Kekerasan
Disusun Oleh :
1. Eugenius C T
2. Virtuoso Vivaldi
3. Agatha V
4. Putri P
5. Juan Veron
1
BAB I
PENDAHULUAN
Di dunia ini ada kasih dan kekerasan. Keduanya saling bertentangan satu
sama lain. Di mana ada kasih, di sana tidak ada kekerasan, dan sebaliknya.
Tuhan berpesan kepada manusia untuk mengasihi, baik mengasihi Tuhan,
maupun mengasihi sesama manusia. Tuhan tidak menginginkan manusia
memakai kekerasan, karena Ia adalah pribadi yang lemah lembut dan tidak
menyukai kekerasan. Tuhan menginginkan manusia hidup damai dalam kasih,
seperti yang telah dipesankannya. Ironisnya, manusia yang hidup dalam
kekerasan dan pertikaian jauh lebih banyak jumlahnya dibandingkan manusia
yang hidup dalam kasih dan damai sejahtera. Mereka seolah tidak pernah
mengenal kasih, yang mereka kenal hanyalah kekerasan dan konflik.
Dewasa ini, lebih banyak manusia yang lebih mudah memusuhi dan
melakukan kekerasan terhadap orang lain dibandingkan dengan manusia yang
mengasihi sesama dengan tulus. Kasih perlahan mulai hilang dari hati manusia,
digantikan oleh rasa benci, dendam, marah, iri hati, egois, yang membuahkan
kekerasan.
Sejak akhir abad XX dan awal abad XXI, konflik dan kekerasan merebak di
mana-mana, termasuk Indonesia. Hal ini menjadi keprihatinan Gereja yang
menganut ajaran kasih yang merupakan ajaran Yesus. Karena kekerasan, wajah
bangsa Indonesia yang tadinya ramah dan penuh kelemahlembutan tercoreng
dengan berbagai macam tindakan yang bertentangan dengan kasih.
2
BAB II
KASIH
Ada empat kata dalam bahasa Yunani untuk kasih yang penting dimengerti
orang Kristen. Kata-kata itu adalah agape, phileo, storge, dan eros. Keempat
kata tersebut merupakan jenis-jenis kasih, yang digolongkan berdasarkan siapa
yang dikasihi.
a. Kasih Eros
Eros adalah bahasa Yunani untuk kasih seksual atau hasrat kasih (dalam
bahasa Inggris disebut erotic). Secara alkitabiah, kasih eros diartikan
sebagai hawa nafsu. Dalam bahasa Yunani, jika kata eros digunakan
sebagai kata benda, menunjuk kepada dewa kasih Yunani. Kasih eros
umumnya muncul karena hal-hal lahiriah (penampilan fisik) ataupun
3
rohaniah (muncul karena kemampuan seseorang maupun karakternya).
Kasih eros berpusat pada diri sendiri, sehingga cenderung bersifat
negatif. Orang-orang Yunani menggambarkan kasih Eros dengan simbol
ular yang memakan ekornya sendiri, artinya adalah adanya ketertarikan
dan kecintaan pada diri sendiri, sehingga secara ekstrim dapat
digambarkan sebagai seseorang yang memakan dirinya sendiri.
Seseorang yang memiliki kasih eros akan kelihatan seperti mengasihi
namun bila diamati lebih lanjut maka ego orang tersebut dapat ditemukan.
Kasih eros sangat pandai menipu karena menjanjikan kenyamanan,
penampilan yang baik, kesenangan dan kenikmatan namun
menyembunyikan akibat buruk bagi orang-orang yang memilih kasih
semacam ini. Kasih eros hanya menuntut, merampas dan menyedot.
Sayangnya banyak yang mengasihi Tuhan dengan kasih eros , mereka
rajin beribadah, berdoa, memberi dan membaca Alkitab supaya
mendapatkan banyak berkat dan kekayaan, mereka melakukan ibadah
bukan karena mengasihi Tuhan namun karena hawa nafsu (berdasarkan
Yak 4: 1-3).
b. Kasih Phileo/Filia
Phileo berarti “memiliki minat yang spesial kepada seseorang atau
sesuatu, sering kali dengan fokus kepada kerja sama yang dekat;
memiliki kasih sayang terhadap, seperti memandang seseorang sebagai
sahabat.” Kata ini menunjuk kepada perasaan suka yang kuat atau
persahabatan yang kuat. Kasih phileo adalah kasih persaudaraan yang
timbal balik, artinya kasih yang diungkapkan adalah sebagai balasan atas
kasih yang sudah kita terima. Kasih Phileo merupakan kasih yang
terbatas dan dapat berubah-ubah karena pada dasarnya kasih phileo ini
adalah kasih manusia, dimana seseorang dapat memiliki kasih ini
sekalipun dia belum mengalami lahir baru di dalam Tuhan. Kasih
phileo bagaikan sebuah jalan yang ujungnya buntu. Kasih phileo
mengikuti keadaan hati, jika hati terluka dan sakit maka kasih phileo pun
berubah pula. Di dalam kasih phileo juga ada unsure perasaan, emosi,
kehangatan dan kesetiakawanan (berdasarkan Roma 12:10; Ibrani 13:1).
Kasih yang mendasari hubungan antara teman ini tidak begitu stabil. Hal
4
ini dapat dilihat dari banyaknya permusuhan atau perselisihan yang
terjadi antar teman.
c. Kasih Storge
Kasih storge ditimbulkan oleh adanya ikatan darah, misalnya antara
orangtua dan anaknya, atau orang yang bersaudara. Sifat kasih storge
pada dasarnya mirip dengan kasih phileo. Kata storge muncul dalam
Roma 12:10 dengan kata “philostorgos”, yang merupakan gabungan kata
philos (bentuk kata benda dari phileo) dan storge.
d. Kasih Agape
Kasih agape adalah tingkatan tertinggi dari semua kasih. Agape adalah
sifat inti Tuhan, karena Tuhan adalah kasih (berdasarkan 1 Yoh. 4:7-12,
16b). Cara untuk mengerti kasih agape adalah dengan menyadari bahwa
kasih agape dapat dikenal dari tindakan yang mendorongnya. Agape
adalah kasih karena apa yang dilakukannya, bukan karena bagaimana
perasaannya. Jika manusia memiliki kasih agape, ia akan mengasihi
musuhnya dengan bertindak dalam kasih kepada musuhnya itu. Kasih
Agape adalah kasih yang Allah perintahkan untuk dilakukan manusia
dalam kehidupan sehari-hari (berdasarkan Yoh 13:34). kasih Agape
adalah perintah Tuhan, bukan sekedar undangan yang boleh tidak
dipenuhi. Kasih Agape tidak pernah gagal dan tak pernah berkesudahan
(1 Kor 13:8). Kasih agape berkaitan dengan ketaatan dan komitmen.
Kasih Agape ini akan bekerja dengan sempurna manakala kita
mempraktekkannya dengan penuh ketaatan bukan sebagai suatu
perasaan belaka.
Contoh yang paling mendasar dari kasih agape adalah Tuhan yang
sangat “mengasihi” (agape) dunia ini sehingga Ia memberikan Anak-Nya
yang tunggal (berdasarkan Yoh. 3 : 16). Kristus sangat mengasihi (agape)
manusia sehingga Dia memberikan hidup-Nya, padahal sebenarnya Ia
tidak mau wafat, tetapi karena Ia mengasihi manusia, Ia melakukan apa
yang diminta oleh Bapa.
5
Dalam berbagai perikop di dalam Kitab Suci, dapat ditemukan bahwa kasih
Allah tidak memaksakan diri pada orang lain. Orang-orang datang kepada-Nya
sebagai respons terhadap kasih-Nya. Kasih Allah menyatakan kemurahan pada
semua orang.
Kasih Yesus berupa berbuat baik kepada semua orang tanpa memandang
bulu. Kasih Yesus tidak iri hati atau cemburu pada apa yang dimiliki orang lain,
melainkan hidup sederhana tanpa mengeluh. Yesus yang penuh kasih tidak
membesar-besarkan diri sekalipun Ia adalah Putra dari Sang Pencipta, bahkan Ia
rela menjadi sama dengan manusia. Kasih Allah tidak menuntut ketaatan. Allah
tidak menuntut ketaatan dari Putra-Nya, namun Putra-Nya secara sukarela
menaati Bapa-Nya di surga. Hal ini dapat dilihat dalam Yohanes 14 : 31 yang
berbunyi : ”Dunia tahu, bahwa Aku mengasihi Bapa dan bahwa Aku melakukan
segala sesuatu seperti yang diperintahkan Bapa kepada-Ku” (Yohanes 14:31).
Kasih Yesus juga dibuktikan dalam ajaran-Nya, Yesus bukan saja mengajak
manusia untuk tidak menggunakan kekerasan menghadapi musuh-musuh, tetapi
juga mengasihi musuh dengan tulus. Ia mengajak manusia untuk mengasihi
sesama, siapapun itu, termasuk musuh atau orang yang paling tidak disukai
sekalipun, sebagai perwujudan dari budaya kasih. Pada zaman Yesus, ajaran
Yesus tentang mengasihi sesama sangat bertolak belakang dengan hukum yang
berlaku saat itu, mata ganti mata, gigi ganti gigi. Tetapi Yesus berhasil mengubah
hukum yang telah berlaku selama berabad-abad itu, Ia mengajarkan manusia
untuk mengikuti kasih Bapa di surga yang mengasihi setiap orang. Untuk
menghayati kasih Bapa di surga diperlukan dasar kasih Kristiani yang berupa
keyakinan dan kepercayaan bahwa semua orang adalah anak-anak Bapa di
surga.
Mengasihi Pencipta dan sesama adalah perintah Allah yang harus ditaati,
tidak bersifat opsional. Manusia harus mengasihi karena Allah telah terlebih
dahulu mengasihi manusia. Jika manusia mengasihi, manusia menjadi sahabat
Allah. Yohanes 15 : 12-14 berbunyi : “Inilah perintah-Ku, yaitu supaya kamu
saling mengasihi, seperti Aku telah mengasihi kamu. Tidak ada kasih yang lebih
besar dari pada kasih seorang yang memberikan nyawanya untuk sahabat-
sahabatnya. Kamu adalah sahabat-Ku, jikalau kamu berbuat apa yang
Kuperintahkan kepadamu.”. Manusia yang saling mengasihi berkenan di
hadapan Allah, seperti ayat yang berbunyi : “…barangsiapa mengasihi Aku, ia
6
akan dikasihi oleh Bapa-Ku dan Akupun akan mengasihi dia dan akan
menyatakan diri-Ku kepadanya.” (Yoh 14: 21)
Tidak ada artinya kalau hanya mulut yang memuji dan memuliakan Allah,
atau hanya karena atribut, sikap dan ritual yang menampakkan citra sebagai
orang suci. Mengasihi Allah harus dari lubuk hati dan harus diwujudkan dalam
tingkah laku kita sehari-hari. Mengasihi Allah berarti juga mengasihi semua
ciptaan-Nya, tidak terkecuali musuh. Ciptaan Allah adalah alam semesta ini
berikut segala isinya, yaitu manusia, binatang (di darat, di laut dan di udara), dan
juga tumbuh-tumbuhan.
Setiap orang akan sangat marah atau sedih jika pemberiannya kepada
seseorang kemudian rusak atau bahkan sengaja dirusak oleh orang tersebut.
Mereka tentu akan merasa tidak dihargai dan tidak dihormati oleh orang yang
merusak itu. Apalagi jika pemberian itu diberikan dengan hati yang tulus dengan
maksud yang baik.
Semua ucapan terima kasih atau puji-pujian yang diucapkan atau sikap
sopan dengan membungkuk yang dilakukan oleh si penerima itu pasti tidak akan
ada artinya lagi bagi yang memberikannya. Demikian juga dengan Allah. Allah
yang dapat melihat apa yang tersembunyi, yaitu yang ada dalam lubuk hati
manusia, tidak akan menghargai semua puji-pujian atau atribut atau sikap yang
menampilkan citra suci itu jika ternyata manusia tidak menghargai dan
menghormati ciptaan-Nya yang diberikan-Nya kepada manusia. Sikap munafik
seperti itu sangat dibenci dan bahkan dikutuk oleh Allah.
Manusia diciptakan oleh Allah sesuai dengan citra Allah. Manusia diberi roh
sehingga manusia memiliki sebagian kemuliaan Allah. Dan alam seisinya pun
diberikan kepada manusia. Tidak berlebihan jika Allah juga menuntut agar
manusia juga saling mengasihi seperti Allah yang sangat mengasihi manusia.
Suatu agama atau ajaran kepada Allah tidak akan ada artinya jika tidak
menghargai dan menghormati semua ciptaan Allah, yaitu manusia lain, alam,
binatang dan tumbuh-tumbuhan.
7
Jika manusia sudah mulai dapat menghargai dan menghormati diri sendiri,
sesama manusia dan juga kepada bumi, binatang dan tumbuhan, berarti
manusia juga menghargai dan menghormati Allah yang telah memberikan itu
semua kepada manusia. Inti dari ajaran Yesus Kristus, yaitu: “Kasihilah Tuhan,
Allahmu, dengan segenap hatimu dan dengan segenap jiwamu dan dengan
segenap akal budimu. Itulah hukum yang terutama dan yang pertama. Dan
hukum yang kedua, yang sama dengan itu, ialah: Kasihilah sesamamu manusia
seperti dirimu sendiri. Pada kedua hukum inilah tergantung seluruh hukum Taurat
dan kitab para nabi.” (Matius 22:37, berdasarkan: Matius 5:43, 5:44, 19:19,
Markus 12:30-31, Lukas 6:27, 6:35, 10:27, Yohanes 15:17)
8
BAB III
KEKERASAN
9
dan status sosial ekonomi rendah lebih rentan melakukan tindak
kekerasan. Gaya hidup modern yang mengagungkan hedonisme
(kesenangan duniawi) mulai merambah berbagai kalangan, entah
kalangan atas, entah kalangan bawah. Bagi kalangan atas, kesenangan
duniawi dapat dicapai dengan harta yang dimiliki, sedangkan kalangan
bawah hanya memiliki sumber daya yang sangat terbatas, sehingga akan
mudah sekali timbul frustrasi di kalangan bawah.
Reaksi terhadap frustrasi tersebut umumnya ada tiga. Pertama,
menghindari situasi yang menyebabkan frustrasi tersebut. Kedua, tingkah
laku apatis (acuh tak acuh). Ketiga, dengan melakukan tingkah laku
agresi. Biasanya keputusan untuk menggunakan salah satu dari ketiga
reaksi tersebut didasarkan pada pertimbangan apakah pelaku merasa
dirinya lemah (minoritas) ataukah kuat (berkuasa/mayoritas).
Jika pelaku merasa lemah, ia akan mengambil keputusan untuk
melakukan tingkah laku menghindar terhadap situasi yang menyebabkan
frustrasi. Tetapi jika situasi tersebut ternyata tidak bisa lagi dihindari,
maka reaksi apatis (acuh tak acuh) menjadi pilihan yang terakhir.
Sebaliknya jika pelaku merasa dirinya lebih kuat, dia akan melakukan
tindakan agresi terhadap situasi yang menyebabkan frustrasi.
c. Faktor kepribadian
10
Pada gangguan jiwa ada istilah gangguan kepribadian, salah satunya
adalah gangguan kepribadian dengan pola agresif. Orang yang
mengalami gangguan kepribadian pola agresif ini dicirikan dengan
tingkah laku yang mudah tersinggung dan destruktif (merusak) bila
keinginannya tidak tercapai atau bila menghadapi situasi yang
menyebabkannya menjadi frustrasi. Selain gangguan kepribadian, tingkah
laku kekerasan juga terjadi karena adanya kepribadian status.
Kepribadian status adalah kepribadian yang dimiliki oleh seseorang
berkaitan dengan statusnya. Kepribadian status ini seringkali berbeda
bahkan sangat berbeda dengan kepribadian asli dari orang yang
bersangkutan. Contoh dari kepribadian status tersebut adalah peristiwa
kekerasan yang dilakukan para praja senior STPDN terhadap para praja
junior STPDN (sekarang IPDN). Di kehidupan sehari-hari mungkin
mahasiswa yang melakukan tindak kekerasan tidak pernah ditemui
melakukan hal yang sama kepada orang lain. Status sebagai senior
menyebabkannya berperilaku keras terhadap juniornya.
11
terutama lembaga politik. Dalam hal ini negara gagal menerapkan sebuah politik
yang menunjang integritas Indonesia sebagai satu bangsa.
Fenomena seperti pecahnya otoritas pemerintah, buyarnya otoritas negara,
semakin intensifnya konflik etnis dan agama, pengungsi yang berjumlah puluhan
juta, dan pembasmian etnis tertentu merupakan gejala-gejala yang mengancam
integritas bangsa. Mungkin kesalahan yang paling besar yang dibuat pemerintah
Indonesia sejak awal adalah menerima kesatuan Indonesia itu sebagai “taken for
granted” sebagai barang yang sudah jadi. Padahal, kesatuan itu tidak dapat
diolah secara paksa tetapi harus dibangun bersama-sama.
Kebijakan politis yang sentralistis di mana pemerintah sangat dominant dan
sering menyamakan dirinya dengan negara, pola relasi ”pusat pinggiran” dalam
segala nuansanya boleh dianggap sebagai akar konflik berdarah seperti di Aceh,
Papua, dan Sampit. Pusat menghendaki sentralisasi sedangkan daerah
menuntut sebuah otonomi. Karena itu ada DOM(daerah operasi militer) di Aceh
dan penempatan banyak tentara di Irian Jaya.
12
Contoh kekerasan tidak langsung adalah melempar batu ke rumah orang dan
uji coba bom/nuklir. Dalam peristiwa ini, tetap ada kekerasan fisik dan psikologis.
Meski kelihatanya tidak makan korban, namun hal itu tetap membatasi tindakan
manusia dan membawa ketakutan. Dalam dua aksi ini kelihatannya tidak ada
objek langsung manusia, namun dampaknya luas bagi manusia secara fisik dan
psikologis.
Suatu kekerasan disebut kekerasan biasanya jika ada pelakunya. Jika tidak
ada pelaku, kekerasan itu disebut kekerasan tersamar atau kekerasan struktural.
Dalam kekerasan biasa, kita mudah melacak pelakunya sedangkan dalam
kekerasan struktural sulit ditemukan pelakunya. Hal ini sering juga dikenal
dengan istilah “black power”. Kondisi kekerasan struktural yang kita temukan
sering juga digelar sebagai “ketidakadilan sosial”.
Menurut Galtung, kekerasan terjadi ketika manusia dipengaruhi sedemikian
rupa sehingga realisasi jasmani dan mental aktualnya berada di bawah realisasi
potensialnya. Kekerasan terjadi ketika manusia terhambat potensinya sehingga
tidak dapat bertumbuh kembang optimal. Jadi kekerasan tidak hanya dalam
pengertian sempit perlakuan fisik, namun juga mental, yang terlihat maupun tidak
terlihat, yang berefek langsung maupun tidak langsung.
Galtung (1998) juga memperkenalkan istilah "Segitiga Kekerasan"-kekerasan
langsung, struktural, dan kultural. Kekerasan langsung melukai kebutuhan dasar
manusia, tetapi tak ada pelaku langsung yang bisa dimintai tanggung jawabnya.
Sementara kekerasan kultural adalah legitimasi atas kekerasan struktural
maupun kekerasan langsung secara budaya.
Sedangkan kekerasan struktural terjadi akibat adanya struktur di masyarakat
yang menekan dan menghambat masyarakat untuk tumbuh berkembang secara
optimal. Menurut Galtung, kekerasan bisa mencuat dari salah satu sudut
"Segitiga Kekerasan", lalu menjalar dan dipertajam dari dua sudut lain.
Sebaliknya, ketika legitimasi kultural atas kekerasan berkurang, terjadi
peredaman kekerasan langsung maupun struktural.
16
yang sangat ideal, indoktrinasi adalah sarana ampuh yang harus dilestarikan,
sistem monopartai adalah kehendak Tuhan.
Sebuah tindakan dan sikap yang melihat dunia dengan sebuah tafsiran
eksploitatif. Bumi manusia tidak dilihat lagi secara akrab dan demi kehidupan
manusia itu sendiri.
17
BAB IV
18
1. Dialog dan komunikdasi dengan kelompok lain.
Hal ini dimaksudkan agar kelompok-kelompok yang bersangkutan saling
memahami dan tidak terjadi kesalahpahaman. Dengan diadakannya
komunikasi yang jujur dan tulus, segala prasangka buruk dapat diatasi.
2. Kerja sama atau membentuk jaringan lintas batas untuk memperjuangkan
kepentingan umum yang merupakan pilihan bersama.
Rasa senasib dan seperjuangan di antara kelompok-kelompok dapat
mengakrabkan kelompok-kelompok tersebut satu sama lain.
20
BAB V
1.Agama memberikan bahasa, mitologi, ilustrasi yang bisa digunakan oleh para
pemimpin politik atau politik keagamaan untuk memotivasi umatnya melakukan
kekerasan.
2.Agama merupakan sumber identitas yang sangat kuat; oleh sebab itu apabila
para pemimpin politik menggunakan agama, berdasarkan agama yang mayoritas,
untuk mengkonstruksi sebuah identitas nasional, maka pintu terhadap kekerasan
akan terbuka lebar.
3.Agama bisa digunakan secara politis untuk mencapai tujuan pribadi atau
kelompok yang berkaitan dengan kekuasaan, ekonomi atau perkara material
lainnya.
22
5.1.2 Kekerasan Agama Berdasarkan Teori John D’Mello
5.1.2.1 Kekerasan dan Intepretasi Agama
Perlu disadari bahwa faktor kekerasan agama tidak hanya dipicu oleh faktor
eksternal seperti kepentingan politik, ekonomi dan sosial. Faktor internal juga
dapat memberikan kontribusi yang besar. Masalah interpretasi merupakan salah
satu masalah utama yang bisa mendorong umat beragama melakukan tindak
kekerasan.
Di dalam sejarah kekristenan banyak tindakan kekerasan yang dilakukan
oleh Gereja karena kesalahan dalam melakukan penafsiran terhadap Kitab Suci.
Orang-orang yang tekstualis memahami apa yang tertulis di dalam Alkitab secara
literal dan menerapkannya di dalam konteks yang berbeda. Proses eksegese
yang sebenarnya diabaikan sehingga mereka gagal untuk mendapatkan makna
dari apa yang tertulis dan memusatkan perhatian terhadap teks secara mentah
tanpa melakukan penggalian apapun.
Salah satu contoh yang memalukan adalah Perang Salib yang merupakan
gelombang dari pertikaian agama bersenjata yang dimulai oleh Gereja pada
periode 1095 - 1291. Perang ini direstui oleh Paus atas nama Agama Kristen,
dengan tujuan untuk menguasai kembali Yerusalem dan “Tanah Suci dari
kekuasaan Muslim. Seorang tentara Salib, sesudah memberikan sumpah
sucinya, akan menerima sebuah salib dari Paus atau wakilnya dan sejak saat itu
akan dianggap sebagai “tentara Gereja”. Selanjutnya, “Penebusan Dosa” adalah
faktor penentu dalam hal ini. Ini menjadi dorongan bagi setiap orang yang
merasa pernah berdosa untuk mencari cara menghindar dari kutukan abadi di
Neraka. Persoalan ini diperdebatkan dengan hangat oleh para tentara salib
tentang apa sebenarnya arti dari “penebusan dosa” itu. Kebanyakan mereka
percaya bahwa dengan merebut Yerusalem kembali, mereka akan dijamin
masuk surga pada saat meninggal dunia.
Perang yang meniru model penguasaan tanah Kanaan di Perjanjian Lama ini
sudah jelas merupakan produk dari kegagalan Gereja dalam melakukan
intepretasi Kitab Suci secara benar. Akibatnya kesalahan tersebut merembet ke
faktor-faktor eksternal seperti politik, ekonomi dan kekuasaan. Jemaat Gereja
yang pada jaman itu tidak diperkenankan memiliki Alkitabnya sendiri dengan naif
23
mempercayai para pemimpin agama mereka dan bergabung dengan pasukan
perang salib.
Hal yang sama terjadi dengan praktek perbudakan di Amerika yang dilakukan
secara legal pada tahun 1654 sampai 1865. Pelanggaran terhadap hak asasi
manusia tersebut dilegalkan dengan ayat-ayat Alkitab yang menunjukkan bahwa
orang-orang yang hidup di jaman PL dan PB pun melakukan praktek perbudakan.
Jajang Jahroni seorang peneliti dari Jaringan Islam Liberal juga memaparkan
kesalahan yang sama terjadi di Islam khususnya di Indonesia. Berdasarkan
survei yang dilakukan, dia mengambil kesimpulan bahwa perilaku kekerasan
agama di Indonesia berkorelasi positif dengan pemahaman agama yang tekstual.
Ajaran-ajaran agama tentang kekerasan baik itu berasal dari Alqur’an, seperti
kebolehan suami memukul istri bila ia mangkir dari kewajibannya (Q.S. 4: 34-35),
maupun Sunnah seperti hadis yang menyatakan anak perlu diperintahkan salat
ketika berumur tujuh tahun, dan boleh dipukul (bila tidak salat) ketika berumur
sepuluh, adalah sedikit contoh dari ajaran Islam tentang perlunya kekerasan.
Survei menunjukkan bahwa orang yang bersedia merusak Gereja yang tidak
memiliki izin berjumlah 14,7%, mengusir kelompok Ahmadiyah 28,7%, merajam
orang berzina 23,2%, perang melawan non-muslim yang mengancam 43,5%,
menyerang atau merusak tempat penjualan minuman keras 38,4%, mengancam
orang yangg dianggap menghina Islam 40,7%, jihad di Afghanistan dan Irak
23,1%, dan jihad di Ambon dan Poso 25,2%. Sementara untuk bentuk tindakan
kekerasan yang bersifat domestik, diperoleh tingkat kesediaan berikut: mencubit
anak agar patuh pada orangtua 22%, memukul anak di atas sepuluh tahun agar
salat 40,7%, suami memukul istri jika tidak melakukan kewajibannya 16,3%.
Jajang Jahroni menolak untuk mengatakan bahwa agama merupakan
sumber dari kekerasan akan tetapi pemahaman yang tekstualis terhadap Kitab
Suci agama tersebut bisa menjadi variabel yang paling signifikan dalam
mendorong timbulnya perilaku kekerasan agama. Di samping mendorong
perilaku kekerasan agama, tekstualisme dan Islamisme juga berkorelasi positif
dengan perilaku kekerasan umum dan kekerasan negara. (Jajang Jahroni,
Tekstualisme, Islamisme dan Kekerasan Agama, dalam: Islamlib.com, 07
Agustus 2008).
28
Beliau memilih Kesusteran Loreto karena panggilan mereka adalah untuk
menyediakan pendidikan bagi anak perempuan. Setelah beberapa bulan
pelatihan di Institut "Blessed Virgin Mary" di Dublin dia dikirim ke Darjeeling di
India sebagai suster novisiat. Pada 1931 dia melakukan kaulnya yang pertama di
sana, memilih nama Suster Maria Teresa sebagai penghormatan kepada Teresa
Avila dan Thérèse de Lisieux. Dia mengambil kaulnya yang terakhir pada Mei
1937, mendapatkan gelar keagamaan Bunda Teresa.
Dari 1930 sampai 1948 Bunda Teresa mengajar geografi dan katekisme di
SMA St. Mary di Kalkuta, menjadi kepala sekolah pada 1944. Beliau kemudian
mengatakan bahwa kemiskinan di sekitar meninggalkan kesan yang dalam
dirinya. Pada September 1946, atas keinginan sendiri, dia menerima panggilan
yang dalam dari Tuhan "untuk melayani Dia di antara termiskin dari yang miskin".
Pada 1948 beliau menerima izin dari Paus Pius XII, melalui Uskup Agung
Kalkuta, untuk meninggalkan komunitasnya dan hidup sebagai suster merdeka.
Dia keluar dari SMA tersebut dan setelah pendidikan pendek dengan "Medical
Mission Sisters" di Patna, dia kembali ke Kalkuta dan mendirikan tempat tinggal
sementara dengan "Little Sisters of the Poor" di perkampungan Moti Jihl, Kalkuta.
beliau kemudian memulai sekolah ruang terbuka untuk anak-anak tak memiliki
rumah. Kemudian beliau bergabung dengan sukarelawan penolong, dan dia
menerima dukungan finansial dari organisasi Gereja dan otoritas munisipal.
Pada Oktober 1950 Teresa menerima izin dari Vatikan untuk memulai
ordonya sendiri. Vatikan awalnya menamakannya "Diocesan Congregation of the
Calcutta Diocese", tapi kemudian berubah menjadi Missionaries of Charity, yang
misinya adalah untuk memberikan perhatian untuk (dalam katanya sendiri) "si
lapar, si telanjang, si gelandangan, si pincang, si buta, si lepra, dan semua orang
yang merasa tak diinginkan, tak dicintai, tak diperhatikan dalam masyarakat,
orang yang telah menjadi beban bagi masyarakat dan ditolak oleh siapa pun."
Dengan bantuan dari pejabat India dia mengubah sebuah kuil Hindu yang
telah ditinggalkan menjadi Kalighat Home for the Dying, sebuah 'rumah sakit
kecil' ("hospis") bagi si miskin. Tidak lama setelah dia membuka hospice lainnya,
Nirmal Hriday (Hati Murni), sebuah rumah lepra disebut Shanti Nagar (Kota
Kedamaian), dan sebuah panti asuhan, dan pada 1960-an telah membuka
banyak hospis, panti asuhan, dan rumah lepra di banyak tempat di India.
29
Pada 1965 dengan memberikan Decree of Praise, Paus Paulus VI
mengizinkan permintaan Bunda Teresa untuk mengembangkan ordonya ke
negara lain. Ordo Teresa mulai tumbuh cepat, dengan rumah-rumah baru dibuka
di banyak tempat di dunia. Rumah pertama ordo ini di luar India didirikan di
Venezuela, dan kemudian diikuti di Roma dan Tanzania, dan kemudian di
banyak negara di Asia, Afrika, dan Eropa, termasuk Albania. Sebagai tambahan,
rumah Missionaries of Charity pertama di Amerika Serikat didirikan di Bronx
Selatan, New York.
30
Perjuangannya dalam membela kaum miskin, tertindas dan terpinggirkan
oleh politik dan kepentingan para pejabat dengan "jeritan suara hati nurani"
menjadikan dirinya beroposisi selama masa pemerintahan Presiden Soeharto.
31
BAB VI
Banyak orang yang sangat menjunjung tinggi ego dan ambisinya serta
membenarkan dirinya sendiri atau golongannya dengan mengambil segala
sesuatu untuk kepentingan dirinya sendiri atau pun golongannya
mempergunakan segala cara, seperti kekerasan.
7.1 Kesimpulan
Kasih harus dibudidayakan, karena merupakan perintah Allah yang terutama.
Budaya kekerasan harus dicegah, bahkan dihapuskan agar dapat terwujud dunia
yang damai dan tentram serta penuh kasih, seperti yang dikehendaki Tuhan
dalam alam ciptaan-Nya.
7.2 Saran
Penyusun menyarankan agar dalam penyusunan makalah dengan tema yang
serupa di masa mendatang, data yang telah dikumpulkan dapat lebih dilengkapi
lagi.
33
DAFTAR PUSTAKA
Komisi Kateketik KWI. Perutusan Murid-Murid Yesus buku siswa IA. 2007.
Yogyakarta: Kanisius.
Komisi Kateketik KWI. Perutusan Murid-Murid Yesus buku siswa 2B. 2007.
Yogyakarta: Kanisius.
Firman Allah Yang Hidup. Jakarta: Centra Print.
Civis Vol. 01 No. 01 Okt 2009.
SUMBER LAINNYA
www.wikipedia.org
www.yahoo.com
www.google.com
www.docstoc.com
www.gizi.net
www.menegpp.go.id
www. tabloid_info.sumenep.go.id
www.obrolin.com
www.indonesia.irib.ir
www.berita8.com
www.hariansumutpos.com
www.tempointeraktif.com
www.lintasberita.com
34
LAMPIRAN
1. Kekerasan Gender
35
kesehatan. Termasuk pula kesempatan hidup jutaan perempuan. Pasalnya
penyiksaan psikologis selalu disertai penyiksaan fisik.
Dijelaskannya, kekerasan berbasis gender diakui sebagai masalah
kesehatan masyarakat dan merupakan pelanggaran serius hak asasi manusia.
Karena itu agama perlu mendukung kehormatan perempuan dan mengutuk
setiap kekerasan terhadap kaum perempuan.
Walaupun demikian, katanya, masih saja terdapat interpretasi yang tidak
tepat. ''Di mana agama dipergunakan sebagai dalih untuk menampikkan adanya
kekerasan yang mengakibatkan kehancuran hidup dan kesehatan perempuan,''
ujar Coquelin.
Dia berharap agama yang diajarkan kepada generasi muda menjadi wadah
upaya meningkatkan kesadaran mengenai gender dan hak-hak perempuan.
Suatu institusi pendidikan agama yang mengakar seperti pesantren dan pusat
pendidikan agama diharapkan merupakan pilihan yang tepat untuk menanamkan
pengertian lebih baik mengenai hak-hak perempuan, keadilan, dan kesetaraan
gender.
Lebih lanjut, ia menjelaskan pada 1999, UNFPA mendukung proyek
Penguatan Kemitraan antara Pemerintah dan Organisasi Non Pemerintah
(Ornop) untuk Manajemen Pencegahan dan Penghapusan Kekerasan terhadap
Perempuan. Proyek tersebut menghasilkan pengembangan rencana Aksi
Nasional Penghapusan Kekerasan terhadap Perempuan (RAN-PKTP) dan
pendirian pusat penanganan krisis berbasis rumah sakit di RSUPN Cipto
Mangunkusumo Jakarta.
Untuk menindaklanjuti keberhasilan proyek itu, UNFPA mendukung proyek
Jaringan Antar Agensi untuk Manajemen Pencegahan dan Penghapusan
Kekerasan terhadap Perempuan di Tingkat Pusat dan Lokal. Kali ini UNFPA
menyediakan bantuan sebesar US$200.000 untuk tahun anggaran selama 2004-
2005.
Jumlah tersebut dengan proporsi 77% untuk Yayasan Puan Amal Hayati,
Ornop yang mengampanyekan pencegahan dan penghapusan kekerasan
terhadap wanita. Untuk Kementerian Pemberdayaan Perempuan 18% dan 5%
untuk administrasi pengelolaan proyek di UNFPA.
Sementara itu, Menteri Pemberdayaan Perempuan Sri Redjeki Sumaryoto
mengharapkan program itu berjalan lancar dan memberi manfaat lebih dari yang
36
direncanakan. “Penandatanganan ini juga merupakan bentuk nyata dari dua hal
penting. Pertama, penghapusan kekerasan terhadap perempuan merupakan misi
ketiga dari enam misi pembangunan pemberdayaan perempuan. Kedua, sesuai
amanat GBHN, maka kegiatan ini menunjukkan betapa lembaga swadaya
masyarakat mendapat dukungan dari negara,” ujar Sri.
(sumber : www.gizi.net)
37