adalah menemukan apa yang harus pendidikan
perjuangkan pada area pengembangan karakter.28
8. Mendorong Refleksi Dalam Pendidikan Moral
Refleksi moral merupakan sesuatu yang penting untuk mengembangkan sisi kognitif dari
suatu karakter, bagian penting dari moral diri sendiri yang mampu membantu seseorang membuat
penilaian moral tentang sikap kita sendiri dan lainnya.29
Adapun metode yang mendorong refleksi moral yang berkembang yaitu mempelajari
kebajikan yang sederhana, mengklarifikasi nilai moral, memberi kesempatan kepada siswa sebagai
filsuf moral dengan memberi kesemaptan kepada mereka untuk berdiskusi memecahkan dilema
moral di ruang kelas.30
Adapun Strategi umum sekolah dalam pengajaran tentang rasa hormat dan tanggung jawab:31

27
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,..., h. 312.
28
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 312-313.
29
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 335.
30
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 339-352.
31
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 425.
1. Kepedulian Diluar Kelas
Sekolah dapat membantu membentuk sikap peduli pelajar dan warga yang aktif diluar
kelas jika:32
a. Membuat siswa sadar tentang keutuhan dan penderitaan orang lain dinegaranya dan
diseluruh dunia.
b. Menawarkan kelompok-kelompok yang dapat dijadikan contoh yang bekerja sama
secara efektif untuk membantu orang-orang miskin dan tertindas, dan mengatur
proyek aksi pelajar untuk membantu.
c. Menyediakan role model yang menginspirasi, yang berkaitan dengan orang yang
membantu orang lain dikomunitasnya sendiri.
d. Menyediakan role model teman sebaya yang positif.
e. Memberikan kesempatan kepada siswa untuk melakukan kegiatan pelayanan sekolah
khususnya dalam hubungan bantuan yang face to face
f. Memeberikan kesempatan pada siswa untuk melakukan pelayanan pada
masyarakatnya, dan jika memungkinkan mengintegrasikan program layanan tersebut
dengan akademik.
g. Menyediakan pendidikan di bidang keadilan dan sosial, politik perubahan, dan aksi
masyarakat.
2. Membangun Budaya Moral Yang Positif Disekolah
Terdapat enam elemen budaya moral positif di sekolah dan akademik, yaitu:33
a. Kepala sekolah menyediakan kepemimpinan moral dan akademik dengan cara menyatakan
visi sekolah, memperkenalkan tujuan dan strategi dari program nilai-nilai moral positif
kepada seluruh staf sekolahan, merekrut partisipasi dan dukungan orang tua, memberikan
teladan nilai-nilai sekolah melalui interaksi dengan staf, murid dan orang tua.
b. Sekolah menciptakan disiplin efektif yang dilakukan dengan cara mendefinisikan dengan
jelas aturan sekolah dan secara konsistten, serta adil mendorong stakeholder sekolah,
mengatasi masalah disiplin dengan cara yang mendorong menumbuhkembangkan moral

32
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 448.
33
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 454-455.
siswa, memastikan aturan dan nilai sekolah ditegakkan dalam seluruh lingkungan sekolah
dan bergerak tangkas untuk menghentikan tindakan kekerasan dimanapun terjadi.
c. Sekolah menciptakan kepekaan terhadap masyarakat dengan cara menumbuhkan
keberanian stakeholder sekolah untuk mengekspresikan apresiasi mereka atas tindakan
peduli terhadap orang lain, menciptakan kesemapatan bagi setiap siswa untuk mengenal
selururh staf sekolah dan murid dikeals lain, mengajak sebanyak mungkin siswa untuk
terlibat dikegaiatan ekstrakulikuler, meningkatkan sikap sportivitas, menggunakan nama
sekolah untuk mendorong masyarakat dengan nilai-nilai baik, dan setiap kelas diberi
tanggung jawa untuk berkontribusi dalam kehidupan sekolah.
d. Sekolah dapat menggunakan pengelolaan siswa yang demokratis untuk meningkatkan
pengembangan warga masyarakat dan tanggung jawab berbagai sekolah dengan cara
menyusun kepengurusan siswa untuk memaksimalkan pertisipasi siswa dan interaksi
diantara siswa sekelas dan dewan siswa, kemudian membuat dewan siswa ikut bertanggung
jawab terkait dengan masalah dan isu yang memiliki pengaruh nyata pada kualitas
kehidupan sekolah.
e. Sekolah dapat menciptakan moral komunitas antar orang dewasa dengan cara memberikan
waktu dan dukungan untuk staf sekolah untuk bekerja bersama dalam menyusun bahan
pelajaran. Dan melibatkan staf melalui kolaborasi pembuatan keputusan sesuai dengan
bidangnya masing-masing.
f. Sekolah dapat meningaktkan pentingnya kepedulian terhadap moral dengan cara
memoderasi tekanan akademis sehingga guru tidak mengabaikan pengembangan sosio
maral siswa, dan menumbuhkan kepercayaan diri guru untuk menghabiskan banyak waktu
untuk mengurusi moral siswa.
3. Sekolah, Orang Tua Dan Masyarakat Yang Bekerja Sama
Kerja sama sekolah dan orang tua dalam pendidikan nilai:34
a. Sebuah survei nilai orang tua yang meminta orang tua mengidentifikasikan kualitas
karakter yang mereka inginkan untuk berkembang dalam anak.

34
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And Responsibility,...,
h. 585-586.
b. Peran kepemimpinan orang tua dalam merencanakan program nilai sekolah, yang
mendesain program partisipasi orang tua, dan mendorong orang tua untuk mengajar
nilai-nilai baik dirumah.
c. Lokakarya berbasis sekolah bagi keahlian menjadi orang tua.
d. Dibutuhkan sebuah kursus untuk murid sekolah menengah dalam perkembangan anak
dan menjadi orang tua.
e. Materi pembahasan nilai berbasis rumah, diberikan pada orang tua, yang membangun
pelajaran dikelas.
f. Mengendalikan pengaruh negatif tv dan film.
g. Keterlibatan orang tua dalam mendukung kedisiplinan sekolah.
h. Lokakarya yang mengajarkan orang tua bagaimana membantu anak mereka melakukan
lebih baik secara akademik di sekolah.
i. Membantu jaringan orang tua untuk membahas urusan-urusan umum.
j. Kelompok pendukung berbasis sekolah untuk anak dan keluarga dari keluarga transisi.
k. Melibatkan seluruh komunitas dalam mengidentifikasi nilai-nilai konsensus bersama
yang akan diajarkan di sekolah.
l. Berkomunikasi dengan orang tua melalui sebuah brosur tentang program nilai sekolah.
m. Menciptakan suatu atmosfer sekolah yang kooperatif yang didalamnya sekolah dan
orang tua dapat secara konstruktif menyebutkan nilai-nilai konflik ketika itu terjadi.
E. Analisis Konsep Pendidikan Karakter Menurut Thomas Lickona
Jika diperhatikan penjelasan di atas, maka dapatlah dikatakan bahwa unsur-unsur
pendidikan karakter yang dipaparkan Thomas Lickona memperlihatkan sebagai sesuatu yang
saling berkaitan satu sama lain, bahkan merupakan suatu kesatuan yang disebut dengan sistem
pendidikan. Sebagai satu kesatuan bila salah satu unsur tidak berfungsi dengan baik akan
mengakibatkan sistem pendidikan itu tidak berfungsi dengan baik pula.35
Namun perbedaan yang sangat signifikan yaitu terletak pada sumber utama penentuan
karakternya. Seperti yang sudah penulis paparkan sebelumnya penentuan karakter dalam
pendidikan karakter menurut Lickona bersumber dari akal dan rasio. Yang menjadi tolak ukur
karakter mulia menurutnya adalah seberapa besar dampak negatif dari karakter tersebut terhadap
orang lain.

35
Tanjab, Perbandingan Pendidikan, (Surabaya: Karya Abditama, 1994), h. 33.
Berbeda dengan Lickona, sumber utama penentuan karakter dalam Islam, sebagaimana
keseluruhan ajaran Islam lainnya, adalah al-Quran dan sunnah Nabi Muhammad saw. Ajaran-
ajaran dan teks agama Islam menguatkan bahwa agama-agama dan risalah samawiyah semuanya
datang untuk memperbaiki akhlak, menyempurnakan binaannya dan membimbing manusia
kejalan yang terbaik.36 Ukuran baik dan buruk dalam karakter Islam berpedoman pada kedua
sumber itu, bukan baik dan buruk menurut ukuran manusia. Sebab jika ukurannya adalah manusia,
baik dan buruk berbeda-beda. Seseorang mengatakan bahwa sesuatu itu baik, tetapi orang lain
belum tentu menganggapnya baik. Begitu juga sebaliknya, seseorang menyebut sesuatu itu buruk,
padahal yang lain bisa saja menyebutnya baik.
Kedua sumber pokok tersebut (al-Quran dan sunnah) diakui oleh semua umat Islam sebagai
dalil naqli yang tidak diragukan otoritasnya. Melalui kedua sumber inilah dapat dipahami dan
diyakini bahwa sifat-sifat sabar, qana’ah, tawakkal, syukur, pemaaf, dan pemurah termasuk sifat-
sifat yang baik dan mulia. Sebaliknya, dapat dipahami pula bahwa sifat-sifat syirik, kufur, nifaq,
ujub, takabur, dan hasad merupakan sifat-sifat tercela. Jika kedua sumber itu tidak menegaskan
mengenai nilai dari sifat-sifat tersebut, akal manusia mungkin akan memberikan penilaian yang
berbeda-beda. Islam tidak mengabaikan adanya standar lain selain al-Quran dan sunnah/hadis
untuk menentukan baik dan buruk dalam hal karakter manusia. Standar lain dimaksud adalah akal
dan nurani manusia serta pandangan umum (tradisi) masyarakat.
Perbedaan pada dasar pendidikan mengakibatkan perbedaan pada tujuan pendidikan pula.37
Meskipun Lickona mengakui akan adanya nilai kekal yang mendasari konsep pendidikanya,
namun hal itu tidak mempengaruhi ada tujuan ketuhanan dalam konsep pendidikan karakter
menurutnya. Artinya tujuan pendidikan karakter menurut Lickona adalah pengetahuan tentang
nilai karakter baik, yang mencakup mengetahui, peduli dan bertindak atas nilai-nilai etika inti dan
tujuan akhir semata-mata untuk mendapatkan kedamain dalam hidup didunia. Artinya pendidikan
karakter menurut Lickona hanya untuk memperbaiki hubungan antara manusia dengan manusia.
Begitu juga dengan substansi karakter yang ditawarkan Lickona, pendidikan karakter di
sekolah memberikan materi tentang moral yaitu berlaku adil dan peduli terhadap sesama. Nilai ini
dipandang mewakili dasar moralitas utama yang berlaku universal. Nilai-nilai tersebut dipandang

36
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan Langgulung, (Jakarta:
Bulan Bintang, 1979), h. 317.
37
Jalaluddin, Teologi Pendidikan, (Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001), h. 79.
mengandung nilai-nilai baik bagi semua orang, baik sebagai individu maupun sebagai masyarakat.
Namun demikian, tetap saja substansi dari karakter tersebut hanya untuk membina hubungan baik
manusia dengan manusia yang lainnya.
Substansi karakter yang hanya bertujuan untuk memperbaiki hubungan manusia dengan
manusia, menyebabkan strategi dalam penanaman karakter-karakter tersebut dalam pendidikan
sekolah hanya terfokus pada bagaimana siswa memahami tentang karakter yang baik sehingga
mau bertindak berdasarkan karakter yang telah dipahami. Dalam implementasinya, Lickona
menawarkan beberapa strategi salah satunya yaitu membentuk komunitas moral dalam kelas.
Dikomunitas ini siswa diberikan pengetahuan tentang karakter-karakter yang baik, kemudian
mempraktekkannya didalam komunitas tersebut, sehingga menjadi kebiasaan dan diharapkan
karakter-karakter itu menjadi kepribadian siswa.
Strategi yang ditawarkan Lickona akan berhasil dalam menanamkan karakter kepada siswa
jika komunitas moral berjalan sesuai dengan yang sudah direncanakan. Namun, strategi ini juga
berkemungkinan besar tidak berhasil, salah satunya penyebabnya yaitu faktor perbedaan pada diri
siswa. Karena tidak semua siswa dapat menerima dengan mudah apa yang telah dipelajari
disekolah. Bisa saja selain terdapat siswa yang mengikuti arahan guru dalam komunitas, terdapat
juga siswa yang enggan mengikuti peraturan yang ada dalam kumunitas. Dan hal ini menyebabkan
proses penananman nilai karakter disekolah akan terhambat.
Bila diperhatikan uraian diatas, maka konsep pendidikan karakter yang ditawarkan lickona
masih bisa dijadikan referensi dalam pendidikan, karena pendidikan karakter tersebut telah
berhasil dirumuskan oleh para penggiatnya sampai pada tahapan yang sangat operasional meliputi
metode, strategi dan tehnik. Strategi yang ditawarkan lickona sudah mengarah ketiga ranah yaitu
kognitif, afektif dan psikomotorik. Namun, konsep karakter itu sendiri sangatlah luas. Karakter
sangat berkaitan erat dengan spiritualitas. Oleh karena itu bila konsepsi pendidikan versi lickona
ingin dijadikan sebagai salah satu referensi dalam pengembangan pendidikan, maka teori ini perlu
dikembangkan dan diperluas cakupan wilayahnya sehingga proses pembentukan karakter
menyeluruh secara sempurna.
BAB III
KESIMPULAN
Dari uraian terdahulu, maka dapat diambil beberapa kesimpulan sebagai berikut:
1. Pengertian pendidikan karakter menurut Thomas Lickona adalah sebuah pendidikan untuk
membentuk kepribadian seseorang menjadi kepribadian yang mulia meliputi pengetahuan
tentang kebaikan, lalu menimbulakan komitmen (niat) terhadap kebaikan, dan akhirnya
benar-benar melakukan kebaikan.
2. Tujuan pendidikan karakter menurut Lickona yaitu untuk mengembangkan siswa secara
sosial, etis dan akademis dengan menanamkan pengembangan karakter ke dalam setiap
aspek dari budaya sekolah dan kurikulum. Dan untuk membantu siswa mengembangkan
karakter baik, yang mencakup mengetahui, peduli dan bertindak atas nilai-nilai etika inti
seperti hormat, tanggung jawab, kejujuran, keadilan dan kasih sayang.
3. Adapun substasi karakter yang menurut lickona perlu ditanamkan dalam pendidikan
karaketr di sekolah adalah dasar hukum moral yang melarang tindakan yang bersifat tidak
adil terhadap orang lain yang diwakilkan dalam dua nilai moral yang utama yaitu sikap
hormat dan bertanggung jawab.
9. Adapun strategi yang digunakan dalam pendidikan karakter menurut Lickona adalah
keteladanan dari seorang guru, menciptakan komunitas yang bermoral dikelas,
pembelajaran kooperatif, menanamkan nilai melalui kurikulum, adanya kerjasama antara
pihak sekolah, orang tua dan msyarakat, membangun budaya moral yang positif di sekolah,
dan disiplin moral.
10. Konsep pendidikan karakter yang ditawarkan lickona masih bisa dijadikan referensi dalam
pendidikan. Namun, teori ini perlu dikembangkan dan diperluas cakupan wilayahnya
sehingga proses pembentukan karakter menyeluruh secara sempurna.
DAFTAR PUSTAKA

Abd. Rachman Assegaf, Filsafat Pendidikan Islam, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2011

Jalaluddin, Teologi Pendidikan, Jakarta: PT RajaGrafindo Persada, 2001


Jamil Suprihatiningrum, Strategi Pembelajaran: Teori Dan Aplikasi, Yogyakarta: Ar-Ruzz
Media, 2013
Omar Mohammad Al-Toumy Al-Syaibani, Falsafah Pendidikan Islam, Terj. Hasan
Langgulung, Jakarta: Bulan Bintang, 1979
Tanjab, Perbandingan Pendidikan, Surabaya: Karya Abditama, 1994
Thomas Lickona, Educating For Character: How Our Schools Can Teach Respect And
Responsibility, Terj. Juma Abdu Wamaungo, Jakarta: Bumi Aksara, 2013

Anda mungkin juga menyukai