Anda di halaman 1dari 33

Encouraging Message

For
My Sister
(Maulana La Eda)

Tulisan sederhana ini merupakan bab ke-20 sekaligus bab terakhir dari buku penulis
yang berjudul (Di Mihrab Tarbiyah): sebagai pesan kepada saudari-saudariku yang tak
kenal lelah dalam perjuangan dan dakwah.

Ada beberapa poin bahasan yang ada di dalamnya yaitu:

-Sudariku… Raihlah Ia Seindah Mungkin


-Antara PR dan Tugas Dakwah & Tarbiyah
-Bahagiakan Suami, Salehkan Anak dan Jayakan Umat
-Saudariku… Inilah Pesonamu Dalam Surga Tuhanmu

Semoga bermanfaat.
ENCOURAGING MESSAGE FOR MY SISTER

"Muhammad shallallahu'alaihi wasallam tidaklah terbantu dalam meneruskan dakwah


ini –setelah izin Allah- melainkan dengan sosok wanita seperti Khadijah
radhiyallahu'anha. Jadikanlah Khadijah sebagai teladan kalian, bukan karena untuk
belajar darinya tentang kulliner, tapi untuk belajar cara membangun sebuah
peradaban."
(Jihad At-Turbani)

Behind every successful man there is a woman. Untaian kata populer berbahasa
Inggris ini sering kali diterjemahkan "di balik kesuksesan seorang pria ada wanita
hebat", sebagai klaim penegasan urgennya peran seorang wanita dalam kesuksesan
seorang pria. Namun, di balik untaian keindahannya ada ketimpangan yang mesti
dipahami oleh seorang wanita muslimah, apalagi para murabbiyah dan mutarabbiyah
yang menjadi penggerak-penggerak dakwah dan perjuangan islam, bahwa wanita
bukanlah sekadar alat dan batu loncatan untuk kesuksesan seorang pria, lalu pada waktu
yang sama ia tenggelam dalam kegelapan sejarah peradaban seakan ia adalah makhluk
khayalan yang tidak pernah ada.

Tapi, hargailah dirinya dengan mutiara kata Jihad At-Turbani yang begitu
berkesan:

‫وراء لك ٔمبمة عظمية امر ٔمبت‬


"Di balik kebesaran sebuah umat ada wanita-wanita hebat."

Lihatlah, betapa gigih Sang Bunda Khadijah radhiyallahu'anha yang membesarkan


umat ini dalam ragam derita dan tragedi lewat perjuangan harta dan jiwanya hingga
hembusan napasnya terhenti. Atau Pandanglah Ibunda Aisyah radhiyallahu'anha yang
dengan kesabarannya mentarbiyah dan menerbitkan "bintang-bintang" para tabiin yang
merubah arah dunia peradaban hingga Allah Ta'ala memanggilnya.

Saudariku… yakinlah bahwa dirimu dalam perspektif islam jauh lebih mulia
dibandingkan kedudukan wanita di mata bangsa apa pun di dunia ini. Engkaulah putri
Khadijah radhiyallahu 'anha yang Allah pernah kirimkan salam langsung dari atas langit
ke tujuh dengan perantaraan penghulu para malaikat, Jibril „alayhissalam. Ketahuilah,
peran dan sumbangsihmu untuk umat ini lebih besar dibanding kaum adam. Engkau
adalah wanita pahlawan yang berperan sebagai ibu, istri, saudari dan guru. Ketahuilah,
bahwa suamimu tidak bisa berbuat apa-apa tanpa kasih sayang dan kecekatan dua
tanganmu, bahkan putra-putrimu tak akan hidup dalam kenyamanan tanpa bimbingan
dan belaian kasih sayangmu.

Ketahuilah saudariku, peranmu kini telah tiba dan dari kedua tanganmu dinanti
kemunculan para daiyah dan murabbiyah sejati pewaris wanita-wanita shahabiyah yang
tangguh. Dari "keluh kesahmu" yang kami anggap sebagai suatu kelemahan tengah
dinanti kemunculan para pahlawan dan pemimpin sejati yang akan berjuang

. Miah Min 'Udzhamaa' Ummatil-Islaam: Hal. 233


membangun peradaban islam yang kini tengah jatuh bangun. Jadilah engkau seorang
pahlawan yang akan dikenang sejarah sebagaimana yang pernah digoreskan oleh
ibundamu Khadijah radhiallahu'anha, atau dilukiskan oleh ibundamu yang lain, Aisyah
radhiyallahu'anha.

Kalianlah harapan umat ini, karena sungguh, ummat Muhammad shallallahu'alaihi


wasallam tidak akan bisa bangkit di tangan para wanita yang hanya sibuk dengan
berbagai resep masakan kuliner, hoby ngerumpi, nonton sinetron, atau traveling atau
hanya berkutat dengan make-up dan mode. Demi Allah, umat ini tak akan bisa bangkit
kecuali di balik tangan sosok wanita yang membawa agama ini dengan hati sanubari
sesuci dan setegar para pejuang shahabiyah radhiyallahu'anhunna. Allah Ta'ala telah
menyebutkan peran kalian ini dalam firman suci-Nya:

‫وو َوو َو ْم َو ْم َون َوع ِم ااْم ُم ْم َو ِمر‬


‫ون ِم اْم َو ْم ُمر ِم‬
‫َووااْم ُم ْم ِمم ُم َون َووااْم ُم ْم ِمم َو ُمث َو ْم ُم ُم ْم َأب ْمو ِما َو ُمء َو ْم ٍضغ َو ْأ ُمم ُمر َو‬
Artinya: "Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian
mereka (adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka menyuruh
(mengerjakan) yawg makruf, mencegah dari yang mungkar." (QS At-Taubah: 71)

Lantaran kaum hawa adalah unsur sangat penting dalam ranah dakwah dan
tarbiyah demi menyongsong kejayaan umat ini, maka mengkhususkan mereka dengan
motivasi-motivasi perjuangan adalah sebuah keniscayaan sekaligus merupakan sunah
Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam. Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu'anhu
mengisahkan:

‫ ف ج ل ا م نفسم م ن ٔمث م‬،‫ ذهب اارج ل حبد ثم‬،‫ اي رس ل هللا‬:‫ج ءث امر ٔمبت إمىل رس ل هللا ملسو هيلع هللا ىلص فل ات‬
‫ ف ٔماته رس ل هللا‬، ‫ ف جمت‬،»‫ «اجمت يف م نذا ونذا يف ماكن نذا ونذا‬:‫ فل ل‬،‫فيه ث ل مم عل م هللا‬
.‫ ف ل مم عل ه هللا‬،‫ملسو هيلع هللا ىلص‬
Artinya: "Seorang wanita mendatangi Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam
dan berkata: "Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah mendapatkan banyak ceramah
(ilmu) darimu, maka siapkanlah untuk kami waktu satu hari agar kami mendatangimu
dan mempelajari apa yang telah Allah ajarkan kepada engkau, maka beliau bersabda:
"Berkumpullah pada hari ini dan itu, di tempat ini dan itu". Maka mereka pun datang
berkumpul pada waktu dan tempat yang ditentukannya, lalu beliau mengajarkan
mereka ilmu yang telah diajarkan Allah kepada diri beliau."

Pengkhususan ini juga merupakan suatu ipmlementasi dari sabda Rasulullah


shallallahu'alaihi wasallam:

. Lihat: Biografi Khadijah radhiyallahu'anha di "Miah min 'Udzhamaa' Ummatil-Islam": Hal.


231-233 , juga lihat terjemahannya oleh saudara saya Ustadz Irsyad Rafi' hafidzhahullah di:
http://wahdah.or.id/khadijah-risalah-suci-tuk-sang-puteri/
. HR Bukhari: 7310, dan Muslim: 2633.
‫ا ْمسْس َوخ ْم ُمظ ا ا ِمل ّمس ِمء َو ْم ًاا‬
Artinya: “Sampaikanlah pesan kebaikan kepada kaum wanita."

Namun, perlu diketahui bahwa untaian nasehat dan goresan motivasi yang
terangkai di penghujung bahasan buku sederhana ini, bukan menunjukkan penulis yang
fakir ini lebih mulia dan lebih saleh dari para muslimah, murabbiyah dan mutarabbiyah
salehah yang mungkin lebih berpengalaman dalam dunia dakwah dan tarbiyah, atau
lebih banyak ibadahnya dan lebih takut kepada Allah Ta'ala. Tapi, anggaplah ia sebagai
tetesan-tetesan embun pagi setelah guyuran hujan akhir malam yang tak reda. Meski
sedikit, tapi semoga tetap menyejukkan hati dan mencerahkan nalar:

‫َوو َوذ ِمنّم ْمر فَو َّنن ا ّمِما ْمن َور ٰى ثَو ْم َوف ُم ااْم ُم ْم ِمم ِم َو‬
‫ِإ‬
Artinya: "Dan tetaplah memberi peringatan, karena sesungguhnya peringatan itu
bermanfaat bagi orang-orang yang beriman." (QS Adz-Dzariyat: 55).
Sudariku… Raihlah Ia Seindah Mungkin

"Engkau mungkin tengah terlelap tidur, namun puluhan cahaya doa untukmu
sedang mengetuk pintu langit; dari ayah bunda yang engkau buat tersenyum, dari sang
suami yang engkau layani dengan indah, dari fakir miskin yang engkau ulurkan tangan
padanya, dari orang sedih yang engkau bahagiakan, atau dari orang sakit yang engkau
hibur. Sebab itu, janganlah meremehkan perbuatan baik sekecil apa pun (demi
meraihnya seindah mungkin)."
(Nawal Al-'Ied)

Setiap kita kadang akan teringat sebuah kenangan hanya dengan sekedar membaca
atau merasakan sesuatu. Begitulah tabiat dan fitrah manusia yang diberikan anugerah
untuk bisa menyimpan memori satu kenangan dan melupakan kenangan lainnya.

Hari ini , ketika saya membuka wall FB-ku, mata saya tertuju pada sebuah poster
yang dihiasi sebuah hadis indah nan menenangkan. Seketika, anganku melayang
kembali beberapa tahun lalu, terkenang masa-masa indah, hanya saja tokoh, latar
tempat, dan waktu kenangan ini seakan sirna di balik indahnya hadis tersebut. Saya
terus mencoba untuk mengingatnya, hanya saja memori otakku seakan tak sanggup lagi
mengembalikannya.

Yang saya kenang hanyalah pertanyaan salah seorang sahabat akrab: "Akhi… ada
orang yang mengatakan bahwa cukuplah wanita itu shalat lima waktu, puasa ramadhan,
menjaga kehormatannya, dan taat suami, sebab ini sudah bisa memasukkannya kedalam
surga, ia tak perlu lagi mengikuti kegiatan ini dan itu, bahkan hadis ini menunjukkan
bahwa wanita itu tidak perlu disibukkan dengan kegiatan dakwah".

Seketika saya langsung teringat hadis indah tersebut yaitu hadis AbdurRahman bin
Auf radhiyallahu'anhu bahwa Rasulullah shallallah'alaihi wasallam bersabda:

‫ اد يل اجل ة م ٔمبي ٔمب اة‬: ‫ و ٔمبط عت زوهج كيل ا‬، ‫ وحفظت فرهج‬، ‫ وظ مت ص ره‬، ‫إمذا ظلت املر ٔمبت مخس‬
‫اجل ة صئت‬
Artinya: "Bila seorang wanita telah shalat lima waktu, berpuasa bulan Ramadhan,
menjaga kemaluannya, dan mentaati suaminya, maka akan dikatakan padanya di
akhirat kelak: "Masuklah ke dalam surga dari pintu mana saja yang engkau
kehendaki".

Ini merupakan salah satu hadis terindah yang pernah saya pelajari, semoga semua
wanita muslimah bisa mengamalkan hadis ini dan mewujudkannya dalam kehidupan
mereka. Allaahumma aamiin.

. Tulisan ini adalah artikel yang penulis tulis beberapa tahun lalu, dimunculkan di sini dengan
beberapa perubahan dan tambahan.
. Dari akun twitter beliau: @Nawal_Al3eed_
. Sekitar empat tahun lalu.
. HR Ahmad: 1661, dengan sanad hasan.
Saudariku… Anda harus yakin bahwa dengan mewujudkan hadis ini Anda akan
menjadi wanita paling bahagia di dunia dan di akhirat. Hanya saja, Anda harusnya tak
membatasi ibadah dengan empat perkara yang disebutkan hadis ini bila ingin meraih
surga-Nya seindah mungkin. Anda jangan rela hanya dimasukkan sebagai penduduk
surga tanpa tahu pada tingkat mana Anda berada, namun bersemangatlah untuk meraih
derajat surga tertinggi dengan semua ibadah dan ketaatan yang Anda sanggupi. Sang
Baginda shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

‫ فَو َوذا َوس َأاْم ُم ُمُت‬،‫ااس َو ِمء َوو ْما َأأل ْمر ِمض‬
‫َّن‬ ‫ َوم َو ْم َو ادلَّن َور َوجذَو ْم ِم َو َومَك َو ْم َو‬،‫هللا‬ ‫ا َّنن ِميف ااْم َوج َّن ِمة ِمم ئ َو َوة د َوَور َوج ٍضة َأبعَو َّند َوه ُم‬
‫هللا ِمللْم ُم َوج ِمه ِمد ْم َو ِم ْميف َوس ِمب ْمي ِمل ِم‬
‫ ِإ‬.‫ و ِمم ُمه ث َوفجر َأب ْم ر ااْمج ِمة‬، ‫ وفَو كَو ُمه عر ُمش اار ْم‬،‫ فَو ن َّن ُمه َأبوس ُم ااْمج ِمة و َأبع َو ااْمج ِمة‬،‫ِإهللا فَو س َأاُم ااْم ِمفردَووس‬
‫ْم َو َو َّن َو ْم َو َّن َو ْم َو ْم َّن ِم َو ْم َو َّن َو َو ُم َو َّن‬ ‫َو ْم ْم ُم ْم ْم َو‬
‫ِإ‬
Artinya: "Sesungguhnya di surga itu terdapat seratus tingkat (derajat). Allah
menyiapkannya untuk para mujahid (orang yang berjihad) di jalan Allah. Jarak antara
satu derajat dengan yang lainnya seperti jarak antara langit dan bumi. Apabila kalian
memohon kepada Allah, maka mohonlah Surga Firdaus, karena sesungguhnya Surga
Firdaus itu adalah surga yang paling baik dan paling tinggi, di atasnya ada Arasy
Allah, dan dari situlah memancar sungai-sungai Surga."

Bila dalam doa saja, kita dianjurkan untuk memilih surga dengan derajat paling
tinggi, maka amalan kita hendaknya ditingkatkan agar kita bisa meraih derajat itu,
karena bukanlah adab yang baik bila kita memohon derajat itu, namun amalan kita
hanya biasa-biasa saja, atau bahkan kita hanya berpangku tangan. Seorang Abu Al-
'Ataahiyah rahimahullah mendendangkan dalam bait syairnya:

‫ااس ِمفي َوة َوَل ْمجت ِمري ع اا بس‬


‫ ِإان َّن‬... ‫حرج اا َوج ت َوومل جسكل مس ا‬
Anda mengharapkan keselamatan (bahkan mendoakannya) namun tidak berusaha
meniti jalannya…
Sungguh, kapal laut itu mustahil berlayar di atas daratan…

Sebab itu, wahai saudariku, optimislah, bila engkau mampu meraih mentari, maka
janganlah rela dengan hanya cukup meraih rembulan. Guru saya Syaikh Dr. Fuad
Bakrain Ash-Shan'ani hafidzhahullah, dahulu seringkali memotivasi hamba yang fakir
ini dengan mutiara bait-bait syair Al-Mutanabbi rahimahullah:

‫ فَو َو ثَو ْمل َو ْم ِم َو دون اا ُّنج ِمم‬... ‫َش ٍضو َوم ُمرو ٍضم‬
‫اذا غ ْممر َوث ىف َو َو‬
‫ِإ‬
Bila engkau berkelana menuntut sebuah cita-cita kemuliaan…
Maka jangan hanya puas tuk meraih yang lebih rendah dari bintang-bintang…

Saudariku! Hadis di atas diucapkan oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam


bukan untuk membatasi gerak gerik diri dan ibadahmu sebagaimana yang mereka
klaim, bukan pula membatasi bahwa kewajiban dirimu hanyalah ada dalam empat

. HR Bukhari: 2790
. Zuhr Al-Aadaab: 3/871
. Syarah Diiwaan Al-Mutanabbi – Al-'Ukbari: 1/166
perkara tersebut seperti yang mereka tuduhkan. Tidak demikian, namun Anda harus
mengumpulkan hadis-hadis yang berkaitan dengan hal ini agar jelas bahwa kewajiban
Anda tidaklah terbatas dalam empat perkara ini, walaupun keempatnya adalah yang
paling utama dan terbesar. Karena pada dasarnya, semua kewajiban bagi laki-laki juga
merupakan kewajiban bagi kaum wanita kecuali pada beberapa amalan pengecualian,
sebagaimana dalam hadis:

‫إممن االس ء صل ئق اارج ل‬


Artinya: "Sesungguhnya kaum wanita itu merupakan saudari kandung (yakni:
memiliki kewajiban yang sama) dengan laki-laki."

Agar Anda lebih memahami penempatan hadis AbdurRahman bin 'Auf di atas
secara tepat, marilah menyimak ucapan seorang ulama kita, Al-'Allamah Abdur-Rauf
Al-Munawi rahimahullah, beliau berkata: "Bila anda bertanya padaku: Kenapa hadis ini
hanya membatasi penyebutan shalat dan puasa, tanpa menyebut rukun-rukun islam
lainnya (dua kalimat syahadat, zakat dan haji)?. Maka aku akan menjawab: "(Shalat dan
puasa ini disebutkan secara khusus) dikarenakan terlalu banyaknya kelalaian kaum
wanita dari perkara shalat dan puasa, serta banyaknya kerusakan dalam komunitas
mereka, dan kedurhakaan terhadap suami. Juga dikarenakan secara umum kaum wanita
tidaklah memiliki harta yang mencapai kadar nishab zakat, atau yang bisa mencapai
biaya wajib haji, sehingga hadis ini hanya membatasi perkara yang dominan bisa
disanggupi oleh kaum wanita di setiap kondisi".

Dari ucapan beliau ini, kita semua bisa memahami bahwa penyebutan empat
kewajiban dalam hadis di atas jangan dipahami secara sempit dan jangan dijadikan
alasan untuk membatasi gerak gerik wanita dari melaksanakan kewajiban lainnya baik
berupa ibadah kepada Allah Ta'ala seperti ibadah haji, zakat, mendidik, mengajar,
bertarbiyah, berdakwah, dan lain sebagainya bila ia mampu, ataupun berupa hak yang
harus ia dapatkan berupa mendapatkan pendidikan yang layak, atau hak lainnya.

Sebab itu, bertarbiyahlah, juga berdakwalah sesuai kesanggupanmu. Hadirilah


kegiatan-kegiatan tarbiyah, ta'lim, dan dakwah yang engkau ikuti, sebab itu adalah suatu
kewajiban yang diembankan Allah atas dirimu. Dalam satu hadis disebutkan:

‫طلب اا مل فر ة ع لك مسمل‬
Artinya: "Menuntut ilmu wajib bagi setiap muslim".
Lebih dari itu, menghadiri kajian-kajian dan majelis ilmu adalah suatu keutamaan
dan kemuliaan bagi seorang wanita, Aisyah radhiyallahu'anha memuji jenis wanita
muslimah seperti ini dalam salah satu ucapannya;

‫احل ء ٔمبن خفل يف ادل‬ ‫مي‬ ‫ن االس ء نس ء ا ٔمألنع ر مل‬

. HR Abu Daud: 236 dan Tirmidzi: 133, shahih.


. Faidh Al-Qadir: 1/392.
. HR Ibnu Majah: 1/5. Hadis ini diperselisihkan kesahihannya oleh para ulama, meskipun
tampaknya daif tapi maknanya benar, karena seorang wanita wajib menuntut ilmu tentang hal-
hal yang wajib baginya.
Artinya: "Sebaik-baik wanita adalah wanita kaum Anshar, rasa malu mereka tidak
lantas menghalangi mereka dari rutinitas mempelajari agama ini".

Imam Ibnu Hazm rahimahullah menuturkan: "Wajib bagi kaum wanita untuk
keluar menuntut ilmu agama, sebagaimana diwajibkan atas kaum laki-laki, juga wajib
atas seluruh mereka (kaum wanita) seperti halnya laki-laki untuk mengetahui hukum-
hukum thaharah (bersuci), shalat, puasa, serta perkara yang halal atau yang haram dari
jenis makanan, minuman, dan pakaian, serta wajib atas mereka untuk mengetahui ilmu
berupa ucapan atau amalan baik dengan diri mereka sendiri atau dengan menghadiri
majelis orang yang mengajari mereka, dan seorang imam (penguasa) wajib mendorong
manusia untuk hal tersebut (menuntut ilmu)."

Dari sisi inilah, para wanita sangat dianjurkan untuk menuntut ilmu dan menghadiri
majelis-majelis ilmu, tentunya dengan tetap memperhatikan adab-adab islami tatkala
keluar rumah. Imam Ibnul Jauzi rahimahullah berkata: "Sering aku menganjurkan
kepada manusia agar mereka menuntut ilmu syar‟i karena ilmu laksana cahaya yang
menyinari. Menurutku kaum wanita lebih dianjurkan dibanding kaum laki-laki karena
jauhnya mereka dari ilmu agama dan hawa nafsu begitu mengakar dalam diri mereka.
Kita lihat seorang putri yang tumbuh besar tidak mengerti cara bersuci dari haid, tidak
bisa membaca Al Qur‟an dengan baik dan tidak mengerti rukun-rukun Islam atau
kewajiban istri terhadap suami. Akhirnya mereka mengambil harta suami tanpa izinnya,
menipu suami dengan anggapan boleh demi keharmonisan rumah tangga serta perkara-
perkara yang haram lainnya.”

Hal inilah yang ditunjukkan oleh kaum wanita salaf, sebagaimana yang
dikisahkan oleh Abu Sa'id Al-Khudri radhiyallahu'anhu dalam hadis: "Seorang wanita
mendatangi Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam dan berkata: "Wahai Rasulullah,
kaum laki-laki telah mendapatkan banyak ceramah (ilmu) darimu, maka siapkanlah
untuk kami waktu satu hari agar kami mendatangimu dan mempelajari apa yang telah
Allah ajarkan kepada engkau." Maka beliau bersabda: "Berkumpullah pada hari ini dan
itu, di tempat ini dan itu". Maka mereka pun datang berkumpul pada waktu dan tempat
yang ditentukannya, lalu beliau mengajarkan mereka ilmu yang telah diajarkan Allah
kepada diri beliau."

Oleh karena itu, sudah sepantasnya wanita muslimah giat dan tekun bertarbiyah
dan menuntut ilmu yang wajib atas dirinya, sebab manfaatnya akan tertularkan kepada
putra-putrinya dan generasi masa depan umat ini, juga karena harapan terbesar dari
keikutsertaan kaum muslimah dalam berbagai majelis ilmu adalah mengembalikan
peran mereka sebagai pendidik generasi rabbani dan qurani, sebagaimana yang
diperankan oleh para wanita muslimah di masa salaf.

. HR Muslim: 332
. Al-Ihkaam: 1/325.
. Ahkam An-Nisa‟: 6.
. HR Bukhari: 7310, dan Muslim: 2633.
Lalu tentang hukum wanita berdakwah, apakah wajib seperti halnya laki-laki?

Bila para ulama telah mewajibkan kaum wanita untuk mempelajari ilmu
kedokteran dan menyatakan bahwa hukum wanita muslimah mempelajari ilmu
kedokteran adalah fardhu kifayah, agar menjadi dokter bagi kaum muslimah lainnya,
maka perkara tarbiyah, dakwah dan pembinaan kader wanita muslimah seharusnya lebih
wajib lagi karena permasalahan agama dan dakwah tentu lebih penting dari sekedar
ilmu kedokteran, apatah lagi dakwah di tengah-tengah kaum wanita terlalu sulit dan
berbahaya bagi kaum laki-laki.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: "Hukum wanita (dalam dakwah) adalah
seperti laki-laki, ia wajib berdakwah kepada Allah, dan menegakkan amar makruf nahi
mungkar, karena dalil-dalil wajibnya dakwah dari Al-Quran dan Sunnah mencakup laki-
laki dan perempuan, kecuali kalau ada dalil yang mengkhususkannya… di antara dalil
tersebut adalah:

‫وو َوو َو ْم َو ْم َون َوع ِم ااْم ُم ْم َو ِمر‬


‫ون ِم اْم َو ْم ُمر ِم‬
‫َووااْم ُم ْم ِمم ُم َون َووااْم ُم ْم ِمم َو ُمث َو ْم ُم ُم ْم َأب ْمو ِما َو ُمء َو ْم ٍضغ َو ْأ ُمم ُمر َو‬
Artinya: “Dan orang-orang yang beriman, lelaki dan perempuan, sebagian mereka
(adalah) menjadi penolong bagi sebagian yang lain. Mereka memerintahkan
(mengerjakan) yang ma‟ruf dan mencegah dari yang munkar.” (QS. At-Taubah: 71).

Sebab itu, wajib baginya untuk berdakwah kepada Allah dengan memperhatikan
adab-adab syar'i yang sama dengan kaum laki-laki, dan juga wajib untuk tetap bersabar
dan ikhlas mengharap pahala dari Allah… bahkan ia hendaknya memperhatikan perkara
penting lain yaitu menjadi contoh bagi wanita lainnya dalam sikap 'iffah (menahan diri
dari dosa dan kelalaian), berhijab, dan beramal saleh, serta menjauhkan diri dari tabarruj
(berhias dan menammpakkan aurat), dan ikhthilat (campur baur dengan laki-laki) agar
dakwahnya mencakup ucapan dan amalan".

Beliau juga berkata: "Wajib bagi wanita yang memiliki ilmu untuk mengemban
kewajiban dakwah dan pengarahan kepada kebaikan sesuai kesanggupannya, dengan
dalil firman Allah Ta'ala:

‫ِميل َور ّم َوِمم ِم اْم ِم ْم َو ِمة َووااْم َو ْم ِمع َوظ ِمة ااْم َو َوسْس َو ِمة َوو َوج ِمداْم ُم ْم ِم ا َّن ِم ِم َو َأب ْمح َوس ُم‬
‫ا ْمد ُم ا َوىل َوسب ِم‬
‫ِإ‬
Artinya: "Serulah (manusia) ke jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran
yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik." (QS An-Nahl: 125)

Dan ayat-ayat tentang kewajiban berdakwah seperti sangat banyak, dan semuanya
mewajibkan laki-laki dan wanita."

Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah menjawab ketika ditanya "Apakah dakwah itu


juga wajib bagi kaum wanita dan di bidang apa saja ia diwajibkan berdakwah?": "Kita
harus mengetahui sebuah kaedah bahwa sesuatu yang diperintahkan bagi kaum laki-
laki, maka ia juga merupakan perintah kepada kaum wanita kecuali bila ada dalil yang

. http://www.binbaz.org.sa/mat/211 : secara ringkas.


. Majmu' Fatawa Ibni Baaz: 7/325
menunjukkan hal itu (yakni pengkhususannya pada laki-laki saja). Lalu kita menoleh
pada perkara dakwah; apakah perintah khusus untuk kaum laki-laki atau ia umum untuk
laki-laki dan wanita? Dan yang jelas dari Kitabullah dan sunah Rasulullah
shallallahu'alaihi wasallam adalah bahwa ia (perintah dakwah) ditujukan secara umum
pada keduanya, hanya saja objek dakwah kaum wanita tidak sama dengan objek dakwah
kaum laki-laki. Karena wanita berdakwah di komunitas kaum wanita saja, bukan di
komunitas laki-laki. Jadi, ia hendaknya berdakwah pada komunitas yang bisa ia jadikan
objek dakwah yaitu komunitas kaum wanita baik di sekolah-sekolah atau masjid-
masjid."

Sebab itu, apapun peran Anda dalam dunia dakwah dan tarbiyah atau pengkaderan,
maka ia adalah suatu kewajiban yang mesti Anda emban. Bila bukan Anda siapa lagi
yang akan mengembannya? Siapa yang akan mengemban amanah ini bila semua wanita
hanya ingin mengurung dirinya di dalam kamarnya, dan mencukupkan diri dengan
empat amalan di atas?

Jadilah seperti Sang Bunda Aisyah radhiyallahu'anha yang menghabiskan usianya


sepeninggal Rasulullah sebagai pembina, pengkader dan pendidik generasi tabiin dari
kalangan laki-laki dan perempuan, hingga menghasilkan banyak kader dan ulama
handal seperti kemenakan-kemenakannya; Urwah bin Zubair, Al-Qasim bin
Muhammad, dan 'Amrah binti AbdurRahman rahimahumullah.

Jadilah seorang hamba yang senantiasa menebar kebaikan di tengah-tengah umat


ini sembari selalu menghayati hadis pahala amal jariyah dalam dakwah dan tarbiyah:

‫َو ْم دَو ُم ِمم ْم غَو ْم ِم َأب ْمن َو ْم ُمل َوط ِمم ْم ُب ُمج ِمر ِم ْمِه َو ْم‬
‫َش ٌء َوو َوم ْم‬ ‫َو ِمَع َول ِبِم َو‬ ‫َوو َأب ْمج ُمر َوم ْم‬ ‫َوم ْم َوس َّن ِمىف اَل ْمس َو ِمم ُمسْس َّن ًاة َوح َوسْس َو ًاة فَو َو ُمَل َأب ْمج ُمر َوه‬
‫َش ٌء‬ ‫ِمم ْم َو ْم ِمد ِم ِمم ْم غَو ْم ِم َأب ْمن َو ْم ُمل َوط ِمم ْم َأب ْمو َوز ِمار ِم ْمِه َو ْم‬ ‫َو ِمَع َول ِبِم َو‬ ‫َوو ِمو ْمز ُمر َوم ْم‬ ‫َوس َّن ِمىف اَل ْمس ِإ َو ِمم ُمسْس َّن ًاة َوس ِم ّم َو ًاة َو َون عَولَو ْم ِمه ِمو ْمز ُمر َوه‬
‫ِإ‬
Artinya: "Siapa yang mencontohkan sunnah yang baik di dalam Islam maka
baginya pahala dan pahala orang yang mengerjakan sunnah tersebut setelahnya tanpa
mengurangi dari pahala-pahala mereka dan siapa yang mencontohkan sunnah yang
buruk di dalam Islam maka baginya dosa dan dosa yang mengerjakan sunnah yang
buruk tersebut setelahnya tanpa mengurangi dosa-dosa sedikitpun pelakunya"

Mengenai hadis ini, Syaikhah Prof. Dr. Ruqayyah Al-Muharib hafidzhahullah


menasehati kaum wanita agar "ia memberi pengaruh positif dalam perjalanan dakwah
dan tarbiyah, agar ia meninggalkan jejak dan jasa untuk umat ini, di mana pahalanya
akan terus mengalir pada dirinya dari generasi ke generasi berikutnya meskipun ia telah
hancur berkalang tanah".

Saudariku… Inilah kewajiban Anda, jalanilah ia sebagai suatu ibadah dan


ketaatan… dan ingatlah selalu: Raihlah surga tuhanmu seindah mungkin!

. Secara ringkas dari Fataawa Tahummu Al-Mar'ah. Dinukil dari:


www.fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=225532 .
. HR Muslim: 1017.
. Lihat: www.lahaonline.com/articles/view/14289 .htm
Antara PR dan Tugas Dakwah & Tarbiyah

"Kita (kaum wanita) mesti berjuang melewati berbagai rasa lelah dan penderitaan
dalam mendirikan wadah-wadah tarbiyah dan seminar keilmuan dengan misi yang
jelas dan visi jangka panjang. Saya berharap agar setiap wanita yang berilmu segera
mengambil peran di medan dakwah serta ikut serta dalam memberikan potensi dan
skillnya."
(Ruqayyah Al-Muharib)

Rumah hendaknya menjadi sebuah istana terindah bagi seorang wanita. Di


sanalah ia mesti melewatkan hari-harinya dalam ragam aktifitas dan kegiatan. Sebagai
seorang ibu, ia tentu menyibukkan diri dengan khidmah terhadap suami tercinta, putra-
putri tersayang serta keasrian rumahnya. Sebagai seorang istri misalnya, ia harus fokus
melayani sang suami dan seorang jomblo, aktifitas rumahnya adalah melayani kedua
orangtuanya dengan baik. Dengan status apa pun, seorang wanita dalam islam wajib
menjadi pengurus rumah dan pendidik handal bagi putra-putrinya. Allah Ta'ala telah
memerintahkan ini dalam firman-Nya:

‫ااع َو َوت َووب ٓم ِمث َو َّناال َو َوت َوو َأب ِمط ْم َو َّن َو‬
‫اا َوو َور ُمس َو ُمو‬ ‫َووكَو ْمر َون ِميف ُم ُم ِمح ُم َّن َوو َوَل ثَو َو َّن ْمج َو ثَو َو ُّن َو ااْم َوج ِمه ِمل َّن ِمة ْم ُاأل َو‬
‫وىل َوو َأب ِمك ْم َو َّن‬
Artinya: "Dan hendaklah kamu tetap di rumahmu dan janganlah kamu berhias
dan bertingkah laku seperti orang-orang Jahiliyah yang dahulu dan dirikanlah shalat,
tunaikanlah zakat dan ta`atilah Allah dan Rasul-Nya." (QS Al-Ahzaab: 33).

Dalam ayat ini Allah Ta'ala memerintahkan wanita agar tetap menetap dalam
rumah dan tidak keluar kecuali ada keperluan tertentu. Dia juga melarang mereka dari
tabarruj jahiliyah berupa campur baur dengan kaum laki-laki bukan mahram,
menampakkan perhiasan dan aurat di hadapan mereka. Ibnu Mas'ud radhiyallahu'anhu
berkata: "Tidaklah ada ibadah seorang wanita kepada Allah yang lebih besar
dibandingkan takwa dan menetapnya dirinya di rumahnya."

Hal ini bukanlah berarti sebuah pembatasan dan pelanggaran terhadap hak-hak
asasi kaum muslimah, bahkan ia adalah sebuah kemuliaan bagi dirinya sesuai dengan
tabiat dan karakter fitrah yang Allah Ta'ala takdirkan baginya. Dalam islam, kesucian
dan kehormatan seorang wanita adalah sebuah keniscayaan, haram untuk dinodai dan
diburukkan citranya, sebab itu Allah Ta'ala mensyariatkan banyak hal demi terjaganya
kesucian dan kemuliaan dirinya, termasuk pembatasan untuk tetap menetap dalam
rumah mereka. Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: "Allah Ta'ala menyebutkan
(dalam ayat) bahwa menetapnya wanita di rumahnya adalah "qaraar" (yakni
ketenangan). Makna istilah ini begitu agung, sebab menetapnya ia di rumahnya
merupakan faktor adanya ketentraman dirinya, ketenangan hatinya dan kesejukan
dadanya. Adapun keluarnya dirinya dari "qaraar" ini maka akan menyebabkan

. www.alukah.net/social/0/8795 /
. Lihat: Tafsir Ibni Katsir: 6/49 dan At-Tafsir wa Al-Bayan: 4/1974
. Tafsir As-Sam'ani: 4/279
keguncangan jiwa, kebimbangan hati, kesempitan dada serta adanya peluang bahaya
bagi dirinya."

Namun, pembatasan yang penuh hikmah ini tidaklah secara mutlak, karena
islam sebagai agama yang relevan di setiap era dan tempat, memberikan keluwesan
baginya untuk keluar dari rumahnya bila memiliki keperluan tertentu yang mesti ia
selesaikan. Hal ini ditegaskan oleh Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam kepada
Ibunda Aisyah dan Saudah binti Zam'ah radhiyallahu'anhuma:

‫هللا اَو ُم َّن ٔمبن ُم‬


‫ختر ْمج َو حل اجئ‬ ‫كد ٔمبذن ُم‬
Artinya: "Allah Ta'ala telah mengizinkan kalian untuk keluar (dari rumah
kalian) untuk memenuhi keperluan-keperluan kalian."

Imam Ibnu Baththal rahimahullah berkata: "Hadis ini menunjukkan bolehnya


wanita untuk keluar untuk semua keperluan yang dibolehkan baginya, seperti
menziarahi ayahnya, ibunya, mahramnya, kerabatnya dan keperluan lain yang ia
butuhkan, dan ini hukumnya sama dengan keluarnya ia ke masjid (yang dibolehkan)."

Bila demikian, maka apa hukumnya seorang wanita melakukan aktifitas


tarbiyah, ta'lim dan melakukan aktifitas dakwah di luar rumahnya?

Jika hadirnya seorang wanita di masjid untuk menunaikan shalat yang hanya
memiliki hukum boleh tetap dibolehkan dan seorang suami atau walinya tidak boleh
melarangnya, maka ketika ia keluar untuk menuntut ilmu yang wajib baginya berupa
hadir ta'lim atau tarbiyah, atau untuk berdakwah sebagai satu kewajiban baginya; tentu
lebih dibolehkan karena ia berkaitan dengan kewajiban dirinya, bukan semata-mata
suatu hal yang boleh.

Terkait keluarnya wanita untuk berdakwah ini, maka di sini penulis menukilkan
beberapa fatwa dari para ulama rahimahumullah.

1)-Fatwa Syaikh Ibnu Baz rahimahullah. Beliau ditanya: Apakah yang harus dipilih
oleh seorang wanita pendakwah; ia keluar untuk berdakwah (dengan waktu yang
termenej) atau ia menetap saja di rumahnya untuk berkhidmah pada suami dan putra-
putrinya?

Beliau menjawab: "Bila seorang wanita itu memang memiliki skill untuk
berdakwah dengan ilmu agama yang ia miliki dan metode yang baik, maka wajib bagi
dirinya untuk berusaha mendakwahi saudari-saudarinya seiman, karena pendakwah
wanita (zaman sekarang) sangat sedikit, di samping dakwah ini adalah fardhu kifayah.
Pada zaman ini, fitnah begitu menjamur, sedangkan jumlah para aktifis dakwah dari
kalangan wanita tidak bisa cukup untuk mendakwahi komunitas wanita. Jadi, yang lebih
utama baginya adalah berdakwah kepada Allah, dan (boleh baginya) mewakilkan

. Majmu' Fatawa Ibni Baaz" 1/422


. HR Bukhari: 5237
. Syarah Shahih Bukhari: 7/364
wanita yang ia percayai kesalehan dan amanahnya untuk memelihara putra-putrinya
ketika ia keluar berdakwah."

2)-Fatwa Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah. Beliau ditanya tentang perkara yang


wajib diperhatikan wanita saat ia berdakwah, dan juga apakah para shahabiyah dulu
juga berdakwah?

Beliau menjawab: "Perkara yang wajib diperhatikan wanita pendakwah adalah;


perkara yang ditunjukkan oleh Al-Quran dan Sunah berupa memakai pakaian yang
tertutup, menjaga diri, menutup aurat yang wajib ia tutup, dan ia harus bersikap hikmah
dan bijak dalam dakwahnya, karena ia lebih membutuhkan sikap hikmah dari pada laki-
laki, sebab ia berdakwah langsung di tengah kaum wanita yang memiliki sifat perasa,
lemahnya pemahaman, dan sedikitnya ilmu … Adapun berkaitan dengan sahabat
wanita, maka mereka tidak diragukan jika mereka juga mendakwahi komunitas wanita
kepada Allah…"

Di antara atsar shahabiyah yang menunjukkan bahwa sebagian mereka


berdakwah, bahkan menegakkan amar ma'ruf nahi mungkar secara khusus adalah kisah
Yahya bin Abi Sulaim rahimahullah yang mengisahkan: "Saya menyaksikan Samraa'
binti Nahiik radhiyallahu'anha -seorang shahabiyah yang pernah melihat Rasulullah
shallallahu'alaihi wasallam- memakai dir'un (pakaian luar wanita) yang tebal dan
khimar (penutup kepala wanita) yang tebal, sedangkan di tangannya ada cambuk yang
ia gunakan untuk mengajari manusia, ia memegangnya untuk memerintahkan mereka
yang makruf dan melarang dari yang mungkar."

Adapun terkait keluarnya dirinya untuk bertarbiyah dan menuntut ilmu di


kajian-kajian atau ta'lim serta terkait izin dari walinya atau suaminya untuk itu, maka
fatwa para ulama sangatlah banyak. Hal ini telah juga telah ditunjukkan oleh hadis Abu
Said Al-Khudri radhiyallahu'anhu: "Seorang wanita mendatangi Rasulullah
shallallahu'alaihi wasallam dan berkata: "Wahai Rasulullah, kaum laki-laki telah
mendapatkan banyak ceramah (ilmu) darimu, maka siapkanlah untuk kami waktu satu
hari agar kami mendatangimu dan mempelajari apa yang telah Allah ajarkan kepada
engkau." Maka beliau bersabda: "Berkumpullah pada hari ini dan itu, di tempat ini dan
itu". Maka mereka pun datang berkumpul pada waktu dan tempat yang ditentukannya,
lalu beliau mengajarkan mereka ilmu yang telah diajarkan Allah kepada diri beliau."

Di sini penulis hanya akan menukilkan beberapa fatwa mereka:

1)-Ucapan Ibnu Hazm rahimahullah. Beliau menuturkan: "Wajib bagi kaum wanita
untuk keluar menuntut ilmu agama, sebagaimana diwajibkan atas kaum laki-laki, juga
wajib atas seluruh mereka (kaum wanita) seperti halnya laki-laki untuk mengetahui
hukum-hukum thaharah (bersuci), shalat, puasa, serta perkara yang halal atau yang
haram dari jenis makanan, minuman, dan pakaian, serta wajib atas mereka untuk
mengetahui ilmu berupa ucapan atau amalan baik dengan diri mereka sendiri atau

. Dari buku: Mawaaqif Mudhiiah fi Hayaati Al-Imam Ibni Baz.


. Majmu' Fatawa Ibni 'Utsaimin: 26/119-120
. HR Ath-Thabarani dalam Al-Kabir: 785, hasan.
. HR Bukhari: 7310, dan Muslim: 2633.
dengan menghadiri majelis orang yang mengajari mereka, dan seorang imam
(penguasa) wajib mendorong manusia untuk hal tersebut (menuntut ilmu)."

2)-Fatwa Ibnu Baaz rahimahullah. Beliau berkata -sebagai jawaban bagi penanya yang
bertanya tentang perihal wanita pendakwah yang dilarang oleh orang tuanya dari
aktifitas dakwah, kajian dan ta'lim, dengan berdalilkan ayat "Dan menetaplah kalian di
rumah-rumah kalian"-: "Bila seorang wanita memiliki ilmu maka ia hendaknya
berdakwah kepada Allah … Dan wajib bagi ayahnya untuk tidak melarang dirinya dari
keluar berdakwah di komunitas wanita dengan tetap berhijab dan menjauhkan diri dari
faktor adanya fitnah. Tentunya, hukum asal wanita adalah menetap di rumahnya, dan ini
lebih utama dan selamat dengan dalil firman Allah tersebut. Akan tetapi, keluarnya ia
untuk suatu keperluan penting atau untuk berdakwah kepada Allah atau untuk menuntut
ilmu atau silaturrahim atau menjenguk orang sakit atau untuk takziyah; hukumnya boleh
dan masyru', karena yang dilarang (dalam ayat) adalah keluarnya ia dari rumahnya
tanpa adanya keperluan. Sehingga, bila keluarnya adalah untuk keperluan syar'i, maka
adalah sebuah keharusan. Sebab itu, wajib bagi para ayah dan para wali untuk
mendukung dirinya dalam berbuat kebaikan … Selama mereka mengetahui bahwa ia
keluar untuk suatu kebaikan, seperti ke sekolah yang jauh dari ikhtilat, atau ke halaqah
ilmu kaum wanita, atau untuk berdakwah di komunitas wanita … maka wajib untuk
tidak dilarang, bahkan wajib untuk didukung dan dibantu, sebagaimana dahulu para istri
Nabi shallallahu'alaihi wasallam keluar untuk menyelesaikan maslahat-maslahat umum
umat dan juga maslahat khusus mereka padahal pada merekalah ayat "Dan menetaplah
kalian di rumah-rumah kalian" Allah turunkan. Tapi, mereka tetap keluar untuk
takziyah, pesta walimah dan juga keperluan lainnya. Dan pada diri mereka terdapat
berbagai teladan (bagi kaum wanita). Radhiyallahu'anhunna wa ardhaahunna."

3)-Fatwa Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah. Beliau ditanya: Apa hukum keluarnya


seorang wanita untuk menghadiri seminar dan kajian secara terus menerus? Misalnya di
waktu ashar ia menghadiri halaqah tahfidz Al-Quran, di waktu isya ia menghadiri
seminar sebagian para ulama. Apakah aktifitas ini boleh bila walinya membolehkannya?
Apakah ini merupakan bentuk menyerupai laki-laki dalam hal terlalu banyak keluar dan
apakah ia juga menyelisihi ayat "Dan menetaplah kalian di rumah-rumah kalian"?

Beliau menjawab: "Tidak mengapa bagi wanita untuk keluar menghadiri halaqah
tahfidz Al-Quran wanita sebab ini merupakan bentuk kebaikan. Ia juga tidak mengapa
menghadiri seminar atau kajian tersebut, bila dirinya bisa mengambil manfaat darinya,
meskipun seminar atau kajian tersebut berulang setiap malam, dengan syarat bila ia
merasa aman dari fitnah dan disetujui oleh walinya. Dan ini sama sekali tidak
menyelisihi ayat "Dan menetaplah kalian di rumah-rumah kalian", karena ia tidak
keluar rumah (saat itu) kecuali untuk meraih sebuah maslahat yang lebih besar dari
menetapnya di rumah."

Inilah beberapa fatwa ulama terkait bolehnya seorang wanita untuk keluar
menghadiri kajian ilmu, tarbiyah dan melakukan aktifitas dakwah di komunitas kaum

. Al-Ihkaam: 1/325.
. Fatawa Nur 'ala Ad-Darb: Kaset no. 128
. Fatawa Nur 'ala Ad-Darb: Kaset no. 315 dan Fatawa Nur 'ala Ad-Darb – Li Al-'Utsaimin:
23/2 (Maktabah Syamilah).
wanita. Namun para ulama rahimahumullah menyatakan kebolehan ini dengan beberapa
syarat agar ia tetap berada dalam koridor syar'i dan terjauhkan dari fitnah atau mafsadat
yang menimpanya. Syarat-syarat tersebut adalah:

1-Adanya izin dari wali. Bila ia masih jomblo maka hendaknya meminta izin dari ayah
atau saudaranya, dan bila sudah menikah, maka ia meminta izin dari suaminya, karena
keluarnya dirinya dari rumah mesti diketahui dan diridai oleh wali tersebut. Wali wanita
hendaknya tidak boleh menghalangi mereka untuk menuntut ilmu yang wajib ia
dapatkan di luar rumah, atau menunaikan kewajiban dakwah, tarbiyah atau mengajar di
luar rumah, karena itu merupakan bentuk kewajiban baginya. Inilah yang ditegaskan
Syaikh Ibnu Baz rahimahullah dalam fatwanya sebelumnya. Bila ia keluar ke masjid
saja tidak boleh dilarang padahal itu boleh dan kurang utama, maka menunaikan
kewajiban menuntut ilmu atau berdakwah, maka terlebih lagi tidak boleh dihalangi.
Sebagaimana dalam hadis:

‫ا َوذا ا ْمسْس َوخ ْأ َوذ َو ُم ْم ِمن َوس ُما ُم ْم ِم لل َّن ْم ِمل ا َوىل امل َو ْمسجِم ِمد فَو ْأ َوذن ُم ا ا َو ُم َّن‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Artinya: "Bila istri-istri kalian meminta izin dari kalian untuk pergi ke masjid di
malam hari maka izinkanlah mereka."

Seorang wali atau suami boleh menghalangi mereka untuk keluar untuk tujuan
itu bila pada saat-saat tertentu menetapnya mereka di rumah memiliki maslahat yang
lebih besar, tapi tidak setiap saat. Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah pernah ditanya
oleh dua pemudi tentang ayah mereka yang melarang mereka berdua dari menghadiri
kajian ilmu di masjid. Maka beliau menjawab: "Kami berpandangan bahwa ayah kalian
hendaknya memikirkan maslahat antara hadirnya kalian pada kajian di masjid tersebut
dan absennya kalian berdua darinya. Bila beliau memandang bahwa menetapnya kalian
di rumah memiliki maslahat (yang lebih besar) maka ia boleh melarang kalian darinya.
Sebaliknya, bila beliau memandang bahwa hadirnya kalian di masjid memiliki maslahat
(yang lebih besar) dan tidak memiliki mafsadat yang mengalahkan maslahat; maka saya
menganjurkan dirinya agar tidak menghalangi kalian; karena para wanita sahabat
dahulu juga seringkali hadir di masjid pada masa Nabi shallallahu'alaihi wasallam untuk
mendengarkan ceramah."

Bila jarak tempat yang dituju seorang wanita adalah jarak safar yaitu sekitar 80
km lebih, maka ia wajib ditemani oleh mahram laki-lakinya, dengan dalil:

‫َوَل َو ِمَي ُّنل ِمَل ْمم َور َأب ٍضت ثُم ْم ِمم ُم ِم ِمهلل َووااْم َو ْم ِمم األ ٓم ِمخ ِمر ج ُم َوس ِمف ُمر َوم ِمس َو َوت َو ْم ٍضم َووا َو ْم َو ٍضَل ا َّنَل َوم َو ِمذي َوم ْم َور ٍضم عَولَوْيْم َو‬
‫ِإ‬
Artinya: "Tidak halal bagi seorang wanita yang beriman kepada Allah dan hari
akhir untuk melakukan safar sejarak sehari semalam (sekitar 80 km lebih) kecuali
harus ditemani oleh mahramnya."

. HR Bukhari: 865 dan Muslim: 442


. Fatawa Nur 'Ala Ad-Darb – Ibnul-'Utsaimin: 23/2 (Maktabah Syamilah)
. HR Bukhari: 1088 dan Muslim: 1339
Dan bila tempatnya di luar kota yang tidak sampai jarak safar, maka ia harus
ditemani oleh mahramnya atau sekelompok wanita yang amanah karena tetap
dikhawatirkan akan ditimpa fitnah atau gangguan tertentu.

2-Ia keluar rumah dengan berpakaian syar'i. Yaitu, dengan mengenakan hijab yang
menutup seluruh auratnya. Dalam perkara aurat ini, para ulama berbeda dalam dua
pendapat:
Pendapat pertama: menyatakan bahwa aurat wanita adalah seluruh tubuhnya, sebab
itu ia diwajibkan memakai hijab yang bisa menutup seluruh tubuhnya tanpa terkecuali.
Pendapat kedua: menyatakan bahwa wajah dan telapak tangan bukan termasuk aurat,
sehingga menutup keduanya adalah sunah. Namun perlu diketahui, pendapat yang
kedua ini tidak memutlakkan bolehnya menampakkan wajah dan telapak tangan begitu
saja, sebab pendapat ini mensyaratkan bolehnya menampakkan keduanya kalau tidak
dikhawatirkan menimbulkan fitnah dan menjadi objek pandangan kaum laki-laki.

Ketika keluar rumah, ia harus meyakini bahwa penampilan pakaiannya sudah


sesuai dengan syarat-syarat pakaian syar'i yang sudah populer, berupa; menutup seluruh
auratnya, tebal atau tidak tipis dan tembus pandang, tidak bermotif hiasan karena ini
bentuk tabarruj/berhias, luas dan tidak ketat, tidak menyerupai pakaian laki-laki atau
wanita kafir, serta tidak berupa pakaian syuhrah/ketenaran yang sangat menarik
perhatian dan menonjol.

Apakah seorang wanita dibolehkan menanggalkan sebagian pakaiannya, semisal


cadar atau penutup kepalanya atau menampakkan sebagian tubuhnya ketika berada di
komunitas kaum wanita dan jauh dari pandangan laki-laki?

Telah ada hadis yang melarang hal ini, yaitu hadis Aisyah radhiyallahu'anha,
bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

‫ فَولَودْم َوهخَو َو ْمت ِمس ْم َو َوم َو ْم َو َو َوو َو ْم َو ِم‬، ‫َأب ُّن َو ا ْمم َور َأب ٍضت َوو َو َو ْمت ِم َو ِبَو َو ِم ْميف غَو ْم ِم َو ْم ِمت َوز ْمو ِم َوهج‬
‫هللا َوع َّنل َوو َوج َّنل‬
Artinya: “Wanita manapun yang menanggalkan pakaiannya di selain rumah
suaminya, maka dia telah menyingkap tabir antara dirinya dengan Allah Azza wa
Jalla.”

Tapi, hadis ini tidak bisa dipahami secara literal. Syaikh Abdur-Rauf Al-Munawi,
Syaikh Muhammad Ash-Shan'ani dan Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahumullah
menjelaskan bahwa makna "menanggalkan pakaiannya di selain rumahnya" adalah
sebagai sebuah kiasan dari makna menanggalkannya di depan laki-laki yang bukan
mahramnya. Adapun bila ia menanggalkan sebagian pakaiannya di hadapan wanita lain

. HR Tirmidzi: 2803 dengan menilainya hasan, Abu Daud: 4010, Ibnu Majah: 3750 dan
Ahmad: 25772 .
dengan tetap menjaga batasan aurat sesama wanita; maka tetap boleh karena tidak
mungkin dikenai ancaman dalam hadis ini.

Dalam menjelaskan hadis ini, para ulama KSA yang tergabung dalam Al-Lajnah
Ad-Daaimah juga menyatakan: "Makna hadis ini adalah larangan bagi wanita dari
bermudah-mudahan menanggalkan pakaiannya di luar rumah suaminya (atau orang
tuanya) dengan cara yang bisa menampakkan auratnya, atau bisa dituduh untuk
melakukan perbuatan keji atau semacamnya. Adapun menanggalkan pakaiannya di
tempat yang aman, seperti rumah keluarganya dan mahramnya untuk menggantinya
dengan pakaian lain atau untuk leluasa bernapas atau tujuan-tujuan lain yang mubah dan
terjauhkan dari fitnah maka tidak mengapa melakukannya."

3-Tidak memakai wewangian yang menyengat baunya ketika keluar rumah.


Rasulullah shallallahu „alaihi wasallam bersabda:

‫ا َوذا َوص ِمدَو ْمث ا ْمحدَو ا ُمن َّن ااْم َو ْمسجِم دَو فَو َو ثَو َو َّنس ِمط ًاب‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Artinya: "Jika salah seorang di antara kalian berangkat ke masjid, maka
janganlah menggunakan wewangian”

Juga bersabda:

‫َأب ُّن َو ا ْمم َور َأب ٍضت ا ْمسْسخَو ْم َوط َور ْمث فَو َو َّنر ْمث عَو َو كَو ْم ٍضم ِما َوجِم دُم وا ِمر َوَي َو فَو ِميَو َوزا ِمن َوة‬
Artinya:“Setiap wanita yang memakai wewangian lalu keluar melewati suatu kaum
(laki-laki) agar mereka bisa mencium bau wanginya, maka ia laksana penzina.”

Tentang hadis ini, ada dua poin penting mungkin mesti diketahui kaum wanita,
yaitu:

Pertama: Makna pezina dalam hadis ini bukanlah pezina hakiki, tapi bermakna kiasan
yaitu bahwa ia mendapatkan dosa seperti halnya pezina mendapatkan dosa meskipun
kadar dosa keduanya tentu berbeda, karena wangi parfumnya tersebut bisa
membangkitnya nafsu syahwatnya laki-laki yang menghirupnya. Syaikh 'Allamah Al-
Munawi rahimahullah berkata: "Yakni dengan faktor parfumnya tersebut dirinya
terancam dizinai, memotivasi (laki-laki) untuk melakukannya; sehingga dirinya
dinamakan pezina sebagai kiasan…"

Atau bisa bermakna bahwa ia dinamakan pezina sebagai kiasan, karena

. Lihat: At-Tanwir: 4/419, At-Taisir: 1/408, dan Faidh Al-Qadir: 3/176. Ketiga buku ini
merupakan syarah kitab Al-Jami' Ash-Shagir. Juga lihat: Fatawa Nur 'ala Ad-Darb – Ibnul-
'Utsaimin: 6/2 (Maktabah Syamilah).
. Fatawa Al-Lajnah Ad-Daaimah: 17/224
. HR Muslim: 443
. HR Abu Daud: 4173, Tirmizi: 2993, dan Ibnu Khuzaimah: 1681, hasan shahih.
. Faidh Al-Qadir: 2/76
menyebabkan laki-laki melakukan zina mata, yaitu memandangnya, atau zina hidung
dengan menghirup parfumnya. Syaikh Al-Munawi rahimahullah berkata: "Setiap laki-
laki yang memandangi dirinya (karena adanya parfum tersebut) telah berbuat zina mata,
dan wanita itu mendapatkan dosa karena dialah yang membuat laki-laki itu terus
memandangnya dan mengganggu hatinya. Sehingga, dialah yang menjadi faktor zina
matanya laki-laki tersebut. Dengan demikian, wanita ini pula adalah pezina (mata)."

Sebab itu, meskipun wanita yang keluar tersebut memakai wewangian dengan
bau yang menyengat, maka tetap tidak boleh dituduh atau diteriaki sebagai pezina,
karena ini merupakan tuduhan keji yang pelakunya bisa ditimpakan hukuman had
qadzhaf (menuduh orang berzina) yaitu 80 kali cambukan. Imam Ibnu Khuzaimah
rahimahulllah berkata: "Wanita yang memakai parfum wangi ketika keluar disebut Nabi
shallallahu'alaihi wasallam sebagai pezina, namun perbuatan ini tidak mewajibkan
adanya had (zina) berupa cambuk atau rajam."

Kedua: Dalam kesehariannya, seorang wanita mungkin menghadapi dua hal yang
bertentangan dalam hatinya. Yaitu keyakinan tidak bolehnya wanita memakai parfum
ketika keluar rumah, dan di sisi lain realita ketiadaan parfum baginya membuat dirinya
tidak pede lantaran kemungkinan besar akan membuat tubuhnya tidak nyaman dan
mengeluarkan bau tidak enak.

Tentunya, solusi dari problem ini adalah agar wanita bila keluar dari rumahnya
dan yakin akan melewati kaum laki-laki, maka ia hendaknya memakai deodorant
(penghilang bau badan) yang terbuat dari tawas atau bahan lainnya yang tidak beraroma
harum sebagai implementasi sabda Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam:

‫ وط ب االس ء م ظ ر ا نه وخف رَيه‬، ‫إمن ط ب اارج ل م خف ا نه وظ ر رَيه‬


Artinya: “Wewangian seorang laki-laki adalah yang tidak jelas warnanya tapi
tampak bau harumnya. Sedangkan wewangian perempuan adalah yang warnanya jelas
namun baunya tidak begitu nampak.”

Tentunya ini khusus bagi wanita yang ingin keluar rumah, adapun yang tidak
keluar rumah dan hanya berada di hadapan suami atau mahramnya, maka ia boleh
berparfum sekehendaknya.

Lalu apa hukumnya wanita memakai deodorant yang beraroma harum atau
memakai pengharum pakaian seperti molto atau sejenisnya?

Para ulama pengurus website www.islamqa.info menjelaskan hukumnya dengan


sebagai berikut:

. Lihat: At-Tanwir: 4/440 dan Dzakhirah Al-'Uqba: 38/169


. Faidh Al-Qadir: 5/27
. Lihat: www.ar.islamway.net/fatwa/37237 /
. Shahih Ibni Khuzaimah: 2/811
. HR Baihaqi dalam Asy-Syu'ab: 7564, hasan.
Deodorant wanita atau pewangi pakaian bisa dibagi dalam dua jenis:

Pertama: Deodorant (atau pewangi pakaian –pent) yang beraroma wangi yang
menyengat. Jenis ini tidak boleh dipakai oleh wanita bila ia keluar rumah bila ia yakin
kemungkinan besar akan melewati laki-laki dan mereka akan menghirup aroma
wanginya. Dalilnya adalah hadis Zainab Ats-Tsaqafiyah istri Abdullah Ibnu Mas'ud
radhiyallahu'anhuma yang berkata: Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda
kepada kami: "Jika salah seorang di antara kalian berangkat ke masjid, maka
janganlah menggunakan wewangian”

Bila Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam melarang wanita keluar ke masjid


dengan memakai parfum di mana laki-laki akan menghirup aroma harumnya lantaran
dekatnya tempat shalatnya dengan kaum laki-laki dan tanpa adanya tirai hijab (saat itu)
antara laki-laki dan wanita; maka terlebih lagi wanita yang keluar menuju pasar atau
melewati tempat berkumpulnya manusia (laki-laki) dilarang menggunakan parfum.

Kedua: Deodorant yang tidak berparfum, atau berparfum tapi aroma harumnya sedikit
dan hanya bisa dihirup oleh orang yang memakainya (atau yang bersentuhan dengannya
–pent). Jenis ini boleh dipakai oleh seorang wanita, dan tidak ada larangan darinya.
Imam Ar-Ramli Asy-Syafi'i rahimahullah berkata: "Adapun wanita, maka ia
dimakruhkan memakai parfum, hiasan dan pakaian mewah saat ingin menghadiri
shalat jumat. Tentu, ia tetap disunatkan menghilangkan bau busuk (dari badannya)."

'Allamah Asy-Syabramallisi rahimahullah menjelaskan ucapan Ar-Ramli "Ia


tetap disunatkan menghilangkan bau busuk (dari badannya)" dengan ucapan:
"Meskipun penghilang bau busuk itu memiliki aroma wangi, tapi dengan syarat laki-
laki tidak bisa menghirupnya."

Adapun bila seorang wanita yakin bahwa ia tidak akan melewati atau bertemu
laki-laki, namun hanya akan berada bersama kaum wanita, maka tidak mengapa baginya
untuk memakai parfum atau deodorant yang aromanya menyengat. Wallaahu a'lam.

4-Menjauhi ikhtilat (campur baur dengan laki-laki) dan khalwat (berduaan


dengan laki-laki bukan mahram). Dalam persoalan ikhtilat ini, para ulama berdalil
dengan amalan Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam yang memisahkan antara laki-laki
dan wanita dalam shalat berjamaah. Bila dalam shalat saja yang merupakan ibadah
paling utama dilarang ikhtilat, maka di selain shalat lebih akan dilarang lagi. Tentunya,
pelarangan ini sebagai bentuk sad li adz-dzarii'ah atau penutupan pintu atau sarana yang
bisa menjerumuskan seorang muslim dalam perbuatan maksiat. Imam Abdur-Rauf Al-
Qurthubi rahimahullah berkata: "Ikhtilat kaum wanita dengan kaum laki-laki dilarang
dalam shalat, perkumpulan hari raya dan acara-acara pesta, dan mereka dipisah."

. HR Muslim: 443
. Nihaayah Al-Muhtaaj: 2/340
. www.islamqa.info/ar/155211
. Aadaab Al-Muhtasib: Hal. 38
Terkait khalwat, maka Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam telah melarang hal
ini dalam hadis Ibnu Abbas radhiyallahu'anhuma lewat sabdanya:

‫َل خيل ن رجل مر ٔمبت إمَل م ذي حمرم‬


Artinya: "Janganlah seorang laki-laki berkhalwat dengan seorang wanita kacuali
jika bersama dengan mahrom sang wanita tersebut."

Juga sabdanya dalam hadis Jabir bin Abdullah radhiyallahu'anhuma:

‫م ن م هلل واا م األٓمخر ف خيل ن مر ٔمبت ا س م ذو حمرم م ف ٕمن اثلهثام ااضْس ط ن‬


Artinya: “Siapa yang beriman kepada Allah dan hari akhir maka janganlah ia
berkhalwat dengan seorang wanita tanpa ada mahram wanita tersebut, karena syaitan
menjadi orang ketiga di antara mereka berdua.”

Mungkin sebagian kita akan bertanya tentang hukum sekolah, kuliah atau kerja di
tempat yang campur baur antara laki-laki dan wanita, padahal rata-rata hal ini terjadi di
seluruh sekolah atau wanita atau tempat kerja di negeri kita?

Tentunya wajib bagi seorang muslim untuk sekolah atau kuliah atau bekerja di
tempat yang tidak ada campur baurnya antara laki-laki dan wanita. Namun, sebagian
ulama menyatakan bahwa bila ia tidak mendapatkannya di negerinya lantaran tempat-
tempat seperti ini lebih didominasi oleh ikhtilat, dan sangat sulit menjauhkan diri
darinya lantaran urgennya sekolah atau kuliah atau kerja tersebut bagi dirinya atau
umatnya; maka pada kondisi seperti ini ia diberikan keringanan untuk sekolah atau
kuliah atau kerja di tempat-tempat tersebut, terutama di negeri-negeri yang sama sekali
tidak mempedulikan pemisahan antara laki-laki dan wanita.

Pemberian keringanan ini dibangun atas kaedah "Sesuatu yang diharamkan


sebagai bentuk sad li adz-dzarii'ah (penutupan pintu menuju haram), maka ia
dibolehkan bila dibutuhkan dan dalam kondisi darurat." Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah
rahimahullah berkata: "Sesuatu yang berupa persoalan sadd li adz-dzarii'ah, maka ia
dilarang bila hal itu tidak diperlukan. Namun, dalam bila hal tersebut memiliki
maslahat besar yang tidak bisa didapat kecuali melakukan hal tersebut; maka tidak
dilarang."

Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah juga berkata: "Sesuatu yang diharamkan


sebagai bentuk sad li adz-dzarii'ah (penutupan pintu menuju haram), maka ia
dibolehkan bila memiliki maslahat yang lebih besar (dari pada pelarangan tersebut)."

Namun, para ulama tersebut memberikan beberapa syarat, yaitu:

. HR. Bukhari: 5233 dan Muslim: 1341


. HR Ahmad: 14651
. Majmu' Al-Fatawa: 23/214
. I'laam Al-Muwaqqi'in: 2/161
1)-Seorang muslim atau muslimah harus berusaha dulu untuk mencari tempat sekolah
atau kuliah atau kerja yang tidak ada ikhtilatnya sesuai kemampuannya.

2)-Bila tidak mendapatkannya dan terpaksa harus sekolah, kuliah atau kerja di tempat
yang ada ikhtilatnya, maka ia harus menahan pandangannya, menjauhkan diri dari
berbicara secara akrab dengan lawan jenis, serta duduk berjauhan dengan lawan jenis,
dan hendaknya tempat wanita berada jauh atau dipisahkan dari tempat laki-laki. Syaikh
Ibnul-'Utsaimin rahimahullah berkata: "Wajib bagimu untuk mencari sekolah yang
suasananya bukan ikhtilat, bila engkau tidak mendapatkan sekolah kecuali dengan
suasana ikhtilat sedangkan engkau sangat butuh sekolah; maka silahkan engkau belajar
(di dalamnya) dan wajib menjaga diri semampunya dengan menjauhi perbuatan keji dan
fitnah dengan cara menahan pandangan, menahan lisan, tidak berbicara dengan wanita
dan tidak pula berdekatan dengan mereka (atau sebaliknya)."

3)-Bila ia merasa dirinya mudah sekali terjerumus dalam maksiat atau merasa terfitnah
dengan keberadaan lawan jenisnya, maka keselamatan agamanya lebih diutamakan dari
pada maslahat lainnya, sehingga ia harus meninggalkan tempat sekolah, kuliah atau
kerjanya tersebut, dan Allah Ta'ala pasti akan memberikan solusi baginya.

5-Ia wajib menjaga pandangannya. Kewajiban menahan pandangan tidak hanya pada
kaum laki-laki, namun juga pada kaum wanita karena seorang wanita bisa saja terfitnah
dengan seorang laki-laki. Sebab itu, Allah Ta'ala memerintahkan mereka:

ۖ ‫وهج َّن َوو َوَل ُم ْمب ِمد َو ِمز لَوَتَو ُم َّن ا َّنَل َوم َوظ َوَور ِمم ْم َو‬
‫َووكُم ْمل ِمللْم ُم ْم ِمم َو ِمث َو ْمغ ُم ْم َو ِمم ْم َأب ْم َوع ِمر ِمه َّن َوو َو ْمَي َوف ْمظ َو فُم ُمر َو ُم‬
‫ِإ‬
Artinya: “Katakanlah kepada wanita yang beriman, „Hendaklah mereka menahan
pandangannya, dan kemaluannya, dan janganlah mereka menampakkan perhiasannya,
kecuali yang (biasa) nampak dari padanya.” (QS. An-Nur: 31)

Lalu apakah seorang wanita dibolehkan memandang wajah kaum laki-laki atau
menonton wajah seorang ustadz yang lagi berceramah?

Dalam tafsir ayat di atas, Syaikh Ath-Tharifi hafidzhahullah menyebutkan bahwa


para ulama sepakat bahwa pandangan wanita kepada aurat laki-laki hukumnya haram,
juga mereka sepakat bahwa pandangannya kepada wajah atau penampilan laki-laki
bukan mahramnya dengan pandangan yang membuat dirinya terfitnah, yaitu dengan
pandangan syahwat atau benih-benih cinta terlarang, maka hukumnya adalah haram
sesuai kesepakatan para ulama berdasarkan ayat di atas. Adapun pandangan wanita
kepada wajah atau penampilan tubuh laki-laki yang tidak mengandung syahwat atau
adanya benih-benih cinta terlarang tersebut, maka para berbeda pendapat dalam
menentukan hukumnya:
Pendapat pertama: Bahwa hukumnya tetap haram dengan dalil keumuman larangan
dalam lafal ayat di atas, dan juga karena kebanyakan biasanya pandangan wanita kepada
laki-laki menimbulkan fitnah baik sekarang atau di masa depan. Allah Ta'ala telah
memerintahkan wanita dengan perintah yang sama dengan laki-laki agar menahan
pandangan dan Dia tidak membedakan antara keduanya dalam perkara ini, bahkan

. Fatawa Nur 'ala Ad-Darb: 1/103, 13/127 .


. Jawaban ini diringkas dan disesuaikan dari: www.islamqa.info/ar/127946
menambahkan perintah pada wanita berupa tidak boleh menampakkan perhiasan. Inilah
pendapat yang sahih muktamad dalam mazhab Syafi'i dan Ahmad, serta inilah pendapat
jumhur sahabat dan tabiin.
Pendapat kedua: Sebagian ulama berpendapat bolehnya wanita memandang wajah
atau penampilan tubuh laki-laki tanpa adanya syahwat atau benih-benih cinta terlarang
tersebut, dengan dalil pemberian izin Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam kepada
Ibunda Aisyah radhiyallahu'anha ketika menonton latihan atau permainan kaum
habasyah di masjid, beliau mengisahkan:

‫حح ن ْم ُمت ٔمب َأبنْم َو ِم ُمو‬ ‫ َو ِمزاْم ُمت ٔمب ُم‬، ‫هللا ملسو هيلع هللا ىلص و ٔمب َو ٔمبن ُمْمظ ُمر‬
‫نظر َّن‬ ‫َون احلَوبَو ُمش ل ب َون ِم ِمحبراِبِم فَو َوس َو ِمِن رس ُمل ِم‬
Artinya: “Orang-orang Habasyah berlatih dengan alat-alat perang mereka.
Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam pun menghalangi tubuhku agar mereka tidak
melihatku, sedangkan saya menonton mereka. Saya terus menonton mereka sampai
akhirnya saya tidak lagi menontonnya.”

Namun secara tampak, hadis ini tidak menunjukkan bahwa Aisyah memandang
atau memelototi wajah mereka atau wajah salah satu dari mereka, tapi ia melihat latihan
mereka secara umum karena jarak Aisyah dari mereka begitu jauh dan ia tidak
menonton mereka dari arah wajah mereka.

Oleh karena itu, seorang wanita harus tetap menjaga pandangannya dan tidak
boleh bermudah-mudahan menonton atau melototi wajah seorang laki-laki kecuali bila
diperlukan, hal ini juga berlaku ketika menonton ceramah seorang ulama atau dai laki-
laki, dan ia mencukupkan diri dengan mendengar ceramahnya, atau bila melihatnya
maka secara umum dan hanya sekali-sekali, bukan dipelototi, Allaahu a'lam.

6-Hajat keluarnya tersebut harus diseimbangkan dengan pekerjaan rumahnya.


Seorang wanita yang ingin keluar belajar atau berdakwah atau untuk keperluan lainnya
hendaknya memperhatikan hal ini, agar ia tidak melalaikan hak-hak orang tuanya atau
suami dan anak-anaknya, sebab itu merupakan tanggung jawabnya sebagaimana dalam
hadis:

‫ِمت ِم‬
‫زوهج َوو َوو َو ِمدل ِم‬ ‫واملر ٔمب ُمت َورا ِمع َّن ٌة ع‬

Artinya: "Dan seorang isteri adalah pemimpin (penanggung jawab) atas rumah
suami dan anaknya."

Sebab itu, sebelum ia mulai beraktifitas di luar rumahnya, ia harus


menyelesaikan pekerjaan rumahnya terlebih dahulu, dan bila dirinya memerlukan
pembantu untuk mengurus rumah dan anak-anaknya bila ia tidak ada di rumah; maka itu

. HR. Bukhari: 5190.


. Lihat: At-Tafsir wa Al-Bayan: 4/1842
. Lihat:
www.fatwa.islamweb.net/fatwa/index.php?page=showfatwa&Option=FatwaId&Id=7997.
. HR Bukhari: 5200 dan Muslim: 1829
dibolehkan, agar ia bisa fokus dengan aktifitas dakwah atau tarbiyahnya, dan tentunya
dengan tetap menjaga hak-hak suami dan putra-putrinya secara baik.

Syaikh Ibnu Baz rahimahullah berkata: "Bila seorang wanita itu memang
memiliki skill untuk berdakwah dengan ilmu agama yang ia miliki dan metode yang
baik, maka wajib bagi dirinya untuk berusaha mendakwahi saudari-saudarinya seiman,
karena pendakwah wanita (zaman sekarang) sangat sedikit, di samping dakwah ini
adalah fardhu kifayah. Pada zaman ini, fitnah begitu menjamur, sedangkan jumlah para
aktifis dakwah dari kalangan wanita tidak bisa cukup untuk mendakwahi komunitas
wanita. Jadi, yang lebih utama baginya adalah berdakwah kepada Allah, dan (boleh
baginya) mewakilkan wanita yang ia percayai kesalehan dan amanahnya untuk
memelihara putra-putrinya ketika ia keluar berdakwah."

. Dari buku: Mawaaqif Mudhiiah fi Hayaati Al-Imam Ibni Baz.


Bahagiakan Suami, Salehkan Anak dan Jayakan Umat

"Karena wanita sejatinya menjadi perhiasan di dunia untuk suaminya tercinta yang
meninggikan rasa tenang dan tenteram dalam keluarga yang sakinah, mawaddah dan
rahmah. Dan karena wanita adalah perhiasan di akhirat yang kelak menghiasi
indahnya surga dengan bekal kemuliaan akhlak dan ibadahnya."
(Ahliana Afifati Sani)

Kebahagiaan suami serta rasa tenang dan kenyamanannya ketika berada dalam
naungan istana yang diratui oleh diri seorang wanita muslimah terkhusus seorang
murabbiyah atau mutarabbiyah adalah satu cita dan tujuan pernikahan yang mesti
tercapai, karena ia menikahi dirinya demi mendapatkan hal tersebut:

‫َوو ِمم ْم ب ٓم َواي ِمث ِمه َأب ْمن َو لَو َوق اَو ُم ْم ِمم ْم َأبنْم ُمف ِمس ُم ْم َأب ْمز َووا ًاج ِماد َو ْمس ُم ُم ا ال َوْيْم َو‬
‫ِإ‬
Artinya: "Dan di antara tanda-tanda kekuasaan-Nya ialah Dia menciptakan
untukmu isteri-isteri dari jenismu sendiri, supaya kamu cenderung dan merasa tenteram
kepadanya." (QS Ar-Rum: 21)

Sebaliknya, cita-cita utama seorang wanita ketika menerima lamaran sang suami
adalah ingin berada dalam dekapan dan cinta seorang raja yang senantiasa
membahagiakan dan menjaga perasaan dirinya:

ۚ ‫َوو َوج َو َول َو ْم َو ُم ْم َوم َو َّند ًات َوو َور ْم َو ًاة‬


Artinya: "Dan dijadikan-Nya di antaramu rasa kasih dan sayang." (QS Ar-
Rum: 21)

Tujuan pernikahan ini akan sempurna bila mereka berdua adalah dua insan saleh
yang terus memperbaiki diri dan memiliki semangat belajar agama, tarbiyah dan
dakwah. Seorang suami yang mendapatkan istri salehah hendaknya banyak bersyukur
kepada Allah Ta'ala karena telah memiliki bidadari yang terbaik dunia akhirat.
Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

‫ادلُّن نْم َو َومذ َو ٌ َوو َو ْم ُم َومذَو ِم ادلُّن نْم َو ااْم َو ْمر َأب ُمت َّن‬
‫ااع ِما َو ُمة‬
Artinya: “Sesungguhnya dunia itu adalah perhiasan, dan sebaik-baik perhiasan
dunia adalah wanita salehah.”

Juga bersabda:

‫َأب َوَل ُب ْم ِم َو َو ِم َو ْم ِم َوم َو ْم ِم ُم ااْم َو ْمر ُمء ؟ َوااْم َو ْمر َأب ُمت َّن‬
‫ ا َوذا ن َوَوظ َور ال َوْيْم َو َو َّنثْم َوه َووا َوذا َأب َوم َور َوه َأب َوط َوع ْمخ َوه َووا َوذا غَو َوة َوع ْم َو َوح ِمف َوظ ْمخ َوه‬،‫ااع ِما َو ُمة‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Artinya: “Maukah aku beritakan kepadamu tentang sebaik-baik

. Bunda Cekatan: Hal, 252, dengan sedikit tambahan.


. HR. Muslim: 1467.
perbendaharaan seorang lelaki? yaitu istri salehah yang bila dipandang akan
menyenangkannya, bila diperintah akan menaatinya, dan bila ia pergi sang istri ini
akan menjaga dirinya.”

Dan bila sang istri salehah tersebut adalah seorang yang peduli dengan dakwah,
tarbiyah dan ilmu seperti dirinya maka itu adalah sebuah nikmat paling sempurna lagi
berkah. Namun, kesibukan sang istri sebagai ratu bagi istana suaminya dan sebagai
daiyah, atau penuntut ilmu, murabbiyah atau mutarabbiyah hendaknya menjadi motivasi
bagi istri untuk memaksimalkan perhatian terhadap suami dan putra-putrinya, juga bagi
suami dalam bersabar merelakan beberapa waktu sang istri untuk aktifitas tersebut. Tapi
tentunya dalam banyak kasus, sebagian suami biasanya kurang bisa bersabar dengan
aktifitas dakwah atau tarbiyah atau ta'lim sang istri yang kadang melalaikan hak-hak
dirinya dan anak-anaknya.

Sebab itu, seorang istri yang berstatus seperti ini hendaknya menyeimbangkan
atau mensinkronkan berbagai aktifitas kewajibannya antara di rumah dan di luar rumah,
agar ia tidak melalaikan berbagai kewajiban tersebut, serta bisa mewujudkannya dengan
baik. Di antara trik sinkronisasi tersebut adalah:

1)-Hendaknya selalu memohon ridha suami dan memahamkan urgennya aktifitas


dakwah atau tarbiyah atau ilmu yang ia ikuti. Ridha suami akan memberikan banyak
keberkahan dalam berbagai aktifitasnya, juga akan menjadikan suami bisa bersabar bila
ada sedikit keterlambatan sang istri dalam menunaikan pekerjaan rumahnya. Bahkan
bila ia curhat terhadap sang suami terkait dengan kondisi aktifitasnya, maka sangat baik
karena sang suami akan merasa dirinya dijadikan sebagai sandaran dalam berbagai
aktifitas dirinya baik dalam rumah ataupun di luar, namun bila ada problem yang
bersifat rahasia atau bersangkutan dengan aib orang lain, maka ia cukup menceritakan
problemnya tanpa harus menyebut person tertentu.

2)-Memenej waktu dan menggunakan waktu luangnya dengan baik. Kunci terbesar
dalam mensinkronkan aktifitas dalam rumah dan luar rumah adalah terletak pada
kemahiran atau kecekatan dirinya dalam mengatur waktu dan mengisi waktu-waktu
luangnya dengan mengerjakan berbagai kewajiban terhadap suami, anak-anak dan
rumahnya. Biasanya ibu rumah tangga banyak memiliki waktu luang tertentu, namun
bagi ibu sekaligus da'iyah, ia harus lebih cekatan dalam mengisinya, mengerjakan
kewajiban dengan baik dan sesegera mungkin tanpa ada penundaan. Semakin ia banyak
menunda, maka aktifitas dirinya akan kian menumpuk dan akan menyebabkan banyak
kewajiban yang terlalaikan.

3)-Ia harus sudah menyelesaikan berbagai kewajiban rumahnya sebelum keluar


mengerjakan aktifitas tersebut. Sehingga, ketika ia keluar beraktifitas rumah sudah
tertata rapi, dan sang suami atau anak-anaknya merasakan kenyamanan karena semua
yang mereka perlukan berupa pakaian, makanan atau hal lainnya telah siap sedia.
Praktik seperti ini tidak hanya akan membuat suami dan anak-anak semakin ridha dan
bangga terhadap dirinya sebagai istri, ibu dan pejuang dakwah atau tarbiyah, juga akan
meningkatkan ketekunan dan profesionalismenya dalam aktifitas dakwah, tarbiyah atau
ilmu.

. HR Abu Daud: 1417, shahih.


4)-Ia tidak boleh mengambil tugas terlalu banyak dalam ranah tersebut, apalagi kalau ia
memiliki banyak anak dan tidak ada yang membantunya mendidik dan memperhatikan
mereka. Tugas-tugas yang ia emban harus diseimbangkan dengan kewajibannya di
rumah. Bila ia diberikan tugas yang melebihi kadarnya, ia hendaknya meminta agar
tugas tersebut dibagi ke da'iyah-da'iyah yang lain. Pembagian tugas sesuai porsi dan
kadar ini sangat baik manfaatnya dalam berbagai aktifitas tarbiyah, dakwah atau ta'lim.

5)-Bila seorang wanita da'iyah merasa bahwa anak-anaknya butuh bimbingan yang terus
menerus atau perlu ada yang mengurusnya ketika ia beraktifitas di luar rumah, maka
sangat dianjurkan baginya untuk mengambil pembantu untuk menggantikan tugas
rumah tersebut, sebagaimana dalam fatwa Syaikh Ibnu Baaz rahimahullah sebelumnya.
Saudariku… Inilah Pesonamu Dalam Surga Tuhanmu

"Sesungguhnya wanita-wanita dunia itu, siapa saja di antara mereka masuk surga,
maka mereka lebih utama (lebih baik dan cantik) dari pada para bidadari disebabkan
amalan-amalan saleh mereka ketika di dunia."
(Hayyan bin Jabalah)

Seringkali di kalangan kaum hawa muncul tanda tanya tentang bagimanakah nasib
mereka di surga kelak, atau ganjaran apakah yang Allah sediakan buat mereka ?.
Bahkan, tidak sedikit dari mereka yang merasa penasaran dengan persoalan seputar hal
ini serta ingin mengetahuinya secara gamblang.

Tentunya, hasrat mereka ini bukanlah sesuatu yang tercela, dan tidak boleh
diingkari karena pada umumnya setiap orang pasti terbiasa berpikir dan merenung
tentang gambaran masa depannya, apalagi yang berkaitan dengan surga yang
kenikmatannya tidaklah khusus diperuntukkan bagi kaum laki-laki saja tanpa wanita.
Allah Ta'ala berfirman.

‫ااع ِما َو ِمث ِمم ْم َوذ َون ٍضر َأب ْمو ُبن َوْمَث َوو ُمه َو ُمم ْم ِمم ٌ فَو ُوا َو ِمئ َوم َودْم ُم لُم َون ااْم َوج َّن َوة َوو َوَل ُم ْمظلَو ُم َون ن َو ِمل ًا ا‬
‫َوو َوم ْم َو ْم َو ْمل ِمم َو َّن‬
Artinya: "Siapa yang mengerjakan amal-amal saleh, baik laki-laki, maupun wanita
sedang ia beriman, maka mereka itu masuk kedalam syurga". (QS. An-Nisa: 124)

Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam sendiri tidaklah mengingkari hal semacam


ini dari para sahabatnya ketika mereka menanyakan tentang surga beserta karunia yang
ada di dalamnya. Salah satu contohnya, kisah yang diriwayatkan oleh Imam Tirmidzi
rahimahullah bahwa para sahabat bertanya kepada beliau:

‫اجل ة م اه ؟‬
Artinya: "Terbuat dari apakah bangunan-bangunan surga itu?".

Beliau menjawab:

‫اب ة م ف ة واب ة م ذهب‬


Artinya: "Terbuat dari batu bata emas dan perak".

Jiwa manusia baik laki-laki maupun wanita pasti bersemangat dan merasakan
rindu tatkala disebutkan padanya tentang surga dan segala kenikmatan dan karunia
Allah di dalamnya. Sifat ini tidaklah tercela bahkan dianjurkan dengan syarat bukan

. Tulisan ini merupakan ringkasan dari sebuah buku saku berbahasa Arab dengan judul
"Ahwaal An-Nisaa' fil-Jannah" karya Syaikh Sulaiman Al-Khirasyi. Penulis telah meringkasnya
dalam bahasa Indonesia sejak delapan tahun lalu, dan kini dimuat dalam buku sederhana ini
dengan banyak penambahan.
. Az-Zuhd – Ibnul-Mubarak: 255, dan Az-Zuhd – Hannaad: 23.
. HR. Tirmidzi: 2526, hasan.
hanya sekedar angan-angan belaka tanpa adanya hasrat dan ijtihad untuk meraih angan-
angan tersebut dengan iman dan amal saleh. Allah Ta'ala berfirman:

‫كل ااْم َوج َّن ُمة اا َّن ِم ُب ِمور ْم ُمخ ُم َوه ِم َو ُمن ْم ُم ْمُت ثَو ْم َو لُم َون‬
‫َوو ِمث ْم َو‬
Artinya: "Dan itulah Surga yang diwariskan kepada kamu disebabkan amal-amal
yang dahulu kamu kerjakan. (QS. Az-Zukhruf : 72)

Juga dianjurkan bagi kaum wanita untuk senantiasa menghadirkan dalam hatinya
kenikmatan surga Allah, serta memperbanyak wawasan dan pengetahuan tentangnya
sebagaimana hal ini dianjurkan bagi kaum lelaki.

Hendaklah seorang wanita tahu, bahwa sekedar ia menginjakkan kakinya dalam


surga, akan sirnalah segala sakit hati, kepedihan dan penderitaan yang ia alami, dan
berubah dengan keceriaan yang tiada henti dan kebahagiaan yang abadi. Cukuplah
bagimu -wahai saudariku- firman Allah Ta'ala:

‫) َوو َو َول ْمع َو َوم ِميف ُمظدُم ِمور ِم ْمِه ِمم ْم ِمغ ٍض ّمل ا ْمخ َو ا ًا عَو َو‬46 ( ‫ب َوِمس َو ٍضم ب ٓم ِمم ِم َو‬ ‫) ا ْمد ُم لُم َوه‬45 ( ‫ا َّنن ااْم ُم خَّن ِمل َو ِميف َوج َّن ٍضث َوو ُمع ُم ٍضن‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬
)48 ( ‫ُم ْمِه ِمم ْم َو ِم ُم خ َوْمرجِم َو‬ ‫) َوَل َو َو ُّنس ُم ْم ِمفْيَو ن َوَوع ٌب َوو َوم‬47 ( ‫ُم ُم ٍضر ُممذَولَو ِم ِمل َو‬
Artinya: "Sesungguhnya orang-orang yang bertakwa itu berada dalam syurga
(taman-taman) dan (di dekat) mata air-mata air (yang mengalir). (Dikatakan kepada
mereka): "Masuklah ke dalamnya dengan sejahtera lagi aman". Dan Kami lenyapkan
segala rasa dendam yang berada dalam hati mereka, sedang mereka merasa
bersaudara duduk berhadap-hadapan di atas dipan-dipan. Mereka tidak merasa lelah
di dalamnya dan mereka sekali-kali tidak akan dikeluarkan dari padanya." (QS. Al-
Hijr: 45-48)

Juga firman-Nya:

‫) ُم َوط ُمو عَولَوْيْم ِم ْم ِمِمع َو ٍضو ِمم ْم َوذه ٍضَوب َوو َأب ْمن َو ٍضاة َوو ِمفْيَو َوم ج َو ْمضْسَتَو ِم ِمه ْم َأاألنْم ُمف ُمس َووث َو ُّنَوَل‬70 ( ‫ون‬
‫ا ْمد ُم لُم ا ااْم َوج َّن َوة َأبن ُم ْمْمُت َوو َأب ْمز َووا ُمج ُم ْم ُم ْمُت َو ُم َو‬
)71 ( ‫ون‬ ‫ْم َأاألعْم ُم ُم َوو َأبن ُم ْمْمُت ِمفْيَو َو ِم ُمدل َو‬
Artinya: "Masuklah kamu ke dalam surga, kamu dan istri-istri kamu digembirakan.
Diedarkan kepada mereka piring-piring dari emas, dan piala-piala. Dan di dalam
surga itu terdapat segala apa yang diingini oleh hati dan sedap (dipandang) manusia
dan kamu kekal di dalamnya". (QS. Az-Zukhruf: 70-71)

Sungguh, betapa banyak Allah 'Azza wa Jalla menyebutkan dalam kitab-Nya Al-
Quran serta Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam dalam hadis-hadisnya tentang surga
dengan aneka kenikmatan di dalamnya, berupa ru'yatullah (memandang wajah Allah
Ta'ala), makanan dan minuman, istana-istana megah, pakaian-pakaian indah serta rupa
mereka yang elok, namun mungkin akan terbesit sebuah tanda tanya dalam benak para
wanita:

"Sesungguhnya Allah Ta'ala telah memotivasi dan menggugah hati kaum lelaki
untuk meraih surga dengan menyebutkan bagi mereka sebuah kenikmatan di dalamnya
berupa wanita dan bidadari-bidadari cantik, namun mengapa Dia tidak menyebutkan
hal semacam ini bagi kaum wanita ?"

Jawaban awal dari pertanyaan ini adalah bahwasanya Allah Ta'ala tidaklah
sepantasnya ditanya tentang apa yang Dia kerjakan dan takdirkan, sebagaimana firman-
Nya:

‫َوَل ْمُمس َأ ُمل َو َّنَع َو ْمف َو ُمل َوو ُم ْمِه ْمُمس َأاُم َون‬
Artinya: "Dia tidak ditanya tentang apa yang diperbuat-Nya, dan merekalah yang
akan ditanya." (QS. Al-Anbiya': 23)

Selanjutnya dari sisi lain, perlu diketahui bahwa Allah tidak melakukan hal ini
kecuali dengan tujuan dan hikmah agung, di antaranya:

1). Salah satu sifat yang Allah fitrahkan atas wanita adalah sifat malu. Jadi, Allah Ta‟ala
tidaklah menggugah hati mereka dengan surga dengan menyebutkan balasan berupa
pasangan hidup mereka dalam kitab-Nya, disebabkan adanya rasa malu mereka
terhadap hal tersebut.

2). Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah berkata: “Sesungguhnya Allah menyebutkan


istri-istri (para bidadari) bagi kaum lelaki penduduk surga (dalam kitab-Nya) karena
seorang suamilah yang mencari dan menyukai seorang wanita, dengan sebab inilah,
“istri-istri” disebutkan (sebagai salah satu ganjaran) bagi kaum lelaki di dalam surga.
Ketika Dia tidak menyebutkan “suami” (sebagai ganjaran) bagi para wanita ahli
surga, hal ini tidaklah bermaksud bahwa para wanita di surga kelak tidak memiliki
suami sama sekali, tapi bermaksud bahwa semua suami mereka hanya berasal dari
bani Adam „alaihissalam.”

Jadi, di dalam surga para wanita hanyalah mendapatkan suami dari kalangan bani
Adam „alaihissalam, sedangkan kaum lelaki, selain mendapatkan istri-istri dari bani
Adam, mereka juga mendapatkan para bidadari surga yang Allah „Azza wa Jalla
ciptakan khusus untuk mereka:

‫َون َوذ ِم َوِل َوو َوز َّنو ْمج َو ُم ْمِه ِم ُمحب ٍضر ِمع ٍض‬
Artinya: “Demikianlah, dan Kami nikahkan mereka dengan bidadari-bidadari.”
(QS Ad-Dukhan: 54)

Adapun kriteria laki-laki dari kalangan bani Adam yang berhak menjadi suami para
wanita dari kalangan bani Adam di surga kelak, maka penjabarannya adalah sebagai
berikut:

Pertama: Jika seorang wanita wafat sebelum menikah, maka Allah akan
menikahkannya dalam surga dengan lelaki penduduk bumi (keturunan Adam
'alaihissalam), karena di dalam surga tidak ada seorang pun yang jomblo atau tidak
menikah. Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

. Al-Majmu‟ Ats-Tsamin 1/571.


‫م يف احل ة ٔمبعلة‬
Artinya: “Tidaklah ada dalam surga itu, orang yang tidak menikah.”

Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah berkata: "Bila seorang wanita tidak menikah


di dunia, maka akan menikahkannya dengan orang yang akan ia sukai di surga kelak ..
karena kenikmatan surga itu tak hanya terbatas pada kaum laki-laki."

Kedua: Jika seorang wanita wafat setelah diceraikan suaminya dan belum sempat
menikah lagi, maka nasibnya seperti nasib wanita yang pertama.

Ketiga: Apabila seorang wanita masuk surga, sedangkan suaminya masuk neraka,
nasibnya seperti yang pertama dan kedua. Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah berkata:
"Bila seorang wanita masuk surga sedang ia belum menikah (ketika di dunia), atau
suaminya bukan penghuni surga, maka bila ia masuk surga, ia akan mendapati penghuni
surga dari kalangan laki-laki yang (di dunia) belum juga menikah (yang akan
menikahinya)."

Keempat: Jika seorang wanita wafat setelah pernikahannya, ia akan tetap menjadi milik
suaminya yang ia tinggalkan di dunia bila suaminya tersebut masuk surga.

Kelima: Jika seorang wanita suaminya wafat, dan ia hidup sepeninggalnya tanpa
menikah lagi sampai wafat, ia tetap akan menjadi milik suaminya tersebut dalam surga,
bila suaminya tersebut masuk surga. Ini disebutkan dalam riwayat Ikrimah: Bahwa
Asma' datang kepada ayahnya Abu Bakr mengeluhkan suaminya Az-Zubair bin
'Awwam radhiyallahu'anhum. Lalu Abu Bakr menasehatinya: "Pulanglah (ke rumahmu)
wahai putriku, karena bila engkau bersabar dan bergaul baik dengannya, lalu ia wafat
dan engkau tidak lagi menikah dengan selain dirinya setelahnya, lalu kalian berdua (di
akhirat kelak) masuk surga; maka engkau akan menjadi istrinya di dalamnya."

Keenam: Sedangkan perempuan yang suaminya wafat, lalu menikah lagi dengan laki-
laki lain setelahnya, maka ia akan menjadi milik suaminya yang terakhir, walaupun ia
memiliki banyak suami. Abu 'Ali Al-Qusyairi dalam Tarikh Ar-Riqqah meriwayatkan
bahwa Mu'awiyah radhiyallahu'anhu melamar Ummu Ad-Dardaa' (setelah wafatnya
Abu Ad-Dardaa'). Namun ia enggan menerimanya (karena ingin tetap bersama Abu Ad-
Dardaa' di surga) dan lantas berkata: Saya mendengar Abu Ad-Darda' radhiyallahu'anhu
berkata bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda:

‫املر ٔمبت ألٓمخر ٔمبزواهج‬

. HR. Muslim: 4381.


. Majmu' Fatawa Ibni 'Utsaimin: 2/53
. Majmu' Fatawa Ibni 'Utsaimin: 2/52
. Mushannaf AbdurRazzaq: 20599 , dan Ath-Thabaqat Al-Kubra – Ibnu Sa'ad: 8/251. Secara
tampak riwayat ini munqathi'/terputus sanadnya karena Ikrimah tidak mendapati kehidupan Abu
Bakr radhiyallahu'anhu, kecuali bila ia mendengar kisah ini dari Asmaa' radhiyallahu'anha.
(Lihat: Ash-Shahihah: no. 1821).
Artinya: “Wanita itu diperuntukkan bagi suaminya yang terakhir (dalam surga)”.

Lalu ia berkata: "Saya tidak mau bila Abu Ad-Dardaa' tidak lagi bersamaku (di
surga kelak."

Meskipun hadis ini dhaif karena salah satu rawinya majhul, tapi dikuatkan oleh
ucapan Abu Bakr radhiyallahu'anhu sebelumnya dan juga ucapan Hudzaifah
radhiyallahu 'anhu bahwa ia berkata kepada istrinya: “Jika engkau ingin menjadi istriku
di dalam surga, maka janganlah menikah sepeninggalku karena wanita (bani Adam) di
dalam surga menjadi milik suaminya yang terakhir di dunia, sebab itu Allah Ta'ala
mengharamkan bagi istri-istri Nabi shallallahu'alaihi wasallam untuk menikah lagi
sepeninggal beliau karena mereka juga adalah istri-istri beliau di surga kelak.”

Sebagian ulama seperti Al-'Ajluni dan Ibnul-'Utsaimin rahimahumallah


berpendapat bahwa seorang wanita diberikan keleuasan untuk memilih salah satu dari
suami-suaminya tersebut dengan berdalil hadis Ummu Habibah radhiyallahu'anha
bahwa Rasulullah shallallahu'alaihi wasallam bersabda: "(Wanita yang banyak suami)
akan menjadi milik suami yang paling baik pergaulannya pada dirinya (ketika di
dunia)". Namun hadis ini daif jiddan atau lemah sekali.

Di antara karunia lain atas wanita penghuni surga adalah:

1)-Allah 'Azza wa Jalla menjadikan mereka muda belia kembali, serta mengembalikan
keperawanan mereka, sebagaimana sabda Rasulullah shallallahu 'alaihi wasallam:

‫ ا َّنن َّن َو‬... ٌ‫ا َّنن ااْم َوج َّن َوة َوَل َودْم ُم لُم َو َو ُمَع ز‬
‫ َوح َّن ا َو ُم َّن َأب ْمب َواك ًارا‬،‫اا ثَو َو َوىل ا َوذا َأب ْمد َو لَو ُم َّن ااْم َوج َّن َوة‬
‫ِإ‬ ‫ِإ‬ ‫ِإ‬
Artinya: “Sesungguhnya surga tidaklah dimasuki oleh wanita yang telah renta…
Sesungguhnya jika Allah memasukkan mereka ke dalam surga, Dia mengubah mereka
menjadi perawan (kembali)".

2)- Para ulama seakan sepakat bahwa wanita bani Adam yang menjadi penghuni surga
lebih elok dan cantik dibandingkan dengan para bidadari, hal ini disebabkan adanya
ibadah mereka kepada Allah Azza Wa Jalla. Ada beberapa hadis tentang hal ini namun
semuanya dhaif. Hayyan bin Jabalah rahimahullah berkata: "Sesungguhnya wanita-
wanita dunia itu, siapa saja di antara mereka masuk surga, maka mereka lebih utama

. Tarikh Ar-Riqqah: 3/39/2, dan Lihat: Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah: 3/275, no. 1821.
Juga HR Abu Asy-Syaikh dalam Thabaqat Ashbahan: 4/36, dan dalam sanadnya ada satu rawi
majhul. Hadis ini dinilai hasan oleh Abu Asy-Syaikh.
. HR Al-Baihaqi dalam Al-Kubra: 7/69-70 , dan Lihat: Silsilah Al-Ahaadits Ash-Shahihah:
3/276-277 , no. 1821. Sanadnya juga daif.
. Kasyf Al-Khafaa': 2/392
. Majmu' Fatawa Ibni 'Utsaimin: 2/53
. Hadis ini HR Ibnu Adi dalam Al-Kaamil (1/354) dan Ath-Thabarani dalam Al-Kabir (), di
dalam sanadnya ada dua rawi yang dhaif yaitu 'Ubaid bin Ishaq Al-'Aththar dan Sinaan bin
Harun Al-Burjumi.
. HR. Abu Nu‟aim dalam Sifatul-Jannah: 143, dan dinilai hasan oleh Al-Albany dalam Al-
Irwa‟: 375
(lebih baik dan cantik) dari pada para bidadari disebabkan amalan-amalan saleh mereka
ketika di dunia."
Syaikh Ibnul-'Utsaimin rahimahullah juga menegaskan: "Wanita salehah yang
hidup di dunia akan lebih indah dari pada para bidadari di surga, lebih baik dan lebih
dicintai suaminya; karena Nabi shallallahu'alaihi wasallam mengabarkan bahwa
golongan pertama yang masuk surga adalah orang-orang yang wajahnya laksana
rembulan di malam purnama."

Jadi, seorang wanita yang masuk surga sebagai ganjaran atas amal-amal saleh dan
kesabarannya ketika di dunia, serta sebuah pengharggan dan pemuliaan Allah terhadap
dirinya. Adapun para bidadari, maka mereka dimasukkan dalam surga hanya sebagai
hiasan dan pelengkap kenikmatan surga, bukan karena amal-amal saleh mereka.

3)-Di dalamnya juga para wanita-wanita surga ini senantiasa tertutup dalam istana-
istana megah dan mereka senantiasa menundukkan pandangan kecuali terhadap suami-
suami mereka. Imam Ibnul-Qayyim rahimahullah berkata: "Di dalam surga setiap orang
tidak lagi bisa mendekati istri-istri orang lain."

4)-Para wanita dari bani Adam adalah penghuni surga paling banyak, sebagaimana
mereka juga adalah penghuni neraka paling banyak. Imam Muslim rahimahullah
meriwayatkan dalam shahihnya bahwa Imam Muhammad Ibnu Sirin rahimahullah
mengisahkan: “Kadang mereka (para tabiin laki-laki dan wanita) berdebat dan kadang
saling berdialog: apakah laki-laki atau wanita yang paling banyak di surga?” Maka Abu
Hurairah radhiyallahu'anhu berkata (mengisyaratkan wanitalah yang paling banyak):
Bukankah Abul-Qasim shallallahu'alaihi wasallam telah bersabda:

‫ َوواا َّن ِم ثَو ِملْيَو عَو َو َأب ْم َو ا َون ْم َون ٍضب د ّمِمُمر ٍض ّمي ِميف َّن‬،‫ِإا َّنن َأب َّنو َول ُمز ْمم َور ٍضت ثَودْم ُمُمل ااْم َوج َّن َوة عَو َو ُمظ َور ِمت ااْملَو َو ِمر ا َو ْم َو َوَل ااْم َوبدْم ِمر‬
‫ ِما ُم ِمّم‬،‫ااس َو ِمء‬
‫ك ا ْمم ِمرئٍض‬
‫ َوو َوم ِميف ااْم َوج َّن ِمة َأبع َوْمل ُمة ِإ‬، ‫ ر ُمم ُّن ُمس ِمك ِم َو ِمم ْم َوو َورا ِمء الل َّن ْم‬،‫ِمم ْم ُم َوز ْمو َوجذَو ِمن ا ْملَوذَو ِمن‬
‫ِم‬ ‫ُم َو‬ ‫ْم‬
Artinya: “Kelompok pertama yang masuk surga itu memiliki wajah seperti bulan
pada malam purnama. Rombongan berikutnya seperti bintang paling terang yang
berkilau di atas langit. Setiap orang memiliki dua istri, yang sumsum tulang betisnya
tampak dari balik daging. Di surga itu tidak ada orang yang tidak beristri.”

Tentang hadis ini, Imam Nawawi rahimahullah menukilkan dari Qadhi 'Iyadh
rahimahullah bahwa ia berkata: "Secara lahir, hadis ini menunjukkan bahwa wanita
(dari bani Adam) itu adalah penghuni surga paling banyak (karena satu laki-laki
beristrikan dua wanita), sedangkan di hadis lain disebutkan bahwa mereka adalah
penghuni neraka terbanyak. Dari sini disimpulkan bahwa kaum wanita itu adalah jenis
bani Adam yang paling banyak, dan ini semuanya berasal dari bani Adam."

Hafidz Ibnu Hajar rahimahullah juga menyatakan bahwa hadis di atas yang

. Az-Zuhd – Ibnul-Mubarak: 255, dan Az-Zuhd – Hannaad: 23.


. Fatawa An-Nur 'ala Ad-Darb: 2/4 (Syamilah)
. Haadi Al-Arwah: Hal. 43
. HR Muslim: 4381
. Syarah Shahih Muslim: 17/172
menunjukkan wanita di surga lebih banyak dari pada laki-laki, secara tampak seakan
bertentangan dengan hadis:

‫إمِن ُبر ُمخ ٔمبنرث ٔمبهل اا ر‬


Artinya: "Sesungguhnya diperlihatkan padaku bahwa kalian (kaum wanita)
adalah penghuni nereka terbanyak"

Kemudian beliau mensinkronkan keduanya dengan menyebutkan dua cara:

1-Penyebutan mereka sebagai penghuni neraka terbanyak tidak mesti menunjukkan


bahwa jumlah mereka di surga lebih sedikit dari kaum laki-laki.

2-Banyaknya wanita di neraka itu adalah saat semua manusia pertama kali dimasukkan
ke dalam surga dan neraka, namun setelah ahli maksiat (termasuk kaum wanita
muslimah yang banyak) yang disucikan dosa-dosanya dengan siksa neraka dipindahkan
ke surga melalui syafaat, maka kaum wanita pun mendominasi surga.

Imam Al-Qurthubi rahimahullah berkata: "Banyaknya wanita di neraka


kemungkinannya adalah pada saat permulaan para wanita itu ada dalam neraka. Tetapi
setelah mereka keluar darinya melalui syafaat dan rahmat Allah, maka tidak ada seorang
pun tersisa di dalamnya dari orang yang meyakini "Laailaahaillallaah". Sehingga saat
itu, kaum wanita pun menjadi lebih banyak di surga. Pada saat itulah, setiap laki-laki
memiliki dua istri yang berasal dari dunia. Adapun para bidadari, maka setiap laki-laki
mungkin akan mendapatkan jumlah banyak dari mereka."

Semoga Allah Ta'ala memperbaiki kondisi kaum hawa zaman ini, menjauhkan
mereka dari neraka dan memasukkan mereka ke dalam surga-Nya… Aamiin.

. HR Bukhari: 304
. Lihat: Fath Al-Bari: 6/325
. At-Tadzkirah bi Ahwaal Al-Mauta: Hal. 983

Anda mungkin juga menyukai