Anda di halaman 1dari 5

BUSANA ADAT JAWA DAN MAKNANYA

October 18, 2016 / Nurul Listah

BUSANA ADAT JAWA DAN MAKNANYA

Surjan bagi orang Jawa merupakan salah satu model pakaian adat yang penuh filosofis kehidupan. Surjan
merupakan bubusana adat Jawa atau orang bilang busana kejawen penuh dengan piwulang sinandhi,
kaya akan suatu ajaran tersirat yang terkait dengan filosofi Jawa (Kejawen).

Ajaran dalam busana kejawen ini merupakan ajaran untuk melakukan segala sesuatu di dunia ini secara
harmoni yang berkaitan dengan aktifitas sehari hari, baik dalam hubungannya dengan sesama
manusia, dengan diri sendiri, maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa pencipta segala sesuatu dimuka
bumi ini. Dan khusus untuk pakaian adat pria ini kurang lebih terdiri dari Blangkon, Surjan/beskap, Keris,
Kain Jarik (Kain Samping), sabuk sindur dan canela/cemila/selop.

Penggunaan pakaian adat yang sekarang ini suah jarang dilakukan atau hanya sekedar dipakai pada saat
ada hajatan saja, berakibat pengetahuan tentang tata cara pemakaian pakaian adat menjadi semakin
minim. Terlebih lagi kebanyakan dari masyarakat sudah jarang yang memiliki sendiri seperangkat pakaian
adat.

Surjan

Surjan/surjan/ Jw. Adalah baju laki-laki khas Jawa berkerah tegak; berlengan panjang, terbuat dari
bahan lurik atau cita berkembang Kata surjan merupakan bentuk tembung garba (gabungan dua kata
atau lebih, diringkas menjadi dua suku kata saja) yaitu dari kata suraksa-janma (menjadi manusia). Surjan
menurut salah satu makalah yang diterbitkan oleh Tepas Dwarapura Keraton Yogyakarta berasal dari
istilah siro + jan yang berarti pelita atau yang memberi terang.

Dikatakan (pakaian) surjan berasal dari zaman Mataram Islam awal. Pakaian adat pria ini merupakan
pakaian adat model Yogyakarta walaupun konon katannya Surjan merupakan pakaian khas dari kerajaan
Mataram sebelum terpecah menjadi dua, Surakarta dan Yogyakarta. Surjan awalnya diciptakan oleh
Sunan Kalijaga yang diinspirasi oleh model pakaian pada waktu itu dan selanjutnya digunakan oleh
Mataram.

Pakaian surjan dapat disebut pakaian takwa, karena itu di dalam baju surjan terkandung makna-makna
filosofi, di antaranya: bagian leher baju surjan memiliki kancing 3 pasang (6 biji kancing) yang
kesemuanya itu menggambarkan rukun iman. Rukun iman tersebut adalah iman kepada Allah, iman
kepada malaikat, iman kepada kitab-kitab, iman kepada utusan Allah, iman kepada hari kiamat, iman
kepada takdir. Selain itu surjan juga memiliki dua buah kancing di bagian dada sebelah kiri dan kanan.
Hal itu adalah simbol dua kalimat syahadat yang berbunyi, Ashaduallaillahaillalah dan Waashaduanna
Muhammada rasulullah. Disamping itu surjan memiliki tiga buah kancing di dalam (bagian dada dekat
perut) yang letaknya tertutup (tidak kelihatan) dari luar yang menggambarkan tiga macam nafsu manusia
yang harus diredam/dikendalikan/ditutup. Nafsu-nafsu tersebut adalah nafsu bahimah (hewani), nafsu
lauwamah (nafsu makan dan minum), dan nafsu syaitoniah (nafsu setan). (K.R.T. Jatiningrat, 2008,
Rasukan Takwa lan Pranakan ing Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat, Yogyakarta: Tepas Dwarapura
Karaton Ngayogyakarta Hadiningrat.)

Jadi jenis pakaian atau baju ini bukan sekadar untuk fashion dan menutupi anggota tubuh supaya tidak
kedinginan dan kepanasan serta untuk kepantasan saja, namun di dalamnya memang terkandung makna
filosofi yang dalam.

Surjan sendiri terdapat dua jenis yaitu surjan lurik dan surjan Ontrokusuma, dikatakan Surjan lurik karena
bermotif garis-garis, sedangkan Surjan Ontrokusuma karena bermotif bunga (kusuma). Jenis dan motif
kain yang digunakan untuk membuat surjan tersebut bukan kain polos ataupun kain lurik buatan dalam
negeri saja, namun untuk surjan Ontrokusuma terbuat dari kain sutera bermotif hiasan berbagai macam
bunga.

Surjan ontrokusuma hanya khusus sebagai pakaian para bangsawan Mataram, sedangkan pakaian
seragam bagi aparat kerajaan hingga prajurit, surjan seragamnya menggunakan bahan kain lurik dalam
negeri, dengan motif lurik (garis-garis lurus). Untuk membedakan jenjang jabatan/kedudukan
pemakainya, ditandai atau dibedakan dari besar-kecilnya motif lurik, warna dasar kain lurik dan warna-
warni luriknya. Semakin besar luriknya berarti semakin tinggi jabatannya; atau semakin kecil luriknya
berarti semakin rendah jabatannya. Demikian pula warna dasar kain dan warna-warni luriknya akan
menunjukkan pangkat (derajat/martabat) sesuai gelar kebangsawanannya.

Pemakaian Surjan ini dikombinasikan dengan tutup kepala atau Blangkon dengan mondolan di
belakangnya. Dahulu pada jaman kerajaan mondolan ini difungsikan untuk menyimpan rambut pria yang
panjang biar kelihatan rapi.

Beskap

Beskap merupakan pakaian adat gaya Surakarta, bentuknya seperti jas didesain sendiri oleh orang
Belanda yang berasal dari kata beschaafd yang berarti civilized atau berkebudayaan. Warna yang lazim
dari beskap biasanya hitam, walaupun warna lain seperti putih atau coklat juga tidak jarang digunakan.
Selain beskap, ada lagi pakaian adat pria gaya Surakarta ini yaitu Atela. Perbedaan antara keduanya yang
mudah dilihat dari pemasangan kancing baju. Pada beskap, kancing baju terpasang di kanan dan kiri,
sementara pada atela, kancing baju terpasang di tengah dari kerah leher ke bawah.

Beskap adalah sejenis kemeja pria resmi dalam tradisi Jawa Mataraman untuk dikenakan pada acara-
acara resmi atau penting. Busana atasan ini diperkenalkan pada akhir abad ke-18 oleh kalangan kerajaan-
kerajaan di wilayah Vorstenlanden namun kemudian menyebar ke berbagai wilayah pengaruh
budayanya.

Beskap berbentuk kemeja tebal, tidak berkerah lipat, biasanya berwarna gelap, namun hampir selalu
polos. Bagian depan berbentuk tidak simetris, dengan pola kancing menyamping (tidak tegak lurus).
Tergantung jenisnya, terdapat perbedaan potongan pada bagian belakang, untuk mengantisipasi
keberadaan keris. Beskap selalu dikombinasi dengan jarik (kain panjang yang dibebatkan untuk menutup
kaki.
Beskap memiliki beberapa variasi yang berbeda potongannya. Berikut adalah jenis-jenis beskap: beskap
gaya Solo, beskap gaya Yogya, beskap landing dan beskap gaya kulon

Cara memakai Surjan atau Berkap

Seperti telah disampaikan di atas bahwa Surjan atau beskap merupakan salah satu busana pria adat Jawa
yang bersumber dari keraton Mataram. Cara memakainya harus dilakukan dengan tatacara yang memiliki
kaidah etika dan estitika tertentu. Susuhunan Pakubuwono IV, Raja Surakarta telah mengingatkan kita
dalam berpakaian, yaitu: Nyandhang panganggo iku dadekna sarana hambangun manungso njobo njero,
marmane pantesan panganggonira, trapna traping panganggon, cundhukana marang kahananing
badanira, wujud lan wernane jumbuhna kalawan dedeg pidegso miwah pakulitaniro

(Berpakaian seharusnya dijadikan sarana untuk membangun kepribadian manusia lahir dan bathin.
Maksudnya berpantaslah dalam berpakaian: berpakaianlah sesuai tempat dan keadaan, cocokkan antara
badan dengan pakaian yang dikenakan, antara situasi, warna dan model/corak pakaian, tinggi badan,
berat bada dan warna kulit)

Perlengkapan busana surjan atau beskap:

1. Nyamping / sinjang

2. Stagen

3. Sabuk

4. Epek lengkap timang dan lerep (anak timang)

5. Keris / duwung

6. Selop / canela

7. Blangkon / udheng / mit

1. Memakai Sinjang/Nyamping

Nyamping atau Sinjang sebelum dikenakan haruslah diwiru terlebih dahulu. Untuk nyamping busana
pria, lebar wiru berukuran 3 jari tangan. Hal lain yang perlu diperhatikan dalam mengenakan nyamping
adalah motif batik pada kain nyamping tersebut. Jika nyamping memiliki motif gurda, posisi kepala
burung haruslah berada di atas. Ada juga motif yang memakai simbol/bentuk seperti candi atau rumah,
maka posisi atap haruslah berada di atas. Saat mengenakan nyamping, posisi wiru berada di tengah
tubuh memanjang ke bawah. Tangan kanan memegang wiru dan tangan kiri memegang ujung kain
satunya (biasa disebut pengasih). Pengasih ini dililitkan ke kanan hingga belakang paha kanan. Kemudian
ujung wiru dililitkan ke arah kiri hingga pas di tengah tubuh. Usahakan bagian bawah tingginya sama dan
cukup menutupi bagian kemiri kaki (bagian belang kaki yang menonjol). Setelah dirasa cukup sesuai
maka nyamping harus diikat oleh stagen.

1. Memakai Stagen
Stagen dililitkan dari arah kiri ke kanan mulai dari bawah melingkar ke arah atas. Jika stagen milik anda
terlalu panjang, anda dapat meneruskan melilitkan stagen kembali ke arah bawah. Jika sudah cukup,
ujung stagen ditekuk dan diselipkan pada bagian bawah lilitan stagen untuk mengunci lilitan tersebut.
Selanjutnya untuk menutupi stagen, kenakanlah sabuk.

1. Memakai Sabuk

Cara memakai sabuk mirip dengan cara mengenakan stagen yaitu dililitkan berulang kali pada bagian
bawah dada hingga ke pinggang. Hanya saja sabuk dililitkan dari arah kanan ke kiri mulai dari atas ke arah
bawah. Yang perlu diperhatikan pada pemakain sabuk adalah jarak sap (garis atas yang satu dengan
berikutnya kurang lebih 2 jari tangan. Ujung dari sabuk harus berakhir pada bagian kiri depan dan dapat
dikunci dengan peniti.

1. Memakai Epek

Bentuk epek mirip dengan ikat pinggang. Epek memiliki bagian pengunci yang disebut timang dan bagian
lerep (anak timang). Cara mengenakan epek yaitu timang berada pada posisi tengah lurus dengan wiru
nyamping. Sementara lerep pada posisi sebelah kiri. Jika memiliki epek yang panjang maka bagian ujung
dapat dilipat dan dimasukkan ke bagian lerep. Epek harus terpasang pada lilitan sabuk bagian bawah,
kira-kira 2 jari dari garis bawah sabuk.

Warna sabuk dan epek ada beberapa macam sesuai dengan keperluan. Contohnya :

1. Sabuk berwarna ungu dengan epek berwarna hijau artinya Wredha Ginugah yang dapat membangun
suasana tenteram.

2. Sabuk berwarna hijau atau biru dengan epek berwarna merah artinya Satriya Mangsah yang dapat
membangun jiwa terampil dan berwibawa.

3. Sabuk berwarna Sindur (merah bercampur putih) digunakan pada saat hajatan penganten. Warna ini
dipakai bagi yang memiliki hajatan (hamengku damel). Sementara untuk besan tidak ada aturan yang
pasti. Hanya saja pada saat jaman penjajahan Jepang, pernah ada paguyuban yang menentukan warna
sabuk Pandhan Binethot (warna hijau dan kuning) bagi besan.

1. Memakai Keris/Duwung

Keris atau duwung dikenakan pada bagian belakang busana. Keris diselipkan pada sabuk, tepatnya pada
sap ke tiga dari bagian bawah sabuk. Posisi arah dan kemiringan seperti pada foto di sebelah ini.

Cara mengenakan keris/dhuwung ada beberapa macam sesuai dengan keperluannya:

1. Ogleng : seperti pada gambar di samping digunakan pada saat biasa atau pahargyan (upacara adat)
penganten.

2. Dederan /andhoran : digunakan pada saat menghadap pimpinannya.

3. Kewal : digunakan oleh prajurit saat situasi bersiaga.


4. Sungkeman : digunakan saat menghantarkan jenazah.

5. Angga : digunakan oleh pemimpin barisan

6. Sikep

7. Brongsong : keris dipegang dengan dibungkus sehingga tidak terlihat oleh orang lain.

Untuk jenis keris ada banyak sekali macamnya, hanya saja yang banyak dikenal oleh awam jenis Ladrang
dan Gayaman. Dhuwung ladrang adalah keris resmi yang digunakan dalam upacara ataupun pahargyan
(upacara penganten). Sementara jenis gayaman digunakan sehari-hari oleh prajurit keraton.

1. Memakai Selop

Selop dikenakan sebagai alas kaki. Yang perlu diperhatikan pada pemakaian selop adalah ukuran dari
selop itu. Jangan mengenakan selop yang lebih besar dari ukuran kaki tapi pilihlah selop yang lebih kecil.
Ini bertujuan untuk menghindari agar langkah kita tidak terbelit pada kain nyamping.

1. Memakai Blangkon/Udeng/Mid

Pada bagian depan blangkon terdapat segitiga. Ujung segitiga tersebut harus berada ditengah-tengah
kening. Blangkon jangan dikenakan terlalu mendongak ataupun menunduk.

Ada satu hal yang perlu diingat saat mengenakan busana adat, yaitu bahwa sepintas orang dapat
mengenali kepribadian seseorang dari busananya baik warnanya maupun jenis busananya, cara
memakainya dan bertingkah laku saat mengenakannya.

Sumber:

1. http://kbbi.web.id/surjan

2. http://www.kompasiana.com/elhasani_enha/surjan-dan-beskap_552af6e4f17e617a5ad623b7

3. http://tembi.net/yogyakarta-yogyamu/makna-baju-surjan-dan-pranakan-1

4. http://bungblangkon.blogspot.co.id/2010/11/memakai-beskap-atau-atela.html

Anda mungkin juga menyukai