PENDAHULUAN
1
Streptococcus pneumonia dan Neisseria meningitides (Somand & Meurer,
2009). Insidensi bakterial meningitis telah mengalami penurunan seiring
dengan meningkatnya cakupan populasi yang mendapatkan imunisasi terhadap
bakteri penyebab meningitis. Laporan dari studi surveilans menunjukkan
insidensi meningitis bakterial di Amerika Serikat pada tahun 2007 menurun
menjadi 1,5 kasus per 100.000 penduduk dibandingkan dengan insidensi pada
tahun 1998 sebesar 1,9 penduduk per 100.000 penduduk. Mulai munculnya
resistensi S.pneumoniae terhadap antibiotik penicillin dan cephalosporin telah
menambah rumitnya terapi empiris meningits bakterial meskipun terdapat tren
penurunan insidensi dari penyakit ini (Dery & Hasbun, 2007). Insidensi aktual
meningitis viral tidak diketahui secara pasti tetapi diperkirakan mengenai 11
sampai 27 orang per 100.000 penduduk. Meningitis viral dapat disebabkan
berbagai jenis virus. Enterovirus secara statistik merupakan penyebab yang
paling banyak ditemukan namun kadang identifikasi virus penyebab
meningitis tidak dapat dilakukan (Meurer & Lavoie, 2009). Insidensi
ensefalitis secara global bervariasi tergantung lokasi dan populasi. Insidensi di
negara barat berkisar antara 0,7 sampai 13,8 per 100.000 penduduk. Infeksi
Herpes Simplex Virus (HSV) merupakan penyebab ensefalitis tersering
terutama di negara industri. Sebagian besar infeksi HSV disebabkan oleh
HSV-1 dan sekitar 10% disebabkan oleh HSV-2. Insidensi berdasarkan usia
bersifat bimodal dengan puncak insidensi pada kelompok usia muda dan
lansia. Ensefalitis akibat jenis virus lain seperti Varicella Zoster Virus (VZV)
dan cytomegalovirus juga dapat terjadi terutama pada pasien yang mengalami
penurunan daya tahan tubuh (Solomon et al., 2012).
Insidensi meningitis bakterial memang telah menunjukkan penurunan sejak
semakin meluasnya jangkauan vaksinasi terhadap bakteri penyebab tersering,
namun demikian mortalitas akibat meningitis bakterial tidak banyak
mengalami perubahan. Sebuah penelitian epidemiologi bakerial meningitis di
Amerika Serikat menunjukkan bahwa mortalitas akibat meningitis bakterial
pada tahun 2006-2007 sebesar 14,3%, tidak berbeda bermakna dengan
mortalitas pada tahun 1998-1999 yaitu sebesar 15,7% (Thigpen et al., 2011).
Pasien dengan meningitis viral memiliki prognosis mortalitas yang lebih baik
2
namun pada beberapa pasien akan mengalami nyeri kepala persisten,
gangguan mental ringan dan kelemahan umum selama beberapa minggu
hingga beberapa bulan. Pasien yang selamat dari meningitis bakterial memiliki
risiko mengalami gejala sisa yang bersifat jangka panjang dan dapat
menurunkan kualitas hidup. Gejala sisa yang paling sering adalah tuli. Gejala
sisa lain seperti defisit motorik, gangguan kognitif, dan kejang juga perlu
mendapatkan perhatian. Sebanyak 20% penderita akan mengalami lebih dari
satu gejala sisa (Edmond et al., 2010). Pasien dengan ensefalitis terutama yang
disebabkan oleh Herpes Simplex Virus memiliki risiko kematian yang cukup
tinggi bila mengalami keterlambatan diagnosis atau tidak mendapatkan
pengobatan antivirus yang tepat. Sekitar 70% pasien ensefalitis yang tidak
mendapatkan pengobatan akan meninggal. Pasien yang selamat dari ensefalitis
juga berisiko mengalami kerusakan otak permanen sehingga mengakibatkan
gejala sisa yang cukup berat (Rianawati, 2011). Penelitian mengenai
meningoensefalitis yang dilakukan di Rumah Sakit Dr Sardjito Yogyakarta
melaporkan bahwa lebih dari setengah jumlah pasien meningoensefalitis di
bangsal neurologi meninggal. Penelitian tersebut melaporkan kematian pasien
meningoensefalitis pada tahun 2011, 2012, dan 2013 masing – masing sebesar
23,5%, 63%, dan 68%. Mortalitas pasien dalam penelitian tersebut mayoritas
terjadi pada kelompok laki – laki, usia dewasa muda dan usia lanjut, nilai GCS
< 8, serta subjek dengan riwayat kejang (Khairani et al., 2015).
Beberapa kondisi yang menjadi prognosis kematian pada meningitis bakterial
antara lain adanya penurunan kesadaran saat masuk rumah sakit, kejang dalam
24 jam pertama perawatan, peningkatan takanan intrakranial, usia lebih dari
50 tahun serta anak – anak, syok, gagal nafas, dan tertundanya penanganan
awal (Roos & Tyler, 2013). Prediktor yang disebut di atas juga berlaku untuk
ensefalitis. Suatu studi berskala nasional di Perancis menilai faktor risiko yang
beruhubungan dengan kematian pada ensefalitis. Studi tersebut menunjukkan
bahwa sebagian faktor risiko di atas ditambah dengan adanya riwayat terapi
imunosupresif sebelum menderita ensefalitis serta terjadinya sepsis selama
perawatan berhubungan dengan kematian pada ensefalitis (Mailles & Stahl,
2009).
3
Dalam beberapa tahun terakhir pemeriksaan pencitraan seperti Computerized
Tomography scan (CT scan) dan Magnetic Resonance Imaging (MRI) telah
menggantikan peran Electroencephalography (EEG) sebagai alat diagnostik
untuk mendeteksi dan menentukan lokasi lesi serebral termasuk infeksi
intrakranial namun pemeriksaan EEG tetap memiliki peran dan manfaat.
Pemeriksaan EEG memberikan informasi fungsi fisologis otak yang dapat
berguna dalam memperkirakan luasnya gangguan fungsional. Pemeriksaan
EEG juga dapat mengenali adanya ensefalopati toksik metabolik yang
menyertai lesi fokal intrakranial serta menentukan potensi epileptogenik dari
lesi intrakranial. Perubahan pada EEG juga kadang mendahului serta terjadi
lebih lama dibandingkan abnormalitas pada pencitraan. Kombinasi antara
pencitraan dan EEG dapat memberikan informasi fisiologi yang lebih lengkap
(Sirven, 2014). Pada sebagian kasus infeksi intrakranial dapat ditemukan
abnormalitas pada hasil rekaman EEG baik pada gelombang dasar,
perlambatan fokal serta gelombang epileptiform. Sebuah penelitian mengenai
meningitis tuberkulosis melaporkan adanya abnormalitas EEG pada 33 pasien
dari total 54 subjek penelitian. Sebesar 66% abnormalitas adalah berupa
perlambatan difus gelombang dasar. Abnormalitas lainnya antara lain berupa
perlambatan fokal seperti Frontal Intermitent Delta Activity (FIRDA) yang
ditemukan pada 12 pasien, serta gelombang epileptiform pada 2 pasien (Misra
et al., 2000).
Gambaran EEG pada kasus ensefalitis viral sering menunjukkan perlambatan
difus gelombang dasar sebagai abnormalitas yang sering ditemui.
Abnormalitas fokal pada ensefalitis HSV dapat ditemukan pada 75 sampai
80% kasus yaitu berupa perlambatan di regio frontotemporal, gelombang
sharp atau spike di regio temporal, serta gambaran Periodic Lateralizing
Epileptiform Discharge (PLED) dengan frekuensi 2 sampai 3 Hz (Beckham &
Tyler, 2012). Pada pasien yang dicurigai ensefalitis perlu menjalani
pemeriksaan EEG berdasarkan panduan dari Infectious Diseases Society of
America (Tunkel et al., 2008). Panduan tatalaksana ensefalitis dari
Association of British Neurologists and British Infection Association juga
menyebutkan bahwa pemeriksaan EEG juga perlu dilakukan pada pasien
4
infeksi intrakranial dengan perubahan prilaku yang belum dapat dipastikan
latar belakang organik atau psikiatri yang mendasari guna mencari perubahan
ensefalopati dari gambaran EEG. Pemeriksaan EEG juga diperlukan bila ada
kecurigaan bangkitan nonkonvulsif atau bangkitan motorik yang tidak terlalu
nyata (Solomon et al., 2012). Gambaran EEG pada kasus infeksi intrakranial
diperkirakan dapat menjadi salah satu faktor prognosis. Sebuah laporan
penelitian menunjukkan peran signifikan EEG dalam memberikan informasi
klinis, diagnosis, serta prognosis pada pasien dengan ensefalitis akut. Pada
penelitian tersebut didapatkan bahwa gambaran EEG normal dapat
memprediksi survival pasien dengan ensefalitis akut secara independen (Sutter
et al., 2015). Penelitian lain mengenai prognosis ensefalitis HSV menunjukkan
hasil yang berbeda. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa abnormalitas
pada EEG tidak memprediksi luaran fungsional baik saat keluar dari rumah
sakit maupun saat 1 tahun setelah keluar dari rumah sakit (Singh et al., 2015).
Penelitian mengenai ensefalitis HSV yang mendapatkan terapi standar dengan
acyclovir pernah dilakukan guna memprediksi faktor yang mempengaruhi
respon terhadap terapi. Pada penelitian tersebut didapatkan bahwa derajat
kesadaran yang rendah dan adanya lesi yang nampak pada pencitraan secara
signifikan memprediksi kondisi nonresponsif terhadap terapi acyclovir.
Adanya gambaran PLED dari rekaman EEG pada penelitian tersebut tidak
signifikan memprediksi kondisi nonresponsif terhadap terapi acyclovir (Taira
et al., 2009). Penelitian mengenai peran EEG beserta gambaran klinis,
neurofisiologis, dan radiologis untuk prediksi keluaran meningitis tuberculosis
juga pernah dilakukan. Pada penelitian tersebut dilaporkan bahwa defisit
fokal, tingkat kesadaran, dan abnormalitas pada Somatosensory Evoked
Potential (SEP) merupakan faktor prognosis keluaran saat 6 bulan berdasarkan
Indeks Barthel sedangkan gambaran EEG bukan merupakan faktor prognosis
yang signifikan (Misra et al., 2000). Pemeriksaan EEG merupakan
pemeriksaan yang tidak invasif.
Pemeriksaan ini juga banyak tersedia di banyak rumah sakit. Pemeriksaan
EEG pada pasien meningoensefalitis dapat memberikan mafaat dalam
manajemen klinis karena dapat memberikan gambaran fungsional otak pada
5
meningoensefalitis. Hasil dari berbagai penelitian terdahulu mengenai peran
EEG sebagai faktor prognostik terutama dalam hal mortalitas pada pasien
meningoensefalitis masih belum seragam sehingga penelitian lebih lanjut
mengenai hal tersebut masih perlu dilakukan.
6
BAB II
PEMBAHASAN
2.1 Konsep Dasar Penyakit
2.1.1 Definisi
Meningitis adalah radang dari selaput otak yaitu lapisan aracnoid dan
piameter yang disebabkan oleh bakteri dan virus (Judha & Rahil,
2012). Meningitis adalah infeksi akut yang mengenai selaput
meningeal yang dapat disebabkan oleh berbagai mikroorganisme
dengan ditandai adanya gejala spesifik dari sistem pusat yaitu
gangguan kesadaran, gejala rangsang meningkat, gejala peningkatan
tekanan intrakranial, dan gejala defisit neurologi (Widagdo,2011).
7
Menurut Nurofik (2010) meningitis dan encephalitis merupakan salah
satu bentuk dari infeksi Sistem Saraf Pusat. Meningitis adalah
inflamasi atau peradangan yang terjadi pada meningen atau selaput
otak, sedagkan encephalitis sendiri merupakan suatu bentuk inflamasi
yang terjadi pada parenkim otak. Kedua bentuk penyakit ini terkadang
muncul secara bersamaan dan disebut sebagai meningoencephalitis.
Meningoencephalitis yang seringkali disebabkan oleh infeksi virus,
merupakan peradangan pada selaput meningen dan jaringan otak yang
disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme.
Pada pasien meningoencephalitis ditegakkan secara klinis dengan
adanya keluhan demam, penurunan kesadaran, dan kejang. Kejang
yang dialami lebuh kurang 44% anak dengan penyebab Haenophilus
influenzae, 25% oleh Streptococcus pneumoniae, 21 % oleh
Streptococcus, dan 10 % oleh infeksi Meningococcus (Hidayah, 2012)
8
2.1.3 Patofisiologi
Infeksi mikroorganisme terutama bakteri dari golongan kokus seperti
streptokokus, stapilokokus, meningokokus, pneumokokus, dan dari
golongan laindapat menginfeksi tonsil, bronkus, dan saluran cerna.
Mikroorganisme tersebut mencapai otak mengikuti aliran darah.
Di otak mikroorganisme berkembangbiak membentuk koloni, koloni
mikroorganisme itulah yang mmapu menginfeksi lapisan otak
(meningen). Mikroorganisme menghasilkan toksik dan merusak
meningen. Kumpulan toksik mikroorganisme, jaringan meningen yang
rusak, cairan sel berkumpul menjadi satu membentuk cairan kental
yang disebuut pustula. Karena sifat cairannya tersebut penyakit ini
populer dengan meningitus purulenta.
Toksik yang dihasilkan mikroorganisme melalui hematogen sampai
hipotalamus. Hipotalamus kemudian menaikkan suhu sebagai tanda
adanya bahaya. Kenaikan suhu di hipotalamus akan diikuti dengan
peningkatan mediator kimiawi akibat peradangan seperti
prostaglandin, epinefrin, norepinefrin. Kenaikan mediator tersebut
dapat merangsang peningkatan metabolisme sehingga dapat terjadi
kenaikan suhu di seluruh tubuh, rasa sakit kepala, peningkatan
gastrointestinal yang memunculkan rasa mual dan muntal.
Volume pustula yang semakin meningkat dapat mengakibatkan
peningkatan desakan di dalam intrakranial. Desakan tersebut dapat
meningkatkan rangsangan di korteks serbri yang terdapat pusat
pengaturan gastrointestinal sehinggan merangsang munculnya muntah
denagn cepat, juga dapat terjadi gangguan pusat pernapasan.
Peningkatan tekanan intrakranial tersebut juga dapat menggangu
fungsi sensorik maupun motorik serta fungsi memori yang terdapat
pada serebrum sehingga penderita mengalami penurunan respon
kesadaran terhadap lingkungan (penurunan kesadaran). Penurunan
kesadaran ini dapat menurunkan pengeluaran sekresi trakeobronkial
yang berakibat penumpukan sekret di trakea dan bronkial sehingga
menjadi sempit.
9
Peningkatan tekanan intrakranial juga dapat berdampak pada
munculnya fase eksitasi yang terlalu cepat pada neuron sehingga
memunculkan kejang. Respon syaraf perifer juga tidak bisa
berlangsung secara kondusif, ini yang secara klinis dapat
memunculkan respon yang patologis pada jaringan tersebut seperti
munculnya tanda kernig dan brudinsky. Kejang yang terjadi pada anak
dapat mengakibatkan spasme pada otot bronkus. Spasme dapat
mengakibatkan penyempitan jalan nafas (Riyadi & Suharsono, 2010)
2.1.4 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan pada pasien dengan meningoensefalitis yaitu :
a. Antibiotik
b. Pengurangan cahaya ruangan, kebisingan
c. Nyeri kepala diatasi dengan istirahat dan analgesik
d. Asetamenofen dianjurkan untuk demam
e. Kodein, morfin, dan derivat fenotiazin untuk nyeri dan muntah
f. Perawatan yang tidak baik dan pantau denagn teliti (Nelson,
2010)
Sedagkan menurut Linda (2009), penatalaksanaan pada kasus
meningoensefalitis yaitu anak ditempatkan dalam ruang isolasi
pernapasan sedikitnya selama 24 jam setelah mendapatkan terapi
antibiotik IV yang sensitif terhadap organisme penyebab, steroid dapat
diberikan sebagai tambahan untuk megurangi proses inflamasi, terapi
hidrasi intravena diberikan untuk mengoreksi ketidakseimbangan
elektrolit dan memberikan hidrasi. Dalam pemberian cairan ini perlu
dilakukan pengkajian yang sering untuk memantau volume cairan
yang di infuskan untuk mencegah komplikasi kelebihan cairan, seperti
edema serebri. Pengobatan kemudian ditujukan untuk
mengidentifikasi dan mengatasi komplikasi dari proses penyakit.
10
2.1.5 Pemeriksaan Diagnostik
Uji serologi untuk mengetahui jenis virus dan menentukan
etiologi infeksi nonenterovirus
Pemeriksaan neuroimaging (Nelson, 2010)
Pungsi lumbal ; untuk mengetahui adanya sel darah putih dan
sensitivitas mikroorganisme.
Pemeriksaan laboratorium
CT-Scan dan MRI dapat digunakan untuk mengevaluasi
derajat pembengkakan dan tempat nekrosis
Terapi kortikosteroid (deksametason) untuk mengurangi
inflamasi (Elizabeth, 2009)
Ditemukan kadar glukosa serum meningkat.
Kultur urin/urinalisis untuk mengidentifikasi organisme
penyebab.
Kultur nasofaring untuk mengidentifikasi organisme penyebab
Kadar elektrolit serum meningkat jika anak dehidrasi
11
Kebutuhan rasa aman dan nyaman
Kebutuhan oksigenasi
Kebutuhan cairan dan elektrolit
5) Pengkajian pertumbuhan dan perkembangan anak
Masalah pertumbuhan dan perkembangan antara lain akan
terjadi retardasi mental, gangguan kelemahan atau
ketidakmampuan menggerakkan tangan maupun kaki.
2.2.2 Diagnosa Keperawatan
a. Bersihan jalan nafas tidak efektif berhubungan dengan
disfungsi neuromuskular
b. Hipertermi berhubungan dengan proses penyakit
c. Resiko injuri berhubungan dengan kejang tonik klonik,
disorientasi
d. Ketidakseimbangan nutrisi kurang dari kebutuhan tubuh
berhubungan dengan mual, muntah, anoreksia
e. Resiko kejang ulang berhubungan dengn infeksi
12
Monitor tekanan darah, nadi, dan RR
Monitor penurunan tingkat kesadaran
Monitor intake dan output
Berikan antipeuretik
Berikan pengobatan untuk mengatasi penyebab demam
Berikan cairan intravena
Kompres pasien pada lipat paha dan aksila
Selimuti pasien. (NANDA, 2008)
c. Diagnosa 3
Sediakan lingkungan yang aman untuk pasien
Identifikasi kebutuhan keamanan pasien
Hindarkan lingkungan yang berbahaya
Sediakan tempat tidur yang nyaman dan bersih
Batasi pengunjung
Anjurkan keluarga untuk menemani pasien
Pundahkan barang-barang yang dapat membahayakan.
(NANDA, 2008)
d. Diagnosa 4
Kaji adanya alergi makanan
Kolaborasi dengan ahli gizi untuk menentukan jumlah
kalori dan nutrisi yang dibutuhkan pasien
Anjurkan pasien untuk meningkatkan intake Fe
Berikan substansi gula
Yakinkan diet yang dimakan mengandung tinggi serat
untuk mencegah konstipasi
Berikan makanan yang terpilih
Ajarkan pasien bagaimana membuat catatan makanan
harian
Monitor jumlah nutrisi dan kandungan kalori
Berikan informasi tentang kebutuhan nutrisi
13
Kaji kemampuan pasien untuk mendapatkan nutrisi
yang dibutuhkan (NANDA, 2008)
e. Diagnosa 5
Longgarkan pakaian, berikan pakaian tipis yang mudah
menyerap keringat
Berikan kompres hangat
Berikan ekstra cairan
Observasi kejang dan TTV setiap 4 jam sekali
Batasi aktivitas selama anak panas
14
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Meningitis adalah infeksi akut yang mengenai selaput meningeal yang dapat
disebabkan oleh berbagai mikroorganisme dengan ditandai adanya gejala
spesifik dari sistem pusat yaitu gangguan kesadaran, gejala rangsang
meningkat, gejala peningkatan tekanan intrakranial, dan gejala defisit
neurologi (Widagdo,2011).
Kedua bentuk penyakit ini terkadang muncul secara bersamaan dan disebut
sebagai meningoencephalitis. Meningoencephalitis yang seringkali disebabkan
oleh infeksi virus, merupakan peradangan pada selaput meningen dan jaringan
otak yang disebabkan oleh berbagai macam mikroorganisme.
15
DAFTAR PUSTAKA
Riyadi, S., & Suharsono. (2010). Asuhan keperawatan pada anak sakit.
Editor.
Sumitro. Yogyakarta: Gosyen Publishing.
16
Supartini, Y. (2004). Buku ajar konsep dasar keperawatan anak. Editor.
Monica Ester. Jakarta: EGC.
17
Widagdo. (2011). Masalah dan tata laksana penyakit infeksi pada anak. Jakarta:
Sagung Seto.
Wong, D.L. (2003). Pedoman klinis keperawatan pediatrik. Alih bahasa,Monica Ester;
Editor, Sari Kurnianingsih, Edisi 4. Jakarta: EGC
18