Anda di halaman 1dari 14

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang Masalah


Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan
oleh awutan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses
penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan
kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon alergi atau respon auto imun sangat
mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa syindrom tersebut menpunyai
asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh ini. Guillain Bare’
tyerjadi dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua ras.
Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa
berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai
penyalit febris ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya
berasal dari pernapasan atau gastrointestinal.
System kekebalan tubuh seharusnya membentengi tubuh dari serangan virus atau
bakteri. Tapi jika system kekebalan tubuh malah menjadi musuh dan menyerang saraf
sendiri bisa memicu terjadinya guilla in barre syndrome yang mengakibatkan
kelumpuhan.
Pada beberapa orang mulai terasa di lengan atau wajah dan selama gangguan
berlangsung otot bisa menjadi lemah hingga berkembang pada kelumpuhan di
tungkai, lengan, atau gangguan pada otot pernapasan.
1.2 Rumusan Masalah
1. Apa pengertian guilla in barre syndrome?
2. Apa etioligi dari guilla in barre syndrome?
3. Bagaimana patofiologis dari guilla in barre syndrome?
4. Apa saja pemeriksaan diagnostic guilla in barre syndrome?
5. Apa saja komplikasi pada penderita guilla in barre syndrome?
6. Bagaimana penatalaksanaan medis guilla in barre syndrome?
7. Bagaimana asuhan keperawatan dari guilla in barre syndrome?
1.3 Tujuan
Tujuan dan maksud dari pembutan makalah ini, adalah: kami bermaksud
membahas dan berbagi pengetahuan tentang ” GUILLAIN BARRE SYNDROM /
GBS” seperti yang tertera pada rumusan masalah di atas. Kami bertujuan & berharap
semoga makalah ini dapat menjadi referensi dan berguna bagi para pembaca, serta
kalangan medis lainya. Sehingga kita mengerti, memahami, serta menambah
pengetahuan kita tentang ” GUILLAIN BARRE SYNDROM / GBS” Serta
penanganannya.
BAB II
PEMBAHASAN

A. KONSEP DASAR PENYAKIT


2.1 Pengertian
Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan
oleh awitan akut dari gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses
penyakit mencakup demielinasi dan degenasi selaput myelin dari saraf perifer dan
kranial yang Etiologinya tidak diketahui. ( Hudak & Gallo: 287)

Guillain Bare’ Syndrom adalah Gangguan degeneratif terkomplikasi yang


sifatnya dapat akut atau kronis. Etiologi belum jelas, meskipun gangguan ini
mempunyai kaitan dengan mekanisme autoimun sel dan humoral beberapa hari
sampai 3 minggu setelah infeksi saluaran pernapasan atas ringan. (Lynda Juall C: 298)

Guillain Bare’ Syndrom adalah ganguan kelemahan neuro-muskular akut yang


memburuk secara progresif yang dapat mengarah pada kelumpuhan total, tatapi
biasanya paralisis sementara. ( Doenges:369)
2.2 Tanda dan Gejala
- kehilangan refleks tangan dan kaki
- gatal-gatal atau kelemahan pada tangan dan kaki
- nyeri otot
- tidak bisa bergerak dengan leluasa
- tekanan darah rendah
- detak jantung yang abnormal
- penglihatan buram atau juling
- nafas berat
- sulit menelan
2.6 Pemeriksaan dan Diagnostik
1. Anamnesa :
- adanya faktor pencetus
- perjalanan penyakitnya (nyeri radikuler kemudian diikuti kelumpuhan progresif, >1
tungkai, simetris, menjalar ke lengan (asenderen)
2. Pemeriksaan Neurologis :
- kelumpuhan tipe flacid terutama otot proksimal
- simetris
- gejala motorik lebih nyata daripada sensorik
3. Pada Lumbal Pungsi :
- didapatkan kenaikan protein tanpa diikuti kenaikan sel (dissosiasi sitoalbumin) à
pada minggu II
4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi) :
- penurunan kecepatan hantar saraf /lambatnya laju konduksi saraf
5. Darah Lengkap
- Terlihat adanya leukositosis pada fase awal.
6. Foto ronsen
- Dapat memperlihatkan berkembangnya tanda-tanda dari gangguan pernapasan ,
seperti atelektasis, pneumonia.
7. Pemeriksaan fungsi paru
- Dapat menunjukkan adanya penurunan kapasitas vital, volume tidal, dan
kemampuan inspirasi
2.3 Patofisiologi
Pada GBS, Selaput myelin yang mengelilingi akson hilang. Selaput myelin cukup
rentan terhadap cidera karena banyak agen dan kondisi, termasik trauma fisik,
hipoksemia, toksik kimia, insufisiensi vascular, dan reaksi imunologi. Demielinasi
adalah respon umum dari jaringan saraf terhadap banyak kondisi yang merudikan ini.
Akson bermielin mengkonduksi impuls saraf lebih cepat di banding akson tak
bermielin. Sepanjang perjalanan serabut bermielin terganggu dalam selaput ( Nodus
Ranvier ) tempat kontak- langsung antara membran sel akson dengan cairan
eksraseluler.Membran sangat permiabel pada nodus tersebut, sehingga konduksi
menjadi baik.
Gerakan-gerakan masuk dan keluar akson dapat terjadi dengan cepat hanya pada
nodus ranvier ( Gbr. 31-9) sehingga impuls saraf sepanjang serabut bermielin dapat
melompat dari satu nodus ke nodus lain (konduksi saltatori) dengan cukup kuat.
Kehilangan selaput mielin pada GBS membuat konduksi saltatori tidak mungkin
terjadi, dan trasnmisi impuls saraf dibatalkan.
Temuan patofisiologis pada gangguan ini multipel dan bervariasi meliputi imflamasi,
demielinasi dari saraf perifer, kehilangan badan granular, dan degenarasi membaran
basalis sel Swhann, mengakibatkan paralisis flaksid simetrik asenden dan kehilangan
funsi saraf kranial. ( Murray,1993)
2.9 Penatalaksanaan Medis
Tujuan utama dalam merawat pasien dengn GBS adalah untuk memberikan
pemeliharaan fungsi system tubuh, dengan cepat mengatasi krisis-krisis yang
mengancam jiwa, mencegah infeksi dan komplikasi imobilitas, dan memberikan
dukungan psikologis untuk pasien dan keluarga.
- Dukungan Pernapasan
Jika vaskulatur pernapasan terkena, maka mngkin di butuhkan ventilasi mekanik.
Mungkin Perlu dilakukan trakeostomi jika pasien tidak dapat di sapih dari ventilator
dalam beberapa minngu. Gagal pernapasan harus di antisipasi sampai kemajuan
gangguan merata, karena tidak jelas sejauh apa paralisis akan terjadi.
- Dukungan Kardiovaskuler
Jika sistem saraf otonom yang terkena, maka akan terjadi perubahan drastis
dalam tekanan darah ( hipotensi dan hipertensi ) serta frekwensi jantung akan terjadi
dan pasien harus dipantau dengan ketat. Identifikasi adanya disritmia dan diobati
dengan cepat. Gangguan saraf otonom dapat dipicu oleh valsava manuver, batuk,
sucsioning, dan perubahan posisi, sehingga aktivitas-aktivitas ini harus dilakukan
secara hati-hati.
- Plasmafaresis
Untuk menyingkirkan antibidi yang membahayakan dari plasma. Plasma pasien
dipisahkan secara selektif dari darah lengkap, dan bhan-bahan abnormal dibersihkan
atau plasma digantikan dengan yang normal atau dengan pengantri koloidal.
- IVIg=Intra Venous Immunoglobulin dosis tinggi (0,4 mg/kg BB/hari selama 5-7 hari
- CSFF = Cerebro Spinal Fluid Filtration
B. KONSEP DASAR ASUHAN KEPERAWATAN
1. PENGKAJIAN
 AKTIVITAS/ISTIRAHAT
Gejala : Adanya kelemahan dan paralisis secara simetris yang biasanya dimulai dari
ekstremitas bagian bawah dan selanjutnya berkembang dengan cepat kearah
atas.Hilangnya kontrol motorik halus tangan
Tanda : Klemahan otot, paralisis flaksid ( simetris) Cara berjalan tidak mantap
 SIRKULASI
Tanda : Perubhan tekanan drah ( hipertensi/hipotensi )Disritmia,
takikardia/bradikardia Wajah kemerahan, diaforesis
 INTEGRITAS/EGO
Gejala : Perasaan cemas dan terlalu berkonsentrasi pada masalah yang dihadapi.
Tanda : Tampak takut dan binggung
 ELIMINASI
Gejala : Adanya perubahan pola eliminasi
Tanda : Kelemahan otot-otot abomen. Hilangnya sensasi anal ( anus ) atau berkemih
dan refleks sfingter.
 MAKANAN DAN CAIRAN
Gejala : Kesulitan dalam mengunyah dan menelan
Tanda : Gangguan pada refleks menelan
 NEUROSENSORI
Gejala : Kebas kesemutan yang dimulai dari kaki atau jari-jari kaki dan selanjutnya
terus naik Perubhan rasa terhadap posisi tubuh, vibrasi, sensasi nyeri, sensasi suhu.
Perubahan ketajaman penglihatan.
Tanda : Hilangnya/ menurunnya refleks tenon dalam. Hilangnya tonus otot, adanya
masalah keseimbangan. Adanya kelemahan pada otot-otot wajah, terjadi ptosis
kelopak mata- ( keterlibatan saraf kranial) Kehilangan kemampuan untuk berbicara.
 NYERI/KENYAMANAN
Gejala : Nyeri tekan pada otot; seperti terbakar , sakit, nyeri ( terutama pada bahu,
pelvis, pinggang , punggung dan bokong ) Hipersensitif terhadap sentuhan.
PERNAPASAN
Gejala : Kesulitan dalam bernapas, napas pendek.
Tanda : Pernapasan perut, mengunakan otot bantu napas, apnea penurunan/ hilangnya
bunyi napas. Menurunnya kapasitas vital paru Pucat/sianosis Gangguan refleks
menelan/batuk
 KEAMANAN
Gejala : Infeksi virus nonspesifik ( seperti; infeksi saluran pernapasan atas ) kira-kira
2 minggu sebelum munculnya tanda seangan. Adanya riwayat terkena herper zoster,
sitomegalovirus.
Tanda : Suhu tubuh berfluktuasi ( sangat tergantung pada suhu lingkungan ).
Penurunan kekuatan/tonus otot, paralisis atau parastesia.
 INTERAKSI SOSIAL
Tanda : Kehilangan kemampuan untuk berbicara/berkomunikasi.

II. PRIORITAS KEPERAWATAN


1. Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan.
2. Meminimalkan/mencegah komplikasi.
3. Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya.
4. Mengendalikan/menghilangkan nyeri.
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.

III. DIAGNOSA KEPERAWATAN


1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri.
2. Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis
otot skeletal dan diafragma.
3. Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik,
Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
4. Perubahan Persepsi – Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak
mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
5. Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring,
imobilitas.
6. Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia,
disestisia )
7. Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
8. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
9. Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.

IV. INTERVENSI
Diagnosa 1
Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri Tujuan /
Kriteria Hasil :
Pasien dapat terbebas dari komplikasi imobilitas yang dapat di cegah mis; ( kontraktur,
kerusakan kulit, atelektasis, dropfoot, TVD.
Intervensi:
1. Pertahankan ROM sendi.
2. Baringkan dengan posisi yang baik di tempat tidur.
3. Dapatkan konsultasi rehabilitas, terapi fisik dan okupasi.
4. Ubah posisi sedikitnya setiap 2 jam.
5. Pertimbangkan pengunaan tempat tidur kinetik.
6. Hindari melatih otot-otot paasien selama terjadi nyeri, karena mungkin dapat menigkatkan
demielinasi.
7. Berikan analgesia sebelum sesi terapi atau sesuai advis dokter.
8. Mulai ajarkan pada keluarga latihan untuk ROM.

Diagnosa 2
Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis otot
skeletal dan diafragma.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Pertukaran gas yang adekuat akan di pertahankan.

Intervensi:
1. Auskultasi bunya napas dengan teratur.
2. Pantau saturasi oksigen dengan oksimetri.
3. Laporkan keluhan subyektif dari kelemahan otot atau kesulitan bernapas.
4. Tetaplah bersama pasien yang mengeluh sesak.
5. sukstion sesuai kebutuhan untuk menjaga patensi jalan napas.
6. Baringka pasien untuk memudahkan pertukaran gas.
7. Cata parimeter pernapasan ( frekwensi, volume, upaya bernapas )
8. Catat AGD dan perhatikan kecenderungan.
9. Jelaskan pada pasien dan keluarga tentang intubasi dan ventilator jika hal tersebut akan
diperlukan.
10. Pasang alrm ventilator.
Diagnosa 3
Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik,
Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mempertahankan perfusi dengan tanda vital stabil, disritmia jantung terkontrol/takada.
Intervensi:
1. Ukur tekanan darah, catat adanya fluktuasi. Observasi adanya hipotensi postural, Berikan
latihan ketika sedang melakukan perubahan posisi pasien.
2. Pantau frekwensi jantung dan iramanya. Dokumentasikan adanya disritmia.
3. Pantau suhu tubuh berikan lingkungan suhu yang nyaman.
4. Catat masukan dan haluaran.
5. Tinggikan kaki sedikit dari tempat tidur.
6. kolaborasi pemberian cairan IV dengan hati-hati sesuai indikasi.
7. Pantau pemeriksaan laboratorium, seperti JDL Hb/Ht, elektrolit serum.
8. Pakailah stiking antiemboli atau pemijat kontinue; lepaskan sesuai jadwal dengan interval
tertentu.

Diagnosa 4
Perubahan Persepsi – Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak
mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mengungkapkan kesadaran tentang defisit sensori
Mempertahankan mental/orientasi umum.
Mengidentifilkasi intervensi untuk meminimalkan kerusakan komplikasi sensori.
Intervensi:
1. Pantau status neurologis secara periodik
2. Berikan alternatif cara untuk berkomunikasi jika pasien tidak dapat berbicara.
3. Berikan lingkungan yang aman ( penghalang tempat tidur, proteksi terhadap trauma termal )
4. Berikan kesempatan untuk istirahat pada daerah yang tidak mengalami gangguan, dan
berikan aktivitas lain sesuai dengan kemampuan.
5. Berikan stimulasi sensori yang sesua, meliputi suara misik yang lembut; televisi
( berita/pertujukkan ) bercakap-cakap santai.
6. Sarankan orang terdekat untuk berbicara dan memberikan sentuhan pada pasien untuk
memlihara keterikatan.

Diagnosa 5
Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring, imobilitas.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Rutinitas BAB pasien dipertahankan sama seperti sebelum dirawat, dan konstipasi tidak terjadi
Intervensi:
1. Pastikan hidrasi adekuat; catat masukan dan haluaran.
2. Berikan pelunak feses atau suppositoria sesuai indikasi.
3. Waktu melakukan gragam usus untuk menghasilkan penggunaan refleks gastrokolik setelah
makanan.
4. Baringkan pasien dalam posisi tegak untuk melakukan eliminasi.

Diagnosa 6
Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler ( parastesia,
disestesia )
Tujuan / Kriteria Hasil :
Melaporkan nyeri berkurang /terkontrol
Mengungkapkan metode untuk meredakan nyeri.
Mendemostrasikan pengguanaan ketrampilan relaksasi sesuai indikasi untuk situasi individu.
Intervensi:
1. Ukur derajat nyeri/ rasa tidak nyaman dengan mengunakan skala nyeri 0-10
2. Observasi tanda-tanda nonverbal dari nyeri mis ( wajah tampak menahan skit, menarik
diri/menangis.
3. Anjurkan kilen untuk mengungkapkan perasaan mengenai nyeri yang dirasakan.
4. Berikan kompres hangat atau dingin, mandi dengan air hangat, berikan masase atau sentuhn
sesuai toleransi pasien.
5. Lakukan perubahan posisi secara teratur, berikan sokongan dengan bantal, busa atrau
selimut.
6. Berikan latihan rentang gerak pasif
7. Instruksikan/anjurkan untuk mengunakan teknik relaksasi, imajinasi terbimbing.
8. kolaborasi obat analgesik sesuai kebutuhan.

Diagnosa 7
Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mendemontrasikan pengosongan kendung kemih adekuat/tepat waktu tanpa retensi atau infeksi
urinarius.
Intervensi:
1. Ctat frekuensi dan jumlah berkemih.
2. Lakukan palpasi abdomen ( di atas supra pubik ) untuk mengetahui adanya distensi kandung
kemih.
3. Anjurkan pasien intuk minum paling tidak 2000ml/dalam batas toleransi jantung.
4. Lakukan menuver Crede.
5. Kolaborasi kateterisasi pada residu urine sesuai kebutuhan.
6. Pasang/pertahankan kateter indweling sesuai kebutuhan.
Diagnosa 8
Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Mendemontrasikan berat badan stabil, normalisasi nilai-nilai laboratorium, dan tak ada tanda
malnutrisi.
Intervensi:
1. Kaji kemmpuan untuk mengunyah, menlan, batuk, pada keadaan teratur.
2. Auskultasi bising usus evaluasi adanya distensi abdoman.
3. Cata masukan kalori setiap hari.
4. Berikan makan setengah padat/cair usahakan yang disukai pasien.
5. Anjurkan untuk makan sendiri jika memungkinkan, dan berikan bantuan bila pasien
membutuhkan
6. Anjurkan orang terdekat untuk ikut berpartisipasi
7. Timbang berat badan setiap hari.
8. Kolaborasi pemberian diet TKTP
9. Pasang/pertahankan selan NGT berikan makanan enteral/parenteral.

Diagnosa 9
Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis, paralisis,
ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.
Tujuan / Kriteria Hasil :
Pasien dan keluarga akan mengungkapkan pengetahuan yang sesuai dengan keadaannya.
Menerima dan mendiskusikan rasa takut.
Mendemostrasikan rentang perasaan yang tepat dan berkurangnya rasa takut.
Tampak rileks dan melaporkan ansietas berkurang sampai tingkat dapat diatasi.
Intervensi:
1. Biarkan pasien untuk mengungkapkan perasaan dan ketakutannya.
2. Dorong pasien untuk mengajukan pertanyaan dan bersiaplah untuk memberikan penjelasan.
3. Buat jadwal sehinnga pasien mengetahui perawat akan memeriksanya secara teratur sesuai
kebutuhan.
4. Kurangi gangguan sensori dengan berbicara pada pasien dan melibatkan keluarga.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Guillain Bare’ Syndrom ( SGB/GBS) Adalah syndrom klinis yang ditunjukkan oleh awutan akut dari
gejala-gejala yang mengenai saraf perifer dan kranial. Proses penyakit mencakup demielinasi dan
degenasi selaput myelin dari saratf perifer dan kranial. Etiologinya tidak diketahui, tetapi respon
alergi atau respon auto imun sangat mungkin sekali. Beberapa peneliti berkeyakinan bahwa
syindrom tersebut menpunyai asal virus, tetapi tidak ada virus yang dapat diisolasi sampai sejauh
ini. Guillain Bare’ tyerjadi dengan frekwensi yang sama pada kedua jenis kelamin dan pada semua
ras. Puncak yang agak tinggi terjadi pada kelompok usia 16-25 tahun, tetapi mungkin bisa
berkembang pada setiap golongan usia. Sekitar setengah dari korban mempunyai penyalit febris
ringan 2 sampai 3 minggu sebelum awitan, infeksi febris biasanya berasal dari pernapasan atau
gastrointestinal.
Insiden
Sindrom ini menyerang semua kelompok umur , ras, dan kedua jenis kelamin; telah terjadi pada
semua negara; dan dianggap sindrom-bukan musiman. Statistik menujukkan bahwa 5% pasien
akan meninggal karena komplikasi pernapasan-kardiovaskuler., 20% akan menderita parastesia
distal takdapat pulih ( anastesia tangan dan kaki ) dan 75% akan membaik tanpa defisit residual.
Manifestasi Klinis
Flasid, simetris, paralisis asending dengan cepat berkembang. Otot pernapasan dapat saja
terkena, mengakibatkan insufisiensi pernapasan. Gangguan otonomi seperti retensi urine dan
hipotensi postural kadang terjadi. Rekleks-refleks superfisial dan tendon dalam dapat hilang.
Biasanya tidak terjadi kehilangan massa otot karena paralisis yang flasid terjadi dengan cepat.
Pemeriksaan dan Diagnostik
1. Anamnesa : - adanya faktor pencetus 6. Foto ronsen
2. Pemeriksaan Neurologis 7. Pemeriksaan fungsi paru
3. Pada Lumbal Pungsi :
4. Pemeriksaan EMNG (Elekto Myo Neuro Grafi)
5. Darah Lengkap
Komplikasi
- Gagal pernapasan - Komplikasi Plasmafaresis
- Penyimpangan Kardiovaskuler
Penatalaksanaan Medis
- Dukungan Pernapasan
- Dukungan Kardiovaskuler
- Plasmafaresis
- IVIg
- CSFF

PRIORITAS KEPERAWATAN
1. Mepertahankan/menyokong fungsi pernapasan.
2. Meminimalkan/mencegah komplikasi.
3. Memberikan dukungan emosional terhadap pasien dan orang terdekat/keluarganya.
4. Mengendalikan/menghilangkan nyeri.
5. Memberikan informasi tentang proses penyakit/prognosis dan kebutuhan pengobatan.

DIAGNOSA KEPERAWATAN
1. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan paralisis otot, tirah baring, atau nyeri.
2. Resiko terhadap inefektif pola pernapasan; yang berhubungan dengan kelelahan/peralisis
otot skeletal dan diafragma.
3. Resiko tinggi perubahan Perfusi Jaringan berhubungan dengan Disfungsi saraf autonomik,
Hipovolemia., Berhentinya aliran darah ( Trombosis )
4. Perubahan Persepsi – Sensori berhubungan dengan perubahan status organ indra, Ketidak
mampuan berkomunikasi, bicara atau berespon.
5. Resiko terhadap konstipasi yang berhubungan dengan perubahan diit, tirah baring,
imobilitas.
6. Ganguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler
( parastesia, disestisia )
7. Resiko tinggi retensi urine berhubungan dengan kerusakan neuromuskuler.
8. Resiko perubahan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh berhubungan dengan kerusakan
neuromuskuler, menurunnya refleks batuk, menelan dan fungsi GI.
9. Resiko terhadap katakutan dan ansietas; yang berhubungan dengan penyakit kritis,
paralisis, ketidakmampuan untuk berkomunikasi dan ketidak pastian masa depan.

DAFTAR PUSTAKA

1. Hudak, Carolyn M, Barbara M, Gallo. 1996. Keperawatan Kritis: Pendekatan Holistik. Ed,VI. Vol
1. Jakarta: EGC

2. Doenges, Marlyn E. 1999. Rencana Asuhan keperawatan: Pedoman untuk Perencanaan dan
Pedokumentasian Perawatan Pasien. Ed 3. Jakarta: EGC

3. Carpenito, Lynda Juall. 1999. Rencana & Dokumentasi Keperawatan. Ed 2. Jakarta: EGC

4. Robin, dan Kumar. 1995. Patologi 2. Ed 4. Jakarta: EGC

5. Http//www.Perawatpsikiatri.blogspot.com

Anda mungkin juga menyukai