Anda di halaman 1dari 6

BLANGKON adalah penutup kepala dari kain batik untuk para laki-laki yang menjadi bagian dari

pakaian tradisional masyarakat Jawa, yang merupakan bentuk praktis dari iket (pengikat) kepala.
Sebab, pada zaman dulu, penutup kepala ini hanya berupa kain iket (ikat) yang terbuka di bagian
atasnya. Iket bahkan sudah dikenal di awal terbentuknya budaya Jawa. Dalam legenda tentang
Aji Saka, iket bahkan memiliki peran besar ketika Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar
-seorang raksasa penguasa tanah Jawa.
Kebiasaan pemakaian iket ini mulai berubah ketika agama Islam masuk ke Tanah Jawa. Ajaran
Islam yang menganjurkan para lelaki untuk menutup seluruh bagian kepala akhirnya melahirkan
iket yang lebih rapi dalam menyembunyikan rambut panjang mereka, namun cara memakainya
sangat rumit.
“Sebelum mengenakan iket, mereka harus menggelung atau menguncir rambut ke belakang.
Kemudian iket dilipat hingga menutupi kepala sampai sebatas dahi dan atas telinga,” kata
Ranggajati Sugiyatno, pakar blangkon di Solo.
Ranggajati menambahkan kain iket ini berbentuk bujur sangkar dengan ukuran 105 cm x 105 cm.
Namun, kain yang digunakan sebenarnya hanya separo. Sebab, ukuran blangkon diambil dari
jarak antara garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi.
“Karena terlalu rumit dan ribet ketika mengenakannya, maka lahirnya blangkon seperti yang
sekarang ini. Jadi bisa dibilang bahwa blangkon itu bentuk penyempurnaan dari iket.”
Konon, pemakaian blangkon merupakan pengaruh dari budaya Hindu dan Islam yang diserap
oleh orang Jawa. Menurut Wakil Pengageng Sasono Wilopo Kraton Kasunanan Surakarta,
Kanjeng Pangeran Winarno Kusumo, orang Islam yang masuk ke Jawa terdiri dari dua etnis, yaitu
keturuan Cina dari daratan Tiongkok dan para pedagang Gujarat yang merupakan keturunan
Arab. Orang-orang Gujarat yang selalu mengenakan sorban -kain panjang dan lebar yang
diikatkan di kepala- inilah yang kemudian member inspirasi orang Jawa untuk mengenakan iket.
Dalam perkembangannya, blangkon yang lahir setelah iket pun memberi tempat untuk gelung
atau kuncir.
“Namanya mondholan, yaitu tonjolan kecil di bagian belakang blangkon (Jawa). Jadi mondholan
itu untuk tempat gelungan, bukan sebagai representasi karakter orang Jawa yang suka berbaik-
baik di depan, tetapi nggrundel atau menyimpan perasaan, di belakang,” jelas Ranggajati yang
sudah puluhan tahun menekuni pembuatan blangkon.
Tentu saja, bentuk blangkon tidak pernah seragam di setiap daerah. Di Jawa, terdapat tiga jenis
blangkon, yaitu: blangkon kejawen, pasundan, dan pesisiran. Jenis blangkon kejawen umumnya
dipakai di daerah Banyumas, Bagelen, Yogyakarta, Surakarta, Madiun, Kediri, dan Malang.
Khusus untuk Yogyakarta, blangkon kejawen dibedakan menjadi gaya utara dan selatan.
Sementara dari bentuknya terdiri dari jebehan, cepet, waton, dan kuncungan. Perbedaan inilah
yang kemudian melahirkan motif-motif blangkon, seperti adimuncung, tumpangsari, kuncungan,
jeplakan, tempen, solomuda, pletrekan, solobangkalan, prebawan, tutup liwet, dan lain
sebagainya. Sedangkan untuk daerah Surakarta muncul beberapa jenis blangkon lagi, yaitu
wironan atau mataraman, iket krepyak dan trepes.
Yogyakarta dan Solo (Surakarta) yang sama-sama sebagai bagian dari Kerajaan Mataram pun
memilik bentuk blangkon yang berbeda. Perbedaan mencolok dan yang paling mudah dikenali
adalah pada bagian belakang blangkon. Blangkon gaya Yogyakarta memiliki mondholan,
sedangkan blangkon Solo tanpa mondholan atau terlihat rata.
Mondholan di Yogyakarta ini muncul, karena ketika itu (masa pemerintahan Panembahan
Senopati, seusai runtuhnya Kerajaan Pajang), para lelaki mempunyai kebiasaan memelihara
rambut panjang, yang kemudian diikat dan digelung ke belakang. Dari bentuk mondholan ini
lahirlah filosofi di mana orang Jawa pandai menyimpan rahasia, tidak suka membuka aib orang
lain atau diri sendiri. Dalam berkata-kata dan perilaku, orang Jawa juga penuh dengan kiasan dan
bahasa halus, sehingga menjadikan mereka selalu berhati-hati tetapi bukan berarti berbasa-basi,
akan tetapi sebagai bukti keluhuran budi pekerti orang Jawa.
“Orang Jawa itu pandai menyimpan rahasia dan menutupi aib. Mereka akan berusaha tersenyum
meskipun hatinya menangis. ItuIni bukan sikap munafik, melainkan keinginan untuk selalu
berbuat baik untuk orang lain,” kata Ranggajati.
Sedangkan untuk blangkon Solo yang trepes atau rata pada bagian belakang, karena para lelaki
pada masa itu (Pemerintahan Belanda) sudah mengenal potong rambut dan jas (beskap) karena
pengaruh Belanda. Model trepes ini merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang muncul
karena kebanyakan pria sudah mulai berambut pendek. Blangkon trepes dibuat dengan cara
menjahit langsung mondholan pada bagian belakang blangkon.
“Tidak ada mondholan pada blangkon Solo. Yang hanya pertemuan dua pucuk helai di kanan dan
kirinya yang kemudian diikatkan di belakang. Ini simbol menyatukan dua kalimat syahadat yang
harus terus melekat dalam pikiran orang Jawa.”
Secara umum, penempatan blangkon di kepala secara mengandung anjuran agar segala
pemikiran yang dihasilkan dari kepala selalu membawa nilai-nilai keislaman.
“Sebebas apa pun pemikiran yang ada, agama Islam harus selalu menjadi pijakan,” tegas
Ranggajati yang juga budayawan Jawa ini.
Ranggajati melanjutkan blangkon juga sebagai simbol pertemuan antara jagad alit (mikrokosmos)
dengan jagad gede (makrokosmos). Blangkon merupakan isyarat jagad gede karena nilai-nilai
transendentalnya. Sedangkan kepala yang ditumpanginya merupakan isyarat jagad alit. Ini terkait
dengan tugas manusia sebagai khalifatullah fi al-ardi yang membutuhkan kekuatan Tuhan.
Karena itu, agar manusia mampu melaksanakan tugasnya dibutuhkan kekuatan Tuhan yang
disimbolkan dengan blangkon.
“Pada zaman dulu, orang-orang Jawa banyak yang memakai blangkon karena kesadaran mereka
sebagai hamba Tuhan dan khalifah di bumi. Zaman sekarang, banyak yang mengenakan blangkon
karena mengikuti mode.”
Pada zaman dulu, blangkon hanya boleh dibuat oleh para seniman keraton dengan pakem
(aturan) yang baku. Seperti halnya keris dan batik. Semakin blangkon yang dibuat memenuhi
pakem, maka blangkon itu akan semakin tinggi nilainya.
Menurut Ranggajati, seorang pembuat blangkon membutuhkan virtuso skill atau keahlian
keindahan. Keindahan blangkon, lanjut Ranggajati, selain dilihat dari pemenuhan pakem juga cita
rasa sosial. Apalagi pakem blangkon sesungguhnya bukan hanya harus dipatuhi oleh
pembuatnya, tetapi juga oleh para pemakainya.
“Dalam blangkon itu terksimpan nilai-nilai kehidupan sehari-hari seperti keindahan, ketekunan,
ketelitian, dan kesabaran.
Tentang keindahan, kesabaran, dan ketelitian itu, Ranggajati mencontohkan, sebuah blangkon
yang bagus bias memiliki 14 hingga 17 wiru (lipatan) yang rapi di kanan-kiri. Tanpa kesabaran dan
ketelitian yang besar, sangat mustahil blangkon tersebut bis diselesaikan. Keindahan blangkon
juga bias dilihat dari kain batik selebar 105cm x 105cm sebagai bahan dasar blangkon.
Blangkon yang bagus, tentu bahan dasarnya juga harus bagus. Salah satunya kain yang dibatik
tulis, bukan batik cap apalagi printing. Jangan heran jika harga satu “topi Jawa” terbaik harganya
bisa mencapai ratusan juta rupiah. JIka memiliki niali sejarah, harganya bias lebih mahal lagi.
“Seperti halnya keris dan batik, semakin indah dan bersejarahnya blangkon akan membuat
harganya semakin mahal,” ujar Ranggajati yang memiliki usaha busana tradisional Jawa di
kawasan Keprabon, Solo.

Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat
dari batik dan digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional Jawa.
Untuk beberapa tipe blangkon ada yang menggunakan tonjolan pada bagian belakang
blangkon yang disebut mondholan. Mondholan ini menandakan model rambut pria masa
itu yang sering mengikat rambut panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga
bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan rambut itu harus kencang
supaya tidak mudah lepas.
Sekarang lilitan rambut panjang yang menjadi mondholan sudah dimodifikasi karena
orang sekarang kebanyakan berambut pendek dengan membuat mondholan yang dijahit
langsung pada bagian belakang blangkon. Ada 2 jenis blangkon yaitu gaya Surakarta
(Sala) dan gaya Yogyakarta. Blangkon gaya Surakarta mondholannya trepes atau
gepeng sedang mondholan gaya Yogyakarta berbentuk bulat seperti onde-onde.
Bagi orang jawa rambut,wajah ataupun kepala adalah mahkota.Dari sudut kepala segala
model perwatakan dan gejala emosi dapat terbaca.Orang jaman dahulu biasa
memanjangkan rambutnya.Meskipun memanjangkan rambut bukan berarti mereka akan
membiarkan rambutnya tergerai urakan seperti dalam film-film.Rambut biasanya akan
digelung/diikat dengan ikatan kain diatas kepala atau disisi belakang kepala.Ini bermakna
bahwa orang tersebut mampu menata rambutnya dan tidak membiarkan tergerai awut-
awutan adalah manusia yang mampu menata kepribadiannya.Mampu mengendalikan
diri dengan mengikatnya erat-erat di belakang kepala.
Orang jawa jaman dahulu hanya akan membiarkan rambutnya tergerai hanya saat
sedang di rumah dan saat akan berperang!Ya,saat sedang berada dalam sebuah kancah
konflik yang berarti sengaja membiarkan seluruh emosinya keluar apa adanya.Dan perlu
diketahui sebelum memasuki masa berkonflik mereka sudah melalui berbagai tahap
pengendalian diri hingga konflik adalah jalan terakhir.Dan terpaksa rambut yang telah
digelung rapi & diikat dengan iket blangkon harus terurai,mbendolnya hilang dong..
Jadi blangkon adalah sebuah wujud pengendalian diri dengan menampakkan bagian
depan blangkon yang diikat rapi(diwiru dg halus) lalu menahan gejolak emosi,dlm hal ini
rambut sbg lambang gejolak emosi,dengan mengikatnya di belakang kepala hingga
berbentuk benjolan tadi.Meski hati panas tapi kepala harus dingin.Maka bila emosi sudah
tak tertahankan dan meledak maka lelaki jawa harus mengurai mondolan di
blangkonnya,membiarkan rambut panjangnya tergerai.
Hal inilah yang sering disalahpahami sebagai halus di depan tapi dongkol dibelakang
untuk menyembunyikan niat busuknya.Sebagai orang jawa tulen sudah semestinya saya
meluruskan kesalahpahaman itu.Sekali lagi etnis manapun berpotensi seperti
itu.Falsafah blangkon di jaman sekarang tidak jauh berbeda dengan EQ Kecerdasan
Emosi. Bila anda adalah orang jawa tapi tidak mampu mengendalikan
emosi,nafsu,syahwat maka anda tidak berhak mengenakan iket blangkon di
kepala...memalukan!
"NGLURUG TANPA BOLO,MENANG TANPO NGASORAKE"

Blangkon, identitas budaya jawa yang mendunia


Blangkon mampu mengangkat nama Kota Solo ke seantero dunia. Wisatawan
mancanegara pun mengapresiasi karya seni yang unik dan menarik ini. Mengunjungi
Kota Solo rasanya belum lengkap jika tidak mengenal karya seni yang dihasilkan dari
kreativitas warganya. Karya seni tersebut tak lain adalah blangkon, tutup kepala yang
terbuat dari kain batik. Bagi masyarakat Jawa, khususnya Solo, blangkon merupakan
salah satu pencerminan identitas budaya.
Orang yang memakai blangkon merasa njawani, menjadi bagian dari masyarakat Jawa.
Sebagai salah satu destinasi wisata, Kota Solo merupakan sentra penghasil blangkon
yang cukup terkenal di Indonesia. Dari sejarah yang dituturkan, kerajinan blangkon di
Solo telah ada sejak zaman pra kemerdek aan. Ketik a itu, konon di daerah Notoningratan
di Kelurahan Serengan, Mbah Joyo yang dikenal sebagai seorang pengrawit atau
penabuh gamelan karawitan memiliki keterampilan membuat blangkon. Tidak diketahui
secara pasti dari mana Mbah Joyo memiliki keterampilan membuat blangkon, namun jika
ada acara kirab atau jumenengan, pihak keraton mempercayakan pembuatan blangkon
kepada Mbah Joyo. Model blangkon pertama yang dibuat Mbah Joyo bermotif Solo
Cekok. Keahlian Mbah Joyo membuat blangkon kemudian diwariskan kepada anak
cucunya secara turun-temurun. Maksud Mbah Joyo mewariskan keahliannya tersebut
agar keterampilan membuat blangkon tidak terputus pada satu generasi saja, setelah itu
hilang ditelan zaman. Jika awalnya anak cucu Mbah Joyo hanya melayani pesanan dari
keraton, sejak 1970-an, mereka mulai membuat dan memasarkan blangkon kepada
masyarakat luas.
Di Kota Solo, ada dua jenis blangkon, yaitu blangkon untuk abdi dalem dan blangkon
untuk masyarakat umum. Blangkon untuk abdi dalem diberi nama Cekok Mondol. Ciri
khas blangkon ini terletak pada mondolan atau bulatan di belakang dan di atasnya
terdapat bentuk dasi kupu-kupu. Sementara blangkon untuk masyarakat umum disebut
Solo Kasatriyan, dengan ciri bulatan kecil pada bagian belakang. Seiring waktu, blangkon
Solo memiliki varian dan tampilan yang unik dengan beberapa kreasi baru. Di antaranya
blangkon untuk penggemar motor besar, yang menggabungkan unsur tradisional dan
semangat petualangan. Terobosan ini dilakukan perajin untuk merespons kepentingan
pasar yang lebih luas agar dapat diterima oleh setiap lapisan masyarakat dari segala
usia. Peminat blangkon Solo sendiri tak hanya berasal dari wisatawan domestik tetapi
juga wisatawan mancanegara. Seperti dari Jerman, Inggris, Belanda, Amerika Serikat,
dan Malaysia. Mereka membawa pulang blangkon Solo sebagai souvenir yang unik dan
menarik. Blangkon Solo telah mengangkat nama kota tersebut dikenal luas di dunia.
Dari sebuah blangkon, ada cerita tentang identitas budaya Jawa yang memberikan
penghidupan yang terus mengalir bagi warganya dari kunjungan wisatawan. Di dalamnya
juga ada kisah tentang pelestarian budaya agar blangkon tetap dikenal sepanjang waktu
dari satu generasi ke generasi berikutnya yang menghargai kekayaan karya seni
bangsanya sendiri. Kota Solo karenanya patut berbangga. Mengenal Potrojayan,
Kampung Blangkon Di Kota Solo, ada satu kampung yang identik dengan kerajinan
blangkon. Kampung itu adalah Kampung Potrojayan yang terletak di Kelurahan
Serengan. Hampir sebagian besar warganya berprofesi sebagai perajin blangkon
sehingga tak heran jika kampung tersebut juga sering disebut sebagai 'Kampung
Blangkon'. Wardoyo adalah salah satu perajin blangkon di kampung tersebut. Dia adalah
generasi ketiga pemilik usaha Blangkon Kaswanto. Diliriknya blangkon sebagai suvenir
khas Kota Solo, membuat pasar penjualan blangkon meningkat pesat. Dengan lima
pegawai, dalam sehari, Blangkon Kaswanto mampu memproduksi hingga 200 blangkon.
Blangkon sejatinya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk segi empat dengan ukuran
105 x 105 cm, namun yang digunakan hanya separuhnya. Untuk mengukur ukuran
blangkon, diambil dari jarak antara garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi
dan melalui atas kepala. Pada umumnya, ukuran blangkon paling kecil bernomor 48,
sementara yang paling besar 59. Proses pembuatan blangkon melalui tiga tahap dasar,
yaitu pengguntingan, pengeleman, dan pengeringan. Membuat satu blangkon kira-kira
butuh waktu sekitar satu jam. Yang lama adalah proses pengeringannya karena
membutuhkan tenaga matahari. Proses pembuatan batik dimulai dari kain hitam penutup
kepala yang dimasukkan ke cetakan blangkon yang terbuat dari kayu. Kain tersebut
kemudian diolesi lem dan ditempeli kertas koran. Setelah itu ditempel kain batik dan
dibentuk sesuai model blangkon. Proses ini dinamakan klobot. Klobot kemudian
dikeringkan di bawah sinar matahari. Setelah proses pengeringan selesai, calon
blangkon dijahit manual menggunakan tangan. Harga blangkon bervariasi antara Rp 10-
Rp 300 ribu, tergantung dari bahan yang digunakan serta tingkat kesulitan pengerjaan.
Sebagai contoh, blangkon yang terbuat dari kain batik tulis bias mencapai harga Rp 200–
Rp 300 ribu per buah. Dari penjualan tersebut, Blangkon Kasmanto mampu meraup
omzet antara Rp 20–Rp 30 juta per bulan. Yang unik dari Kampung Blangkon, wisatawan
tidak hanya bisa melihat proses pembuatan blangkon, tetapi juga bisa mencoba membuat
sendiri blangkon sesuai selera.

FIX ARTIKEL
BLANGKON adalah penutup kepala dari kain batik untuk para laki-laki yang menjadi bagian dari
pakaian tradisional masyarakat Jawa, yang merupakan bentuk praktis dari iket (pengikat) kepala.
Sebab, pada zaman dulu, penutup kepala ini hanya berupa kain iket (ikat) yang terbuka di bagian
atasnya. Iket bahkan sudah dikenal di awal terbentuknya budaya Jawa. Dalam legenda tentang
Aji Saka, iket bahkan memiliki peran besar ketika Aji Saka berhasil mengalahkan Dewata Cengkar
-seorang raksasa penguasa tanah Jawa.
Blangkon yaiku penutup kepala saka kain batik kanggo para priya sing dadi bagian saka busana
tradisional masyarakat jawa. Ingkang wujudake bentuk praktis saka iket kepala. Sebab zaman
dulu penutup kelapa iku wujude kain iket sing mbuka ana ing bagian dhuwur. Iket wes dikenal
ing zaman awal nalika budaya jawa arep terbentuk. Ing legenda Aji Saka iket duwe peran vital
nalika Aji Saka ngalahake Dewata Cengkar yaiku penguasa tanah jawa.
Bagi orang jawa rambut,wajah ataupun kepala adalah mahkota.Dari sudut kepala segala model
perwatakan dan gejala emosi dapat terbaca.Orang jaman dahulu biasa memanjangkan
rambutnya.Meskipun memanjangkan rambut bukan berarti mereka akan membiarkan
rambutnya tergerai urakan seperti dalam film-film.Rambut biasanya akan digelung/diikat dengan
ikatan kain diatas kepala atau disisi belakang kepala.Ini bermakna bahwa orang tersebut mampu
menata rambutnya dan tidak membiarkan tergerai awut-awutan adalah manusia yang mampu
menata kepribadiannya.Mampu mengendalikan diri dengan mengikatnya erat-erat di belakang
kepala.
Kanggo wong jawa rambut,
Kebiasaan pemakaian iket ini mulai berubah ketika agama Islam masuk ke Tanah Jawa. Ajaran
Islam yang menganjurkan para lelaki untuk menutup seluruh bagian kepala akhirnya melahirkan
iket yang lebih rapi dalam menyembunyikan rambut panjang mereka, namun cara memakainya
sangat rumit.
Kabiasaan kanggo kain iket mulai dimodifikasi nalika agama islam mlebu ing tanah jawa. Ajaran
Islam nganjurake para priya nutup kaseluruhan bagian kepala sing akhire lairake iket sing luwih
rapi kanggo nutup rambut dhawa para priya. Nanging cara nganggone tasih rumit. Mula sakwise
iku muncul blangkon.
Blangkon iku akeh jenise. Tergantung saka karakteristik wilayah, Ing masing-masing wilayah
duwe kepercayaan,watak, adat, lan budaya ingkang beda-beda. Ana blangkon Yogyakarta.
Blangkon Solo, Blangkon Jawa timur, Blangkon Bali, Blangkon Sunda lan liya-liyane. Nanging
tulisan “blangkon” iku identik karo budaya jawa.

Anda mungkin juga menyukai