Anda di halaman 1dari 2

Adat Yogyakarta

Makna Dan Filosofi Dari Pakaian Adat Yogyakarta

24/06/2016 | Seni Budaya

Yogyakarta merupakan salah satu tempat di Indonesia dengan kekayaan budaya yang melimpah-ruah,
termasuk dalam hal pakaian adat. Di dalam Keraton Yogyakarta, berbagai kekayaan khasanah sandang
masyarakat Jawa, khususnya di Yogyakarta, masih hidup secara alami dalam keseharian manusianya.

Penggunaan busana adat tradisional Yogyakarta yang memiliki latar belakang budaya ketimuran, maka
apabila seseorang mengenakannya tampak perilaku yang amat terikat oleh budaya yang melingkupi
busana itu.Setidaknya menunjukkan sikap yang teratur dan terkendali kebebasannya, meskipun tetap
menunjukkan keanggunannya. Menurut KRT Pujaningrat yang dimaksud pakaian adat tradisional
Yogyakarta menunjukkan bentuk-bentuk pakaian yang digunakan secara turun temurun oleh masyarakat
Yogyakarta. Artinya pakaian itu sudah dipergunakan untuk kurun waktu tertentu di wilayah Yogyakarta.

Makna Dan Filosofi Dari Pakaian Adat Yogyakarta

Kelengkapan Pakaian Adat Yogyakarta

Secara keseluruhan seperangkat pakaian terdiri dari bagian atas, bagian tengah, dan bagian bawah.
Bagian atas meliputi tutup kepala(Blangkon untuk laki-laki) dan tata rias rambut (Sanggul, Konde,);
bagian tengah terdiri dari baju (Surjan untuk laki-laki, dan Kebaya untuk perempuan), dan perhiasan
(aksesori); serta bagian bawah berupa alas kaki. Penggolongan pakaian tersebut harus berdasarkan jenis
kelamin, usia, dan status sosial.

Pakaian tradisional yang dirancang untuk anak-anak terdiri dari busana kencongan untuk anak laki-laki,
dan busana sabukwala untuk anak perempuan.

Pakaian tradisional untuk anak laki-laki model kencongan terdiri dari kain batik yang dikenakan dengan
baju surjan, lonthong tritik, ikat pinggang berupa kamus songketan dengan cathok terbuat dari suwasa
(emas berkadar rendah). Sedangkan busana seharihari bagi pria remaja dan dewasa terdiri dari baju
surjan, kain batik dengan wiru di tengah, lonthong tritik, kamus songketan, timang, serta mengenakan
dhestar sebagai tutup kepala.
Pakaian tradisional yang dikenakan untuk anak perempuan ialah sabukwala padintenan. Rangkaian
busana ini terdiri dari nyamping batik, baju katun, ikat pinggang kamus songketan bermotif flora atau
fauna, memakai lonthong tritik, serta mengenakan cathok dari perak berbentuk kupu-kupu, burung
garuda, atau merak. Perhiasan yang dikenakan sebagai pelengkap terdiri dari subang, kalung emas
dengan liontin berbentuk mata uang (dinar), gelang berbentuk ular (gligen) atau model sigar penjalin.
Bagi yang berambut panjang disanggul dengan model konde. Kainnya bermotif parang, ceplok, atau
gringsing.

Makna Dan Filosofi Pakaian Adat Yogyakarta

Bagi seorang wanita Jawa, kebaya bukan hanya sebagai sebatas pakaian. Lebih dari itu kebaya juga
menyimpan sebuah filosofi tersendiri. Sebuah filosofi pakaian adat Jawa yang mengandung nilai-nilai
kehidupan. Keberadaan kebaya di Indonesia bukan hanya sebagai menjadi salah satu jenis pakaian.
Kebaya memiliki makna dan fungsi lebih dari itu. Bentuknya yang sederhana bisa dikatakan sebagai
wujud kesederhaan dari masyarakat Indonesia. Nilai filosofi dari kebaya adalah kepatuhan, kehalusan,
dan tindak tanduk wanita yang harus serba lembut. Kebaya selalu identik dipasangkan dengan jarik atau
kain yang membebat tubuh. Kain yang membebat tubuh tersebut secara langsung akan membuat
siapapun wanita yang mengenakannya kesulitan untuk bergerak dengan cepat. Itulah sebabnya mengapa
wanita Jawa selalu identik dengan pribadi yang lemah gemulai.

Berbagai ragam busana adat dengan perlengkapan-perlengkapannya tersebut ternyata tidak hanya
sekedar untuk menunjukkan status kebangsawanan, kemegahan dan kemewahan tetapi juga
mengandung makna simbolis. Misalnya sangsangan sungsun (kalung bersusun) merupakan perlambang
tiga tingkatan kehidupan manusia dari lahir, menikah dan mati yang dihubungkan dengan konsepsi Jawa
tentang alam baka, alam antara dan alam fana. Binggel kana (gelang) berbentuk melingkar tanpa ujung
pangkal bermakna lambang keabadiaan, Bentuk gunungan (meru) pada pethat (sisir) melambangkan
keagungan Tuhan dan harapan terciptanya kebahagiaan. Hiasan sanggul berupa ceplok dengan jenehan
terdiri tiga warna merah, hijau dan kuning (biasa dikenakan untuk pengantin putri) merupakan lambang
Trimurti, tiga dewa pemberi kehidupan.

Adanya interaksi dan komunikasi dengan orang luar (terutama Belanda) membawa pengaruh pula
terhadap perkembangan busana. Misalnya pemakaian topi, anggar (tempat keris), kaos kaki dalam
busana kaprajuritan. Akseroris yang lain misal rante karset, jam saku, timang (kretep), rimong pada
busana pesiar, bulu burung, kipas, bros, dan lain-lain.

Anda mungkin juga menyukai