Anda di halaman 1dari 6

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Atresia esofagus (AE) merupakan kelainan kongenital yang ditandai dengan tidak menyambungnya

esofagus bagian proksimal dengan esofagus bagian distal. AE dapat terjadi bersama fistula
trakeoesofagus (FTE), yaitu kelainan kongenital dimana terjadi persambungan abnormal antara esofagus

dengan trakea.
AE merupakan kelaianan kongenital yang cukup sering dengan insidensi rata-rata sekitar 1 setiap 2500

hingga 3000 kelahiran hidup. Insidensi AE di Amerika Serikat 1 kasus setiap 3000 kelahiran hidup. Di
dunia, insidensi bervariasi dari 0,4 – 3,6 per 10.000 kelahiran hidup. Insidensi tertinggi terdapat di

Finlandia yaitu 1 kasus dalam 2500 kelahiran hidup.


Masalah pada atresia esofagus adalah ketidakmampuan untuk menelan, makan secara normal, bahaya

aspirasi termasuk karena saliva sendiri dan sekresi dari lambung.

B. Batasan Masalah
Makalah ini membahas mengenai embriologi, etiologi, variasi, patofisiologi, klinis, diagnosis,

penatalaksanaan, resiko pembedahan, dan prognosis dari atresia esofagus.

C. Tujuan Penulisan
Tujuan penulisan dari referat ini adalah:

1. Mengerti mengenai embriologi, etiologi, variasi, patofisiologi, klinis, diagnosis, anomali penyerta,
penatalaksanaan, resiko pembedahan dan komplikasi, dan prognosis dari atresia esofagus.

2. Dapat mencurigai, melakukan pemeriksaan untuk mendiagnosa, dan memberi penatalaksanaan


sementara untuk mencegah komplikasi, untuk selanjutnya merujuk pasien dengan atresia esofagus.

3. Menyelesaikan salah satu syarat pendidikan kepaniteraan klinik senior di bidang Ilmu Kesehatan
Anak.
BAB II

TINJAUAN TEORITIS

A. Definisi
Secara umum telah diterima bahwa primordial respirasi merupakan evaginasi ventral dari lantai foregut

postfaringeal pada awal gestasi minggu ke empat dan apeks paru primitif terletak pada bagian caudal
evaginasi ini. Pada masa pertumbuhan cepat, trakea yang terletak di ventral berpisah dari esofagus yang

terletak di dorsal. Menurut sebuah teori, trakea berpisah akibat pertumbuhan cepat longitudinal dari
primordial respirasi yang menjauh dari foregut. Teori lain menyatakan bahwa trakea pada awalnya

merupakan bagian dari foregut yang belum berpisah kemudian berpisah karena proses pembentukan
apeks paru kearah kranial. Proses ini berhubugan dengan pola temporospatial dari gen Sonic hedgehog

(Shh) dan pembelahan selanjutnya. Proses pemisahan foregut berlangsung ke arah kranial yang akan
menyebabkan perpisahan trakeoesofageal. Lebih lanjut pemisahan epitel foregut ini ditandai dengan

peningkatan apoptosis. Belum jelas bagaimana ekspresi gen ini menyebabkan apoptosis.
Kebanyakan penelitian menyatakan bahwa defek primer diakibatkan tidak membelahnya foregut akibat

kegagalan pertumbuhan trakea ataupun kegagalan trakea untuk berpisah dari esofagus. Menurut kedua
teori ini atresia esofagus proksimal bukan merupakan malformasi primer tetapi sebagai hasil pengaturan

kembali foregut proksimal. Teori kegagalan pemisahan ini menghubungkan keberadaan celah
trakeoesofageal pada aresia esofagus dengan FTE. Teori lain menyatakan bahwa atresia esofagus

proksimal merupakan malformasi sebagai akibat dari persambungan antara trakea dengan esofagus
distal. Teori kegagalan pemisahan menyatakan bahwa FTE merupakan persambungan foregut dorsal

sedangkan teori atresia primer menyatakan bahwa fistula tumbuh dari trakea menuju esofagus.
B. Etiologi

Hingga saat ini, teratogen penyebab kelainan ini masih belum diketahui. Terdapat laporan yang
menghubungkan atresia esofagus dalam keluarga. Terdapat 2% resiko apabila saudara telah terkena

kelainan ini. Kelainan ini juga dihubungkan dengan trisomi 21, 13 dan 18. angka kejadian pada anak
kembar dinyatakan 6 X lebih banyak dibanding bukan kembar.

Saat ini, banyak yang percaya bahwa perkembangan terjadinya atresia esofagus tidak berhubungan
dengan genetik. Debat mengenai proses embriopatologi ini terus berlangsung, akan tetapi hanya sedikit

perkembangan yan didapat. Teori His lama menyatakan lateral infolding membagi foregut menjadi
esofagus dan trakea, tetapi penemuan di bidang embriologi manusia tidak mendukung teori ini.

Pada tahun 1984, O’Rahily menyatakan bahwa terdapat fix cephalad point dari pemisahan
trakeoesofageal, dengan elemen dari trakeobronkial dan esofageal memanjang menuju kaudal. Teori ini

kurang cocok untuk atresia esofagus, tetapi menjelaskan TEF sebagai defisiensi aau kegagalan mukosa
esofagus, sebagai pertumbuhan linear organ pada pembelahan selular dari epitel esofagus.
Pada tahun 1987, Kluth menyatakan septal trakeoesofageal memegang peranan penting dalam

perkembangan atresia esofagus. Berdasar proses embriopatologik dalam perkembangan meskipun masih
tahap awal, tetapi telah terjadi diferensiasi antara trakea dan esofagus, dimana jarak diantara keduanya

terlalu dekat sehingga tidak terjadi pemisahan. Ia juga menyatakan bahwa gangguan vaskularisasi juga
dapat berperan dalam terjadinya aresia esofagus ataupun fistula.

Pada tahun 2001 Oxford dan lainnya menyatakan bahwa kesalahan posisi ventral ektopik dari notochord
pada embrio berusia 21 hari gestasi dapat menyebabkan gangguan lokus gen, gangguan apoptosis pada

foregut dan jenis jenis atresia esofagus. Kondisi ini dapat terjadi karena variasi pengaruh teratogen pada
masa gestasi awal seperti kembar, paparan racun, atau kemungkinan aborsi.

C. Macam-Macam Jenis Atresia Esofhagus

Terdapat variasi dalam atresia esofagus berdasar klasifikasi anatomi. Menurut Gross of Boston, variasi
atresia esofagus beserta frekuensinya adalah sebagai berikut :

1. Tipe A – atresia esofagus tanpa fistula atau atresia esofagus murni (10%)
2. Tipe B – atresia esofagus dengan TEF proksimal (<1%)

3. Tipe C – atresia esofagus dengan TEF distal (85%)


4. Tipe D – atresia esofagus dengan TEF proksimal dan distal (<1%)

5. Tipe E – TEF tanpa atresia esofagus atau fistula tipe H (4%)


6. Tipe F – stenosis esofagus kongenital (<1%)

Gambar 2.1 Variasi Atresia Esofagus

D. Tanda dan Gejala

Ada beberapa keadaan yang merupakan gejala dan tanda atersia esophagus, antara lain :

1. Mulut berbuih (gelembung udara dari hidung dan mulut)


2. Sianosis

3. Batuk dan sesak napas

4. Gejala pneumonia akibat regurgitasi air ludah dari esophagus yang buntu dan regurgitasi cairan
lambung melalui fistel ke dalam jalan napas

5. Perut kembung, karena udara melalui fistel masuk ke dalam lambung dan usus
6. Oligouria, karena tidak ada cairan yang masuk

7. Biasanya juga disertai dengan kelainan bawaan yang lain, seperti kelainan jantung, atresia rectum
atau anus.

E. Patofisiologi

Janin dengan atresia esofagus tidak dapat menelan cairan amnion dengan efektif. Pada janin dengan
atresa esofagus dan TEF distal, cairan amnion akan mengalir menuju trakea, ke fistula kemudian menuju

usus. Akibat dari hal ini dapat terjadi polihidramnion. Polihidramnion sendiri dapat menyebabkan kelahiran
prematur. Janin seharusnya dapat memanfaatkan cairan amnion, sehingga janin dengan atresia esofagus

lebih kecil daripada usia gestasinya.


Neonatus dengan atresia esofagus tidak dapat menelan dan menghasilkan banyak air liur. Pneumonia

aspirasi dapat terjadi bila terjadi aspirasi susu, atau liur. Apabila terdapat TEF distal, paru-paru dapat
terpapar asam lambung. Udara dari trakea juga dapat mengalir ke bawah fistula ketika bayi menangis, atau

menerima ventilasi. Hal ini dapat menyebabkan perforasi gaster akut yang seringkali mematikan. Penelitian
mengenai manipulasi manometrik esofagus menunjukkan esofagus distal seringkali dismotil, dengan

peristaltik yang jelek atau anpa peristaltik. Hal ini akan menimbulkan berbagai derajat disfagia setelah
manipulasi yang berkelanjutan menuju refluks esofagus.

Trakea juga terpengaruh oleh gangguan embriogenesis pada atresia esofagus. Membran trakea
seringkali melebar dengan bentuk D, bukan C seperti biasa. Perubahan ini menyebabkan kelemahan

sekunder ada struktur anteroposterior trakea atau trakeomalacia. Kelemahan ini akan menyebabkan gejala
batuk kering dan dapat terjadi kolaps parsial pada eksirasi penuh. Sekret sulit untuk dibersihkan dan dapat

menjurus ke pnemona berulang. Trakea juga dapat kolaps secara parsial ketika makan, setelah manipulasi,
atau ketika terjadi refluks gastroesofagus; yang daat menjurus ke kegagalan nafas; hipoksia, bakan apnea.

F. Diagnosis

Atresia esofagus dapat dicurigai keberadaan nya sebelum kelahiran melalui pemeriksaan USG pada
minggu ke 18 kehamilan apabila di dapatkan gelembung perut janin yang sedikit atau tidak ada. Sensitifitas

pemeriksaan ini sebesar 42% akan tetapi bila dikombinasikan dengan adanya polihidramnion maka nilai
prediksi meningkat hingga 56%. Metode lain untuk meningkatkan diagnosa ini adalah dengan pemeriksaan

USG dan MRI pada leher janin untuk melihat buntunya kantung atas esofagus.
Pada bayi baru lahir dengan ibu polihidramnion semestinya diperiksa dengan nasogastric tube sesegera

mungkin untuk menyingkirkan ada nya AE. Bayi dengan AE tidak mampu menelan ludah dan air ludah nya
akan terus keluar sehingga membutuhkan suction. Pada tahap ini sebelum pemberian makan pertama,

kateter stiff wide-bored (10 – 12) dimasukan melalui mulut menuju esofagus. Pada pasien dengan AE kateter
tidak dapat masuk lebih dari 10 cm. Foto polos dada dan abdomen akan memperlihatkan ujung kateter

terhenti di mediastinum posterior (T2 – T4), juga keberadaan udara pada traktus gastrointestinal
menandakan keberadaan FTE distal. Perlu di pehatikan bahwa kateter harus bersifat kaku. Untuk mencegah

kesalahan penilaian.

G. Komplikasi
Lebih dari 50% bayi dengan atresia esofagus memiliki 1 atau lebih kelainan tambahan. Sistem yang terlibat

adalah :

1. Kardiovaskuler (29%)
2. Anorektal (14%)

3. Genitourinari (14%)
4. Gastrointestinal (13%)

5. Vertrebral/skeletal (10%)
6. Respirasi (6%)

7. Genetik (4%)

H. Penatalaksanaan
1. Secara Medis

Penatalaksanaan yang dilaksanakan secara medis antara lain sebagai berikut :


a. rencanakan jadwal operasi

b. lakukan tindakan bedah


c. berikan antibiotik

2. Secara Perawatan
a. Perawatan Pre Operasi

1. merawat bayi di ruang pedriatik khusus


2. mengatur posisi tidur pasien

3. melakukan suction

4. memberikan O2
5. merencanakan jadwal operasi

6. memasang infus RL
7. mengobservasi tanda-tanda vital

b. Perawatan Post Operasi


1. memantau tanda-tanda vital

2. memantau perdarahan
3. merawat luka jahit bekas operasi

4. mengganti pakaian dan alat tenun pasien


5. merawat diruang pediatrik khusus

6. mengatur posisi pasien


7. melakukan suction dan memasang NGT

8. mamasang O2
9. memasang infus RL
10.berkolaborasi dengan dokter dalam memberikan therapy berbentuk antibiotik

I. Prognosis

Prognosis menjadi lebih buruk bila diagnosis terlambat akibat penyulit pada paru. Keberhasilan
pembedahan tergantung pada beberapa faktor resiko, antara lain berat badan lahir bayi, ada atau tidaknya

komplikasi pneumonia dan kelainan congenital lainnya yang menyertai. Prognosis jangka panjang
tergantung pada ada tidaknya kelainan bawaan lain yang mungkin multiple.

Anda mungkin juga menyukai