Anda di halaman 1dari 23

PANCASILA SEBAGAI PARADIGMA

PEMBANGUNAN HUKUM

Oleh:
KELOMPOK 4

Ahasti Alda Rahima (170331614062)


Anggelin Meike Qurnia P (170331614006)
Annida Elfiana Citra A (170331614055)
Eva Kurnia (170331614010)
Fatikatun Nafsiyah (170331614040)
Rio Sabdo Utomo (170331614073)

OFFERING C

PRODI S1 PENDIDIKAN KIMIA


JURUSAN KIMIA
FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERITAS NEGERI MALANG
2017
KATA PENGANTAR

Puji syukur kehadirat Allah SWT. yang telah berkenan memberikan


limpahan rahmat, taufiq serta hidayah-Nya sehingga penulis dapat menyusun dan
menyelesaikan makalah dengan judul “Pancasila Sebagai Paradigma
Pembangunan Hukum”. Makalah ini disusun dalam rangka memenuhi tugas mata
kuliah Pendidikan Pancasila.
Pada kenyataan yang ada, seluruh elemen masyarakat mutlak untuk
memahami Pancasila secara lengkap dan utuh. Itu dikarenakan berkaitan dengan
jati diri bangsa Indonesia, sehingga diperlukan pemahaman sejarah bangsa yang
mendalam. Seluruh rakyat Indonesia harus bisa memahami nilai-nilai dari
Pancasila, karena selain sebagai dasar negara Indonesia juga sebagai pandangan
hidup bangsa serta sebagai hasil dari perjanjian luhur bangsa saat mendirikan
negara.
Pada dasarnya nilai-nilai yang terkandung dalam Pancasila serta harfiah
memang telah dimiliki oleh bangsa Indonesia sejak zaman dulu bahkan sebelum
adanya negara. Nilai-nilai yang telah terpatri dalam jiwa bangsa Indonesia itu
adalah Ketuhanan, Kemanusiaan, Persatuan, Kerakyatan dan Keadilan. Dalam
nlai-nilai itu adalah sebuah perwujudan dari seluruh masyarakat Indonesia.
Kami menyadari banyak pihak yang telah ikut membantu dan memberikan
arahan sehingga makalah ini dapat terselesaikan dengan baik. Penulis menyadari
bahwa dalam penulisan makalah ini masih jauh dari kata sempurna. Oleh karena
itu, penulis mengharap kritik dan saran yang bersifat membangun guna untuk
perbaikan penulisan makalah yang selanjutnya. Dengan terselesaikannya
penulisan makalah ini, penulis berharap semoga makalah ini dapat bermanfaat
bagi pembaca.

Malang, 18 November 2017

Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu
pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, orang yang pertama kali
mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu tertentu
didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan mendasar
dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan suatu cabang
ilmu pengetahuan. Dengan demikian, paradigma sebagai alat bantu para
illmuwan dalam merumuskan apa yang harus dipelajari, apa yang harus
dijawab, bagaimana seharusnya dalam menjawab dan aturan - aturan yang
bagaimana yang harus dijalankan dalam mengetahui persoalan tersebut.Suatu
paradigma mengandung sudut pandang, kerangka acuan yang harus
dijalankan oleh ilmuwan yang mengikuti paradigma tersebut.
Suatu paradigma atau sudut pandang dan kerangka acuan tertentu,
seorang ilmuwan dapat menjelaskan sekaligus menjawab suatu masalah
dalam ilmu pengetahuan. Istilah paradigma makin lama makin berkembang
tidak hanya di bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti
bidang politik, hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang
dalam pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan,
orientasi, sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Istilah paradigma
makin lama makin berkembang dan biasa dipergunakan dalam berbagai
bidang kehidupan dan ilmu pengetahuan. Misalnya politik, hukum, ekonomi,
budaya.
Dalam kehidupan sehari - hari, paradigma berkembang menjadi
terminology yang mengandung pengertian sumber nilai, kerangka pikir,
orientasi dasar, sumber asas, tolak ukur, parameter, serta arah dan tujuan dari
suatu perkembangan, peru bahan, dan proses dalam bidang tertentu, termasuk
dalam pembangunan. Berdasarkan latar belakang tersebut, maka dalam
penulisan ini akan diberi judul “Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Hukum”.
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang tersebut, penulis merumuskan masalah
sebagai berikut.
1. Bagaimana gambaran umum Pancasila sebagai paradigma
pembangunan hukum?
2. Bagaimana idealisasi Pancasila sebagai paradigma pembangunan
hukum?
3. Bagaimana fakta Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum di
masyarakat?
4. Bagaimana solusi Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum?

C. Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah tersebut, berikut ini dipaparkan tujuan
penulisan makalah.
1. Mendeskripsikan gambaran umum Pancasila sebagai paradigma
pembangunan hukum.
2. Memaparkan idealisasi Pancasila sebagai paradigma pembangunan
hukum.
3. Memaparkan fakta Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum
di masyarakat.
4. Menjelaskan solusi Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum.
BAB II
BAHASAN

A. Gambaran Umum Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum


1. Pengertian Paradigma
Awalnya istilah Paradigma berkembang dalam dunia ilmu
pengetahuan terutama yang kaitannya dengan filsafat ilmu pengetahuan.
Tokoh yang mengembangkan istilah tersebut dalam dunia ilmu
pengetahuan adalah Thomas S. Khun dalam bukunya yang berjudul The
Structure of Scientific Revolution (1970: 49). Inti sari paradigma adalah
suatu asumsi-asumsi dasar dan asumsi teoritis yang umum dan dijadikan
sumber hukum, metode serta penerapan dalam ilmu pengetahuan sehingga
sangat menentukan sifat, cirri dan karakter ilmu pengetahuan itu sendiri.
Dengan adanya kajian paradigma ilmu pengetahuan sosial
kemudian dikembangkanlah metode baru yang berdasar pada hakikat dan
sifat paradigma ilmu, yaitu manusia yang disebut metode kualitatif.
Kemudian berkembanglah istilah ilmiah tersebut dalam bidang manusia
serta ilmu pengetahuan lain misalnya politik, hukum, ekonomi, budaya,
serta bidang-bidang lainya. Dalam kehidupan sehari hari paradigma
berkembang menjadi terminologi yang mengandung arti sebagai sumber
nilai, kerangka pikir, orientasi dasar, sumber asas, tolak ukur, parameter
serta arah dan tujuan dari suatu perkembangan, perubahan, dan proses
dalam bidang tertentu termasuk bidang pembangunan, reformasi, maupun
pendidikan. Dengan demikian paradigma menempati posisi dan fungsi
yang strategis dalam proses kegiatan. Perencanaan, pelaksanaan dan hasil-
hasilnya dapat diukur dengan paradigma tertentu yang diyakini
kebenaranya.
2. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan
Istilah paradigma pada mulanya dipakai dalam bidang filsafat ilmu
pengetahuan. Menurut Thomas Kuhn, Orang yang pertama kali
mengemukakan istilah tersebut menyatakan bahwa ilmu pada waktu
tertentu didominasi oleh suatu paradigma. Paradigma adalah pandangan
mendasar dari para ilmuwan tentang apa yang menjadi pokok persoalan
suatu cabang ilmu pengetahuan.
Istilah paradigma makin lama makin berkembang tidak hanya di
bidang ilmu pengetahuan, tetapi pada bidang lain seperti bidang politik
hukum, sosial dan ekonomi. Paradigma kemudian berkembang dalam
pengertian sebagai kerangka pikir, kerangka bertindak, acuan, orientasi,
sumber, tolok ukur, parameter, arah dan tujuan. Sesuatu dijadikan
paradigma berarti sesuatu itu dijadikan sebagai kerangka, acuan, tolok
ukur, parameter, arah, dan tujuan dari sebuah kegiatan. Dengan demikian,
paradigma menempati posisi tinggi dan penting dalam melaksanakan
segala hal dalam kehidupan manusia.
Pancasila sebagai paradigma artinya nilai-nilai dasar pancasila
secara normatif menjadi dasar, kerangka acuan, dan tolok ukur segenap
aspek pembangunan nasional yang dijalankan di Indonesia. Hal ini sebagai
konsekuensi atas pengakuan dan penerimaan bangsa Indonesia atas
Pancasila sebagai dasar negara dan ideologi nasional. Hal ini sesuai
dengan kenyataan objektif bahwa Pancasila adalah dasar negara Indonesia,
sedangkan negara merupakan organisasi atau persekutuan hidup manusia
maka tidak berlebihan apabila pancasila menjadi landasan dan tolok
ukurpenyelenggaraan bernegara termasuk dalam melaksanakan
pembangunan.
Nilai-nilai dasar Pancasila itu dikembangkan atas dasar hakikat
manusia. Hakikat manusia menurut Pancasila adalah makhluk
monopluralis. Kodrat manusia yang monopluralis tersebut mempunyai
ciri-ciri, antara lain:
a) Susunan kodrat manusia terdiri atas jiwa dan raga.
b) Sifat kodrat manusia sebagai individu sekaligus sosial.
c) Kedudukan kodrat manusia sebagai makhluk pribadi dan makhluk
tuhan.
Berdasarkan itu, pembangunan nasional diarahkan sebagai upaya
meningkatkan harkat dan martabat manusia yang meliputi aspek jiwa,
raga, pribadi, sosial, dan aspek ketuhanan. Secara singkat, pembangunan
nasional sebagai upaya peningkatan manusia secara totalitas.
Pembangunan sosial harus mampu mengembangkan harkat dan martabat
manusia secara keseluruhan. Oleh karena itu, pembangunan dilaksanakan
di berbagai bidang yang mencakup seluruh aspek kehidupan manusia.
Pembangunan, meliputi bidang politik, ekonomi, sosial budaya, dan
pertahanan keamanan. Pancasila menjadi paradigma dalam pembangunan
politik, ekonomi, sosial, budaya, dan mempertahanan keamanan.
3. Arah dan Kebijaksanaan Pembangunan Hukum
Pembangunan dalam bidang hukum adalah salah satu bidang
pembangunan yang sangat penting, hal ini dikarenakan hukum dilihat dari
fungsinya tidak hanya berfungsi sebagai pengendali sosial terhadap
berbagai macam bentuk penyimpangan prilaku yang dinilai tidak produktif
dalam proses pembangunan, tetapi hukum juga memiliki kemampuan
melakukan perubahan sosial yaitu sebuah fungsi yang dapat dimainkan
oleh hukum dalam melakukan berbagai perubahan atau rekayasa sosial. Di
samping kedua fungsi tersebut, pembangunan bidang hukum juga
diarahkan pada upaya pemberian perlindungan hukum kepada rakyat agar
tercipta rasa ketentraman, kenyamanan, keamanan dan ketertiban umum
bagi masyarakat, dimana ketiga kondisi tersebut merupakan prasyarat bagi
keterlibatan dan partisipasi publik secara aktif dalam proses pembangunan
yang berbasiskan pada nilai-nilai HAM. Ketiga fungsi hukum tersebut,
dalam konteks pembangunan tentunya diarahkan bagaimana agar seluruh
aspek dan komponen yang ada pada daerah ini diarahkan pada upaya
percepatan keberhasilan pembangunan itu sendiri.
Arah kebijakan pembangunan bidang hukum ini dititik beratkan
kepada upaya penegakan supremasi hukum yang berbasiskan serta
menjunjung tinggi HAM guna pencapaian kesejahteraan, keamanan dan
ketentraman masyarakat, dengan tentunya tetap berpegang pada prinsip
demokrasi melalui berbagai tahapan pembangunan hukum seperti tahap
formulasi berbagai kebijakan yang akan dituangkan kedalam produk
hukum berupa Peraturan Derah, tahap aplikasi yaitu tahap penerapan dan
pelaksanaan hukum yang merupakan hasil kesepakatan bersama antara
eksekutif (pemerintah daerah) dengan Legislatif (DPRD), serta tahap
evaluasi, monitoring dan pengawasan jalannya pelaksanaan dan penerapan
hukum tersebut.
Mendasarkan pada pemahaman tersebut di atas, maka secara
konsepsional penegakan hukum pada jangka menengah di diarahkan pada
empat tipe penegakan hukum yaitu:
a. Penegakan hukum formulatif, yaitu proses penegakan hukum yang
diawali dengan penyusunan program legislasi daerah yang isinya
memuat prioritas pembangunan hukum di daerah ini, yang disertai
dengan penyusunan draft perda yang memenuhi pilar hukum yang baik
berupa terpenuhinya prinsip-prinsip filosifis, sosiologis (living law)
maupun yuridis. Penyusunan program legislasi daerah yang memuat
prioritas pembangunan hukum ini tentunya tetap memperhatikan hak
inisiatif yang ada pada lembaga legislatif. Termasuk juga di dalam
penegakan hukum formulatif ini adalah melakukan penataan berbagai
macam peraturan daerah sebagai produk hukum agar prinsip sinergisitas
dan sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal terpenuhi.
b. Penegakan hukum aplikatif yaitu proses penegakan hukum yang
dilakukan oleh institusi yang memiliki kewenangan untuk
melaksanakan peraturan daerah tersebut melalui prosedur kelembagaan
yang telah ditetapkan terlebih dahulu secara formal. Penegakan hukum
aplikatif ini dalam pelaksanaannya tetap memperhatikan nilai dan
prinsip HAM, keadilan, moralitas serta mampu memberikan
perlindungan dan pencerahan masyarakat.
c. Penegakan hukum represif dan keorsif, yaitu penegakan hukum dengan
mengambil tindakan yang tegas terhadap subyek hukum yang dinilai
telah melanggar peraturan daerah. Tidak hanya terhadap subyek hukum
saja yang diambil tindakan tegas, tetapi juga para aparat pelaksana
hukum juga akan diambil tindakan tegas jika terbukti secara hukum
telah melanggar, mengabaikan atau menyalahgunakan tugas, fungsi dan
kewenangan yang ada.
d. Penegakan hukum preventif, yaitu proses penegakan hukum yang
dilakukan melalui kegiatan sosialisasi semua peraturan daerah kepada
masyarakat dimana tujuan dari penegakan hukum preventif ini adalah
tidak terjadinya pelanggaran hukum yang merupakan kesepakatan
antara eksekutif dan legislatif sebagai presentasi dari rakyat karena
diketahuinya produk hukum tersebut oleh masyarakat.
Untuk arah kebijakan bidang penataan Peraturan Daerah (PERDA)
dititik beratkan ada upaya peninjauan kembali berbagai produk hukum
daerah yang dinilai tidak lagimemenuhi rasa keadilan masyarakat, serta
dinilai tidak sesuai lagi dengan tujuan pembangunan. Peninjauan kembali
berbagai produk hukum daerah ini tentunya akan dibarengi dengan
tindakan berupa pencabutan dengan menggantikan peraturan daerah baru
atau melakukan revisi peraturan daerah jika peraturan daerah yang lama
tersebut dinilai sudah tidak sesuai lagi dengan tujuan-tujuan pembangunan
yang telah ditetapkan. Penataan ini juga dilakukan dengan melakukan
kajian dan analisis isi dari masing-masing peraturan daerah agar tidak
saling bertentangan satu dengan yang lainnya, sehingga prinsip
sinkronisasi baik vertikal maupun horizontal dalam hukum bisaterjaga dan
terpenuhi.
Untuk mampu melaksanakan penataan seperti tersebut di atas, maka
peningkatan kualitas aparatur bidang hukum menjadi penting. Peningkatan
ini tidak hanya upaya memahami dengan baik berbagai asas dan prinsip
hukum yang ada, tetapi juga peningkatan pemahaman akan nilai-nilai yang
ada pada masyarakat, baik nilai filosofis, sosilogis maupun yuridis serta
tanggap dan responsif terhadap perkembangan yang ada. Peningkatan
kualitas aparatur bidang hukum ini tentunya akan berpengaruh secara
langsung kepada kualitas materi produk hukum daerah yang akan
dikeluarkan.
Pada akhirnya partisipasi aktif masyarakat dalam proses penegakan
hukum merupakan kata kunci dari keberhasilan pembangunan dalam
bidang hukum, dan partisipasi aktif masyarakat ini bisa dicapai jika
masyarakat secara pasti mengetahui hak dan kewajibannya yang ada dalam
hukum. Oleh karena itu, penataan berupa pendokumentasian hukum serta
informasi hukum merupakan suatu kegiatan pembangunan dalam bidang
hukum yang perlu direncanakan dan dilaksanakan dengan baik. Adanya
fiksi hukum yang mengatakan bahwa: “masyarakat harus mengetahui
hukum” menjadikan fungsi pendokumentasi dan informasi hukum menjadi
penting.
a. Pembangunan dan pembinaan hukum Indonesia didasarkan atas
pancasila dan UUD 1945.
b. Tujuan dari pembangunan dan pembinaan hukum yaitu:
1) Memantapkan hasil-hasil pembangunan yang telah dicapai oleh
Indonesia selama ini.
2) Menciptakan kondisi yang lebih mantap sehingga segenap
masyarakat dapat menikmati ketertiban, kepastian hikum dan
keadilan.
3) Memberi dukungan dan pengamanan kepada upaya pembangunan
untuk mencapai kemakmuran.
4. Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Salah satu tujuan bernegara Indonesia adalah melindungi segenap
bangsa Indonesia dan seluruh tumpah darah Indonesia. Hal ini
mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak hanya oleh
penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara
keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah
mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan
pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta (sishankamrata). Sistem pertahanan yang
bersifat semesta melibatkan seluruh warga negara, wilayah, dan sumber
daya nasional lainnya, serta dipersiapkan secara dini oleh pemerintah dan
diselenggarakan secara total terpadu, terarah, dan berlanjut untuk
menegakkan kedaulatan negara, keutuhan wilayah, dan keselamatan
segenap bangsa dari segala ancaman. Penyelenggaraan sistem pertahanan
semesta didasarkan pada kesadaran atas hak dan kewajiban warga negara,
serta keyakinan pada kekuatan sendiri.
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai pancasila,
dimana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban
yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila
sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima
bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002
tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup
bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah
konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-
muatan konstitusi, yaitu: (1) adanya perlindungan terhadap HAM, (2)
adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar, dan (3) adanya
pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan yang juga
mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya terdapat rumusan
Pancasila.
Pembukaan UUD 1945 merupakan bagian dari UUD 1945 atau
merupakan bagian dari hukum positif. Dalam kedudukan yang demikian,
ia mengandung segi positif dan segi negatif. Segi positifnya, Pancasila
dapat dipaksakan berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan
dapat diubah oleh MP sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Hukum tertulis seperti UUD termasuk perubahannya, demikian juga UU
dan peraturan perundang-undangan lainnya, harus mengacu pada dasar
negara (sila-sila Pancasila dasar negara).
Dalam kaitannya dengan , Pancasila sebagai paradigma
pengembangan hukum‟, hukum (baik yang tertulis maupun yang tidak
tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan tidak boleh bertentangan
dengan sila-sila: (1) Ketuhanan Yang Maha Esa, (2) Kemanusiaan yang
adil dan beradab, (3) Persatuan Indonesia, (4) Kerakyatan yang dipimpin
oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan/perwakilan, dan (5)
Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus
merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk
hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan
aspirasi rakyat).

Negara hanya dapat disebut negara hukum apabila hukum yang


diikutinya adalah hukum yang baik dan adil. Begitu juga dengan
Indonesia. Negara Indonesia adalah negara hukum, seperti yang tertuang
dalam UUD’45 BAB 1 Pasal 1 ayat 3.
Pancasila pantas dijadikan sebagai landasan hukum karena
Pancasila merupakan konsensus filsafat yang akan melandasi dan
memberikan arah bagi sikap dan cara hidup bangsa Indonesia.
Sistem hukum di Indonesia menurut wawasan Pancasila
merupakan bagian integral dari keseluruhan sistem kehidupan masyarakat
sebagai satu keutuhan melalui berbagai pengaruh dan interaksinya
dengan sistem-sistem lainnya.
Menurut Soerjanto Poespowardojo (1898) Pancasila sebagai
ideologi nasional memberikan ketentuan mendasar, yakni: 1) Sistem
hukum dikembangkan berdasarkan nilai-nilai Pancasila sebagai
sumbernya, (2) Sistem hukum menunjukkan maknanya, yaitu mewujudkan
keadilan, (3) Sistem hukum mempunyai fungsi untuk menjaga dinamika
kehidupan bangsa, (4) Sistem hukum menjamin proses realisasi diri bagi
warga Indonesia dalam proses pembangunan.
Dilihat dari arti dan makna sila Pancasila yang berkaitan dengan
hukum adalah sebagai berikut:
a. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, yaitu:
1) Tidak memaksa warga negara untuk beragama, tetapi diwajibkan
memeluk agama sesuai dengan hukum yang berlaku.
2) memberi fasilitator bagi tumbuh suburnya agama, iman warga
negara dan menjadi mediator ketika terjadi konflik agama.
3) Dalam konteks bernegara, maka dalam masyarakat yang
berdasarkan Pancasila, dengan sendirinya dijamin kebebasan
memeluk agama masing-masing.
b. Sila kedua, Kemanusiaan yang Adil dan Beradab, yaitu:
1) Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah, hal ini
berarti bahwa yang dituju masyarakat Indonesia adalah keadilan
dan peradaban yang tidak pasif, yaitu perlu pelurusan dan
penegakan (hukum) yang kuat jika terjadi penyimpangan-
penyimpangan.
2) Mewujudkan keadilan dan peradaban yang tidak lemah, hal ini
berarti bahwa yang dituju masyarakat Indonesia adalah keadilan
dan peradaban yang tidak pasif, yaitu perlu pelurusan dan
penegakan (hukum) yang kuat jika terjadi penyimpangan-
penyimpangan.
3) Keadilan diwujudkan berdasarkan hukum.
4) Prinsip keadilan dikaitkan dengan hukum, karena keadilan harus
direalisasikan dalam kehidupan masyarakat.
5) Manusia mempunyai derajat yang sama dihadapan hukum.
c. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, yaitu:
1) Mampu menempatkan persatuan, kesatuan, serta kepentingan dan
keselamatan dan negara sebagai kepentingan bersama di atas
kepentingan pribadi dan golongan.
2) Sanggup dan rela berkorban untuk kepentingan negara dan
bangsa.
d. Sila keempat, Kerakyatan yang Dipimpin oleh Hikmat Kebijaksanaan
dalam Permusyawaratan Perwakilan, yaitu:
1) Hukum di Indonesia menganut asas demokrasi, dalam arti umum,
yaitu pemerintahan dari rakyat, oleh rakyat dan untuk rakyat.
2) Perbedaan secara umum, demokrasi di barat dan di Indonesia
terletak pada permusyawaratan, yaitu mengusahakan keputusan
bersama secara bulat untuk mencapai mufakat, kemudian
mengambil tindakan bersama.
e. Sila kelima, Keadilan Sosial Bagi Seluruh Rakyat Indonesia, yaitu:
1) Keadilan dalam hukum yang berarti adanya persamaan,
penyetaraan dari berbagai kalangan.
2) Perlindungan negara terhadap kelompok yang lemah agar
masyarakat dapat bekerja sesuai dengan bidangnya
Dari kelima sila tersebut, terdapat beberapa point yang
merupakan acuan paradigma pembangunan hukum.

B. Idealisasi Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum


Implementasi atau pelaksanaan Pancasila dalam pembangunan hukum
diawali dari sebuah paradigma yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah
tindakan, yang disebut implementasi, pelaksanaan atau penerapan dari sebuah
kerangka berpikir. Implementasi atau pelaksanaan Pancasila sebagai
paradigma pembangunan hukum terbagi menjadi dua bentuk implementasi,
yaitu implementasi positif dan negatif.
Adapun maksud dari implementasi positif adalah wujud pelaksanaan
nilai-nilai dalam sila Pancasila yang berada dalam ruang lingkup tindakan
positif. Salah satu bentuk implementasi tersebut adalah pembentukan UUD
1945 sebagai dasar pembangunan hukum di Indonesia.
Dilihat dari nilai-nilai pada sila pancasila yang berkaitan dengan hukum,
maka bentuk implementasi tersebut terdapat dalam UUD 1945, antara lain
sebagai berikut:
1. Sila pertama, Ketuhanan Yang Maha Esa, terdapat dalam:
a. BAB X A pasal 28 E:
1) Orang berhak memeluk agama dan beribadat menurut agamanya,
dst.
2) Setiap orang berhak atas kebebasan meyakini kepercayaan,
menyatakan pikiran dan sikap, sesuai dengan hati nuraninya.
b. BAB XI pasal 29:
1) Negara yang berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.
2) Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk
memeluk agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut
agamanya dan kepercayaannya itu.
2. Sila Kedua, Kemanusiaan yang adil dan beradab, terdapat dalam:
a. BAB X Pasal 27, ayat 2, yaitu Tiap-tiap warga negara berhak atas
pekerjaan dan penghidupan yang layak bagi kemanusiaan.
b. BAB XA Pasal 28A, 28B, 28C, 28D,28G, 28H, 28J.
c. BAB XIII Pasal 31 ayat 1, yaitu Setiap warga negara berhak mendapat
pendidikan.
3. Sila ketiga, Persatuan Indonesia, terdapat dalam:
a. BAB 1 Pasal 1 ayat 1 yaitu Negara Indonesia ialah negara Kesatuan
yang berbentuk Republik.
b. BAB X Pasal 27 ayat 5, yaitu Setiap warga negara berhak dan wajib
ikut serat dalam upaya pembelaan negara.
c. BAB XA Pasal 28I ayat 1 dan 3.
d. BAB XII Pertahanan negara dan keamanan Negara.
e. BAB XV Bendera, bahasa dan lambang negara serta lagu kebangsaan.
4. Sila keempat, Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat
kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan, terdapat dalam:
a. BAB II Majelis Permusyawaratan Rakyat
b. BAB V Kementerian Negara
c. BAB VI Pemerintahan Daerah
d. BAB VII Dewan Perwakilan Rakyat
e. BAB VIIA Dewan Perwakilan Daerah
f. BAB VIIB Pemilihan Umum
g. BAB X Pasal 28, yaitu Kemerdekaan berserikat dan berkumpul,
mengeluarkan pikiran dengan lisan dan tulisan dan sebagainya
ditetapkan dengan undang-undang
h. BAB XA Pasal 28E ayat 3, yaitu Setiap orang berhak atas kebebasan
berserikat, berkumpul dan mengeluarkan pendapat.
i. BAB XA Pasal 28F
5. Sila kelima, Keadilan sosial bagi seluruuh rakyat Indonesia,
terdapat dalam:
a. BAB VII Hal keuangan
b. BAB VIII Badan Pemeriksa Keuangan
c. BAB XIII Pasal 31 butir keempat
d. BAB XIV Perekonomian nasional dan kesejahteraan sosial

C. Implementasi Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum Di


Masyarakat
Implementasi atau pelaksanaan Pancasila dalam pembangunan hukum
diawali dari sebuah paradigma yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah
tindakan, yang disebut implementasi, pelaksanaan atau penerapan dari sebuah
kerangka berpikir. Implementasi atau pelaksanaan Pancasila sebagai
paradigma pembangunan hukum terbagi menjadi dua bentuk implementasi,
yaitu implementasi positif dan negatif.
Salah satu bentuk implementasi tersebut adalah pembentukan UUD
1945 sebagai dasar pembangunan hukum di Indonesia. Adapun maksud dari
implementasi dalah wujud penyimpangan dalam pelaksanaan UUD 1945,
yang merupakan dasar pembangunan hukum di Indonesia. Bentuk
penyimpangan dalam pelaksanaan UUD 1945 antara lain sebagai berikut:
1. Sila pertama
Penyerangan terhadap Ahmadiyah, yang menimbulkan banyak
kontroversi maupun pertentangan. Ahmadiyah memiliki sebuah keyakinan
bahwasanya Nabi terakhir mereka adalah Mirza Ghulam Ahmad, hingga
mereka mengganti syahadat yang seharusnya bersaksi bahwa tidak ada
Tuhan selain Allah dan Nabi Muhammad adalah utusan Allah, diganti
menjadi Mirza Ghulam Ahmad adalah utusan Allah. Wujud penyerangan
tersebut sudah menyalahi UUD 1945 BAB XI Pasal 29 ayat 2, yaitu
Negara menjamin kemerdekaan tiap-tiap penduduk untuk memeluk
agamanya masing-masing dan untuk beribadat menurut agamanya dan
kepercayaannya itu.
2. Sila kedua
Adanya kriminalisasi KPK dan rekayasa kasus pembunuhan
dengan terdakwa Antasari Azhar. Terkuaknya fakta kedua kasus tersebut
benar-benar membuktikan jika hukum tidaklah berlaku di Indonesia. Yang
kaya menang ataupun bebas, yang miskin teraniaya. Hal tersebut telah
menyalahi UUD 1945 Bab XA Pasal 28D ayat 1 yaitu setiap orang berhak
atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil
serta perlakuan yang sama dihadapan hukum.
3. Sila ketiga
Adanya mitos di Papua akan datangnya orang-orang kuat dari luar
yang akan menjadi pemimpin mereka, sehingga mitos tersebut akhirnya
melembaga dalam kehidupan politik yang diungkapkan oleh para aktivis
Papua, bahwasanya Papua hendak berpisah dengan Indonesia. Hal tersebut
menyalahi UUD 1945 Bab XII Pasal 30 ayat 1 yaitu Tiap-tiap warga
negara verhak dan wajib ikut serta dalam usaha pertahanan dan keamanan
negara.
4. Sila keempat
Adanya penyelewengan keuangan di lingkungan Kotamadya
Jakarta Barat berupa uang kas sebesar Rp. 8,2 miliar. Uang kas tersebut
digunakan untuk kepentingan pribadi oleh bendahara pengeluaran. Hal
tersebut menyalahi UUD 1945 BAB VI Pasal 16 ayat 2 yaitu Pemerintah
daerah provinsi, daerah Kabupaten, dan Kota mengatur dan mengurus
sendiri urusan pemerintah menurut asas otonomi dan tugas pembantuan.
5. Sila kelima
Papua kaya akan tambang emas. Namun kenyataan yang ada,
banyak rakyat mereka yang hidup susah. Mereka benar-benar tidak
mendapatkan hasil dari bumi mereka sendiri. Jika dibandingkan dengan
kota Jakarta. Jakarta tidak mampu menghasilkan emas seperti halnya
Papua. Tetapi dibalik semua kekurangannya tersebut, Jakarta mampu
melakukan pembangunan secara besar-besaran hanya karena disebut
sebagai ibukota negara. Sedangkan daerah yang menjadi sumber
penghasilan negara yang ada ditempat jauh, diabaikan layaknya anak tiri
oleh ibunya. Pelaksanan pembangunan tidak mampu dilakukan secara adil
dan merata. Daerah yang kaya akan hasil bumi ternyata tidaklah
mendapatkan apa-apa dari apa yang mereka miliki. Hal tersebut menyalahi
UUD 1945 BAB XIV Pasal 33 ayat 3 yaitu Perekonomian nasonal
diselenggarakan berdasar atas demokrasi ekonomi dengan prinsip
kebersamaan, efisiensi berkeadilan, berkelanjutan, berwawasan
lingkungan, kemandirian, serta dengan menjaga keseimbangan kemajaun
dan kesatuan ekonomi nasional.
Penyimpangan yang lain dalam pelaksaan hukum yang terjadi di
Indonesia yaitu hukuman antara koruptor dengan pencuri kakao, dan
semangka. Kasus pengambilan 3 biji kakao senilai Rp 2.100 harus dibawa
ke pengadilan. Begitu pula dengan kasus pencurian satu buah semangka,
di mana kedua tersangka disiksa dan ditahan polisi selama 2 bulan dan
terancam hukuman 5 tahun penjara. Sebaliknya untuk kasus hilangnya
uang rakyat senilai Rp 6,7 trilyun di Bank Century, polisi dan jaksa nyaris
tidak ada geraknya kecuali pak Susno Duadji yang ke Singapura menemui
Anggoro salah satu penerima talangan Bank Century. Ini juga
membuktikan bagaimana Indonesia yang kaya alamnya ini tidak memberi
manfaat apa-apa bagi rakyatnya. Pihak asing bebas mengambil minyak,
gas, emas, perak, tembaga senilai ribuan trilyun/tahun dari Indonesia.
Tapi rakyat Indonesia mayoritas hidup miskin. Baru mengambil 3
biji kakao saja langsung dipenjara. Itulah gambaran hukum yang terjadi di
Indonesia. Tidak adanya keadilan hukuman antara rakyat miskin dengan
orang yang berkuasa. Hal in menunjukkan bahwa hukum di Indonesia
dapat dengan mudahnya diperjual belikan bagi mereka yang mempunyai
uang. Memang sungguh ironis ini terjadi dinegara kita, yang notabennya
adalah negara hukum, tetapi hukum yang berjalan sangatlah amburadul.
Seharusnya pemerintah lebih tegas kepada mafia hukum, yang telah
banyak mencuri hak-hak rakyat kecil. Satgas pemberantasan mafia hukum
seharusnya segera melakukan langkah-langkah penting. Salah satu yang
perlu dilakukan adalah memberikan efek jera kepada para pejabat yang
ketahuan memberikan fasilitas lebih dan mudah kepada mereka yang
terlibat dalam kejahatan. Selain itu, kepada para pelaku kejahatan yang
terbukti mencoba atau melakukan transaksi atas nama uang, harus
diberikan hukuman tambahan. Memberikan efek jera demikian akan
membuat mereka tidak ingin berpikir melakukan hal demikian lagi.
Hal ini mengandung makna bahwa tugas dan tanggung jawab tidak
hanya oleh penyelenggara negara saja, tetapi juga rakyat Indonesia secara
keseluruhan. Atas dasar tersebut, sistem pertahanan dan keamanan adalah
mengikut sertakan seluruh komponen bangsa. Sistem pembangunan
pertahanan dan keamanan Indonesia disebut sistem pertahanan dan
keamanan rakyat semesta (sishankamrata).
Sistem ini pada dasarnya sesuai dengan nilai-nilai Pancasila, di
mana pemerintahan dari rakyat (individu) memiliki hak dan kewajiban
yang sama dalam masalah pertahanan negara dan bela negara. Pancasila
sebagai paradigma pembangunan pertahanan keamanan telah diterima
bangsa Indonesia sebagaimana tertuang dalam UU No. 3 Tahun 2002
tentang pertahanan Negara. Dalam undang-undang tersebut dinyatakan
bahwa pertahanan negara bertitik tolak pada falsafah dan pandangan hidup
bangsa Indonesia untuk menjamin keutuhan dan tetap tegaknya Negara
Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-
Undang Dasar 1945.
Dengan ditetapkannya UUD 1945, NKRI telah memiliki sebuah
konstitusi, yang di dalamnya terdapat pengaturan tiga kelompok materi-
muatan konstitusi, yaitu:
(1) Adanya perlindungan terhadap HAM,
(2) Adanya susunan ketatanegaraan negara yang mendasar dan,
(3) adanya pembagian dan pembatasan tugas-tugas ketatanegaraan
yang juga mendasar.Sesuai dengan UUD 1945, yang di dalamnya
terdapat rumusan Pancasila, Pembukaan UUD 1945 merupakan
bagian dari UUD 1945 atau merupakan bagian dari hukum positif.
Dalam kedudukan yang demikian, ia mengandung segi positif dan
segi negatif. Segi positifnya, Pancasila dapat dipaksakan
berlakunya (oleh negara); segi negatifnya, Pembukaan dapat diubah
oleh MPR sesuai dengan ketentuan Pasal 37 UUD 1945.
Dengan demikian, substansi hukum yang dikembangkan harus
merupakan perwujudan atau penjabaran sila-sila yang terkandung dalam
Pancasila. Artinya, substansi produk hukum merupakan karakter produk
hukum responsif (untuk kepentingan rakyat dan merupakan perwujuan
aspirasi rakyat).
D. Solusi Pancasila Sebagai Paradigma Pembangunan Hukum
Solusi yang pertama kali dilakukan untuk mengurangi implementasi
negatif dari Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum adalah harus
menanaman nilai-nilai pancasila sejak dini, yakni melalui keluarga. Keluarga
sebagai lembaga pendidikan pertama memiliki fungsi yang penting terutama
dalam penanaman sikap, serta berfungsi menumbuhkan kesadaran bahwa
pancasila sebagai dasar negara perlu diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Serta semua perilaku yang menyimpang dari nilai-nilai pancasila yang perlu
dihindari dan penanaman kesadaran perilaku menyimpang pada hakekatnya
merupakan penanaman nilai-nilai Pancasila, karenanya perlu diberikan sejak
masih anak-anak.
Selain dari pihak keluarga, diperlukan pula pendidikan pancasila agar
terbentuk seorang warga negara yang memiliki pemikiran yang tinggi, serta
penuh tanggung jawab dalam memecahkan masalah di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan menerapkan pemikiran yang berlandaskan
pada pancasila.
Beberapa arah kebijakan negara yang tertuang dalam GBHN, dan yang
harus segera direlisasikan, khususnya dalam bidang hukum antara lain :
1. Menata sistem hukum nasional yang menyeluruh dan terpadu dengan
mengakui dan menghormati hukum agama dan hukum adat serta
memperbarui Undang-undang warisan kolonial dan hukum nasional yang
diskriminatif, termasuk ketidak adilan gender dan ketidak sesuaiaannya
dengan tuntutan reformasi melalui program legislasi.
2. Meningkatkan integritas moral dan keprofesionalan para penegak hukum,
termasuk Kepolisian RI, untuk menumbuhkan kepercayaan masyarakat
dengan meningkatkan kesejahteraan, dukungan sarana dan prasarana
hukum, pendidikan, serta pengawasan yang efektif.
3. Mewujudkan lembaga peradilan yang mandiri dan bebas dari pengaruh
penguasa dan pihak manapun.
4. Mengembangkan budaya hukum di semua lapisan masyarakat untuk
terciptanya kesadaran dan kepatuhan hukum dalam kerangka supremasi
hukum dan tegaknya negara hukum.
Satu hal yang perlu kita garis bawahi, bahwa Indonesia adalah negara
hukum, artinya semua lembaga, institusi maupun person yang ada di
dalamnya harus tunduk dan patuh pada hukum. Maka ketika hukum di
Indonesia betul-betul ditegakkan dengan tegas, dan dikelola dengan jujur, adil
dan bijaksana, negeri ini akan makmur dan tentram.
BAB III
PENUTUP

Berdasarkan paparan pada Bab II, berikut ini simpulan dan saran
mengenai (1) gambaran umum Pancasila sebagai paradigma pembangunan
hukum (2) idealisasi Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum (3)
fakta Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum di masyarakat (4)
solusi Pancasila sebagai paradigma pembangunan hukum.

A. Simpulan
Pancasila sebagai paradigma pengembangan hukum‟, hukum (baik
yang tertulis maupun yang tidak tertulis) yang akan dibentuk tidak dapat dan
tidak boleh bertentangan dengan sila-sila dalam Pancasila. Implementasi atau
pelaksanaan Pancasila dalam pembangunan hukum diawali dari sebuah
paradigma yang kemudian dikembangkan menjadi sebuah tindakan, yang
disebut implementasi, pelaksanaan atau penerapan dari sebuah kerangka
berpikir. Implementasi atau pelaksanaan Pancasila sebagai paradigma
pembangunan hukum terbagi menjadi dua bentuk implementasi, yaitu
implementasi positif dan negatif.

B. Saran
Berdasarkan simpulan yang telah dipaparkan, penulis memberikan
saran – saran sebagai berikut.
Penanaman nilai-nilai Pancasila sejak dini.
Menumbuhkan kesadaran bahwa pancasila sebagai dasar negara perlu
diamalkan dalam kehidupan sehari-hari.
Diperlukan Pendidikan Pancasila agar terbentuk seorang warga negara
yang memiliki pemikiran yang tinggi.
Penuh tanggung jawab dalam memecahkan masalah di dalam kehidupan
berbangsa dan bernegara dengan menerapkan pemikiran yang berlandaskan
pada Pancasila.
DAFTAR RUJUKAN

1. https://www.scribd.com/document/362837741/Peran-Pancasila-Sebagai-
Paradigma-Pembangunan-Hukum
2. https://mohamadsyarifudine.wordpress.com/2014/12/10/penanaman-nilai-
pancasila/
3. http://www.damang.web.id/2011/05/membangun-kembali-aktualisasi-
nilai.html
4.

Anda mungkin juga menyukai