Anda di halaman 1dari 5

Mengapa ada mondolan di ikat kepala (blangkon) Mataraman ?

Awalnya, penutup kepala orang Jawa ini terbuat dari kain iket atau udeng atau destar berbentuk
persegi empat bujur sangkar, berukuran kurang lebih 105 cm x 105 cm. Kain yang kemudian dilipat
dua menjadi segitiga dan kemudian dililitkan di kepala dengan cara dan aturan tertentu.
Pada awal iket dipergunakan sebagai tutup kepala, umumnya pria Jawa berambut panjang sehingga
harus digelung terlebih dahulu sebelum ditutup dengan iket. Gelung rambut ini lah yang kemudian
mondol, menonjol, dan disembunyikan dibawah iket.
KAPAN IKET/UDHENG/DESTAR MULAI ADA ?
Tidak ada catatan sejarah yang pasti akan asal muasal orang Jawa memakai iket sebagai penutup
kepala. Ada cerita-cerita bahwa iket adalah pengaruh budaya Hindu dan Islam. Para pedagang dari
Gujarat yang keturunan Arab selalu mengenakan sorban, kain panjang yang dililitkan di kepala, yang
kemudian menginspirasi orang Jawa memakai ikat kepala seperti mereka.
NILAI SPIRITUIL IKET
Iket ini memiliki filosofi transcendental antara mahluk dengan pencipta -Nya. Bila diperhatikan maka
ia akan memiliki dua ujung kain yang mana satu menyimbolkan syahadat Tauhid dan satu lagi
menyimbolkan syahadat Rasul. Bila dua syahadat tersebut disatukan maka akan menjadi syahdat
‘ain. Bila pertemuan dua syahadat tersebut diletakan diatas kepala artinya berada di tempat yang
terhormat. Harapannya segala pemikiran yang keluar dari kepala didasarkan pada sendi-sendi Islam.
Lipatan yang menutupi kepala berjumlah 17 lipatan menandakan 17 rakaat dalam salat lima waktu.
Mondolan di pasang di belakang kepala dengan makna mencegah manusia dari tidur dan menutup
mata. Letak mondolan pun diusahakan di tengah dan lurus keatas, yakni bermakana lurus terhadap
sang pencipta. Maka jika di tarik benang makna, mondolan merupakan pengingat agar manusia tidak
menutup mata terhadap sang kuasa dan selalu lurus menjalankan perintahnya. Tidak hanya itu sisa
kain di samping mondolan jika dihitung berjumlah 6 yang berarti 6 rukun iman dalam Islam. Ini
merupakan bahagian dakwah Islam di tanah Jawa.
IKET GAYA YOGYA & SURAKARTA
Setelah ditandatanganinya perjanjian Gianti (1755) Kesultanan Mataram terbagi menjadi dua yaitu
Yogyakarta dan Surakarta. Masyarakat di kedua daerah ini kemudian tumbuh dengan caranya
sendiri-sendiri.
Awalnya kedua-dua wilayah masih sama-sama memakai iket mondolan.
Di Jogjakarta, berambut panjang dan menggelung rambutnya masih dipertahankan, sementara pria
Surakarta mulai mengenal cara bercukur dan memendekkan rambutnya. Dengan sendirinya timbul
perbedaan dalam bentuk iketnya. Dimana di Surakarta bentuk mondolan menjadi hilang dan trepes.
Sedangkan di Jogjakarta, bentuk mondolan masih terus ada.
BLANGKON ATAU IKET JAHIT
Mengenakan iket dengan segala aturannya ternyata tidak mudah dan memakan waktu, maka
timbullah gagasan seiring dengan kemajuan pemikiran orang dan seni untuk membuat penutup
kepala yang lebih praktis, atau dijahit, yang kemudian kita kenal dengan nama blangkon. Blangkon
berasal dari kata "blangko", istilah yang dipakai masyarakat Jawa untuk mengatakan sesuatu yang
siap pakai.
Dan sebagai pembeda maka ciri khas kedua wilayah tetap dipertahankan. Itu mengapa blankon
dengan mondolan dapat ditemukan di Jogya, sementara yang trepes ditemukan di Solo.
Pada zaman dulu, blangkon hanya boleh dibuat oleh para seniman keraton dengan pakem (aturan)
yang baku. Seperti halnya keris dan batik. Semakin blangkon yang dibuat memenuhi pakem, maka
blangkon itu akan semakin tinggi nilainya.
JENIS BLANGKON
Khusus untuk Yogyakarta, blangkon dibedakan berdasarkan jenis menurut wironnya yaitu
mataraman dan iket krepyak. Semuanya memakai mondolan.
Di Solo, awalnya juga berbentuk mondolan mataraman. Adapun yasan anyar (konon diprakarsai oleh
Pakubuwana III). Motif-motif blangkon, seperti adimuncung, tumpangsari, kuncungan, jeplakan,
tempen, solomuda, pletrekan, solobangkalan, prebawan, tutup liwet, dan lain sebagainya.
Di Solo, pusat pengrajin blangkon adalah di Kampung Potrojayan, Serengan. Mereka memproduksi
blangkon gaya Solo maupun Jogja.
Sumber artikel (diolah) : krjogja; tumpi; wiki
Gambar : Kassian Chepas (Sam Chepas), Yogyakarta 1920s, seperti inilah awalnya seorang kakung
jawi memakai iket, perlu waktu dan ketrampilan tersendiri, karena kain harus dililitkan hingga 17
kali lempitan. Seperti seseorang saat memakai sorban.
BAGIAN-BAGIAN BLANGKON MATARAMAN
Blangkon Mataraman merupakan bentuk klasik Mataram Islam yang dipakai oleh Kasunanan
Surakarta (sebelum kemudian yasan enggal/bentuk baru oleh Pakubuwana III) dan dilanjutkan pada
Kasultanan Yogyakarta setelah Palihan Nagari, dimana pembagian bentuk kebudayaan diputuskan
langgam klasik Mataraman dibawa ke Ngayogyakarta, dan yasan enggal menjadi langgam Surakarta.
Bentuk utama Blangkon Mataraman (selanjutnya lebih dikenal sebagai Blangkon Yogyakarta) terdiri
atas :
Wiron
Wiron adalah bagian blangkon yang melilit mengelilingi agar tetap kencang dan tidak lepas, wiron
ini tersusun atas kain yang dilampit-lampit hingga menyerupai undak-undakan. kemudian direkatkan
dengan benang atau lem. Wiron ini terdiri atas dua sisi kain, kain kanan dan kain kiri. Salah satu kain
ini menimpa kain yang satunya, sehingga hanya satu kain yang paling terlihat dari depan. Biasanya
kain yang berasal dari lajur kiri menimpa kain yang berasal dari lajur kanan. Di dalam blangkon
jogja, umumya wiron di beri lapitan hingga tujubelas lampitan.
Kuncung
Kuncung blangkon / adalah bagian blangkon yang terletak di depan menonjol seperti lidah yang
berada dibawah wiron atau juga ada yang berada di atas wiron. Bentuk dari kuncung ini biasanya
menyerupai wajik atau persegi empat.
Tengahan
Tengahan adalah bagian blangkon yang paling tipis, tengahan ini adalah bagian yang menyatukan
antara wiron bagian kanan blangkon dan bagian kiri, juga menyatukan antara bagian depan dan juga
mondolan blangkon. tengahan ini terletak diatas rambut pemakai blangkon. tengahan ini yang
memisahkan antara kepala dengan kontak luar yang ada di atasnya.
Sintingan
Sintingan adalah bagian blangkon yang menyerupai sayap di bagian belakang blangkon. letak dari
sintingan ini di bawah bagian tengahan dan menghimpit mondolan, pada blangkon mataraman,
sintingan ini menempel pada badan blangkon, namun untuk blangkon jenis senopaten bagian
sintingan dibiarkan terlepas dari blangkon jogja alusan sehingga tampak seperti sayap yang
mengepak. Model senopaten sering digunakan oleh tokoh yang memerankan Pak Raden dalam cerita
Si Unyil.
Mondolan
Mondolan adalah bagian belakang blangkon yang berbentuk bulat seperti telur. Bagian ini adalah
bagian untuk menahan rambut panjang agar tidak terurai. Karena pada zaman dahulu banyak anggota
kraton yang gondrong, sehingga ketika diikat dan di pasang blangkon menyerupai bulatan telur.
Kepet
Kepet adalah kain blangkon yang terletak di bagian belakang, kain ini terlihat seperti sayap ikan koi
yang melambai-lambai. Panjang dari kepet sendiri bermacam macam, ada yang sangat pendek dan
ada juga yang panjang hingga 1 meter.
Aksesoris
Selain bagian utama bloangkon jogja di atas, ditambahkan aksesoris untuk mempercantik tampilan
blangkon, mulai darin payet, manik-manik, logam, bebatuan mengkilap dan bulu (biasanya dalam
pakaian pengantin gaya Yogya putri).

BLANGKON GAYA SURAKARTA/SOLO (3/3)


Blangkon Solo dikenal semenjak Pakubuwono III, yaitu setelah terjadinya Perjanjian Giyanti.
Sebelum itu blangkon Solo memiliki bentuk seperti blangkon Jogja. Setelah perjanjian Giyanti,
Pakubuwono III membuat beragam blangkon, sehingga atas yasan enggal tersebut Solo kemudian
mengenal lebih dari 6 gaya blangkon, diantaranya :
1. Gaya Solo muda atau Keprabon,
2. Gaya Ksatriyan,
3. Gaya Perbawan,
4. Gaya Dines,
5. Gaya Tempen (digunakan untuk abdi dalem yang diutus ke Loji atau ke kantor karesidenan atau
kantor Belanda pada zaman dahulu.Model ini memakai sunduk jungkat dari penyu atau tanduk
kerbau)
6. Gaya Wulung Kemolo,
7. Gaya Cacaran Moncip Ompak,
8. Gaya Modang (yang tertinggi)
Blangkon dibuat dengan berbagai motif kain batik, seperti: motif gurda, kawung, truntum, wahyu
tumurun, sido mukti dan sebagainya.

BLANGKON / DHESTAR MODEL PERBAWAN

Sumber : kebudayaan.kemendikbud

Anda mungkin juga menyukai