Anda di halaman 1dari 18

REFERAT

DIAGNOSIS DAN TATALAKSANA KUSTA

Disusun Oleh :

WINDA AFDILLA. J
1102014280

Pembimbing :

dr. Hilman Wildan Latief Sp.DV

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KEDOKTERAN KULIT DAN KELAMIN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS YARSI
PERIODE 8 APRIL – 11 MEI 2019
RSUD DR. SLAMET GARUT
KATA PENGANTAR

Assalamu’alaikum Wr. Wb
Puji dan syukur penulis panjatkan kehadirat Allah SWT yang telah melimpahkan
rahmat dan karunia-Nya. Shalawat serta salam tercurahkan kepada Nabi Muhammad SAW,
dan para sahabat serta pengikutnya hingga akhir zaman. Karena atas rahmat dan ridho-Nya,
penulis dapat menyelesaikan referat ini dengan judul “Kusta” sebagai salah satu persyaratan
mengikuti ujian kepaniteraan klinik di bagian Kulit dan Kelamin RSU dr. Slamet Garut.
Berbagai kendala yang telah dihadapi penulis hingga referat ini selesai tidak terlepas
dari bantuan dan dukungan dari banyak pihak. Atas bantuan yang telah diberikan, baik moril
maupun materil, maka selanjutnya penulis ingin menyampaikan ucapan terima kasih kepada
dr. Hilman WIldan Latief, SpDV selaku pembimbing yang telah memberikan ilmu, saran
dan kritik kepada penulis dalam penyelesaian referat ini.
Penulis menyadari sepenuhnya bahwa dalam penyusunan presentasi kasus ini,
kesalahan dan kekurangan tidak dapat dihindari, baik dari segi materi maupun tata bahasa
yang disajikan. Untuk itu penulis memohon maaf atas segala kekurangan dan kekhilafan yang
dibuat. Semoga presentasi kasus ini dapat bermanfaat, khususnya bagi penulis dan pembaca
dalam memberikan sumbang pikir dan perkembangan ilmu pengetahuan di dunia kedokteran.
Akhir kata, dengan mengucapkan Alhamdulillah, semoga Allah SWT selalu
merahmati kita semua.

Garut, April 2019


Penulis
BAB I
PENDAHULUAN

Penyakit kusta merupakan penyakit kronis disebab- kan oleh Micobacterium


Lepraeyang terutama menyerang kulit dan saraf tepi (fungsi sensoris, motoris dan otonom).
Daya tahan hidup kuman kusta mencapai 7 hari di luar tubuh manusia dengan suhu yang
bervariasi dan 46 hari pada suhu kamar. Kuman kusta memiliki masa inkubasi 2–5 tahun
bahkan juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun
Menurut World Health Organization (WHO) Weekly Epidemiological Report
mengenai kusta tahun 2013, dari sejumlah negara yang melaporkan prevalensi penyakit kusta
di dunia tercatat Indonesia sebagai peringkat tiga setelah India, dan Brazil. Di kawasan
ASEAN, Indonesia menduduki tempat teratas. Untuk mendiagnosis kusta perlu dicari tanda-
tanda utama atau tanda cardinal (cardinal sign).
Tujuan pengobatan kusta adalah untuk memutuskan mata rantai penularan, mencegah
resistensi obat, memperpendek masa pengobatan, meingkatkan keteraturan berobat,
mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada sebelum
pengobatan
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Penyakit kusta merupakan penyakit kronis disebabkan oleh Micobacterium Lepraeyang
terutama menyerang kulit dan saraf tepi (fungsi sensoris, motoris dan otonom). Daya tahan
hidup kuman kusta mencapai 7 hari di luar tubuh manusia dengan suhu yang bervariasi
dan 46 hari pada suhu kamar. Kuman kusta memiliki masa inkubasi 2–5 tahun bahkan
juga dapat memakan waktu lebih dari 5 tahun.

2. EPIDEMIOLOGI
Penyakit kusta menjadi hal penting yang harus diperhatikan oleh Indonesia karena
jumlahnya masih cukup tinggi. Menurut World Health Organization (WHO) Weekly
Epidemiological Report mengenai kusta tahun 2013, dari sejumlah negara yang
melaporkan prevalensi penyakit kusta di dunia tercatat Indonesia sebagai peringkat tiga
setelah India, dan Brazil. Di kawasan ASEAN, Indonesia menduduki tempat teratas.
Myanmar berada di urutan kedua dengan 3.082 kasus, Filipina ketiga 2.936. Dua negara
tetangga Indonesia, yaitu Malaysia hanya punya 216 kasus dan Singapura 11 kasus. Pada
tahun 2014 di Indonesia dilaporkan 17.025 kasus baru kusta dengan 83,5% kasus di
antaranya merupakan tipe Multi Basiler (MB). Sedangkan pada tahun 2015 dilaporkan
sebanyak 17.202 kasus baru kusta dengan 84,5% merupakan tipe Multi Basiler (MB).

3. DIAGNOSIS
Diagnosa kusta perlu dicari tanda-tanda utama atau tanda cardinal (cardinal sign),
yaitu:
a. Kelainan (lesi) kulit yang mati rasa
Kelianan kulit/lesi yang berbentuk bercak putih (hipopigmentasi) atau kemerahan
(eritema) yang mati rasa (anastesi)
b. Penebalan saraf tepi yang disertai dengan gangguan fungsi saraf
Gangguan fungsi saraf ini merupakan akibat dari pearadangan saraf tepi (neuritis
perifer) kronis
Gangguan fungsi saat ini bisa berupa :
- Gangguan fungsi sensoris: mato rasa
- Gangguan fungsi motorik: kelemahan (paresis) atau kelumpuhan (paralisis) otot
- Gangguan fungsi otonom : kulit kering dan retak-retak

c. Adanya basil tahan asam (BTA) di dalam kerokan jaringan kulit (slit skin smear)
Apabila terdapat satu dari tanda-tanda utama di atas maka dinyatakan sebagai
penderita kusta. Pada dasarnya sebagian besar penderita dapat di diagnosis dengan
pemeriksaan fisik. Apabila hanya ditemukan cardinal sign kedua, perlu di rujuk. Jika
masih ragu orang tersebut dianggap sebagai penderita yang dicurigai (suspek).
Tanda-tanda tersangka kusta:
a. Tanda-tanda pada kulit
- Bercak kulit yang kemerahan atau putih (gamabaran yang paling sering
ditemukan) dan atau plakat pada kulit, terutama di wajah dan telinga
- Bercak kurang/mati rasa
- Bercak yang tidak gatal
- Kulit mengkilap atau kering bersisik
- Adanya kelainan kulit yang tidak berkeringat dana tau tidak berambut
- Leput yang tidak nyeri

b. Tanda-tand apada saraf


- Nyeri tkan dana tau spontan pada saraf
- Rasa kesemutan, tertusuk-tusuk dan nyeri pada anggota gerak
- Kelemahan anggota gerak dan atau wajah
- Adanya cacat (deformitas)
- Luka (ulkus) yang sulit sembuh

c. Lahir dan tinggal di daerah endemik kusta dan mempunyai kelianan kulit yang
tidak sembuh dengan pengobatan rutin, terutama bila terdapat keterlibatan saraf
tepi.

A. Pemeriksaan klinis
Pemeriksaan klinis yang teliti dan lenkap sangat penting dalam menegakkan diagnosis
kusta, pemeriksaan tersebut melibuti:
1. Anamnesis
Pada anamnesis ditanyakan secara lengkap mengenai riwayat penyakitnya.
a. Kapan timbul bercak/ keluham yang ada?
b. Apakah ada anggota keluarga yang mempunyai keluhan yang sama (apakah
ada riwayat kontak)?
c. Lahir dan tinggal dimana?
d. Riwayat pengobatan sebelumnya?

2. Pemeriksaan fisik
a. Pemeriksaan kulit/ dermatologis
1) Persiapan pemeriksaan
a) Tempat
Tempat pemeriksaan harus cukup cahaya, sebaiknya diluar rumah
tetapi tidak boleh langsung di bawah sinar matahari atau didalam
ruangan dengan sinar yang cukup, dengan arah sinar oblik/miring.
Sebaiknya menajaga keamanan orang yang diperiksa
b) Waktu pemeriksaan
Pemeriksaan diadakan pada siang hari agar mendapatkan cukup
cahaya matahari.
c) Orang yang diperiksa
Diberikan penjelasan kepada yang akan diperiksa dan keluarganya
tentang cara peemriksaan. Periksa seluruh badan.

2) Pelaksanaan pemeriksaan
a) Pemeriksaan pandang
- Orang yang diperiksa menghadap ke sumber cahaya, berhadapan
dengan petugas
- Pemeriksaan dimulai dari kepala sampai telapak kaki secara
sistematis
- Perhatikan setiap bercak (macula), bitnik-bintik (nodulus)
jaringan parut, kulit
b) Pemeriksaan rasa raba pada kelinan kulit
- Gunakan sepotong kapas yang ujungnya dilancipka, periksalah
dengan menyentuh ujung dari kapas secara tegak lurus pada
kelinan kulit yang dicurigai.
- Terangkan terlebih daluhu jika orang yang diperiksa merasakan
sentuhan, ia harus menunjuk kulit yang disentuh dengan jari
telunjuknya. Jika lokasi bercak sulit dijangkau, pasien diminta
menghitung jumlah sentuhan atau mengacungkan tangan.
- Jika telah jelas, pemeriksaan yang sama dilakukan dengan mta
pasien tertutup. Kelianan-kelianan di kulit diperiksa secara
bergantian dengan kuliy yang normal diseitarnya untuk
mengetahui ada tidaknya anestersi.

b. Pemeriksaan saraf tepi


Pemeriksaan dilakukan pada saraf-saraf tepi yang paling sering terlibata
dalam penyakit kusta, dan dapat diraba seperti:
1) Tempat terjadinya kerusakan saraf
Pada umumnya cacat kusta diakibatkan kerusakan pada saraf-saraf tepi
seperti ditunjukkan pada gambar di bawah ini:

Saraf Fungsi
Motorik Sensorik Otonom
Auricularis Mempersarafi area Mempersarafi
Magnus belakang telinga kelenjar keringat,
Facialis Mempersarafi kelenjer minyak dan
kelopak mata pembuluh darah
agar bisa
menutup
Ulnaris Mempersarafi Rasa raba telapak
jari manis dan tangan: jari
jari kelingking keligkung &
separuh jari manis
Medianus Mempersarafi Rasa raba telapak
ibu jari, tangan bagian ibu
telunjuk dan jari, telunjuk, jari
jari tengah tengah, separuh
jari manis

Radialis Kekuatan
pergelangan
tangan
Peroneus Kekuatan
communis pergelangan
kaki
Tibialis Mempersarafi Rasa raba telapak
posterior jari kaki kaki

2) Perrabaan (palpasi) saraf tepi


Berikut adalah prosedur umum pemeriksaan perabaan saraf
 Pemeriksaan berhadapan dengan pasien
 Perabaan dilakukan dengan tekanan ringan sehingga tidak
menyakiti pasien
 Pada saat meraba saraf, perhatikan:
- Apakah ada penebalan/pembesaran
- Apakah saraf kiri &kanan sama besar atau berbeda
- Apakah ada nyeri atau tidak pada saraf
Saat melakukan palpasi saraf perhatikan mimic pasien, apakah ada
kesan kesakitan tanpa menanyakan sakit atau tidak. Dari beberapa
saraf yang disebutkan, ada tiga saraf yang wajib diraba yaitu saraf
ulnaris, peroneus communis dan tibialis posterior.
I. Saraf ulnaris
 Tangan kanan pemeriksa memegangan lengan kanan bawah
penderita dengan posisi siku sedikit ditekuk sehingga lengan
pasien relaks.
 Dengan jari telunjuk dan jari tengah tangan kiri pemeriksa
menacari sambal merabab saraf ulnaris di dalam sulkus nervi
ulnaris yaitu lekukakn diantara tonjolan tulang siku dan tonjolan
kecil dibagian medial (epicondilus medialis)
 Dengan tekanan ringan gulirkan pada saraf ulnaris, dan telusuri
keatas dengan halus sambal melihat mimic. reaksi pasien apakah
tampak kesakitan atau tidak.
II. saraf peroneus communis (poplitea lateralis)
 Pasien diminta duduk di suatu tempat (kursi) dengan kaki dalam
keadaan relaks
 Pemeriksa duduk di depan pasien dengan tangan kanan
memeriksan kaki kiri pasien dan tangan kiri memeriksa kaki
kanan
 Pemeriksa meletakkan jari telunjuk dan jari tengah pada
pertengahan betis bagian luar pasien sambal pelan-pelan meraba
ke atas sampai menemukan benjolan tulang (caput fibula). setelah
menemukan tulang tersebut jari pemeriksa meraba saraf peroneus
1 cm kea rah belakang
 Dengan tekanan yang ringan saraf tersebut digulirkan bergantian
ke kanan & ke kiri sambal melihat mimik/ reaksi pasien

III. saraf tibialis posterior


 Pasien duduk relaks
 Dengan jari telunjuk dan tengah, pemeriksa merava saraf tibialis
posterior di bagian belakang bawah dari mata kaki sebelah dalam
(malleolus medialis) dengan tangan menyilangi (tangan kiri
pemeriksa memeriksa saraf tibialis kiri dan tangan kanan
pemeriksa memeriksa saraf tibialis posterior kanan pasien
 Dengan tekanan ringan saraf tersebut digulirkan sambal melihat
mimik/ reaksi dari pasien

3) Pemeriksaan fungsi saraf

a. tes sensoris .
Gunakan kapas.jarum. serta tabung reaksi berisi air hangat dan dingin.
Rasa raba
Sepotong kapas yang dilancipkan ujungnya digunakan untuk
memeriksa perasaan rangsang raba dengan menyinggungkannya pada
kulit.Pasien yang diperiksa harus duduk pada waktu dilakukan
pemeriksaan.Terlebih dahulu petugas menerangkan bahwa bilamana
merasa disinggung bagian tubuhnya dengan kapas.ia harus
rnenunjukkan kulit yang disinggung dengan jari telunjuknya dan
dikerjakan dengan mata terbuka. Bilamana hal ini telah jelas, maka ia
diminta menutup rnatanya, kalau perlu matanya ditiutup dengan
sepotong kain/karton. Lesi di kulit dan bagian kulit lain yang
dicurigai, perlu diperiksa sensibilitasnya. Harus diperiksa sensibilitas
kulit yang sehat dan kulit yang tersangka diserang kusta.Bercak-
bercak di kulit harus diperiksa pada bagian tengahnya, jangan di
pinggimya.
Rasa nyeri
Diperiksa dengan memakai jarum.Petugas menusuk kulit
dengan ujung jarum yang tajam dan dengan pangkal tangkainya yang
tumpul dan pasien harus mengatakan tusukan mana yang tajam dan
mana yang tumpul.
Rasa suhu
- diiakukan dengan mempergunakan 2 tabung reaksi, yang 1 berisi
air panas (sebaiknya 40°C) yang lainnya air dingin (sebaiknya
sekitar 20°C).
- mata pasien ditutup atau menoleh ke tempat lain, lalu bergantian
kedua tabung tersebut ditempelkan pada daerah kulit yang
dicurigai.
- sebelumnya dilakukan tes kontrol pada daerah kulit yang normal,
untuk memastikan bahwa orang yang diperiksa dapat
membedakan panas dan dingin.
- bila pada daerah yang dicurigai tersebut beberapa kali pasien
salah menyebutkan rasa pada tabung yang ditempelkan, maka
dapat disirnpulkan bahwa sensasi suhu di daerah terssbut
terganggu.
b. Tes otonom
Berdasarkan adanya gangguan berkeringat di makula anestesi
pada penyakit kusta, pemeriksaan lesi kulit dapat dilengkapi dengan
tes anhidrosis
1. Tes dengan pinsil tinta (tes Gunawan)
Pinsil tinta digariskan mulai dari bagian tengah lesi yang
dicurigai terus sampai ke daerah kulit normal.
2. Tes pilocarpin
- daerah kulit pada rnakula dan perbatasannya disuntik dengan
pilocarpin subkutan.
- setelah beberapa menit tampak daerah kuiit normal
berkeringat, sedangkan daerah lesi tetap koring.
c. Tes motoris
Voluntary muscle test (VMT) Cara memeriksa
1. Mula-mula periksa gerakan, perhatikan apakah pasien dapat
merakukan dengan baik dan tanpa bantuan.
2. Kemudian perksa ketahanannya kerjakan ini hanya jika
gerakannya sempuma atau mendekati dan lakukanlah perlahan,
jangan dikejutkan/sekaligus (tiba-tiba). Jangan paksa sampai
berubah posisi, amati apakah kekuatan menahan penderita
normal, berkurang atau nol.
3. Bandingkan selalu kaki dan tangan kanan pasien dengan yang
sebelah kiri.

3. Pemeriksaan Laboratorium
a. Pemeriksaan Bakterioskopik
Sediaaan dibuat dari kerokan kulit atau mukosa hidung yang diwarnai
dengan pewarnaan terhadap basil tahan asam, antara lain dengan ZIEHL
NEELSEN. Bakterioskopik negatif pada seorang penderita, bukan berarti
orang tersebut tidak mengandung M. leprae.
Untuk riset diperiksa 10 tempat dan untuk rutin minimal 4-6 tempat,
yaitu kedua cuping telinga bagian bawah tanpa melihat ada tidaknya lesi di
tempat tersebut, dan 2-4 tempat lain yang paling aktif, yang paling
eritomatosa dan paling infiltratif.
M. leprae tergolong basil tahan asam (BTA), akan tampak merah pada
sediaan. Dibedakan bentuk batang utuh (solid), batang terputus (fragmented),
dan butiran (granular). Bentuk solid adalah basil hidup, sedang fragmented
dan granular bentuk mati. Bentuk hidup lebih berbahaya karena dapat
berkembangbiak dan dapat menularkan ke orang lain.
Kepadatan BTA tanpa membedakan solid dan nonsolid pada sebuah
sediaan dinyatakan dengan Indeks Bakteri (I.B) dengan nilai dari 0 sampai
6+ menurut Ridley.0 bila tidak ada BTA dalam 100 lapangan pandang (LP).
1+ Bila 1-10 BTA dalam 100 LP
2+ Bila 1-10 BTA dalam 10 LP
3+ Bila 1-10 BTA rata-rata dalam 1 LP
4+ Bila 11-100 BTA rata-rata dalam 1 LP
5+ Bila 101-1000 BTA rata-rata dalam 1 LP
6+ Bila > 1000 BTA rata-rata dalam 1 LP

Indeks Morfologi (IM) adalah presentase basil kuste, bentuk utuh (solid)
terhadap seluruh BTA, yang digunakan untuk mengetahui daya penularan
kuman dan menilai hasil pengobatan dan membantu menentukan resistensi
terhadap obat.
b. Pemeriksaan histopatologik
Gambaran histopatologik Tipe Tuberkuloid adalah tuberkel dan kerusakan saraf
yang lebih nyata, tidak ada basil atau hanya sedikit dan non solid. Pada Tipe
Lepromatosa terdapat kelim sunyi subepidermal (subepidermal clear zone), yaitu
suatu daerah langsung di bawah epidermis yang jaringannya tidak patologik.
Didapati sel virchow dengan banyak basil. Pada Tipe Borderline terdapat
campuran unsur-unsur tersebut.

1) Tes Lepromin
Tes lepromin adalah tes non spesifik untuk klasifikasi dan prognosis lepra,
tapi tidak untuk diagnosis, berguna untuk menunjukkan sistem imun
penderita terhadap M. leprae.0,1 ml lepromin, dipersiapkan dari extraks basil
organisme, disuntikkan intradermal. Kemudian dibaca pada setelah 48 jam /
2 hari (Reaksi Fernandez), atau 3-4 minggu (Reaksi Mitsuda). Reaksi
Fernandez positif, bila terdapat indurasi dan erytema, yang menunjukkan
kalau penderita bereaksi terhadap M. leprae yaitu respon imun tipe lambat,
ini seperti Mantoux test (PPD) pada M. tuberculosis.
Sedangkan Reaksi Mitsuda bernilai :
0 : Papul berdiameter 3 mm atau kurang
+1 : Papul berdiameter 4-6 mm
+2 : Papul berdiameter 7-10 mm· +3 : Papul berdiameter lebih dari 10
mm atau papul dengan ulserasi.
Reaksi Mitsuda berkorelasi baik dengan respon imun penderita yang
bernilai prognosis. Klasifikasi histologi pada biopsi jaringan dari reaksi
mitsuda memiliki kemungkinan klinis lebih baik daripada histologi dari lesi
kulit lepra itu sendiri.

c. Tes Serologi
 Pemeriksaan serologi, didasarkan terbentuk antibodi pada tubuh seseorang
yang terinfeksi oleh M.leprae. Pemeriksaan serologik adalah MLPA
(Mycobacterium Leprae Particle Aglutination), uji ELISA dan ML dipstick.
 Pemeriksaan serologi utama terdiri dari fluorescent antibody absorption test
(FLA-ABS), radioimmunoassay (RIA), ELISA, passive hemagglutination
assay (PHA), serum antibody competition test (SACT), dan particle
agglutination assay (PAA).
 Tes serologi yang penting adalah FLA-ABS test dan PGL-1 ELISA, dimana
sudah disederhanakan lebih lanjut sebagai dot ELISA dan dipstick ELISA.
Estimasi dari komponen spesifik M leprae pada jaringan.
 Antigen spesifik M leprae, nucleic acids, dan lipid spesifik M leprae
diperiksa menggunakan thin-layer chromatography, high-pressure liquid
chromatography, gas-liquid chromatography, dan mass spectrometry.
 Lipid seperti mycolic acid dan phenolic glycolipid merupakan karakteristik
dari mycobacteria, termasuk M leprae.
 Test untuk mendeteksi epitope pada antigen M leprae dilakukan dengan
memakai antibody monoclonal atau ELISA sudah di temukan, tapi frekuensi
munculnya reaksi positif palsu, terutama pada negara tropis, menurunkan
nilai prediksi positif dari aktivitas penyakit ini.
Bagan Diagnosis Klinis Menurut WHO

SIFAT PB MB

1. Lesi Kulit - 1-5 lesi - > 5 lesi


(Makula datar, - Hipopigmentasi/eritema - Distribusi
papul yang - Distribusi tidak simetris lebih simetris
meninggi, nodus) - Hilangnya sensasi yang - Hilangnya
jelas sensasi
kurang jelas

2. Kerusakan Saraf - Hanya satu cabang saraf - Banyak


(menyebabkan cabang saraf
hilangnya
sensasi/kelemahan
otot yang
dipersarafi oleh
saraf yang
terkena)

4. TATALAKSANA
A. Tujuan pengobatan kusta
1. memutuskan mata rantai penularan
2. mencegah resistensi obat
3. memperpendek masa pengobatan
4. meingkatkan keteraturan berobat
5. mencegah terjadinya cacat atau mencegah bertambahnya cacat yang sudah ada
sebelum pengobatan
B. Regimen pengobatan MDT (Multi Drug Therapy)
Multi Drug Therapy adalah kombinasi dua atau lebih obat antikusta, salah satunya
rifampisin sebagai anti kusta yang bersifat bakterisisal kuat sedangkan obat anti kusta
lain bersifat bakteriostatik.
Berikut kelompok orang yang membutuhkan MDT
1. Pasien yang baru didiagnosis kusta dan belum pernah mendapatkan MDT
2. Pasien ulangan, yaitu pasien yang mengalami hal-hal di bawah ini:
a. Relaps
b. Masuk kembali setelah default ( dapat PB maupun MB)
c. pindahan (pindah masuk)
d. ganti klasifikasi/ tipe
Regimen pengobatan MDT di Indonesia sesuai dengan yang diekomendasikan oleh
WHO. Regimen tersebut adalah sebagai berikut:
1) Pasien pausibasiler (PB)
Dewasa
Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
 1 tablet dapson / DDS 100 mg
Pengobatan harian : hari ke 2- 28
 1 tablet dapson/ DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.

2) Pasien multibasiler (MB)


Dewasa
Pengobatan bulanan: ahri pertama (obat diminum di depan petugas)
 2 kapsul rifampisin @ 300 mg (600 mg)
 3 tablet lampren @ 100 mg (300 mg)
 1 tablet dapson / DDS 100 mg
Pengobatan harian : hari ke 2- 28
 1 tablet lampren 50 mg
 1 tablet dapson/ DDS 100 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan.

3) Dosis MDT PB untuk anak (umur 10-15 tahun )


Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
 1 tablet dapson / DDS 50 mg
Pengobatan harian : hari ke 2- 28
 1 tablet dapson/ DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 6 blister yang diminum selama 6-9 bulan.

4) Dosis MDT MB untuk anak (umur 10-15 tahun)


Pengobatan bulanan : hari pertama (obat diminum di depan petugas)
 2 kapsul rifampisin 150 mg dan 300 mg
 3 tablet lampren @ 50 mg (150 mg)
 1 tablet dapson / DDS 50 mg
Pengobatan harian : hari ke 2- 28
 1 tablet lampren 50 mg selang sehari
 1 tablet dapson/ DDS 50 mg
Satu blister untuk 1 bulan. Dibutuhkan 12 blister yang diminum selama 12-18
bulan.
Bagi dewasa dan anak usia 10-14 tahun tersedia paket dalam bentuk blister.
Dosis anak disesuaikan dengan berat badan :
 Rifampisin : 10-15 mg/ KgBB
 Dapson : 1-2 mg/KgBB
 Lampren : 1 mg/ KgBB

C. Sediaan dan Sifat Obat


MDT tersedia dalam bentuk blister. Ada empat macam blister yntuk PB dan MB
dewasa serta PB dan MB anak
1. Obat MDT terdiri dari :
a. DDS (dapson)
1) Singkatan dari Diamino Diphenyl Sulphone
2) Sediaan berbentuk tablet warna putih 50 mg dan 100 mg
3) Bersifat bakteriostatik yaitu menghambat pertumbuhan kuman kusta
4) Dosis dewasa 100 mg/hari, anak 50 mg/hari (umur 10-15 tahun)

b. Lampren (B663) juga disebut klofazimin


1) Sediaan berbentuk kapsul luank 50 mg dan 100 mg, warna coklat
2) Bersifat bakteriostatik, bakterisidal lemah dan antiinflamasi
3) Cara pemberian secara oral, diminum sesudah makan untuk menghindari
gangguan gastrointerstinal.

c. Rifampisin
1) Sediaan berbentuk kapsul 150 mg, 300 mg, 450 mg, dan 600 mg
2) Bersifat bakterisidal: 99% kuman kusta mati dalam satu kali pemberian
3) Cara pemberian secara oral, diminum setengah jam sebelum makan, agar
penyerapan lebih baik

2. Obat penunjang (vitamin/ roboransia)


Obat neurotropik seperti vitamin B1, B6, dan B12 dapat diberikan.

D. Efek Samping dan penanganannya


Secara lengkap efek samping obat MDT dan penanganannya di uraikan sebagai
berikut:
1. Rifampisin
Jarang menimbulkan efek samping karena pemberian hanya sekali sebulan.
a. Gangguan fungsi hati dan ginjal. Pada umumnya dengan pemberian rifampisin
600 mg/ bulan aman bagi hati dan atau ginjal ( kecuali ada tanda penyakit
sebelmunya). Apabila timbul gejala gangguan fungsi hati dan atau ginjal
pengobatan MDT dihentikan sementara, dan dilanjutkan kembali apabila
fungsi hati dan ginjal sudah normal.
b. Timbul kelainan/ erupsi kulit
c. Gangguan pencernaan misalnya rasa nyeri, mual, muntah, dan diare
d. Perubahan warna urin menjadi merah. Ini hanya berlangsung sementara. Perlu
diberitahukan kepada pasien agar tidak kaget

2. Dapson
Sindrom dapson adalah suatu reaksi hipersensitivitas yang berbeda dengan efek
samping amupun efek toksik dari dapson. Nama lainnya adalah sindrom sulfon,
sindrom hipersensitivitas dapson, five weeks dermatitis. Faktor risikonya anatara
lain alergi sulfon, anemia hemolitik, defisiensi enzim glucose 6 phospate
dehydrogenase (G6PD), riwayat sianosis pada diri atau keluarga, pasien dengan
hepatitis B atau E.
Kriteria diagnosis SD pada pasien kusta adalah gejala timbul dalam 8 minggu
setelah pemberian dapson, dan menghilang dengan penghentian dapson. Biasanya
terjadi dalam 3 sampai 6 minggu pemberian dapson. Dapat timbul 2-6 jam
pemberian dapson jika telah ada pajanan terhadap dapson sebelumnya atau 1
sampai 2 minggu setelah dapson dihentikan, hal itu disebabkan karena retensi
dapson di jaringan dan sirkulasi enterohepatik
Gambaran klinis berupa gejala awal yang mendadak berupa lesi kulit
makulopapular generalisata dan diikuti grjala sistemik, seperi demam tinggi,
ikterus, malaise, abnormalotas hematologis (leukositosis, eosinofilia, lomfositosis
atipik, limfadenopati generalisata pada pasien yang mendapat dapson beberapa
minggu setelah terapi mulai. Pada keadaan parah, lesi makulopapular dapat
disertai dengan peradangan, papul eritematosa, plakm vesikel, pustul, edema,
kemudian deskuamasi (bersisik )kulit.
Penatalaksanaan berupa penghentian DS harus segera di lakukan. Pengobatan
suportif misalnya keseimbangan cairan dan elektrolit, suhu, nutrisi, perawatan lesi
kulit, serta penanganan sepsis penting dalam tatalaksana DS. transfusi darah di
perlukan pada anemia berat.

3. Lampren
Dosis yang dipakai pada regimen MDT sangat jarang menimbulkan efek samping
yang berat, antara lain:
a. Gangguan saluran cerna
Mual, muntah, nyeri perut dan diare. Nyeri perut terjadi karena endapan kristal
lampren dalam usus halus menyebabkan terjadinya inflamasi di ujung usus
halus. Jika berat, lampren sebaiknya dihentikan dan dapat dimulai kembali
setelah gejala memabaik.
b. Hiperpigmentasi kulit dan mukosa(perubahan warna kulit menjadi kecoklatan)
Kering, iktiosis, pruritus, erupsi akneiformis, ruam pada kulit dan reaksi
fotosensitivitas. Aan menghilang 6-12 bulan setelah lampren dihentikan
c. Kulit dan mukosa kering
Dapat disertai berkurangnya keringat dan air mata. Sebaiknya pasien
diberitahukan bahwa hal ini juga akan menghilang setelah pengobatan selesai
d. Lain-lain
Perubahan warna keringat, dahak dan urin, serta aritmis karena hipokalemia

Penanganan efek samping lampren


Efek samping lampren biasanya dapat ditolerir sehingga pengobatan tidak perlu
dihentikan. Pada kasus kelebihan dosis, bilas lambung (dengan arang aktif) atau
dengan merangsang muntah. Tidak ada antidot spesifik.

E. Monitoring dan evaluasi pengobatan


1. Setiap petugas harus memonitor tanggal pengambilan obat
2. Apabila pasien terlambat mengambil obat, paling lama dalam 1 bulan harus
dilakukan pelacakan
3. RFT dapat dinyatakan setelah dosis dipenuhi tanpa diperlukan pemeriksaan
laboratorium. Setelah RFT pasien dikeluarkan dari register kohort.
4. Pasien yang sudah RFT namun memiliki faktor risiko:
a. Cacat tingkat 1 atau 2
b. Pernah mengalami reaksi
c. BTA pada awal pengobatan positif >3 (ada nodul atau infiltrat) dilakukan
pengamatan secara semi-aktif
5. Pasien PB yang telah mendapat pengobatan 6 dosis (blister) dalam waktu 6-9
bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laboratorium
6. Pasien MB yang telah mendapat pengobatan MDT 12 dosis (blister) dalam
waktu 12-18 bulan dinyatakan RFT, tanpa harus pemeriksaan laoratorium.
7. Default
Jika seorang pasien PB tidak mengambil/ mingum obatnya lebih dari 3 bulan
dan pasien MB lebih dari 6 bulan secara kumulatif (tidak mungkin baginya
untuk menyelesaikan pengobatan sesuai waktu yang ditetapkan), makan yang
bersangkutan dinyatakan default
8. Relaps/ kambuh
Pasien dinyatan relaps bila RFT timbul lesi baru pada kulit. Untuk menyatakan
relaps baru harus dikonfirmasikan kepada wasor atau dokter kusta yang
memiliki kemampuan klinis dalam mendiagnosis relaps.
Untuk orang yang oernag mendapat pengobatan dapson monoterapi (sebelum
diperkenalkannya MDT) bila tanda kusta aktif muncul kembali, maka pasien
tersebut dimasukkan dalam katergori relaps dan diberi MDT.
9. Indikasi pengeluaran pasien dari register kohort adalah RFT, meninggal,
pindah, salah diagnosis, ganti klasifikasi, default
10. Pada keadaan-keadaan khusus (misalnya akses yang sulit ke pelayanan
kesehatan ) dapat diberikan sekaligus beberapa blister disertai dengan
penyuluhan lengkap mengenai efek samping, tanda-tanda reaksi, agar
secepatnya kembali ke pelayanan kesehatan.
BAB III

KESIMPULAN

Pitiriasis rosea merupakan penyakit yang dapat sembuh dengan sendirinya dan
ditandai dengan gejala sindroma flu seperti lemas, mual, tidak nafsu makan, demam, nyeri
sendi dan pembesaran kelenjar limfe, didapatkan lesi berbentuk plak oval eritem (herald
patch) dengan skuama yang halus dan berukuran 2 hingga 4 centimeter yang terdistribusi
dengan gambaran seperti pohon natal terbalik. Penyakit ini belum diketahui penyebab
pastinya namun HHV-6 dan HHV-7 diduga sebagai penyebabnya. Pitiriasis rosea dapat
ditangani dengan edukasi yang baik pada pasien, teknik mandi dengan cara colloidal bath,
pemberian kortikosteroid topikal, antihistamin oral, acyclovir oral 5 X 800 mg selama satu
minggu, erythromycin dan fototerapi. Tidak didapatkan komplikasi yang berbahaya pada
penyakit ini sehingga memiliki prognosis yang baik.
DAFTAR PUSTAKA

Kementrian Kesehatan RI. 2012. Pedoman Nasional Program Pengendalian Penyakit Kusta.
Jakarta: Kementrian Kesehatan RI Direktorat Jendral Pengendalian Penyakit dan
Penyehatan Lingkungan
Kementrian Kesehatan RI. 2015. Infodatin 2015. http:// www.depkes.go.id. Diakses tanggal
21 April 2019 pukul 20.00.
World Health Organization [Internet]. Leprosy the disease. Available
from:http://www.who.int/lep/leprosy/en/

Anda mungkin juga menyukai