Oleh :
KRAT. PRIYOHADINAGORO
Baca Ini Sebelum Mndaki Gunung!
Mendaki gunung adalah kegiatan yang digemari oleh para traveler saat ini.
Keindahan alam yang menakjubkan tersaji di depan mata. Namun semua itu akan
berubah menjadi malapetaka jika tidak dipersiapkan dengan baik.
Mendaki gunung menjadi kegiatan alam bebas favorit saat ini. Banyak para traveler yang mencoba menikmati
salah satu kegiatan ekstrim ini.
Mendaki gunung merupakan salah satu kegiatan digemari kalangan traveler saat
ini. Didukung letak geografis Indonesia yang yang berada pada titik pertemuan
tiga lempeng tektonik (tectonic plate) yang saling bertabrakan yaitu Lempeng
Eurasia, Lempeng Indo Australia dan Lempeng Pasifik, banyak destinasi gunung
yang dapat didaki. Setiap gunung di Indonesia memiliki daya tarik tersendiri bagi
para traveler.
Usia bukanlah halangan untuk melakukan kegiatan di alam bebas ini. Beberapa
tahun belakangan banyak berita duka yang tersiar oleh media akibat kecelakaan
ketika mendaki gunung. Perlu diketahui bahwa mendaki gunung adalah kegiatan
yang sangat ekstrim dan memerlukan persiapan yang sangat matang. Sebenarnya
risiko kecelakaan ketika mendaki gunung dapat diminimalisir jika sobat
travelermengetahui manajemen pendakian yang baik. Pada intinya manajemen
pendakian terdiri atas tiga tahap yaitu perencanaan, pelaksanaan, dan pasca
kegiatan.
Mungkin tulisan ini akan terlihat membosankan karena akan sangat panjang.
Namun begitulah analogi ketika akan mempersiapkan pendakian. Terkesan ribet
tapi inilah safety procedure-nya. Apa saja sih persiapannya?
1. Riset! Riset! Riset!
Riset peta adalah salah satu contoh dalam melakukan kegiatan riset. Riset peta berguna untuk mengetahui jalur
yang akan didaki.
Riset atau dalam bahasa Inggris disebut research adalah hal yang wajib
dilakukan sebelum mendaki gunung. Riset di sini meliputi riset lokasi
pendakian, transportasi, cuaca, biaya administrasi SIMAKSI (Surat Izin Masuk
Kawasan Konservasi), dll. Di era teknologi informasi yang sangat canggih saat
ini, informasi sangat mudah untuk didapatkan. Para travel blogger banyak yang
menuliskan cerita pendakiannya hingga memudahkan untuk mendapatkan
informasi. Selain itu, sobat traveler dapat bertanya dengan teman yang sudah
pernah mendaki di suatu gunung. Information sharing it’s important to do!
Mendaki gunung idealnya dilakukan secara tim. Dalam mendaki usahakan agar selalu bersama.
Mendaki gunung adalah kegiatan yang dilakukan secara tim. Satu tim berisi
minimal tiga orang. Dalam tim pendakian, mengenal satu sama lain adalah
satu hal yang harus dilakukan. Misalnya setiap orang dalam tim harus
mengetahui riwayat penyakit satu sama lain. Gunanya adalah tim dapat
mempersiapkan obat-obatan khusus bagi penderita penyakit tertentu. Juga obat-
obat yang bersifat umum. Dalam tim, juga usahakan mengajak seseorang yang
menguasai basic outdoor skills. Basic outdoor skills mencakup navigasi darat,
pengetahuan medisar (medis, search and rescue) dan komunikasi lapangan.
Setelah sudah kenal dengan teman satu tim, usahakan mendaki dengan sistem
jalan yaitu leader, middle, dan sweapper. Jangan berjalan saling mendahului.
Tetap berjalan dalam tim!
3. Persiapkan Perlengkapan!
Sebelum mendaki gunung, perlengkapan wajib dicek kelengkapan dan kelayakannya. Seperti tenda, pastikan dapat
berdiri dengan sempurna.
5. Latihan Fisik!
Untuk persiapan fisik sebelum mendaki gunung, sobat traveler dapat melakukan jogging agar pernafasan dan
kekuatan otot dapat terlatih.
Packing atau mengemas adalah salah satu kunci yang menentukan keberhasilan dalam mendaki gunung. Cara
packing mempengaruhi distribusi berat beban dalam carrier yang dipakai dalam mendaki.
Packing atau mengemas barang bawaan adalah sebuah seni. Layaknya seni,
fungsi terapan (guna) dan artistik menjadi pertimbangan dalam
packing. Packing sendiri bertujuan untuk memasukkan barang-barang bawaan ke
dalam carrier (ransel) dengan efektif dan efiesien. Berdasarkan observasi saya,
banyak pendaki yang keliru dalam mengemas barang. Barang-barang banyak yang
bergelantungan di luar ransel. Usahakan hanya barang-barang seperti matras,
botol minum, tripod, dan payung yang berada di luar. Pembagian beban juga
harus diperhatikan dalam mengemas barang. Hal ini bertujuan agar beban
dapat terdistribusi di bagian seluruh bagian badan. Pembagian beban
dilakukan berdasarkan berat barang dan skala prioritas penggunaan barang.
Barang seperti tenda, pakaian ganti, sleeping bag diletakkan di bagian bawah
ransel. Minuman botol, alat masak, makanan diletakkan di bagian tengah ransel.
Sedangkan makanan ringan, jaket, flysheet, dan barang yang bersifat segera
diletakkan di bagian atas ransel. Sekali lagi ditegaskan, packing adalah seni. Seni
untuk media berekspresi agar mendaki gunung menjadi lebih indah dan nyaman.
7. Bawa sampahmu!
Pada weekend biasanya gunung akan ramai didaki. Keramaian ini beresiko akan mengotori alam jika sampahnya
tidak dibawa turun kembali.
Gunung merupakan salah satu anugerah Tuhan yang sangat indah. Namun
pada realitanya banyak sampah yang berserakan di atas gunung. Sungguh miris!.
Satu prinsip dalam bergiat di alam bebas adalah take nothing but picture, leave
nothing but footprint, and kill nothing but time. Salah satunya adalah leave
nothing but footprint. Ini kutipan yang sangat jelas. Jangan tinggalkan sesuatu
kecuali jejak. Idealnya bawalah turun sampah yang sobat traveler bawa ketika
mendaki gunung. Jangan berharap ada orang yang berbaik hati untuk melakukan
operasi bersih gunung. Mulailah menjaga kebersihan dan kelestarian alam
dari diri sendiri. Biarkan generasi yang akan datang dapat menikmati sejuk dan
indahnya gunung. Bukan malah tumpukan sampah di atas gunung.
Demikian beberapa tips yang dapat sobat traveler baca dan terapkan sebelum
mendaki gunung. Mendaki gunung dapat menjadi kegiatan yang menyenangkan
jika dipersiapkan dengan baik. Alangkah senangnya jika kita dapat menjelajahi
gunung-gunung di Indonesia dengan persiapan yang matang. Mari mendaki
gunung -dengan aman-!
Wisata
Setelah sekian lama kita peras untuk berfikir dan bekerja di suasana keramaian
kota, bising dan penuh polusi, nah kenapa tidak kita dekatkan dengan alam. Kita
bisa berolah raga sambil berwisata mendaki gunung yang mempunyai panorama
yang asli alami.
Sekarang oleh alam kita ditonton dan soraki oleh pohon dan semak yang
bergoyang. Seringkali jalanan turun kemudian naik, lurus turun berbelok-belok
hingga fisik semakin melemah. Kalau sudah mengeluh disitulah biasanya mental
menurun. Itulah ujian fisik dan mental bertarung dengan alam. Dengan sering
jalan-jalan naik gunung mental dan fisik kita jadi terlatih.
Pijat Refleksi
Dengan mendaki gunung tanpa disadari bahwa tapak kaki kita terpijat secara
refleksi, pijat refleksi adalah pengobatan alternatif yang ampuh dan aman, praktis
serta murah tanpa efek samping, selain mencegah dan menyembuhkan penyakit
seperti ginjal, paru-paru, atau jantung bahkan seluruh tubuh.
Penjaga Gaib
Gunung Lawu memang dihuni berbagai jenis binatang. Mulai dari beragam
jenis burung, primata sampai mamalia besar dan kecil bisa dijumpai hidup di
kawasan Gunung Lawu. Namun dari sekian banyak jenis binatang itu,
masyarakat sekitar Gunung Lawu meyakini adanya tiga jenis binatang yang
dianggap sebagai binatang gaib.
Yaitu Macan Lawu, Burung Jalak Lawu serta Kiyongko, sejenis kelabang
raksasa endemik Gunung Lawu.
Untuk macan Lawu atau harimau yang hidup di Gunung Lawu, termasuk jenis
macan tutul dan saat ini diduga populasinya masih cukup banyak. Karena pada
saat-saat tertentu, keberadaan binatang buas ini masih diketahui oleh warga
sekitar Gunung Lawu, melintas di kawasan ini. Bahkan di beberapa tempat,
binatang ini juga dikabarkan kerap memangsa ternak milik warga.
Namun harimau yang satu ini bukanlah sosok yang dimaksud sebagai penjaga
gaib Gunung Lawu. Sebab, meski memang endemik Gunung Lawu, namun
binatang tersebut keberadaannya memang nyata. Sehingga terkadang masih bisa
dilacak keberadaannya.
Sedangkan sosok harimau gaib yang
disebut-sebut sebagai penjaga Gunung
Lawu konon berjenis harimau Jawa dengan
ciri kulit tubuh bermotif loreng.
Keberadaan harimau yang satu ini memang
disebut-sebut telah punah. Sehingga dalam
beberapa peristiwa kemunculannya, hal itu
dipandang sebagai sebuah kejadian mistis.
Disebut demikian, karena dalam beberapa peristiwa yang dialami warga sekitar
Gunung Lawu, kemunculan harimau ini selalu diikuti dengan hal-hal yang
bersifat mistis. Di antaranya adalah kemunculannya dalam kondisi
menggendong mayat ataupun muncul di beberapa tempat keramat.
Untuk harimau yang satu ini, memang diyakini bukan binatang biasa. Karena
keberadaannya dikaitkan dengan sosok penguasa gaib Gunung Lawu, yaitu
Sunan Lawu. Bahkan karena begitu istimewanya binatang yang satu ini,
beberapa punden yang ada di kawasan Gunung Lawu, juga menempatkan sosok
harimau ini sebagai salah satu danyangan. Sehingga kemudian juga
diperlakukan secara khusus oleh para pelaku ritual yang datang ke tempat itu.
Salah satu punden yang menempatkan sosok macan Lawu sebagai
danyangan adalah komplek punden Eyang Boncolono, yang berada di sekitar
kawasan Cemara Kandang. Di sini sosok harimau yang diwujudkan dalam
sebuah patung berukuran besar mendapat sebutan Eyang Singo Sinebahing
Dilah. Dan sebagai sosok yang dikeramatkan, punden ini selalu menjadi salah
satu jujugan para pelaku ritual, selain di cungkup Eyang Boncolono sendiri.
Macan Lawu sendiri diyakini sudah ada sebelum sosok Sunan Lawu ada. Sebab
binatang ini diduga sebagai salah satu penjaga gaib kawasan Gunung Lawu.
Karena itulah, dia akan muncul saat ada orang-orang yang berniat jahat.
Seperti konon saat pasukan Kerajaan Demak mengejar Prabu Brawijaya V yang
mengungsi ke Gunung Lawu.
Jenis binatang yang kedua adalah burung jalak Lawu, yang kerap muncul
mengikuti para pendaki saat melakukan perjalanan menuju puncak Gunung
Lawu. Jalak Lawu sendiri sebenarnya sosok
mahluk yang nyata. Artinya dia memang
benar-benar salah satu jenis burung endemik
Gunung Lawu.
Bagi para pendaki yang menjelajah kawasan
Gunung Lawu, keberadaan burung yang
masuk dalam keluarga Turdus Poliocephalus itu memang sangat membantu.
Sebab dia akan menunjukkan jalan ke arah puncak Gunung Lawu, sehingga
para pendaki tidak tersesat.
Dan hal yang sama konon juga dialami oleh Prabu Brawijaya saat memutuskan
menghabiskan masa hidup Gunung lawu. Begitu masuk kawasan gunung ini,
dia disambut oleh seekor buruk jalak gading sebutan lain jalak Lawu.
Burung ini lantas berubah wujud menjadi seorang manusia yang mengaku
bernama Wangsa Menggala, dan selanjutnya mengantarkan Prabu Brawijaya
menuju puncak Gunung Lawu.
Cerita inilah yang kemudian membuat sosok burung jalak Lawu mendapatkan
pandangan yang istimewa bagi masyarakat di sekitar Gunung Lawu. Yang mana
tidak ada orang yang berani mengusik kehidupan burung ini. Sehingga
membuat burung ini tidak pernah takut dengan kehadiran manusia di dekatnya.
Perilaku unik burung jalak Lawu yang nyaris tidak pernah takut dnegan
keberadaan manusia di sekitarnya ini, juga semakin menguatkan keyakinan
bahwa burung ini bukanlah burung biasa. Masyarakat semakin meyakini kalau
burung tersebut memang jelmaan sosok penjaga gaib Gunung Lawu. Yang akan
menuntun siapa saja yang berniat baik, menuju ke puncak Gunung Lawu.
―Salah satu syarat agar selamat saat naik ke Gunung Lawu adalah hati yang
bersih. Sebab kalau tidak, maka bukan tidak mungkin akan dapat musibah yang
salah satunya tersesat. Dan bagi mereka yang memang berniat baik, biasanya
akan dipandu oleh jalak Lawu, sehingga tidak tersesat. Makanya tidak ada
orang yang berani mengganggu keberadaan burung itu,‖ jelas Joko Polet, ketua
Karanganyar Emergency kepada hariankota.com belum lama ini.
―Kalau ada orang yang berani mengganggu atau bahkan membunuh burung ini
(Jalak Lawu), maka bisa dipastikan dia akan tersesat, meskipun sebenarnya
sudah hapal jalan di kawasan Gunung Lawu. Namun bagi mereka yang sudah
kerap datang ke Gunung Lawu, pasti akan mematuhi peraturan tidak tertulis
yang berlaku di kawasan ini, yang salah satunya tidak mengusik keberadaan
burung jalak Lawu,‖ sambung Joko Polet.
Kiyongko Selain harimau dan burung jalak Lawu, di Gunung Lawu juga ada
satu jenis binatang lagi yang diyakini sebagai sosok penjaga gaib kawasan
ini, yaitu kiyongko. Kiyongko sendiri adalah salah satu keluarga serangga
dari jenis kelabang. Namun berbeda dengan kelabang pada umumnya, tubuh
kiyongko jauh lebih besar dan bisa mencapai panjang hingga lebih dari 30 cm.
Hal lain yang membedakan dengan kelabang pada umumnya, adalah bentuk
tubuh kiyongko yang cenderung membulat, beda dengan tubuh kelabang yang
pipih. Ruas tubuh kiyongko juga tidak terlalu banyak, sehingga jumlah kakinya
terlihat lebih sedikit, meskipun ukurannya lebih besar.
Kiyongko juga diyakini memiliki bisa yang sangat kuat. Bahkan di ujung-ujung
kakinya juga terdapat bisa yang bisa membuat lumpuh mangsanya. Dan hal lain
yang menjadi perbedaan paling mencolok antara kiyongko dan kelabang adalah
kemampuannya berdiri dan meloncat seperti seekor ular. Yang mana hal itu bisa
memudahkannya dalam menangkap mangsa.
Keyakinan bahwa kiyongko adalah salah satu binatang gaib penjaga Gunung
Lawu tak lepas dari legenda yang berkembang di kawasan ini. Yang konon
menceritakan bahwa dahulu di lereng Gunung Lawu pernah hidup sosok pertapa
sakti yang bernama Ki Ageng Sabuk Janur.
Pada suatu ketika desa tempat tinggal Ki Ageng Sabuk Janur tiba-tiba
mengalami kekeringan. Sumur serta sungai mengering, tanaman banyak yang
mati dan upaya warga untuk mencari sumber air juga tidak berhasil. Hal ini
akhirnya mendorong Ki Ageng Sabuk Janur untuk turun tangan.
Dari penyelidikan yang dilakukannya, ternyata sumber air yang selama ini
mengairi pemukiman warga tertutup sebongkah batu berukuran sangat besar.
Dan di bawah batu itu melilit seekor kelabang raksasa yang menjaganya.
Kelabang berukuran sebesar batang pohon kelapa itupun langsung menyerang
Ki Ageng Sabuk Janur, saat disuruh meninggalkan batu tempat tinggalnya.
Pertempuran dahsyat pun terjadi di antara keduanya hingga berhari-hari. Hal ini
terjadi karena selain berukuran sangat besar, kelabang itu diceritakan sangat
kuat dan sakti. Sehingga Ki Ageng Sabuk Janur sampai kewalahan
menghadapinya.
Namun akhirnya dengan senjata andalannya berupa cemeti atau cambuk dari
janur (daun kelapa), Ki Ageng Sabuk Janur berhasil mengalahkan kelabang
tersebut. Binatang itupun selanjutnya memindahkan batu besar yang menutupi
sumber air, serta menjadi pengikut Ki Ageng Sabuk Janur.
Oleh Ki Ageng Sabuk Janur, kelabang yang oleh masyarakat setempat disebut
Kiyongko itu diperintahkan menjaga kawasan Gunung Lawu, terutama di
wilayah perairannya.
Kisah legenda pertempuran Ki Ageng Sabuk Janur dengan kiyongko juga
diwujudkan dalam bentuk kesenian tari yang menjadi salah satu kesenian
andalan wilayah Kecamatan Ngargoyoso.
Dan kesenian yang dimainkan secara kolosal inipun kerap ditampilkan dalam
berbagai ajang kebudayaan baik di tingkat lokal maupun nasional.
Sampai saat ini binatang kiyongko masih kerap terlihat di sekitar bongkahan-
bongkahan batu yang ada di sepanjang jalur sungai yang ada di kawasan
Gunung Lawu. Namun demikian, sosok binatang ini diyakini sangat bernuansa
mistis. Sebab bila sengaja dicari, keberadaannya tidak akan pernah bisa
ditemukan. Meski sebelumnya terlihat di suatu tempat.
―Kemunculan kiyongko cenderung bernuansa mistis. Sebab dia hanya muncul
sekehendak htinya sendiri. Bahkan saat kita berusaha mencarinya di suatu
tempat yang selama ini kita yakini sebagai tempat tinggalnya, maka sampai
kapanpun kita tidak akan pernah menemukannya,‖ ungkap Joko Polet.
Pria 60 tahunan yang akrab disapa Pak Po ini juga mengatakan bahwa
kemunculan kiyongko pada dasarnya sebagai sebuah bentuk peringatan
terhadap para pengunjung Gunung Lawu agar tidak merusak lingkungan,
terutama kawasan sumber air. Dengan demikian maka kelestarian lingkungan di
kawasan gunung ini senantiasa terjaga dengan baik.
― Kalau di sekitar sungai sampai ada kiyongko yang keluar, berarti kawasan di
mana kiyongko itu muncul adalah kawasan yang harus dijaga. Sehingga jangan
sampai kita melakukan hal-hal yang bersifat merusak di tempat itu. Sebab
kiyongko ini akan siap menyerang. Dan kalau sampai meyerang, bisa dipastikan
nyawa taruhannya. Karena bisa kiyongko ini sangat kuat,‖ sambung Pak Po.
Karena itulah sebagai orang yang hampir tiap saat keluar masuk kawasan
Gunung Lawu, Pak Po mengingatkan agar senantiasa menjaga perilaku saat
hendak berpetualang di Gunung Lawu. Hendaknya senantiasa menjaga
lingkungan, agar terhindar dari kemungkinan buruk. Yang muncul akibat
serangan mahluk-mahluk gaib, penjaga Gunung Lawu. (gram/hariankota)
Kembali lagi soal Kyai Jalak (mbah Jalak) dan Sunan Lawu (mbah Lawu).
Setelah beliau menunjukkan jalan kepada Prabu Brawijaya 5, singkat cerita,
beliau diperintahkan oleh Sang Prabu bila kelak mereka berdua raganya mati,
akan ditugaskan untuk menjadi penjaga Lawu sebagai ―pelaksana harian‖ di
bawah naungan Sang Penjaga utama yakni Dewi Untari keturunan dari Dewi
Nawangsih. Dewi Nawang Sih adalah putri tunggal Ki Ageng Tarub dengan
Dewi Nawang Wulan yang diperistri oleh Raden Bondan Kejawan (Putra Prabu
Brawijaya). Dengan kata lain, Dewi Untari mulai menjadi penjaga Gunung
Lawu pada sekitar abad 15 atau silsilahnya kira-kira dua generasi (cucu) setelah
Parbu Brawijaya 5. Pada saat mendaki ke Gunung Lawu, seringkali dilihat
kupu-kupu berwana dominan hitam, namun di tengah kedua sayapnya terdapat
bulatan besar berwarna biru mengkilap. Kupu-kupu itu menjadi pertanda
kehadiran Anda disambut (diijinkan) oleh Penjaga Utama Gunung Lawu.
Biarkan kupu-kupu itu hinggap di kepala atau pundak Anda, dan mengikuti
perjalanan Anda untuk beberapa saat lamanya. Jangan menganggu, mengusir
dan membunuhnya. Tidak ada larangan dan pantangan bila ingin memotret,
asalkan Anda bisa memotretnya. Pada kenyataannya seperti diakui oleh banyak
pendaki, memang sekali memotret kupu-kupu itu walau kadang tampak sangat
jinak dan tidak takut oleh keberadaan manusia.
Nah, bagi para pendaki, biasanya sudah memahami etika saat bertemu Kyai
Jalak, yakni tidak boleh mengganggunya. Apalagi mencelakai dan
mengusirnya. Munculnya Kyai Jalak di hadapan para pendaki, bukan
bermaksud mau mencelakai, justru sebaliknya akan menjaga dan menjadi
penunjuk jalan bagi para pendaki. Sebaliknya jika diganggu atau dicelakai
biasanya si pendaki akan tersesat bahkan terperosok jurang atau hilang masuk
ke dimensi metafisik. Karenanya wajar lah Gunung Lawu menyimpan segudang
misteri. Sering pula terjadi kasus hilangnya para pendaki, tanpa meninggalkan
jejak dan tidak ditemukan jasad korbannya.
Menurut sedulur penjaga posko 1 Cemoro Sewu, Mas Soleh Lawu, hilangnya
para penaki karena masuk ke dimensi metafisik. Saya akhirnya membuktikan
sendiri ternyata benar apa yang dikatakan oleh Mas Soleh (yang
asli Cirebon itu). Mas Soleh ―terdampar‖ sampai di Gunung
Lawu karena mengikuti petunjuk gaib dari Cirebon, untuk pergi
ke arah timur, kemudian sampailah di Pasarean Ki Ageng
Giring di daerah Sodo, Kec. Giring, Kab Gunung Kidul
Yogyakarta untuk beberapa tahun lamanya singgah di
sana. Hingga pada suatu ketika mendapat perintah Ki Ageng
Giring untuk pergi lagi ke arah timur, hingga kini Mas Soleh
menjadi ―sing mbahureksa‖ posko 1 Cemoro Sewu. Hidupnya
untuk manembah kepada Gusti, dengan cara menyatu dan
berselaras dengan alam. Mas Soleh membaktikan hidupnya
untuk melindungi hutan dari kebakaran, menjaga hutan agar
tetap bersih bahkan seringkali menolong para pendaki yang tersesat, sakit atau
ikut mengevakuasi jika ada korban jiwa. Perjalanan ke timur Mas Soleh telah
menemukan apa sejatinya hidup.
Begitulah cara Mas Soleh menggapai hidup yang sejati, hidupnya telah berguna
memberikan penghidupan dan kehidupan bagi seluruh makhluk tanpa pilih-
kasih, baik dari kalangan bangsa manusia, hewan, tumbuhan, dan mahluk halus
penghuni sekitar Gunung Lawu. Sekalipun jauh dari simbol-simbol kesalehan
agama semitis abrahamik, namun menurut saya pribadi, karena mampu
berharmoni dengan alam, dan menjadikan tumbuhan, binatang, gunung sebagai
gurunya, maka layaklah mas Soleh menjadi mursyid sejati bagi siapapun yang
tidak suka menghina dan memandang sebelah mata kepada sesama titah urip.
Serta bagi siapapun yang terbuka pola pikir dan mata hatinya. Apalagi gurunya
mas Soleh adalah guru paling jujur. Alam semesta, binatang, dan tumbuhan
telah mengajarkan kepada kita semua sebuah kejujuran yang paling mulia.
Semoga Bermanfaat
Salam Karaharjan
Sumber : https://sabdalangit.wordpress.com/2012/08/17/teka-teki-kyai-jalak-sunan-lawu/
Gunung & Kekuatan Supra
Sing sapa wae menawa tansah memetri paugeran, bakal terwaca, permana
lan waskitha, temah suket godhong dadi rewang, ati sumeleh, seger bregas
kuwarasan, ati bungah sumringah, cukup bondo dunya, sugih ngelmu lan
wicaksana, wilujeng karahayon, ayem tentrem kerta raharja, idu geni yen
paring dunga pengestu mesthi manjur lan temomo.
Kaitan Antara Karakter Alam dan Karakter Masyarakat
Nusantara tempat kita hidup ini merupakan teritorial yang memiliki
keistimewaan luar biasa. Kekayaan alamnya, yang terkandung dalam bumi
mulai dari kesuburan tanah, keragaman flora dan fauna, kontur tanah, struktur
geologi, kualitas geodesi, dan kekayaan maritimnya. Terlebih lagi bila kita
sejenak menoleh ke belakang, memahami dan melihat secara obyektif kondisi
bumi pertiwi pada masa lalu. Bukan sekedar konon, namun jejak-
jekan kehebatan bumi pertiwi yang masih tersisa bisa kita lihat hingga sekarang
ini.
Nusantara secara geologis merupakan ―ring
of fire‖ terdiri dari barisan bukit berderet
dari wilayah Sabang sampai Merauke. Di
antara barisan bukit-bukit itu terdapat
ratusan gunung berapi aktif dan non-aktif.
Gunung purba maupun yang baru lahir
menunjukkan regenerasi dan dinamika alam
yang luar biasa. Banyak pula deretan
gunung api purba yang sampai sekarang
masih aktif misalnya gunung Merapi di
sebelah utara wilayah Jogjakarta. Ratusan gunung berapi itu masing-masing
mempunya karakteristik dan pola letusan yang berbeda-beda, serta masing-
masing memiliki kontur perbukitan yang berbeda-beda pula. Kondisi fisik
alamiah itu menimbulkan cirikhas karakter penduduk Nusantara. Sedangkan
perbedaan masing-masing wilayah Nusantara melahirkan beragam karakter
sosial budaya berupa sub-kultur pada masyarakat yang ada di sekitar gunung
maupun yang ada di wilayah daratan rendah.
Karakteristik setiap masyarakat sekitar gunung dibentuk oleh adanya pola-pola
interaksi antara masyarakat dengan lingkungan alam sekitarnya. Dari adanya
interaksi yang intensif antara masyarakat dengan lingkungan alam dalam
jangka waktu ribuan bahkan jutaan tahun, telah menghasilkan sistem budaya,
adat istiadat, tradisi, dan kebiasan masyarakat yang di dalamnya terangkum
nilai-nilai kearifan lokal (local wisdom) yang begitu luhur. Keunikan budaya
sungguh berbeda dari budaya masyarakat yang tinggal di wilayah 4 musim, sub
tropis maupun wilayah gurun. Karakter alam yang berbeda akan menentukan
karakter penduduk dan corak budayanya serta sistem kepercayaan masing-
masing masyarakat. Itulah sebabnya mengapa karakter agama sangat diwarnai
oleh karakter masyarakat dan budaya di mana agama itu berasal. Dipandang
dari perspektif perspektif sosiologis agama atau sistem keyakinan merupakan
bagian dari sistem budaya, karena dihasilkan oleh budaya selama beberapa
waktu lamanya.
Paugeran & Daya Magis Nusantara
Meskipun gunung-gunung yang terhampar di
permukaan bumi Nusantara mempunyai
keberagaman karakteristik, namun hampir semua
gunung yang ada di Nusantara ini memiliki
kesamaan nilai spiritualnya. Setiap gunung
memiliki aura magis atau kesakralan dengan
kadar yang berbeda-beda yang telah diakui
setidaknya oleh masyarakat sekitar yang sehari-
harinya terjadi interaksi dengan kehidupan di
sekitar pegunungan di mana masyarakat
menggantungkan hidupnya dari berkah yang
dikeluarkan oleh gunung dan lingkungan alamnya.
Oleh sebab itu nilai-nilai magis atau kesakralan
yang sudah tertanam dalam kesadaran kosmos
masyarakat sekitar gunung tidak dapat dihapus oleh peubahan zaman maupun
upaya-upaya desakralisasi melalui propaganda dan hasutan macam manapun.
Sekuat apapun propaganda dan hasutan maupun pemahaman spiritual dan
budaya yang keliru akan berbenturan dengan hukum tata keseimbangan alam di
wilayah itu. Cepat atau lambat pemahaman keliru, propaganda, hasutan akan
semakin keras berbenturan dengan fakta dan bukti-bukti yang setiap saat
dialami dan disaksikan oleh masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Maka tak
heran meskipun nilai-nilai modernitas, westernisasi dan indoktrinasi begitu
gencar menggempur nilai kearifan lokal, namun masih masyarakat dengan
sikap yang begitu kuatnya mematuhi setiap paugeran, karena paugeran
bukanlah omong kosong melainkan berisi nilai-nilai kearifan lokal yang tidak
lain merupakan pelajaran berharga atas berbagai bukti dan fakta, baik yang
bersifat nyata maupun gaib.
Apa yang kita yakini biasanya kita jadikan sebagai ―obor penunjuk jalan‖. Yang
harus kita waspadai adalah, apa yang sekedar kita yakini belum tentu
merupakan fakta dan realitas. Mudah membuktikan apakah sesuatu yang kita
yakini merupakan fakta atau mitos. Apabila hal-hal yang kita yakini TIDAK
sesuai dengan kebenaran fakta dan realitas maka kita merasakan hidup seperti
bermain judi atau spekluan. Segala sesuatu terasa tanpa ada kepastian. Mata
batin terasa buta, tidak tahu bagaimana nasibnya di hari ini, apalagi esok hari.
Oleh sebab itu untuk menanggulangi kecemasan atas ketidakpastian itu,
biasanya Tuhan Mahatahu sekedar menjadi pelarian untuk menyandarkan segala
kegundahan hati. Dalam keadaan seperti ini disadari atau tidak dalam telah
membangun pola pikir dan sikap apatis. Manusia seolah menjalani hidup
dengan tanpa bisa menentukan pilihan. Karena kekuasaan Tuhan menentukan
segalanya, bahkan jam berapa mau kentut dan be-ol saja diserahkan Tuhan yang
mengatur. Ini menjadi blunder saat menganalisa perilaku menyimpang atau
tindak kejahatan. Lantas pola pikir itu pula yang dijadikan alasan pembenar
yang dicari-cari untuk melegitimasi tindakan konyolnya. Dapat digarisbawahi,
bilamana apa yang kita yakini sesungguhnya hanyalah mitos (dongeng imajiner)
akan menjauhkan diri dari berkah alam semesta, karena sikap dan tindak-
tanduk kita semakin menjauh dari karakter alam dan hukum tata keseimbangan
alam. Ia cepat atau lambat dalam hidupnya akan mengalami berbagai benturan
dan himpitan lahir maupun batin.
Sebaliknya jika apa yang diyakini merupakan sesuatu yang sesuai dengan fakta
dan realitas, hal itu ditandai hidup kita tidak lagi seperti bermain judi
(spekulasi). Kita menjalani hidup ini dengan penuh kepastian. Hari ini akan
selamat atau akan ada bahaya mengancam, kita akan bisa menangkap tanda-
tanda dan peringatan sebelumnya. Kita merasakan hidup dengan penuh berkah
sebagai konsekuensi logis atas tindakan kita yang selalu selaras dan harmonis
dengan lingkungan alam.
Benarkah Gunung Memiliki Kekuatan Supra ?
Saya pribadi termasuk orang yang tidak mudah percaya, tidak suka ela-elu, anut
grubyuk, atau taklid dst. Tidak puas hanya dengan cara sekedar mengimani saja
atas semua yang dikatakan atau ujare, jarene, ceunah ceuk ceunah. Saya ragu,
tetapi keraguan yang metodis, yakni keraguan untuk tahu apa yang
sesungguhnya terjadi. Saya akan mengakui dan percaya bila saya benar-benar
menjadi saksi dengan mata wadag maupun batin. Lama saya berfikir apa benar
gunung selalu menjadi tempat yang sakral, penuh kekuatan magis, natural dan
supernatural powernya besar ? Bagaimanapun juga memanfaatkan daya nalar
atau akal budi akan lebih baik ketimbang membiarkan emosi untuk memahami
suatu kebenaran fakta. Jika saya menggunakan keyakinan saja, saya akan
terjebak pada sikap menuhankan emosi. Dan saya tidak mentabukan
seseorang yang cenderung mengandalkan nalar, karena di samping kesadaran
rahsa sejati, kesadaran nalar atau akal budi merupakan salah satu instrumen
yang handal untuk melihat dan menilai suatu kebenaran sejati dan memilih
mana yang baik (selaras dengan hukum alam) dan buruk (melawan hukum
alam). Sebaliknya, emosi tidaklah bisa diandalkan untuk menganalisa karena
emosi tidak berdasarkan nalar melainkan dengan unsur emosi : rasa suka atau
tidak suka, senang atau tidak senang, puas atau tidak puas. Emosi lebih
menekankan pada sentimen sementara nalar lebih menekankan pada sikap
toleransi.
Puluhan tahun lamanya saya melakukan survey, penelitian langsung ke banyak
gunung-gunung yang bercokol di muka bumi Nusantara ini. Hingga membawa
pada kesimpulan bahwa benar adanya, jika gunung-gunung dianggap memiliki
kekuatan besar dan penuh kesakralan. Dengan begitu, saya semakin menyadari
akan sikap para leluhur bumi putera Nusantara di masa lalu hingga sekarang,
terutama Kraton-kraton yang masih eksis menjadikan gnung sebagai salah satu
tempat sakral dan sarana pemujaan (penghormatan) kepada Sang Jagadnata
beserta seluruh makhluk penghuninya. Bahkan alasan mengapa tempat
peristirahatan terakhir, dan peristiwa muksa yang terjadi di masa lalu lebih
sering dilakukan di puncak-puncak gunung dan bukit, kini terjawab sudah.
Konon nisan yang ada di Cungkup itu adalah Petilasan Prabu Brawijaya, bekas
Raja Majapahit yang lebih dikenal dengan sebutan Sunan Lawu. Cungkup dan
tempat pertapaan Raden Brawijaya ini terletak di Hargo Dalem, puncak
tertinggi kedua Gunung Lawu yang merupakan
peninggalan Raden Brawijaya selama dalam
pelariannya.
Gunung Lawu adalah gunung yang
dikeramatkan oleh penduduk sekitar terutama
penduduk yang tinggal di kaki gunung lawu ini.
Tidak heran bila pada bulan-bulan tertenu
seperti bulan Syuro pada penanggalan Jawa,
gunung ini ramai didatangi oleh para peziarah
terutama yang datang dari daerah sekitar kaki Gunung Lawu seperti daerah
Tawangmangu, Karanganyar, Semarang, Madiun, Nganjuk, dan sebagainya.
Mereka sengaja datang dari jauh dengan maksud terutama meminta keselamatan
dan serta kesejahteraan hidup di dunia. Lokasi yang dikunjungi para peziarah
terutama tempat yang dianggap keramat seperti petilasan Raden Brawijaya yang
dikenal oleh mereka dengan sebutan Sunan Lawu. Selain itu Sendang Derajat
dan Telaga Kuning dan sebagainya.
Di Gunung Lawu ini, menurut cerita yang
berkembang di masyarakat yang tinggal di kaki
gunung, bahwa Raden Brawijaya lari ke Gunung
lawu untuk menghindari kejaran pasukan Demak
yang dipimpin oleh putranya yang bernama
Raden Patah, serta dari kejaran pasukan Adipati
Cepu yang menaruh dendam lama kepada Raden
Brawijaya. Konon Raden Brawijaya mukso (menghilang dari dunia nyata tanpa
meninggalkan jasad) di Gunung Lawu ini dibuktikan dengan adanya Cungkup
serta petilasan-petilasannya di Gunung Lawu ini.
Beliau menjadikan Kerajaan Demak menjadi kerajaan besar di Jawa. Pada saat
itu Raden Patah bermaksud mengajak ayahnya yaitu Raden Brawijaya memeluk
agama Islam, akan tetapi Raden Brawijaya menolak ajakan anaknya untuk
memeluk ajaran yang dianut Raden Patah.
Raden Brawijaya tidak ingin berperang dengan anaknya sendiri dan kemudian
Raden Brawijaya melarikan diri. Penolakan ayahnya untuk memeluk agama
Islam membuat Raden Brawijaya terus dikejar-kejar oleh pasukan Demak yang
dipimpin oleh Raden Patah.
Untuk menghindari kejaran pasukan Demak,
Raden Brawijaya melarikan diri ke daerah
Karanganyar. Disini Raden Brawijaya sempat
mendirikan sebuah candi yang diberi nama Candi
Sukuh yang terletak di Dusun Sukuh Desa Berjo
Karanganyar. Tetapi belum juga merampungkan
candinya, Raden Brawijaya keburu ketahuan oleh pasukan Demak, pasukan
Demak dan pengikut-pengikut Raden Patah terus mengejarnya sehingga Raden
Brawijaya harus meninggalkan Karanganyar dan meninggalkan sebuah candi
yang belum selesai sepenuhnya.
Kemudian Raden Brawijaya melarikan diri menuju kearah timur dari Candi
Sukuh. Di tempat persembunyiannya, Raden Brawijaya sempat pula mcndirikan
sebuah Candi, tetapi sayang tempat persembunyian Raden Brawijaya akhirnya
diketahui oleh Pasukan Demak.
Raden Brawijaya melarikan diri lagi dengan meninggalkan sebuah candi yang
sampai sekarang dikenal masyarakat dengan sebutanCandi
Ceto. karena merasa dirinya telah aman dari kejaran
Pasukan Demak, Raden Brawijaya sejenak beristirahat
akan tetapi malapetaka selanjutnya datang lagi kali ini
pengejaran bukan dilakukan oleh Pasukan Demak tetapi
dilakukan oleh pasukan Cepu yang mendengar bahwa
Raden Brawijaya yang merupakan Raja Majapahit
bermusuhan dengan kerajaan Cepu masuk wilayahnya
sehingga dendam lama pun timbul.
Pasukan Cepu yang dipimpin oleh Adipati Cepu bermaksud menangkap Raden
Brawijaya hidup atau mati. Kali ini Raden Brawijaya lari ke arah puncak
Gunung Lawu menghindari kejaran Pasukan Cepu tapi tak satu pun dari
pasukan Cepu yang berhasil menangkap Raden Brawijava yang lari ke arah
puncak Gunung Lawu melalui hutan belantara.
( jika ada orang-orang dari daerah Cepu atau dari keturunan langsung Adipati
Cepu naik ke Gunung Lawu, maka nasibnya akan celaka atau mati di Gunung
Lawu.)
Dan katanya bahwa sumpatan dari Raden Brawijaya ini sampai sekarang
tuahnya masih diikuti oleh orang-orang dari daerah Cepu terutama keturunan
Adipati Cepu yang ingin mendaki ke Gunung Lawu, mereka masih merasa takut
jika melanggarnya.
Raden Boncolono
IA BERHEMBUS SEPERTI ANGIN, IA SANGGUP MENUTUPI
GUNUNG HINGGA TAK NAMPAK HILANG SEPERTI DITELAN
BUMI....
Di sebelah Selatan agak ke Barat, dari tempat yang diberi nama Taman sari, ada
tempat yang menimbulkan suara mengerikan, di situlah kawah utama Gunung
Lawu. Sebagian orang menyebut tempat itu dengan nama Jurang Pangrib-arib.
Namun ada juga yang. Lebih suka memberi nama wilayah ini Condromuko.
Konon kawah inilah yang dipergunakan untuk menggembleng Raden Tetuko,
hingga sakti mahambara, untuk akhirnya dijagokan para Shang Hiyang
menghadapi amukan para Asura yang dipimpin oleh Mahapatih Sekipu.
Dari Pos Cemoro Kandang, berjajar warung-warung yang menjual makanan dan
minuman penghangat badan untuk menghilangkan lelah. Di belakang Warung
itu, ada jalan menurun, menuju sebuah sungai yang airnya bersumber pada
kawah Condromuko. Sungai yang berair jernih itu penuh dengan batu-batu
pualam hitam yang bila dipandang sepintas bagaikan ribuan mahesa (kerbau)
yang sedang berendam. Di alas sungai itu ada jembatan kecil sebagai
penghubung menuju dua mata air atau sering disebut sendang, Di samping
jembatan itu tepat di bawahnya ada batu cekung yang membentuk semacam gua
kecil (ceruk). Tempat itulah yang sering digunakan penghayat spiritual untuk
bertapa kungkum.
"Ini dipercaya bertuah, karenanya bagi mereka yang tahan dingin akan
melakukan pertapaan di tempat ini, karena cepat sekali terkabul
permohonannya," jelas Kang Boedi Dilihat dari segi spiritual atau mata batin. di
sana terlihat seekor naga kehijauan, dia mengaku bernama Ki Naga Giri Kumala
Naga ini bila mulutnya menganga, akan terlihat cahaya kuning Dan cahaya itu
bila ditelusuri dengan mata batin lebih dalam berwujud sesotya mustika Kumala
Retno. Jangankan bisa mengambil dan memilikinya, bisa menghisap aura yang
terpendar di tempat itu saja sangat sulit. Maka bila mensenyawai cahaya itu
akan membuat seseorang manis bicaranya. perkataannya akan diikuti oleh orang
lain.
Berdasar tradisi di sini ziarah pertama yang harus dilakukan adalah di sendang
Kukung atau sering disebut sendang Lanang, Di situ ada cungkup bangunan
model joglo (rumah tradisional Jawa) yang cukup besar dan dibangun cukup
indah. Di altar ada pedupaan bagi peziarah yang mau meditasi di tempat ini.
Selesai di sendang Lanang, baru menuju sendang Kakung untuk tidak bisa
mandi bersuci (wudhu), membasuh muka, atau mengambil airnya yang
kemudian disanggarkan di tempat ini.
Di ruang utama sendang Kakung ada patung
seekor harimau loreng. Dan memang benar,
khodam tempat ini bagi peziarah yang
panuwunnya terkabul akan melihat berklebatnya
seekor harimau. Bahkan kalau diadakan menjadi
orang besar (pejabat) harimau gaib itu akan
mendekati peziarah. Dari kacamata batin singa
yang sering. mawujud itu adalah gaib Kyai Singo
Sinebaning Dilah. Sebuah keris luk tiga di ujungnya, dan di bagian bawahnya
ada ornamen singa duduk.
"ini pusaka auranya sangat garang, cocok untuk para senopati perang atau
prajurit. Bila mensenyawai kerisnya akan cepat naik pangkat dan pemberani
luar biasa." jelas Eyang Restu Pinanggih, seorang spiritualis di sana. Saat
meditasi di tempat ini secara mengejutkan kita bertemu juga dengan Eyang
PrabuWijoyo atau Sunan Lawu Sepuh yang kala itu didampingi seorang
berperawakan pidekso, bahasa batin mengatakan beliau Eyang Boncolono. Di
belakang beliau ada 2 orang sepuh yang sepertinya juga wong sakti. Yang
membuat terhenyak, di kanan Eyang Prabu Wijoyo ada kakek. Inti dari
wejangan beliau, mulai tahun 2011 ini angkara murka akan makin tak terkendali
hingga tahun 2013. Baru memasuki tahun 2014 alam mulai menyeleksi orang-
orang terpilih untuk menata alam ini, bukan hanya di Nusantara.
Ternyata ampak-ampak itu berasal dari sosok manusia setengah siluman, Raden
Bancak dan Raden Doyok yang senang disebut Bancak Doyok. Mereka ini putra
dari Senopati Kembar Majapahit, putra Kyai Semar Badranaya yang bernama
Raden Sabdo Palon dan Raden Noyo Genggong, yang terkenal dengan kutukan
saktinya tentang Tanah Djawa Dwipa ini. Akhirnya Raden Segugur yang kala
itu masih diikuti banyak abdi setianya, diantaranya Senopati Pengapit yang
kakak beradik, yaitu Eyang Sapu Angiri dan Eyang Sapujagat. Mengikuti Raden
Bancak Doyok hingga ke wilayah Jabankanil, desa Banjar Dawung, kecamatan
Tawangmangu. Di tempat ini Raden Segugur melakukan tapabrata dalam waktu
yang cukup lama sekali hingga akhirnya dijemput oleh Prabu Widjojo,
penguasa Lawu. Lalu beliau menyatu dalam rasa dengan Raden Segugur,
dibawa moksa ke keraton gaib di puncak gunung Lawu yang sering disebut
Kraton Krendo Maninten, yang akhirnya loro ning atunggal ini memerintah di
Keraton Lawu dengan gelar Sunan Prabu Widjojo yang juga lebih populer
bernama Sunan Lawu Sepuh.
Banyak sekali punggawa dari Majapahit yang akhirnya ikut mokswa ke keraton
gaib Krenda Maninten, termasuk para Senopati setianya. Akhirnya Raden
Rancak dan Raden Doyok diangkat menjadi Senopati Agung Gunung Lawu.
Senopati pengapitnya Eyang Sapu Angin dan Eyang Sapujagat. Makanya di
tempat yang sebenarnya pertapaan ini ada 2 bilik tapi saling berhubungan, yang
menandakan kalau Raden Bancak dan Raden Doyok, keduanya memang tak
terpisahkan. Yang aneh sepertinya antara agama Hindu, Budha dan
Kepercayaan Roh Leluhur, menyatu padu seperti halnya konsep Trimurti yang
saling mengisi untuk berlangsungnya sebuah proses, keseimbangan. Kalau
dilihat dengan mata batin cungkup ini ada sebilah pusaka tus (asli) buatan Empu
pertama berdampar Keris Semar Mesem, aura sepuh penuh pengasihan. Namun
jangan harap dapat mengambil secara fisik, karena sudah mendanyang. Paling
yang bisa diambil untuk bersenyawa auranya saja.
Senja mulai tiba, kabut yang dihembuskan Eyang Sapu Jagad makin tebal,
pertanda bahwa penjelajahan ini harus usai dan diperkenankan untuk pulang.
Selamat tinggal gunung Lawu yang tenang, misterius dan menghanyutkan dalam pesona
mistisnya.
Mitos Pringgodani dan Kekuasaan
di Gunung Lawu
Sudah sejak lama Pringgondani dikenal sebagai tempat yang wingit. Sebuah
kompleks pertapaan yang dipercaya sebagai salah satu petilasan Raja Majapahit
yang terakhir, Prabu Brawijaya V. Ia disebut melarikan diri dari musuh-
musuhnya sampai kemudian meninggal atau disebut moksa di sana.
Di selatan ada Ratu Kidul atau Nyai Roro Kidul, di Samudra Hindia. Sebelah
barat ada Kanjeng Ratu Sekar Kedhaton di Gunung Merapi. Di utara ada
Bethari Durga yang berkedudukan di Hutan Krendawahana. Dan petilasan
Pringgondani adalah salah satu tempat penguasa wilayah Timur berada; tempat
petilasan Prabu Brawijaya V atau juga dikenal sebagai Kanjeng Sunan Lawu.
Dalam Dunia Spiritual Soeharto (hal. 128), Presiden Kedua Indonesia disebut-
sebut sebagai salah satu presiden yang cukup konsisten menjalani laku spiritual
demikian. Soeharto biasanya akan memulai dari arah selatan terlebih dahulu,
baru kemudian ke barat, utara, dan terakhir sebelah timur. Ritual yang sudah
menjadi tradisi dan dilakukan oleh raja-raja Mataram Islam sejak lama. Mitos
yang kemudian berkembang menjadi kepercayaan bahwa seorang pemimpin
(dari) Jawa harus melakukannya agar negara dan kedudukannya aman sentosa.
Dalam lingkup kekuasaan, Joseph Campbell dan Bill Moyers dalam The Power
of Myth (1991) menyatakan bahwa mitos adalah usaha memperkuat seorang
tokoh menjadi ikon yang tidak hanya punya kekuasaan secara formil namun
juga kekuasaan secara kultural.
Fungsi lainnya, mitos juga bisa digunakan untuk membuat rakyat tidak mudah
berpaling begitu mudah dari raja mereka, terutama jika muncul tuan tanah atau
orang kaya berpengaruh yang secara kekuasaan berpotensi mengancam
kekuasaan raja. Inilah yang diungkapkan Onghokham dalam Dari Soal Priyayi
sampai Nyi Blorong, Refleksi Historis Nusantara (hal. 181).
Di Kerajaan Surakarta, ada perbedaan mendasar antara mitos Nyi Roro Kidul
dengan Nyi Blorong. Nama terakhir ini punya konotasi negatif, karena Nyi
Blorong dianggap sebagai sekutu untuk memperkaya diri, sedangkan Nyi Roro
Kidul berkonotasi positif karena dianggap sebagai sekutu yang tulus. Nyi Roro
Kidul pada akhirnya dianggap punya peran juga melindungi kerajaan. Di sinilah
kemudian, orang-orang kaya dipersepsikan sebagai orang tamak yang harus
dijauhi, sedangkan raja jarus didekati karena ia adalah orang baik.
Hal ini juga berlaku dengan hubungan raja-raja mataram dengan Sunan Lawu di
kompleks pertapaan Gunung Lawu seperti di Pringgondani. Hal ini terkait
karena roh-roh di Gunung Lawu yang dipercaya merupakan roh-roh Raja
Majapahit di masa silam. Onghokham menyebut bahwa Keraton Surakarta
pernah menggunakan mitos pertapaan di Gunung Lawu dalam sengketa
perebutan kekuasaan.
Pada 1742, Paku Buwono II yang lebih condong ke VOC dikudeta oleh
rakyatnya yang anti-VOC. Pada perkembangannya, rakyat kemudian ikut-ikutan
menjadi anti-Paku Buwono II. Pemberontakan ini diinisiasi oleh gabungan
masyarakat etnis Tionghoa dengan masyarakat Jawa yang kemudian
mengangkat Raden Mas Gerendi menjadi raja dengan sebutan ―Sunan Kuning‖.
Nama yang diusulkan rakyat etnis Tionghoa.
PRINGGONDANI
4. Pringgo Sepi
Pringgo artinya malu di dalam hati. Sepertinya kosong namun isi / bersih.
Jadi Pringgondani adalah hati yang bersih
5. Pringgo Sari
Pringgo artinya terjadinya perpaduan sepasang dua insane (pria dan
wanita) manusia yang dilandasi dengan rasa cinta & kasih sayang
sehingga menimbulkan keharmonisan.
Baca juga artikel terkait PETILASAN PRINGGODANI
PETA JALUR PENDAKIAN
Jalur pendakian dari cemoro kandang merupakan jalur pendakian yang masih
berada di provinsi jawa tengah tepatnya daerah perbatasan antara jawa tengah
dan jawa timur. Panjang jalur ini kurang lebih 12 km dikarenakan tipe jalurnya
yang relatif landai. Pendakian gunung lawu via cemoro kandang membutuhkan
waktu 8-9 jam untuk naik dan 5-6 jam untuk turun kembali. Pemandangan jalur
ini cukup indah karena kita akan mengelilingi punggungan sehingga desa –desa
di bawah dapat terlihat dengan jelas apabila cuaca cerah.
BASECAMP CEMORO KANDANG
Basecamp Cemoro Kandang berada di wilayah
Jawa Tengah, pada ketinggian 1.946 m dpl dan
pada posisi 07° 39′ 49″ LS dan 111° 11′ 14 ‖ BT.
Disini terdapat sebuah pos pendaftaran sebelum
melakukan pendakian, prasarana untuk pendaki
disini jauh lebih baik jika dibandingkan dengan
Cemoro Sewu. Adapun prasarana yang tersedia
di tempat ini musholla, WC, kamar mandi,
tempat pendaki menginap/beristirahat, pos jaga petugas dan aula yang cukup
luas. Sumber air cukup tersedia melimpah disini. Di depan basecamp ini juga
terdapat banyak warung – warung yang berjualan berbagai macam makanan
yang berada tepat di pinggir jalan. Di sini untuk ijin pendakian, para pendaki
akan dikenakan biaya sebesar rp. 5000/orang yang sudah mencakup asuransi
sebesar rp. 200. Selain itu untuk penitipan motor dikenakan biaya sebesar Rp.
5000/ malam.
POS I (Taman Sari Bawah)
Pos ini berada pada ketinggian 2.237 mdpl dan
pada posisi 07° 39′ 00″ LS dan 111° 11′ 19″ BT.
Pos ini berjarak lebih kurang sekitar 1 jam
pendakian dari Cemoro Kandang. Pos ini
berupa sebuah bangunan batu dan beratap seng,
didalam pos ini bisa memuat kira kira 2 buah
dome apabila ingin mendirikan dome
didalamnya. didepan pos ini terdapat sebuah
lembah yang didasarnya mengalir sebuah sungai. Disamping pondok ada areal
untuk mendirikan tenda. Tidak ada sumber air di pos ini. Tipe treknya agak
menanjak.
POS II (Taman Sari Atas)
Pos II ini juga berupa sebuah pondok dari Batu
beratap seng yang didalamnya juga bisa
memuat 2 buah dome. Sumber air bisa didapat
jika turun sungai yang ada didasar lembah yang
berada tepat didepan pos ini. Yang menarik dari
pos ini kita bisa melihat kawah gunung ini yang
dikenal juga dengan nama Kawah Candra
Dimuka. Di pos ini terdapat areal yang luas
untuk mendirikan tenda. Ketinggiannya 2.470 m dpl, posisinya 07° 38′ 33″ LS
dan 111° 11′ 16″ BT, jarak pos ini sekitar 1 jam perjalanan dari pos sebelumnya.
Tipe treknya agak menanjak.
POS BAYANGAN
Pos bayangan ini kira kira berada di tengah
tengah jarak antara pos 2 dan 3. Waktu tempuh
ke pos ini kurang lebih 1 jam. Di pos ini
terdapat sebuah bangunan pos permanen yang
diberi seng.
Boleh jadi sesungguhnya setiap bagian dari alam ini memiliki malaikat
penjaga. Maka karena keberadaan mereka yang diutus Allah inilah, proses-
proses yang terjadi di jagad raya ini dapat berlangsung sistemik dalam aturan
Allah yang Maha Kuasa. [Syahida.com]
Sumber: https://www.syahida.com/2015/05/05/3042/malaikat-penjaga-
gunung/#ixzz5RL7IYfFD
55 Adab Mendaki Gunung
Menurut syariah
Pendakian bukan hanya sebuah proses ‘menaklukkan’ suatu gunung. Alangkah
sombongnya kita apabila didasari niat itu! Perlu diingat beberapa poin berikut,
agar pendakian yang kita lakukan memiliki makna lebih. Perlu kita camkan
dalam diri kita, bahwa segala tingkah laku kita akan diminta
pertanggungjawaban oleh-Nya, termasuk pendakian kita. Bayangkan di akhirat
kelak, kita akan ditanya: “Untuk apa kamu lakukan pendakian itu? Apakah
kamu melakukannya untuk-Ku? Atau kamu melakukannya agar dibilang kamu
itu keren, gagah, seorang pecinta alam sejati, dll?” Oleh karenanya, perlu kita
cantumkan nilai ibadah dalam setiap pendakian kita. Agar lelah kita, waktu
kita, pengorbanan kita, dan ratusan ribu (bahkan jutaan) uang yang kita
keluarkan tidak sia-sia. Pendakian ini kita niatkan agar bisa membuat kita
menjadi muslim yang lebih kuat (baik secara fisik, mental, iman, dll). Karena
muslim yang kuat lebih dicintai Allah daripada muslim yang lemah. Kemudian
pendakian juga merupakan sarana refreshing kita dari rutinitas yang mungkin
membuat kita penat. Sehingga, setelah pendakian tersebut, kita bisa refresh
dan lebih semangat menjalani aktivitas kita. Pendakian ini juga kita jadikan
sarana ‘tafakkur’ terhadap ayat-ayat Allah di alam semesta ini. Pepohonan
yang indah, gunung yang menjulang tinggi dengan kokohnya, awan cantik
yang bergumpal, semilir angin pegunungan, nyanyain suara alam, dan lain
sebagainya. hendaknya semua itu menambah keimanan kita kepada-Nya. Kita
ucapkan “subhanallah” dan Masya Allah untuk itu. Bahwa pendakian kita bisa
menjadi sarana “i’dad” kita. Mempersiapkan diri, barangkali suatu saat kita
mendapat panggilan jihad, kita sudah siap menyambut. Bahwa pendakian
tersebut, bisa kita manfaatkan untuk sarana merekatkan ukhuwah (tali
persaudaran) diantara anggota tim dan pendaki lain. Sehingga, dari situ akan
kita dapat persaudaraan dan ‘link’ baru yang mungkin akan bermanfaat ke
depannya.
1. Bekal Rohani:
Bertaqwa kepada Allah Subhanahu wa Ta’ala.
Mendapat izin dan ridha dari orangtua (bagi yang masih memiliki
orangtua).
Ikhlas dan bukan melakukan safar/perjalanan yang bid’ah atau
terlarang.
Melaksanakan segala kewajiban dan tidak meninggalkannya baik
dalam masalah agama ibadah dan lainnya, seperti shalat yang 5 waktu,
dsb.
Meninggalkan dan menjauhi segala perbuatan maksiat.
Wajib mentaati pemimpin, kecuali jika disuruh bermaksiat.
Saling tolong menolong dan meringankan beban sahabatnya.
Menghindari sifat egois (mengutamakan diri sendiri) dan rasa malas.
Tidak boleh takabbur atau sombong dan meremehkan segala sesuatu.
Memperbanyak berdzikir, khususnya dzikir-dzikir yang dianjurkan.
memperbanyak berdoa, karena doa seorang musafir adalah mustajab.
Menyingkirkan segala gangguan di jalan.
Qana’ah, yaitu menerima apa adanya.
Hemat dalam segala kondisi.
Memiliki sifat tawakkal kepada Allah, dan tidak boleh putus asa.
So, buatlah pendakian kita lebih ‘islami’. maknai setiap langkah pendakian
kita. Jadikan setiap langkahnya menjadi satu kebaikan dan satu penghapus
dosa.
Lalu tujuannya apa yah sampe dibuat ni tulisan? kata yang punyanya sih ini
ditujukan kepada orang-orang yang tidak mengetahui manfaat dan faedah
mendaki gunung, dan untuk orang-orang yang tidak suka khususnya kepada
kami yang suka mendaki gunung. Hmm pikir saya, kok ada ya orang yang gak
suka olahraga mengasyikkan kayak gini? ngedabrus tuh orang :
Padahal mendaki gunung itu udah sehat, pahalanya banyak lagi : Langsung
aja, semoga bermanfaat ! berikut adalah 40 amalan Sunnah yang biasa
kami lakukan tatkala mendaki gunung:
1. Shalat Istikharah.
2. Meminta izin kepada orangtua.
3. Melakukan perjalanan bersama 3 orang atau lebih.
4. Memilih atau mengangkat pemimpin rombongan.
5. Melakukan perjalanan pada malam hari.
6. Melaksanakan shalat 2 rakaat sebelum pergi dan tatkala pulang (atau
mau masuk rumah).
7. Berpamitan ketika mau pergi kepada orang yang ditinggalkan.
8. Membaca doa safar atau bepergian.
9. Membaca doa naik kendaraan.
10. Memperbanyak doa, krn doanya musafir adalah dikabulkan/mustajab.
11. Membaca doa ketika singgah di suatu tempat.
12. Membaca dzikir pagi petang.
13. Berwudhu dengan air sedikit ( atau berwudhu dengan membasuh
masing-masing 1 x atau 2 x).
14. Berwudhu dalam cuaca yang sangat dingin atau memberatkan.
15. Tayammum jika tidak ada air.
16. Mengusap khuf atau sepatu ketika berwudhu.
17. Menentukan arah kiblat untuk shalat.
18. Berdoa ketika menjelang subuh.
19. Bisa melihat dan menentukan fajar shadiq.
20. Shalat dengan jama’ dan qashar.
21. Shalat dengan berjama’ah.
22. Shalat witir dalam keadaan safar.
23. Mengucapkan takbir ketika mendaki.
24. Mengucapkan Tasbih ketika turun.
25. Berdzikir ketika melihat kebesaran Allah , karena di gunung kami
banyak sekali melihat kebesaran Allah yang belum pernah kami lihat
sebelumnya atau tidak kami lihat di tempat tinggal kami.
26. Olahraga agar tubuh kuat dan sehat.
27. Memperbanyak jalan kaki.
28. Membuat kemah yang jauh dari jalanan.
29. Membaca doa atau dzikir ketika hendak tidur dan setelah bangun tidur.
30. Makan secara berjama’ah/bersama2.
31. Tidak boleh mengeluh dan putus asa selama dalam perjalanan.
32. Menjaga kebersihan selama perjalanan.
33. Mengucapkan salam jika saling bertemu.
34. Menyingkirkan rintangan di jalan sesuai dengan kemampuan.
35. Saling memberi nasehat atau beramar ma’ruf nahi munkar selama
perjalanan, seperti mengajak teman kita untuk shalat atau melarang
merokok, dsb.
36. Membawa hadiah atau oleh-oleh ketika pulang.
37. Bersegera pulang jika urusan telah selesai.
38. memberi kabar ketika hendak pulang kepada orang yang ditinggalkan.
39. Menghindari pulang malam-malam ketika sampai rumah.
40. Shalat dua rakaat di masjid ketika tiba dari safar.
Catatan Penulis:
Dari semua point-point diatas, masing-masing mempunyai dalil tersendiri
yang sengaja tidak disebutkan disini karena keterbatasan tempat dan waktu.
Perlu catatan tersendiri jika ingin mengetahui dalil-dalil semuanya. Mudah-
mudahan Allah memberikan kemudahan kepada ana untuk membuat catatan
tersendiri tentang hal ini beserta dalil-dalinya secara lengkap, Insya Allah.
Point-point diatas hanya sebagian dari yang ana ingat saja, masih banyak
sunnah-sunnah yang lain, seperti ketika turun hujan, ketika menghadapi
musibah, dan sebagainya.
Ada salah seorang Penanya yang bertanya:
-pada point 5, yaitu melakukan perjalanan malam hari apa ibrohnya ya?
Penulis menjawab:
Hikmahnya adalah sesuai dengan hadits: Dari Anas bin Malik, Rasulullah
shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
ْ ُض ت
ط َوى بِاللَّ ْي ِل َ َْعلَ ْي ُك ْم بِال ُّد ْل َج ِة فَإ ِ َّن األَر
“Hendaklah kalian melakukan perjalanan di malam hari, karena seolah-olah
bumi itu terlipat ketika itu.”[HR. Abu Daud no. 2571, Al Hakim dalam Al
Mustadrok 1/163, dan Al Baihaqi dalam Sunan Al Kubro 5/256. Syaikh Al
Albani mengatakan bahwa hadits ini shahih. Lihat As Silsilah Ash Shahihah
no. 681.]
sumber : http://www.facebook.com/negara.tauhid
penulis : Abu Fahd NegaraTauhid - penyunting : Dimas Putra Ramadhan
UNTUK PARA PENDAKI, PECINTA ALAM
DAN PETUALANG
by Gumilar Ikhtiarsyah - in pengetahuan
SALAM RIMBA....
Untuk orang-orang yang menghargai hidup dengan bertualang
mempertaruhkan hidup
Memasuki masa neo klasik, yakni pada masa penjajahan. Kegiatan mendaki
gunung memiliki tujuan Tertentu. Seorang ahli geologi berkebangsaan
Belanda bernama Clignet (1838) diketahui sebagai orang pertama yang
mendaki gunung Semeru (Jawa Timur) dengan tujuan untuk penelitian struktur
tanah dan kemudian dilanjutkan oleh ahli botani Junhuhn (1945) yang
mendaki gunung Semeru untuk meneliti jenis-jenis tumbuhan berdasarkan
ketinggian.
Pada masa yang sama, bangsa Indonesia mendaki gunung untuk keperluan
taktik perang. Panglima Jendral Sudirman dan para prajuritnya mendaki
gunung dan perbukitan di daerah jawa tengah untuk menjalankan taktik perang
gerilya melawan Belanda, demikian pula Pahlawan Supriadi memimpin
pasukan gerilya dengan menjelajahi kawasan gunung kelud di sekitar daerah
Blitar-jawa timur.
Konon bangsa Belanda juga turut mendaki gunung Argopuro untuk membuat
landasan pesawat terbang di lereng gunung Argopuro guna mengangkut hasil
pengalengan daging rusa (sekarang Cikasur). Dari sini kita bisa melihat tujuan
dari mendaki gunung menjadi semakin beragam.
Coba kita bandingkan saat ini. Betapa banyaknya pendaki yang melakukan
ekspedisi mendaki gunung, baik secara solo atau tim hanya untuk menggapai
puncak atau mengoleksi puncak-puncak gunung ternama demi mencari
popularitas atau menambah image pribadi.
Kenyataannya, ekspedisi-ekspedisi tersebut hanya seperti kegiatan yang
sepintas lalu saja, setelah ekspedisi selesai, tak pernah lagi dibicarakan oleh
orang lain, dibahas untuk ilmu pengetahuan, apalagi untuk dikenang.
Untuk itu kita perlu mengkaji kembali tentang hakikat mendaki gunung yang
selama ini telah diabaikan, mengapa kita mendaki gunung, untuk apa serta
bagaimana mendaki gunung dan menjadi Pecinta Alam yang lebih baik ?
Karena itu kita perlu kembali mempertanyakan tujuan kita mendaki gunung,
salah satunya yakni dengan mempelajari filosofi mendaki gunungใ
Kita bisa mengambil contoh seorang “Amerigo Vespuci atau Colombus” yang
gemar berpetualang. Sampai kini orang-orang akan tetap mengenangnya
sebagai penemu benua Amerika. Padahal meskipun mereka tidak pernah
mengadakan ekspedisi menyeberangi samudera atlantik, benua Amerika
sebenarnya memang sudah ada. Namun karena mereka orang yang pertama
kali berani menyeberangi samudera yang konon dipenuhi ular naga dan gurita
raksasa, akhirnya mereka juga yang kini lebih dikenal.
Contoh:
- Seorang pendaki gunung atau pecinta alam berniat untuk mendaki gunung
sampai puncak, dalam perjalanan Ia menemukan sampah dan kemudian ia
ambil untuk dibawa sampai turun dan membuangnya di tempat sampah. Lain
cerita, ada seseorang yang gemar sekali berpetualang dengan menjelajahi
hutan. Sampai suatu saat Ia menemukan sumber mineral yang berharga,
sehingga kemudian Ia segera menjual kepada pihak pengelola karena Ia tahu
bahwa informasi yang Ia miliki pasti sangat mahal harganya. Akhirnya
masuklah pengelola kedalam hutan dan melakukan penambangan besar-
besaran tanpa memperhatikan kelestarian alam sekitar.
Adalagi contoh sebagai berikut:
Dari beberapa contoh diatas, bisa kita lihat manakah yang jauh lebih baik.
Dengan begitu kita akan mengerti bahwa kunci dari setiap melakukan sesuatu
itu terletak pada tujuannya.
Kita tidak bisa menilai sesuatu hanya berdasarkan nama atau sebutan saja. Jadi
lebih baik lagi jika Para pendaki gunung itu selain merangkap sebagai Pecinta
alam juga merangkap sebagai petualang sejati yang selalu bekerja dengan hati,
keberanian dan semangat yang tinggi tanpa tujuan apapun selain untuk
perubahan menuju ke arah yang lebih baik dan bermanfaat untuk alam dan
orang lain.
Jika kita mampu bekerja dengan ketulusan hati dan keberanian, sesungguhnya
popularitas atau keabadian hidup itu akan hadir dengan sendirinya untuk
mengiringi setiap langkah yang kau jejaki.
Jadi, lebih baik menjadi “pendaki gunung yang pecinta alam dan berjiwa
petualang sejati”. Pasti jiwa dan jasadmu akan selalu dirindukan oleh alam dan
orang-orang akan angkat topi kepadamu meskipun biasanya selalu
terlambat.....***
Ada beberapa pertanyaan atau anggapan klasik yang mungkin sampai
sekarang masih saja ditanyakan kepada para penggiat kegiatan alam bebas.
Pertanyaan dan anggapan-anggapan klasik yang sudah pasti menjadi santapan
basi bagi para pendaki gunung, pecinta alam ataupun para petualang alam
bebas di seluruh dunia.
Pertanyaan-pertanyaan seperti:
Untuk apa mendaki gunung?
Apa manfaat dari mendaki gunung?
Keuntungan apa yang bisa diambil dari mendaki gunung?
Apa yang diberikan gunung kepadamu?
Atau anggapan-anggapan seperti:
Mendaki gunung hanya perbuatan menyia-nyiakan waktu,
tenaga dan uang saja.
Para pendaki gunung itu adalah kaum”Hedonist” yang hanya
memuja kesenangan-kesenangan secara berlebihan.
Para pendaki gunung adalah orang-orang yang memiliki
kelainan jiwa “Amor Fati” atau orang-orang yang mencintai
kematian.
Tewas saat mendaki gunung adalah mati konyol.
Mengapa demikian?
Pendaki gunung itu adalah orang-orang yang telah berguru pada alam. Guru
yang langsung diciptakan oleh Tuhan untuk mengajarkan segala sesuatu
kepada kita. Jadi bisa dibilang, orang-orang yang berguru pada alam itu
sesungguhnya telah berguru pada sang maha guru. Maha guru yang lebih
banyak memberi dan tak pernah meminta.
Karena ilmu tanpa batas itu sumbernya dari Tuhan, maka alam adalah sebagai
medianya. Nabi Musa saja harus mendaki gunung Sinai ketika akan
mendapatkan kitab Taurat. Nabi Muhammad juga harus mendaki bukit (jabal)
dan tinggal di Gua Hiro yang tidak semua orang bisa dengan mudah
menggapai tempat tersebut, sebelum akhirnya menerima wahyu yang pertama.
Demikian pula para empu yang harus mendaki gunung untuk bertapa sampai
pada akhirnya mendapatkan pencerahan berupa ilmu atau kesaktian.
Tingkatan berikutnya yang lebih tinggi lagi adalah “Untuk mengasah pribadi
dan menemukan hakekat diri”. Orang-orang yang memiliki tujuan seperti
inilah orang yang mampu berguru pada alam. Mereka mendaki gunung untuk
menyendiri dan merenung guna mendapatkan kedamaian dan pencerahan dari
Tuhan dengan mengakrabi alam. Karena dengan begitu mereka akan tahu
bahwa dirinya tidak ada apa-apanya dibandingkan dengan alam apalagi Tuhan.
Tujuan mendaki gunung seperti ini tidak hanya bisa dilakukan oleh para
pertapa saja, yang biasanya mendaki gunung dan tinggal disana dalam waktu
yang cukup lama sampai mendapat ilmu. Namun, sebenarnya para pendaki
gunung biasa juga bisa memiliki tujuan seperti ini, kebanyakan para pendaki
yang sudah cukup berpengalaman biasanya mendaki gunung untuk tujuan
seperti ini. Mereka mendaki gunung bukan lagi untuk hobi atau mengejar
prestise, tetapi mereka mendaki karena “panggilan jiwa” yang harus terus
dipenuhi. Mereka seolah tak bisa hidup jauh dari gunung. Meskipun telah lama
tidak mendaki gunung, namun keinginan untuk mendaki itu pasti akan tetap
ada karena sudah menjadi kebutuhan. Mereka meyakini bahwa ada banyak
pelajaran yang bisa diperoleh dari mendaki gunung. Dengan mengakrabi alam,
maka dengan sendirinya alam akan mengajarkan banyak ilmu kepada kita.
Jadi, jelas bahwa gunung adalah media untuk menempa pribadi manusia
sebelum akhirnya mendapatkan ilmu yang berasal dari Tuhan. Ilmu yang tak
terbatas dan tidak bisa didapatkan hanya dari sekolah atau kuliah saja.
Jadi pastikan terlebih dahulu tujuan kita sebenarnya sebelum kita mendaki
gunung, sehingga kegiatan yang kita lakukan nanti tidak akan sia-sia, dan jika
nanti seandainya kita terpaksa harus mati di gunung sekalipunpun, maka kita
tidak akan mati konyol karena minimal kita sudah memiliki tujuan yang jelas.
Tak ada pendaki yang mati di gunung, mati sia-sia. Mereka hanya manusia
biasa yang telah berani menghargai hidup dan memenuhi takdirnya saja.
‘Kematian’ ketika mendaki gunung adalah resiko yang harus dihadapi dengan
keberanian.
Melalui kegiatan mendaki gunung, kita akan mampu mengenali pribadi teman
yang sebenarnya. Sebab, ketika kita mendaki gunung, beberapa karakter
pribadi orang yang sebenarnya akan nampak karena situasi yang sedang
dihadapi. Misalnya: Kelelahan, kedinginan, kehabisan bekal makanan atau air,
terjebak badai, tersesat, mengalami musibah kecelakaan, ada teman yang sakit,
atau bahkan karena gagal sampai ke puncak. Ada yang jujur/tidak jujur, ada
yang setia kawan/ tidak setia kawan, ada yang egois/tidak egois, ada yang
teliti/ceroboh, ada yang sombong/rendah diri, dll. Karena itu dengan kegiatan
mendaki gunung, kita akan bisa lebih mengenal karakter pribadi seseorang
yang sebenarnya.
Dengan mendaki gunung, paling tidak kita akan mampu mengetahui bahwa
kita hanyalah seperti seekor semut yang merayap lamban di tengah luasnya
hutan. Kita hanya mahluk biasa yang tak berdaya jika berada di alam bebas,
tidur di tanah, minum air mentah, berlindung dari dinginnya udara, tak
berdaya di tengah kabut atau tak berkutik jika tersesat dan kehabisan bekal.
Itulah kita, manusia yang sebenarnya, tak berdaya di tengah alam, apalagi
untuk melawannya. Lalu apalagi yang kita sombongkan, melawan alam saja
tidak berdaya apalagi melawan kekuasaan sang pencipta alam. Demikianlah
alam akan mengajarkan kepada kita ilmu tentang “ rendah diri dan tidak
sombong”.
Tak dapat dipungkiri, bahwa gunung adalah sumber ilmu pengetahuan. Para
peneliti yang gemar meneliti tentang gunung, akhirnya dapat menemukan dan
merumuskan beberapa ilmu-ilmu baru yang dapat berguna bagi manusia.
Seperti contohnya: Ilmu volcanologi, botani, zoologi, topografi, ilmu batuan,
ilmu lapisan tanah, ilmu obat-obatan, arkeologi dsb yang terlalu banyak untuk
disebutkan.
Cabang-cabang ilmu pengetahuan tersebut, tentu saja tak begitu saja muncul.
Melainkan melalui proses pencarian dan penemuan secara berkala oleh orang-
orang yang memang senang sekali menjelajah gunung-gunung, dan kegiatan
pencarian itulah yang sebenarnya disebut dengan ekspedisi. Jadi ekspedisi
bukan sekedar mendaki puncak-puncak gunung lalu pulang kembali tanpa
menghasilkan sesuatu. Jika ada kegiatan ekspedisi yang demikian, bisa disebut
hanya sekedar kegiatan melakukan hobi mendaki gunung. Bukan melakukan
ekspedisi.
2. Ilmu sosial
Selain itu, kita juga akan banyak belajar tentang masyarakat desa. Sebab
ketika kita melalui desa atau dusun terpencil tempat kita melakukan titik awal
pendakian, maka secara tak langsung kita akan belajar mengenal tentang
kebudayaan masyarakat baru yang kita temui disana. Baik bahasanya,
agamanya, sistem sosialnya, mata pencahariannya, ilmu pengetahuannya,
keseniannya, atau adat istiadatnya. Meskipun mungkin kita hanya singgah
beberapa hari saja di desa mereka, tapi sebenarnya secara tak langsung kita
telah mempelajari sedikit tentang masyarakat desa yang kita singgahi. Dengan
demikian, jika kita peka terhadap lingkungan masyarakat yang kita temui,
maka kita akan mudah bergaul dengan mereka dan begitu juga dengan mereka
akan lebih menghormati kedatangan kita.
Oleh karena itu, sangat disayangkan jika kita hanya sekedar melakukan
pendakian gunung tanpa memperhatikan lingkungan masyarakat desa yang
kita temui. Kita akan kehilangan beberapa ilmu yang sesungguhnya dapat
bermanfaat baik bagi kita sendiri ataupun bagi orang lain.
Lebih baik lagi jika kita akan mendaki gunung, sebelumnya juga mempelajari
tentang karakter masyarakat di desa tempat kita melakukan titik awal
pendakian. Meski terlihat sepele, tetapi sesungguhnya hal ini sangat penting
untuk diri kita sendiri. Karena itu jadilah pecinta alam yang gemar menulis
rencana dan catatan perjalanan.
3. Ilmu Filsafat
Mendaki gunung akan mendekatkan kita kepada alam, hal ini tentu bukan
rahasia lagi. Sama halnya dengan seorang pelaut yang mengatakan bahwa
‘dengan mengarungi lautan kita akan mengenal diri kita dan bisa lebih
menghormati alam’. Sebenarnya hampir sama antara pelaut, pendaki gunung,
penerbang atau bahkan astronot. Semakin kita menjelajahi alam maka kita
justru akan merasa dekat dengan alam, baik sebagai sahabat atau musuh
sekalipun. Jika kita merasakan kedekatan dengan alam dan mengenal alam
dengan baik, maka dengan sendirinya kita akan tahu siapakah sebenarnya kita
ini.
Jika kita sedang berada di tempat yang aman dan nyaman, berada di rumah,
gedung atau hotel dengan dikelilingi orang-orang terdekat kita. Mungkin kita
akan merasa sebagai manusia yang memang lebih unggul dari makhluk
lainnya. Tetapi jika sedang berada di tengah hutan yang gelap, dikelilingi
kabut dan udara yang menusuk tulang. Kita akan tahu bahwa kita hanyalah
makhluk yang paling lemah. Kita kalah jauh dengan tumbuhan dan hewan
yang mampu bertahan hidup di tengah hutan tanpa membawa bekal makanan
atau tenda untuk berlindung dari hujan dan dinginnya udara.
Dengan mendaki gunung, kita akan terbiasa merasakan betapa lemahnya diri
kita dan betapa dahsyatnya kekuatan sang alam. Apalagi penciptanya?
Apabila kita sampai di puncak-puncak gunung, kita akan melihat
pemandangan yang sangat menakjubkan. Di atas kita, ada langit yang seolah
begitu dekat dan luas. Di bawah kita, terhampar dataran yang dihuni oleh
berjuta-juta manusia dengan berbagai kesibukannya. Dan ternyata kita
hanyalah satu diantara berjuta-juta makhluk yang tinggal di bawah sana.
Semua tampak seperti debu yang bertebaran di padang yang luas. Apa lagi
yang bisa kita sombongkan?
SAJAK RIMBA
Sama halnya dengan saat kita bertamu atau mengunjungi suatu tempat, pasti
ada adab-adab dan pantangan-pantangan yang harus ditaati. Begitu pula
dengan mendaki gunung, sebagai seorang pendaki, ada hal-hal yang tidak
boleh kita lakukan.
Dan kita harus menaati pantangan tersebut, supaya aman selama mendaki,
baik untuk diri sendiri maupun orang lain. Berikut adalah 10 pantangan yang
harus ditaati saat mendaki gunung agar tidak terjadi hal yang tidak diinginkan.
Keadaan alam yang tidak menentu kadang menjadi hambatan saat mendaki.
Kita harus tahu kapan untuk berhenti atau bahkan kembali turun tanpa
mencapai puncak. Jangan sampai memaksakan ambisi ingin sampai puncak
tanpa memikirkan keselamatan diri dan orang lain.
Mengambil dan berniat memelihara hewan imut yang kita temui juga tidak
dibenarkan. Apalagi membunuh dan memburunya, hingga berdampak pada
ekosistem yang ada.
Selain untuk menghindari banjir banjir datang tiba-tiba, hal ini juga mencegah
kita dari hewan buas yang mencari minum saat malam hari. Gak mau, kan saat
terlelap tiba-tiba dikagetkan dengan sapaan hewan buas yang menakutkan?
Sampai saat ini, masih ada saja pendaki yang melanggar pantangan dan tetap
membuang sampah sembarangan. Mereka enggan membawa sampah yang
mereka hasilkan dan meninggalkannya begitu saja. Padahal selain membuat
pemandangan menjadi rusak, hal ini juga mengakibatkan gunung menjadi
tercemar.
Itulah 10 pantangan yang harus ditaati selama berada di gunung. Ditaati ya,
jadilah pendaki yang cerdas dan membanggakan.
PENUTUP
Jika dalam tulisan ini ada yng kurang tepat, saya pribadi mohon maaf yang
sebesar-besarnya, adapun kebenaran hanya milik ALLAH SWT semata.
Dan Saya sangat membutuhkan kritik, saran serta masukan-masukan yang
bertujuan menyempurnakan tulisan-tulisan diatas melalui email :
krt.priyohadinagoro66@gmail.com
KRAT. PRIYOHADINAGORO