Anda di halaman 1dari 16

Perbedaan Busana Adat Antara Jogjakarta Dan Surakarta

Pada tahun 1755 terjadi peristiwa bersejarah yaitu tepat ditandatangani nya
perjanjian Gianti yang membagi wilayah Kesultanan Mataram menjadi dua yaitu
Yogyakarta dan Surakarta. Karena latar belakang politik yaitu perang saudara yang
makin memanas antara Pangeran Aryo Mangkubumi dan Sinuhun Paku Buwono II
akhirnya Kompeni berusaha menengahi sekaligus menjalankan taktik licikVERDEEL
EN HEERS membagi dan menaklukkan atau yang lebih beken Devide et Impera.
Belanda kompeni memanfaatkan konflik internal kerajaan Mataram agar
kekuasaannya terpecah belah sehingga lebih mudah dikuasai.. melalui perjanjian ini
Pangeran Mangkubumi berkuasa di Yogyakarta dan kemudian bergelar Sultan
Hamengkubuwono I. Sementara Sinuhun Paku Buwono III berkuasa di Surakarta.
Masyarakat di kedua wilayah ini lalu bertumbuh dengan adanya ‘caranya’ masing-
masing. Mulai dari cara pandang, cara hidup, cara bicara, cara berbusana sampai
pada seni gamelan dan seni tarinya. Yah, sangat beragam dan unik sekali. Contohnya
seperti ini, ternyata ada perbedaan dari gaya berbusana antara pria Jogja dan Solo.

Blangkon

blangkon Solo. Mondolan pipih Blankon Jogja Mondolan lebih menonjol

Perbedaannya ada pada mondolan atau gelung belakang. Kalau Yogyakarta


mondolannya menonjol dan agak besar. Sementara Solo bentuknya pipih / kempes
/ trepes. Kok bisa begitu? Masing-masing ada makna filosofis yang menarik. Pada
zaman dahulu banyak pria Jawa yang berambut panjang sehingga banyak yang
digelung ke belakang menyatu dengan ikat kepala sehingga pada blangkon Jogja ada
mondolan atau tonjolan di belakang tempat gelungan rambut. Ada juga yang
memaknai bahwa gelungan itu ibarat aib yang harus disembunyikan baik aib sendiri
maupun orang lain. Menyimpan rapat2 perasaannya sendiri demi menjaga perasaan
orang lain. Tetap tersenyum walau hatinya menangis atau marah.. inilah sebenarnya
watak orang jawa secara umum, jarang ada yang blak-blakan tanpa tedheng aling-
aling selalu dijaga dan dijaga karena wataknya halus. Sedangkan di Solo, karena
lebih dekat dengan pemerintahan kolonial, orang-orang Solo sudah terlebih dahulu
mengenal cukur. Jadi Blangkon Solo hanya mengikatkan 2 pucuk ikatan menjadi satu.
Dua ikatan ini ibarat 2 kalimat syahadat yang harus diikat kuat, dipegang teguh di
dalam hidup.
Tentang blangkon sendiri ada 2 filosofi. Yang pertama diletakkan di kepala
agar produk yang dihasilkan kepala yaitu berupa ide, pemikiran, konsep haruslah
tetap selalu dalam koridor nilai-nilai agama Islam. Jadi tidak dibiarkan bebas begitu
saja akan tetapi diarahkan agar menjadi berkah untuk sesama. Menjadi rahmatan lil
alamiin (rahmat seluruh semesta). Filosofi yang kedua Blangkon ibarat makrokosmos
(Pemilik alam semesta ) sedangkan kepala adalah mikrokosmos yaitu makhluk
bernama manusia. Artinya dalam menjalankan amanahnya sebagai khalifah fil ardhi
(pemimpin di Bumi) harus selalu tunduk dan patuh kepada penciptanya yaitu sang
Khalik.

Surjan dan Beskap

Beskap Jogjakarta

Beskap Surakarta

Pakaian Adat pria Jogja sehari-hari disebut surjan. Ada 2 macam motif yaitu surjan
lurik dan surjan kembang. Kalau di Solo, pakaian pria namanya Beskap, bentuknya
seperti jas didesain sendiri oleh orang Belanda yang berasal dari kata beschaafd yang
berarti civilized atau berkebudayaan.
Perbedaan beskap dan surjan yang paling menonjol yakni terletak pada
bentuk pemberian kancing, pada gaya Solo bentuk kancing berada di samping akan
tetapi pada gaya Jogja letak kancing berada lurus dari atas kebawah.
Keris

kiri : keris Solo kanan : keris Jogja

Keris gaya Solo disebut ladrang sedangkan Jogja bernama Branggah.


Ladrang mempunyai bilah (sarung keris) yang lebih ramping dan sederhana
tanpa banyak hiasan karena mengikuti gaya senopatenan dan mataram sultan
agungan. Sementara keris Solo pada bilahnya lebih banyak ornamen dan
bentuk/motif karena mengikuti cita rasa Madura dari Mpu Brojoguno. Ukiran keris
solo bertekstur lebih halus daripada jogja. Juga ada perbedaan dari gagang keris,
luk, dll. Masing-masing memiliki filosofi sendiri-sendiri.

Wiru (seni melipat kain batik/jarik)


Wiru pada jariknya pun juga berbeda. Wiru Yogyakarta pada bagian garis
putih pada ujung jarik diperlihatkan dan kadang-kadang disertai “pengkolan-
pengkolan” (lipatan). Sedangkan pada WiruSurakarta garis putih tersebut tidak
diperlihatkan dengan cara ditekuk atau dilipat ke dalam sehingga akan tertutupi oleh
wiru itu sendiri.

Corak batik
Parang Solo (kiri) dan Parang Yogya
(kanan).

Udan Liri Yogya (kiri) dan Truntum Solo (kanan).

Salah satu perbedaannya terletak pada warnanya. model batik Jogja berwarna putih
dengan corak hitam, sedangkan baju batik Surakarta berwarna kuning dengan corak
tanpa putih. Penggunaan kain baju batik ini pun berbeda-beda. Di Kraton Jogja,
terdapat aturan yang pakem mengenai penggunaan desain busana batik ini. Untuk
acara perkawinan, kain batik yang digunakan haruslah bermotif Sidomukti,
Sidoluhur, Sidoasih, Taruntum, ataupun Grompol. Sedangkan untuk acara mitoni,
kain batik yang boleh dikenakan adalah kain batik bermotif Picis Ceplok Garudo,
Parang Mangkoro, atau Gringsing Mangkoro.
Batik keraton Yogyakarta dan Surakarta berasal dari sumber yang sama,yakni
pola batik Keraton Mataram. Tak heran bila banyak pola keduanya yang sama,meski
dalam perkembangannya ada juga bedanya. Banyak kesamaan pola,meski namanya
berbeda. Pola yang di Surakarta disebut Parang sarpa, di Yogyakarta dikenal sebagai
golang galing. Pola liris cemeng di Surakarta, di Yogyakarta disebut rujak senthe.
Satu perbedaan yang sangat nyata adalah dalam hal mengenakan wastra batik pola
parang dan lereng. Pada gaya Surakarta,wastra batik dililitkan dari kanan atas miring
ke kiri bawah,sedangkan gaya Yogyakarta miring dari kiri atas ke kanan bawah.Selain
itu, Perbedaan batik Yogyakarta dan Surakarta yaitu terletak pada:
Jalur miring desain parang di Solo jalannya dari kiri atas ke kanan bawah,
sedangkan di Yogyakarta dari kanan atas ke kiri bawah. Batik yang bermutu baik
hampir tidak ada perbedaaan antara bagian depan dan bagian belakang. Karena itu
bisa dipakai bolak-balik. Perbedaan hanya akan nyata kalau si pemakai mengenal
tradisinya dan mengikuti cara memakainya.
Perbedaan yang lain adalah warna dasarnya. Di Yogyakarta ialah penggunaan
motif-motif geometris. Para penyelidik mendapatkan bahwa banyak diantara desain-
desain geometris klasik ini juga terdapat pada obyek-obyek kuno yang banyak
diantaranya sudah lebih dari 1000 tahun umurnya. Maka sebagian orang menganggap
batik sudah ada dalam masa itu. Sebagian lain berpendapat bahwa motif-motif kuno
itu mungkin sudah dikenal pada waktu itu tetapi tidak berarti bahwa sudah
diterapkan dalam pembatikan. Tiap desain geometris mempunyai nama dan arti
simboliknya sendiri. Mula-mula arti khususnya asal mula menentukan bagi saat-saat
motif dipakai.
Pager Bagus & Pager Ayu
Di Solo pager bagusnya muda2 yang cantik yang ganteng. Di Solo lebih
menekankan penampilan dan cenderung glamour sementara pada resepsi Jogja yang
menjadi pager bagus adalah pasangan yang sudah berumur karena lebih menekankan
kesederhanaan dan ilmu dari seseorang. Menurut adat jogja manusia akan lebih
terlihat cantik/tampan bila memiliki ilmu.

Perbedaan Tata Rias Busana Pengantin Solo


dan Pengantin Jogja
Solo
Tata rias busana adat pengantin Jawa Solo / Surakarta adalah suatu bentuk
karya budaya yang penuh makna filosofi tinggi. Tradisi tata rias busana ini
terinspirasi dari busana para bangsawan dan raja keraton Kasunanan Surakarta serta
Istana Mangkunegaran, Jawa Tengah.

Untuk tata rias busana pengantin Solo Putri, pengantin pria menggunakan
baju beskap langenharjan dengan blangkon dan batik wiron bermotif Sidoasih prada.
Mempelai wanita menggunakan kebaya panjang klasik dari bahan bludru warna hitam
berhias sulaman benang keemasan bermotif bunga manggar dan bagian bawah
berbalut kain motif batik Sidoasih prada. Tata rias pengantin wanita Solo Putri
laksana putri raja dengan paes hitam pekat menghiasi dahi. Rias rambut dengan ukel
besar laksana bokor mengkureh (bokor tengkurep), berhias ronce melati tibo dodo,
diperindah perhiasan cundhuk sisir dan cundhuk mentul di bagian atas konde.
Sentuhan modifikasi pengantin Solo Putri dapat dilihat dari gaya berbusana
yang menggunakan kebaya panjang lace. Mulanya hanya kebaya panjang lace warna
putih, namun sekarang banyak pengantin Solo Putri menggunakan kebaya lace aneka
warna.
Selain Solo Putri gaya pengantin Solo yang terkenal adalah Solo Basahan.
Busana Solo Basahan berupa dodot atau kampuh dengan pola batik warna gelap
bermotif alas-alasan (binatang) dan tetumbuhan hutan. Seiring berjalannya waktu,
pilihan motif dan corak warna dodot semakin beragam namun pilihan motif batik
kain dodot tetap berpegang pada filosofi derajat mulia yang layak dikenakan
pasangan pengantin.
Makna dari busana basahan adalah simbolisasi berserah diri kepada kehendak
Tuhan akan perjalanan hidup yang akan datang. Busana basahan mempelai wanita
berupa kemben sebagai penutup dada, kain dodot atau kampuh, sampur atau
selendang cinde, sekar abrit (merah) dan kain jarik warna senada , serta buntal
berupa rangkaian dedaunan pandan dari bunga-bunga bermakna sebagai penolak
bala.
Busana basahan pengantin pria berupa kampuh atau dodot yang bermotif
sama dnegan mempelai wanita, kuluk (pilihan warnanya kini semakin beragam, tidak
hanya biru sebagaimana tradisi Keraton) sebagai penutup kepala, stagen, sabuk
timang, epek, celana cinde sekar abrid, keris warangka ladrang, buntal, kolong
keris, selop dan perhiasan kalung ulur.
Busana Sikepan Ageng / Busana Solo Basahan Keprabon adalah salah satu
gaya busana basahan yang diwarnai dari tradisi para bangsawan dan raja Jawa yang
hingga kini tetap banyak diminati. Mempelai pria mengenakan kain dodotan
dilengkapi dengan baju Takwa yakni semacam baju beskap yang dulu hanya boleh
dipergunakan oleh Ingkang Sinuhun saja. Untuk mempelai wanita memakai kain
kampuh atau dodot dilengkapi dengan bolero potongan pendek berlengan panjang
dari bahan beludru sebagai penutup pundak dan dada.

Jogja

Tata rias dan busana pengantin khas Jogjakarta tentunya terinspirasi dari
corak busana pengantin tradisi Keraton Jogjakarta. Ada beberapa style dari
pengantin Jogja, antara lain ada Paes Ageng atau disebut Kebesaran, Paes Ageng
Kanigaran, Jogja Putri dan Kesatrian.
Yang paling terkenal tentunya gaya Jogja Paes Ageng atau Kebesaran.
Pengantin Jogja Paes Ageng menggunakan dodot atau kampuh lengkap dengan
perhiasan khusus. Paes hitam dengan sisi keemasan pada dahi, rambut sanggul bokor
dengan gajah ngolig yang menjuntai indah, serta sumping dan aksesoris unik pada
mempelai wanita. Pada pengantin pria, memakai kuluk menghiasi kepala, ukel ngore
(buntut rambut menjuntai) dilengkapi sisir dan cundhuk mentul kecil. Bisa dilihat
pada gambar dibawah :

Kemudian ada Paes Ageng Jangan Menir. Pengantin pria memakai bahu blenggen dari
bahan beludru berhias bordir, pinggang dililit selendang berhias pendhing, dan kuluk
kanigara menutup kepala. Paes Ageng Jangan Menir tidak memakai kain kampuh
maupun dodot. Kalau Paes Ageng Jangan Menir tidak memakai dodot kampuh, Paes
Ageng Kanigaran justru menggunakan dodot kampuh yang melapisi cinde warna
merah keemasan pada busana pengantin corak Kanigaran. Kebaya bludru berhias
benang keemasan menyatu dengan dodot kampuh, cinde dan detil riasan serta
perhiasan.
Untuk Jogja Putri, tata riasnya agak berbeda dengan Paes Ageng. Pengantin Jogja
Putri menggunakan sanggul tekuk berhias sebuah mentul besar menghadap belakang
dan pelat gunungan bagi mempelai wanita. Busana tradisionalnya menggunakan
kebaya beludru panjang berhias sebuah bordir keemasan dan kain batik prada.
Namun dengan banyaknya sentuhan modern, muncullah gaya Kesatrian Modifikasi
yang terinspirasi dari tata rias Jogja Putri. Yang membedakan adalah busana yang
digunakan adalah kebaya bahan lace berpadu kain prada, bersanggul gelung tekuk
berhias cundhuk mentul (kembang goyang) serta untaian melati menjuntai di dada .
Mempelai pria berbusana beskap putih dipadu bawahan kain batik prada serta
blangkon penutup kepala.
Selain Kesatrian Modifikasi ada juga yang namanya gaya pengantin Jogja
Kontemporer. Tata rias Paes Ageng berpadu dengan busana modifikasi kebaya
panjang lace putih dilengkapi dengan kain batik prada Jogjakarta.
Busana Prajurit Kraton Yogyakarta
Busana atau pakaian dengan berbagai simboliknya, mencerminkan norma-
norma serta nilai-nilai budaya suatu suku bangsa. Demikian pula dengan suku bangsa
Jawa, busana merupakan unsur kebudayaan yang sangat penting, seperti tercermin
dalam ungkapan “ajining dhiri saka lathi, ajining raga saka busana, ajining awak saka
tumindak”. Dari ungkapan tersebut tersirat bahwa unsur busana merupakan
indikator martabat seseorang. Oleh karena itu, membahas masalah busana tidak
mungkin terlepas dari masalah kebudayaan.
Contoh busana jawa kaitannya dengan Kasultanan Ngayogyakarta Hadiningrat
adalah:

a. Sabukwala Padintenan
Hiasan kepala: tlesepan (tusuk konde kanan).
Perlengkapan: kain batik tulis, kebaya, lonthong, kamus.
Perhiasan: subang, kalung, gelang.
Busana ini untuk para putri sehari-hari.

b. Kencongan
Hiasan kepala: sisir melengkung.
Perlengkapan: kain batik, surjan dari bahan sutera, lonthong, kamus.
Perhiasan: sangsangan tanggalan.
Busana ini untuk kakung.

c. Pinjung Padintenan
Hiasan kepala: ukel tekuk dengan tusuk konde atau tlesepan.
Perlengkapan: kain batik tulis wiron, lonthong, kamus, udhet polos.
Perhiasan: subang, sangsangan, gelang, cincin.
Busana ini untuk remaja putri dikenakan setiap hari di dalam kraton.

d. Ubet-Ubet
Hiasan kepala: ukel tekuk.
Perlengkapan: kain batik untuk nyamping, semekan batik, embong, kamus, gesper
kupu dan samir.
Perhiasan: subang, cincin.
Busana ini untuk para bedaya.

e. Semekan Tritik
Ukel: tekuk, ceplok-jenthit.
Perlengkapan: kain batik tulis, seredan, semekan tritik, kacu, dan bros.
Perhiasan: subang.
Busana ini untuk seorang putri yang telah menikah dalam menghadiri upacara
sederhana, misalnya tedhak siti, tingalan Dalem.

f. Semekanan Rasukan Blak-blakan


Ukel: tekuk, tusuk kondhe dari emas permata.
Perlengkapan: kain batik tulis, semekan batik, kebaya pendek.
Perhiasan: subang, cincin.
Busana ini untuk seorang putri dewasa,belum menikah, dikenakan dalam upacara
sederhana, misalnya tedhak siti, tingalan Dalem.

g. Penganthi Putri
Ukel: tekuk, sisir, ceplok-jebehan.
Perlengkapan: kain cindhe, kain lerek untuk dodot, blenggen, udhet cindhe, slepe.
Perhiasan: subang, bros (sebuah).
Busana ini ntu penganthi pengantin putri.

h. Penganthi kakung
Ukel: tekuk dengan sisir, kuluk kanigara.
Perlengkapan: celana cindhe, sikepan, kampuh tanpa tengahan.
Busana ini untuk penganth kakung.

i. Keparak
Ukel: tekuk.
Perlengkapan: kain batik latar putih, kain bajtik latar hitam, udhet warna merah,
wedhung.
Perhiasan: subang.
Busana ini untuk para abdi Dalem Keparak.

Selain itu juga terdapat busana khusus prajurit kraton Yogyakarta, diantaranya:
1. PRAJURIT WIRABRAJA

Nama Wirabraja berasal dari kata wira berarti 'berani' dan braja berarti 'tajam',
kedua kata itu berasal dari bahasa Sansekerta. Secara filosofis Wirabraja bermakna
suatu prajurit yang sangat berani dalam melawan musuh dan tajam serta peka panca
inderanya. Dalam setiap keadaan ia akan selalu peka. Dalam membela kebenaran ia
akan pantang menyerah, pantang mundur sebelum musuh dapat dikalahkan. Dengan
nama kuno dari bahasa Sansekerta secara filosofis diharapkan agar kandungan
maknanya mempunyai daya magis yang memberi jiwa kepada seluruh anggota
pasukan ini.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Wirabraja adalah Gula-klapa, berbentuk


empat persegi panjang dengan warna dasar putih, pada setiap sudut dihias dengan
centhung berwarna merah seperti ujung cabai merah (kuku Bima). Di tengahnya
adalah segi empat berwarna merah dengan pada bagian tengahnya adalah segi
delapan berwarna putih.
Gula-klapa berasal dari kata 'gula' dan 'kelapa'. Yang dimaksud di sini adalah gula
Jawa yang terbuat dari nira pohon kelapa yang berwarna merah; sedangkan 'kelapa'
berwarna putih. Secara filosofis bermakna pasukan yang berani membela
kesucian/kebenaran.

2. PRAJURIT DHAENG

Nama Dhaeng berasal dari bahasa Makasar sebagai sebutan gelar bangsawan di
Makasar. Secara filosofis Dhaeng bermakna prajurit elit yang gagah berani seperti
prajurit Makasar pada waktu dahulu dalam melawan Belanda.

Menurut sejarah, prajurit Dhaeng adalah prajurit yang didatangkan oleh Belanda
guna memperkuat bala tentara R.M. Said. R.M. Said kemudian berselisih dengan P.
Mangkubumi. Padahal kedua tokoh ini semula bersekutu melawan Belanda. Puncak
atas perselisihan itu adalah perceraian R.M. Said dengan istrinya. Istri R.M. Said
adalah putri Hamengku Buwono I. Pada waktu memulangkan istrinya, R.M. Said (P.
Mangkunegara) khawatir jika nanti Hamengku Buwono I marah. Guna menjaga hal
yang tidak diinginkan, kepulangan sang mantan istri, Kanjeng Ratu Bendara diminta
agar diiringkan oleh pasukan pilihan, yaitu prajurit Dhaeng. Setelah sampai di Kraton
Yogyakarta, justru disambut dengan baik. Prajurit Dhaeng diterima dengan tangan
terbuka, disambut dengan baik. Atas keramahtamahan itu prajurit Dhaeng kemudian
tidak mau pulang ke Surakarta. Mereka kemudian mengabdi dengan setia kepada
Hamengku Buwono I. Laskar Dhaeng kemudian oleh Hamengku Buwono I diganti
menjadi Bregada Dhaeng.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Dhaeng adalah Bahningsari, berbentuk


empat persegi panjang dengan warna dasar putih, di tengahnya adalah bintang segi
delapan berwarna merah. Bahningsari berasal dari kata bahasa Sansekerta bahning
berarti 'api' dan sari berarti 'indah / inti'. Secara filosofis bermakna pasukan yang
keberaniannya tidak pernah menyerah seperti semangat inti api yang tidak pernah
kunjung padam.

3. PRAJURIT PATANGPULUH

Mengenai asal usul nama Patangpuluh sampai sekarang belum ada rujukan yang
dapat menjelaskan secara memuaskan. Nama Patangpuluh tidak ada hubungannya
dengan jumlah anggota bregada.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Patangpuluh adalah Cakragora,


berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah
bintang segi enam berwarna merah. Cakragora berasal dari kata bahasa Sansekerta
"cakra" 'senjata berbentuk roda bergerigi' dan "gora", juga dari bahasa Sansekerta
berarti 'dahsyat, menakutkan'. Secara filosofis bermakna pasukan yang mempunyai
kekuatan yang sangat luar biasa, sehingga segala musuh seperti apa pun akan bisa
terkalahkan,

4. PRAJURIT JAGAKARYA

Prajurit Jagakarya berasal kata jaga dan karya. Kata 'jaga' berasal bahasa Sansekerta
berarti 'menjaga', sedangkan 'karya' dari bahasa Kawi berarti 'tugas, pekerjaan'.
Secara filosofis Jagakarya bermakna 'pasukan yang mengemban tugas selalu menjaga
dan mengamankan jalannya pelaksanaan pemerintahan dalam kerajaan'.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Jagakarya adalah Papasan, berbentuk


empat persegi panjang dengan warna dasar merah, di tengahnya adalah lingkaran
dengan warna hijau. Papasan berasal dari kata nama tumbuhan atau burung
papasan. Pendapat lain Papasan berasal dari kata dasar 'papas' menjadi 'amapas"
yang berarti 'menghancurkan' (Wojowasito, 1977:190). Secara filosofis papasan
bermakna pasukan pemberani yang dapat menghancurkan musuh dengan semangat
yang teguh.

5. PRAJURIT PRAWIRATAMA

Nama Prawiratama berasal kata prawira dan tama. Kata 'prawira' berasal dari bahasa
Kawi berarti 'berani, perwira', 'prajurit', sedangkan "tama" atau "utama" bahasa
Sansekerta yang berarti 'utama, lebih'; dalam bahasa Kawi berarti 'ahli, pandai'.
Secara filosofis Prawiratama bermakna pasukan yang pemberani dan pandai dalam
setiap tindakan, selalu bijak walau dalam suasana perang.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Prawiratama adalah Geniroga,


berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah
lingkaran dengan warna merah. Geniroga berasal dari kata 'gent berarti 'api', dan
kata Sansekerta 'roga' berarti 'sakit'. Secara filosofis bermakna pasukan yang
diharapkan dapat selalu mengalahkan musuh dengan mudah.

6. PRAJURIT NYUTRA

Nama Nyutra berasal kata dasar sutra mendapatkan awalan N. Kata sutra dalam
bahasa Kawi berarti 1) 'unggul', 2) lulungidan (ketajaman), 3) 'pipingitan/'sinengker’
(Winter, K.F., 1928, 233,266); sedang dalam bahasa Jawa Baru berarti 'bahan kain
yang halus'; sedangkan awalan N- berarti 'tindakan aktif sehubungan dengan sutra'.
Prajurit Nyutra merupakan prajurit pengawal pribadi Sri Sultan. Prajurit ini
merupakan kesayangan raja, selalu dekat dengan raja. Secara filosofis Nyutra
bermakna pasukan yang halus seperti halusnya sutera yang menjaga mendampingi
keamanan raja, tetapi mempunyai ketajaman rasa dan ketrampilan yang unggul.
Itulah sebabnya prajurit Nyutra ini mempunyai persenjataan yang lengkap (tombak,
towok dan tameng, senapan serta panah/jemparing). Sebelum masa Hamengku
Buwono IX, anggota Prajurit Nyutra diwajibkan harus bisa menari.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Nyutra adalah Podhang ngingsep sari


dan Padma-sri-kresna. Podhang ngingsep sari untuk Prajurit Nyutra Merah,
berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya adalah
lingkaran dengan warna merah. Padma-sri-kresna untuk Prajurit Nyutra Hitam
berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar kuning, di tengahnya adalah
lingkaran dengan warna hitam.

Podhang ngingsep sari berasal dari kata podhang berarti 'kepodang (jenis burung
dengan bulu warna kuning indah keemasan)', ngingsep = 'mengisap', dan sari = 'inti,
sari'. Secara filosofis Nyutra Merah bermakna pasukan yang selalu memegang teguh
pada keluhuran. Padma-sri-kresna berasal dari tiga kata bahasa Sansekerta, yaitu:
"padma" berarti 'bunga teratai', "sri" berarti 'cahaya, indah', dan "kresna" yang berarti
'hitam'. Secara filosofis Nyutra Hitam bermakna pasukan yang selalu membasmi
kejahatan, seperti Sri Kresna sebagai titisan Dewa Wisnu.

7. PRAJURIT KETANGGUNG

Nama Ketanggung berasal kata dasar "tanggung" mendapatkan awalan ke-. Kata
"tanggung" berarti 'beban, berat1. Sedangkan ke- di sini sebagai penyangatan
'sangat'. Secara filosofis
Ketanggung bermakna pasukan dengan tanggung jawab yang sangat berat. Hal ini
ditunjukkan dengan adanya Puliyer (Wirawicitra / Wirawredhatama /
Operwachmester).

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Ketanggung adalah Cakra-swandana,


berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah
gambar bintang bersegi enam dengan warna putih. Cakra-swandana berasal dari
bahasa Sansekerta "cakra" (senjata berbentuk roda bergerigi) dan kata Kawi
"swandana" yang berarti 'kendaraan/kereta'. Secara filosofis Ketanggung bermakna
pasukan yang membawa senjata cakra yang dahsyat yang akan membuat porak
poranda musuh.
8. PRAJURIT MANTRIJERO

Nama Mantrijero berasal kata "mantri" dan "jero". Kata "mantri" berasal dari bahasa
Sansekerta yang berarti 'juru bicara, menteri, jabatan di atas bupati dan memiliki
wewenang dalam salah satu struktur pemerintahan'. Sedangkan “jero" berarti
'dalam'. Secara harfiah kata Mantrijero berarti 'juru bicara atau menteri di dalam'
Secara filosofis Mantrijero bermakna pasukan yang mempunyai wewenang ikut ambil
bagian dalam memutuskan segala sesuatu hal dalam lingkungan Kraton (pemutus
perkara).

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Mantrijero adalah Purnamasidhi,


berbentuk empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah
lingkaran dengan warna putih. Purnamasidhi berasal dari kata Sansekerta, yaitu
"purnama" berarti 'bulan penuh' dan kata "siddhi" yang berarti 'sempurna'. Secara
filosofis Purnamasidhi bermakna pasukan yang diharapkan selalu memberikan
cahaya dalam kegelapan.

9. PRAJURIT BUGIS

Nama Bugis berasal kata bahasa Bugis. Prajurit Bugis sebelum masa Hamengku
Buwono IX bertugas di Kepatihan sebagai pengawal Pepatih Dalem. Semenjak zaman
Hamengku Buwono IX ditarik menjadi satu dengan prajurit kraton, dan dalam
upacara Garebeg bertugas sebagai pengawal gunungan. Secara filosofis Prajurit
Bugis bermakna pasukan yang kuat, seperti sejarah awal mula yang berasal dari
Bugis, Sulawesi.

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Bugis adalah Wulan-dadari, berbentuk


empat persegi panjang dengan warna dasar hitam, di tengahnya adalah lingkaran
dengan warna kuning emas. Wulan-dadari berasal dari kata "wulan" berarti 'bulan'
dan "dadari" berarti 'mekar, muncul timbul'. Secara filosofis bermakna pasukan yang
diharapkan selalu memberikan penerangan dalam kegelapan, ibarat berfungsi
seperti munculnya bulan dalam malam yang gelap yang menggantikan fungsi
matahari.

10. PRAJURIT SURAKARSA

Nama Surakarsa berasal dari kata sura dan karsa. Kata "sura" berasal dan bahasa
Sansekerta berarti 'berani', sedangkan "karsa" berarti 'kehendak'. Dahulu Prajurit
Surakarsa bertugas sebagai pengawal Pangeran Adipati Anom / 'Putra Mahkota';
bukan bagian dari kesatuan prajurit kraton. Secara filosofis Surakarsa bermakna
pasukan yang pemberani dengan tujuan selalu menjaga keselamatan putra mahkota.
Sejak masa Hamengku Buwono IX, pasukan ini dijadikan satu dengan prajurit kraton
dan dalam upacara Garebeg mendapat tugas mengawal Gunungan pada bagian
belakang (Yudodiprojo, 1995).

Panji-panji/bendera/klebet/dwaja prajurit Surakarsa adalah Pareanom, berbentuk


empat persegi panjang dengan warna dasar hijau, di tengahnya adalah lingkaran
dengan warna kuning. Pareanom berasal dari kata "pare" (tanaman merambat
berwarna hijau yang buahnya jika masih muda berwarna hijau kekuning-kuningan),
dan kata "anom" berarti 'muda'. Secara filosofis Pareanom bermakna pasukan yang
selalu bersemangat dengan jiwa muda.

Referensi
1. http://genioinspira.blogspot.com/2011/02/jogja-vs-solo-saudara-kembar-berbeda.html
2. http://www.kaskus.us/showthread.php?t=6659301 (Filosofi Blangkon)
3. http://www.kaskus.us/showthread.php?t=4386490 (Sedikit Mengenal "SURJAN" Pakaian Khas Jawa)
4. http://harizant.multiply.com/photos/album/122/Keris_Antara_Jogja_dan_Solo_dan_juga_Joglo
5. http://www.vikingsword.com/vb/showthread.php?t=4891&highlight=jalak+budo (keris warung kopi)
6. http://jawaampuh.blogspot.com/2011/01/busana-prajurit-kraton-yogyakarta.html
7. http://citra-keraton.blogspot.com/2011/09/perbedaan-tata-rias-busana-pengantin.html
8. http://jogjaicon.blogspot.com/2011/03/nama-nama-kesatuan-dalam-prajurit.html
9.http://nova-fms.blogspot.com/2012/11/perbedaan-busana-adat-antara-jogjakarta.html?m=1

Anda mungkin juga menyukai