Anda di halaman 1dari 17

Busana Jawa dan Perlambangnya

SUNTING

SHARE

Busana adat Jawa biasa disebut dengan busana kejawen yang mempunyai perumpamaan atau pralambang tertentu terutama bagi orang Jawa yang mengenakannya. Busana Jawa penuh dengan
piwulang sinandhi, kaya akan suatu ajaran tersirat yang terkait dengan filosofi Jawa. Ajaran dalam busana kejawen ini merupakan ajaran untuk melakukan segala sesuatu didunia ini secara
harmoni yang berkaitan dengan aktifitas sehari – hari, baik dalam hubungannya dengan sesame manusia, dengan diri sendiri, maupun dengan Tuhan Yang Maha Kuasa pencipta segala sesuatu
dimuka bumi ini. Busana Kejawen yang akan dijelaskan dibawah ini terdiri dari busana atau pakaian yang dikenakan pada bagian atas tubuh, seperti iket, udheng;bagian tubuh seperti rasukan
atau bisa disebut dengan baju, jarik, sabuk, epek,timang,bagian belakang tubuh yakni keris, dan bagian bawah kaki yaitu candela.

1. Iket

Iket adalah tali kepala yang dibentuk sedemikian rupa sehingga berbentuk penutup kepala.

Cara mengenakan iket harus kenceng, kuat supaya ikatannya tidak mudah terlepas. Bagi orang Jawa arti iket adalah agar manusia memiliki pamikir atau pemikiran yang kencang, tidak mudah
terombang – ambing hanya karena factor situasi atau orang lain tanpa pertimbangan yang matang

2. Udheng

Udheng dikenakan pada bagian kepala dengan cara mengenakan seperti mengenakan topi. Bila sudah dikenakan diatas kepala, iket menjadi sulit dibedakan dengan udheng karena ujudnya sama.
Udheng berasal dari kata mudheng artinya mengerti dengan jelas. Maknanya manusia akan memiliki pemikiran yang kukuh bila sudah mudheng atau memahami tujuan hidupnya. Manusia
memiliki fitrah untuk senantiasa mencari kesejatian hidup sebagai sangkan paraning dumadi. Makna lain dari udheng ini adalah agar manusia memiliki keahlian / ketrampilan serta dapat
menjalankan pekerjaannya dengan pemahaman yang memadai karena memiliki dasar pengetahuan.

3. Rasukan

Sebagai ciptaan Yang Maha Kuasa, hendaklah manusia ngrasuk atau menganut sebuah jalan atau agama dengan kesadaran penuh menyembah Tuhan Yang Maha Esa.

4. Benik

Busana Jawa seperti beskap selalu dilengkapi dengan benik ( kancing ) disebelah kiri & kanan. Lambing dari benik itu adalah bahwa manusia dalam melakukan tindakannya dalam segala hal
selalu diniknik; artinya diperhitungkan dengan cermat. Apapun yang dilakukan janganlah sampai merugikan orang lain, dapat menjaga antara kepentingan pribadi dan kepentingan umum.

5. Sabuk

Sabuk digunakan dengan cara melingkarkan di badan atau lebih tepatnya dipinggang. Sa-buk artinya hanya impas saja, ngga untung & ngga rugi. Makna sabuk adalah agar manusia
menggunakan badannya untuk bekerja sungguh – sungguh, jangan sampai pekerjaannya tidak menghasilkan atau tidak menguntungkan ( buk ).

6. Epek

Persamaan Epek adalah apek; golek; mencari. Artinya dalam hidup ini, kita harus memanfaatkannya dengan mencari ilmu pengetahuan yang berguna

7. Timang

Timang adalah pralambang bahwa ilmu yang ditempuh harus dipahami dengan jelas & gamblang, agar tidak gamang atau menimbulkan rasa kuatir. (samang – samang; berasal dari kata timang )

8. Jarik

Jarik adalah kain panjang yang dikenakan untuk menutupi tubuh sepanjang kaki. Jarik artinya aja serik. Jangan mudah iri terhadap orang lain, karena iri hati hanya akan menimbulkan rasa
emosional, grusa – grusu dalam menanggapi segala masalah.

9. Wiru

Mengenakan jarik atau kain selalu dengan cara mewiru ujungnya sedemikian rupa. Wiru atau wiron bisa terjadi dengan cara melipat – lipat ujung jari sehingga berwujud wiru. Wiru artinya
wiwiren aja nganti kleru. Olahlah segala hal sedemikian rupa sehingga menumbuhkan rasa menyenangkan dan harmonis, jangan sampai menimbulkan kekeliruan dan disharmoni.

10. Bebed

Bebed adalah kain atau jarik yang dikenakan laki – laki. Bebed artinya manusia harus ubed yakni tekun & rajin dalam bekerja mencari rezeki.
11. Canela

Canela dijabarkan dari canthelna jroning nala, atau peganglah kuat di dalam hatimu. Canela sama dengan selop,cripu atau sandal. Canela dikenakan di kaki dengan maksud agar kita selalu
menyembah lahir & batin, hanya di kaki-Nya

12. Curiga & Rangka

Curiga atau keris berujud wilahan, bilahan dan terdapat didalam warangka atau wadahnya. Curiga dan warangka adalah pralambang bahwa manusia sebagai ciptaan menyembah Tuhan sebagai
penciptanya dalam sebuah hubungan kawula jumbuhing Gusti. Curiga ditempatkan di belakang artinya dalam menyembah yang Maha Kuasa hendaknya manusia bisa ngungkurake godhaning
Syetan yang senantiasa mengganggu manusia ketika akan bertindak kebaikan

Sumber : Purwadi. 2005. Ensiklopedi Kebudayaan Jawa. Jogjakarta : Bina media

Sumber : http://njowo.multiply.com/journal/item/173

Pakaian Adat Jawa Tengah Lengkap, Gambar dan Penjelasannya - Masyarakat Jawa mengenal bermacam-macam pakaian adat. Akan
tetapi, yang dijadikan simbol (identitas) pakaian adat Jawa Tengah adalah pakaian adat Surakarta. Pakaian adat Jawa Tengah ( Surakarta)
dikelompokkan menjadi dua, yaitu pakaian untuk kerabat keraton (bangsawan)dan rakyat biasa. Pakaian adat keraton dibedakan menjadi dua jenis,
yaitu pakaian untuk pria dan pakaian untuk wanita.

Pakaian Adat Pria (Jawi Jangkep)


Berdasarkan keperluannya, pakaian adat Jawi Jangkep dibedakan menjadi dua jenis, yaitu pakaian harian dan pakaian bukan harian. Pakaian harian
(padintenan) berwarna bukan hitam, sedangkan pakaian bukan harian (sanes padintenan) berwarna selalu hitam yang digunakan untuk
upacara adat. Adapun kelengkapan pakaian Jawi Jangkep, meliputi destar (ikat belangkon) dan kuluk, rasukan krowok; artinya berlubang di
belakang sebagai tempat keris, sabuk (stagen), epek, timang, dan lerep (semacam ikat pinggang), nyamping (kain), wangkingan atau
keris, serta lambaran suku atau selop.
Sumber : Selayang Pandang Jawa Tengah : Giyarto

Pakaian Adat Wanita


Pakaian kaum perempuan adat keraton Surakarta merupakan pakaian tradisional Jawa yang mencerminkan putri keraton. Istilah putri keraton ini
mengisyaratkan adanya makna keibuan, keanggunan, kelembutan, kesopanan dan sejenisnya. Kelengkapan pakaian putri Keraton Surakarta ,
meliputi ungkel atau sanggul, kebaya, semekan, setagen, januran, dan slepe mirip epek, dan timang (pakaian pria), serta kain panjang
(sinjang dan dhodhotan) atau nyamping. Kelengkapan pakaian tersebut pemakaiannya disesuaikan dengan umur, kepangkatan dan
keperluannya. Sehubungan dengan hal tersebut di Keraton Surakarta dikenal adanya jenis atau model busana putri.

Pakaian keseharian rakyat biasa dibedakan menjadi dua, yaitu yang dikenakan oleh kaum pria dan kaum wanita. Kaum pria sehari-hari memakai
pakaian yang terdiri atas celana kolor berwarna hitam, baju lengan panjang, ikat pinggang besar ( timang), ikat kepala, dan kain sarung. Kain sarung

biasanya dikenakan pada waktu sore hari. Kaum wanita sehari-hari memakai tapih pinjung, setagen, kemben, dan rambut digelung (disanggul)
Sumber : Various sources from Search Google Image Indonesia.

Pakaian adat yang digunakan untuk upacara perkawinan terdiri atas pakaian pengantin pria dan pakaian pengantin wanita. Pengantin pria
memakai pantalon merah dengan pola alas-alasan. Kelengkapan lainnya yaitu ikat pinggang lebar, gasper berbentuk biji jagung, kalung ulur, kuluk
mathak, dan selop. Pengantin wanita memakai pakaian berwarna merah dengan bagian luar mengenakan dodot berpola alas-alasan. Kelengkapan
lainnya berupa konde berbentuk mangkuk terbalik dengan krukup, hiasan kembang melati berbentuk biji ketimun, cunduk mentul, gelang, cincin,
borokan, beberapa untuaian kembang melati dan selop.

Demikian ulasan tentang "Pakaian Adat Jawa Tengah Lengkap, Gambar dan Penjelasannya" yang dapat kami sampaikan. Artikel ini dikutip dari
buku "Selayang Pandang Jawa Tengah : Giyarto". Baca juga artikel kebudayaan Indonesia menarik lainnya di situs SeniBudayaku.com.
Selamat malam Agan dan Sista semua, kali ini ane akan membahas beberapa motif Batik Jawa Tengah dan Filosofinya.

Batik kini menjadi sebuah ikon baru dalam dunia Fashion tanah air, terutama setelah diakuinya Batik oleh UNESCO sebagai salah satu warisan
budaya yang perlu dilestarikan.
Dampak dari pengakuan tersebut sungguh luar biasa. Kini Batik bukan hanya busana untuk acara formal, banyak yang memakai Batik sebagai
busana casual, terutama untuk Batik bermotif kontemporer.
Tapi, sebagai bangsa yang mewarisi Batik dari nenek moyang, tidak ada salahnya untuk mengenal motif-motif Batik Tradisional (Jawa Tengah)
beserta filosofi-filosofi yang terkandung di dalamnya. Sesungguhnya, makna dari selembar kain Batik tersebut lebih berharga daripada busana
yang terbuat dari kain Batik karena merupakan identitas asli bangsa Indonesia.

Berikut beberapa motif batik beserta filosofinya:

Motif Batik Truntum

Zat Pewarna: Soga Alam


Kegunaan : Dipakai saat pernikahan
Ciri Khas : Kerokan
Makna Filosofi : Truntum artinya menuntun, diharapkan orang tua bisa menuntun calon pengantin.
Daerah: Jogja

Motif Batik Tambal

Zat Pewarna: Soga Alam


Digunakan : Sebagai Kain Panjang
Unsur Motif : Ceplok, Parang, Meru dll
Ciri Khas : Kerokan
Makna Filosofi : Ada kepercayaan bila orang sakit menggunakan kain ini sebagai selimut, sakitnya cepat sembuh, karena tambal artinya
menambah semangat baru
Daerah: Jogja

Motif Batik Pamiluto


Zat Warna : Soga Alam
Kegunaan : Sebagai kain panjang saat pertunangan
Unsur Motif : Parang, Ceplok, Truntum dan lainnya
Filosofi : Pamiluto berasal dari kata “pulut”, berarti perekat, dalam bahasa Jawa bisa artinya kepilut [tertarik].
Daerah: Jogja

Motif Bledak Sidoluhur

Kegunaan : Upacara Mitoni ( Upacara Masa 7 Bulan bagi Pengantin Putri saat hamil pertama kali)
Filosofi : Yang menggunakan selalu dalam keadaan gembira.

Daerah: Jogja

Motif Sido Wirasat


Nama motif : Sido Wirasat
Daerah :
Jenis Batik :
Dikenakan : Orang tua temanten
Makna : Orang tua memberi nasehat

Motif Wahyu Tumurun

Nama motif : Wahyu Tumurun


Daerah : Pura Mangkunegaran
Jenis Batik : Batik Kraton

Motif Cakar Ayam

Kegunaan : Upacara Mitoni, Untuk Orang Tua Pengantin pada saat Upacara Tarub, siraman.
Filosofi : Cakar ayam melambangkan agar setelah berumah tangga sampai keturunannya nanti dapat mencari nafkah sendiri atau hidup
mandiri.

Motif Cuwiri
Kegunaan : Mitoni, menggendong bayi
Filosofi : Cuwiri= bersifat kecil-kecil, Pemakai kelihatan pantas/ harmonis.

Motif Grageh Waluh

Kegunaan : Harian (bebas)


Filosofi : Orang yang memakai akan selalu mempunyai cita-cita atau tujuan tentang sesuatu.

Motif Grompol

Kegunaan : Dipakai oleh Ibu mempelai puteri pada saat siraman


Filosofi : Grompol, berarti berkumpul atau bersatu, dengan memakai kain ini diharapkan berkumpulnya segala sesuatu yang baik-baik, seperti
rezeki, keturunan, kebahagiaan hidup, dll.

Motif Kasatrian
Kegunaan : Dipakai pengiring waktu upacara kirab pengantin
Filosofi : Si pemakai agar kelihatan gagah dan memiliki sifat ksatria.

Motif Kawung Picis

Kegunaan : Dikenakan di kalangan kerajaan


Filosofi : Motif ini melambangkan harapan agar manusia selalu ingat akan asal-usulnya, juga melambangkan empat penjuru dan
melambangkan bahwa hati nurani sebagai pusat pengendali nafsu-nafsu yang ada pada diri manusia sehingga ada keseimbangan dalam
perilaku kehidupan manusia.

Motif Mega Mendung


Filosofi: Dalam faham Taoisme, bentuk awan melambangkan dunia atas atau dunia luas, bebas dan mempunyai makna transidental
(Ketuhanan).
Daerah: Cirebon

Motif Bango Tulak ( Bangun Tulak)

Filosofi: Bango-tulak diambil dari nama seekor burung yang mempunyai warna hitam dan putih yaitu tulak. Warna hitam diartikan sebagai
lambang kekal (Jawa: langgeng), sedang warna putih sebagai lambang hidup (sinar kehidupan), dengan demikian hitam-putih melambangkan
hidup kekal.
Daerah ; Yogyakarta

Motif Gurda
(Garuda)

Filosofi: Kata gurda berasal dari kata garuda, yaitu nama sejenis burung besar yang menurut pandangan hidup orang Jawa khususnya
Yogyakarta mempunyai kedudukan yang sangat penting. Menurut orang Yogyakarta burung ini dianggap sebagai binatang yang suci.
Daerah: Yogyakarta

Motif Meru
Filosofi: Meru berasal dari kata Mahameru, yaitu nama sebuah gunung yang dianggap sakral karena menjadi tempat tinggal atau singgasana
bagi Tri Murti yaitu Sang Hyang Wisnu, Sang Hyang Brahma dan Sang Hyang Siwa. Sebagai simbol harapan agar mendapatkan berkah dari Tri
Murti.

Motif Parang curigo Ceplok kepet

Kegunaan : Berbusana, menghadiri pesta


Filosofi : Curigo = keris, kepet = isis
Si pemakai memiliki kecerdasan, kewibawaan serta ketenangan.

Motif Parang Kusumo


Kegunaan : Berbusana pria dan wanita
Filosofi : Parang Kusumo = Bangsawan
Mangkoro = Mahkota
Pemakai mendapatkan kedudukan, keluhuran dan dijauhkan dari marabahaya.

Motif Kawung

Zat Pewarna: Naphtol


Kegunaan : Sebagai Kain Panjang
Unsur Motif : Geometris
Makna Filosofi : Biasa dipakai raja dan keluarganya sebagai lambang keperkasaan
Daerah: Yogyakarta

Motif Sidoluhur

Daerah : Kraton Surakarta


Jenis Batik : Batik Kraton
Dikenakan : Temanten Putri (malam pengantin)
Makna : Dua jiwa menjadi satu

UKEL TEKUK
1. Pengertian
Sanggul Ukel Tekuk dalah sanggul yang digunakan oleh masyarakat dalam lingkungan
keraton Ngayogyadiningrat, dimulai dari permaisuri, selir, putri-putri raja dan para inang
pengasuh (emban).yang menjadi pembeda dalam penggunaannya adalah ragam accessories serta
pakaian yang dikenakan. Kaum wanita yang menggunakan sanggul ini menandakan bahwa ia
telah lepas dari dunia anak-anak dan mulai menginjak masa dewasa. Hal ini juga berlambang
bahwa gadis itu bagaikan bunga yang sedang mekar dan harum semerbak. Seorang gadis dewasa
harus sanggup memikul tugas dan tanggung jawabnya dan dianggap telah layak menjadi seorang
ibu rumah tangga.
Cara penggunaannya disesuaikan dengan usia dan keperluan. Perbedaan ini terlihat dari
kelengkapan perhiasan dan pakaian yang dikenakan, antara lain sebagai berikut:
a) Putri remaja
Putri yang berusia 11-15 tahun (sesudah haid) akan menggunakan:
 Memakai ukel tekuk dengan hiasan peniti ceplok ditengah dan peniti renteng di kanan dan kiri
sanggul.
 Memakai kain garis miring dengan model tanpa baju (pinjung kencong). Sanggul dipakai waktu
menhadap raja pada hari ulang tahun raja (wiosan).
b) Putri dewasa
 Memakai ukel tekuk dengan hiasan sebagaimana pada putrid remaja.
 Memakai kain dengan semekan.
 Memakai kebaya pendek tanpa bef.
 Memakainya sebagai pakaian sehari-hari dalam keraton.
 Memakai kain seredan. Putri yang sudah menikah.
 Memakai ukel tekuk dengan hiasan pethat emas dan bunga ceplok jebehan.
 Memakai kain batik wiron.
 Memakai kebaya beludru/sutra panjang dengan pelisir pita emas dan memakai peniti susun tiga.
 Sanggul ini dipakai pengiring raja ketika menghadiri resepsi diluar keraton.
c) Inang pengasuh
 Memakai ukel tekuk tanpa hiasan.
 Memakai kain batik tanpa wiron dan memakai semekan.
 Tidak memakai baju.
 Memakai sampir barong dan wedung atau paturon barong.
2. Makna sanggul
Dalam uraian terdahulu telah dijelaskan penggunaan sanggul menurut umur dan keperluan.
Kaum wanita yang memakai sanggul sekarang menandakan bahwa ia telah lepas dari dunia
remaja dan mulai menginjak masa kedewasaannya. Hal ini juga merupakan perlambang bahwa
gadis itu bagaikan bunga yang sedang mekar dan harum semerbak. Seorang gadis dewasa harus
sanggup memikul tugas dan tanggung jawabnya yang berarti ia sudah layak menjadi ibu rumah
tangga.
3. Aksesoris
 Bentuk aksesoris untuk putri remaja adalah:
1.Mengenakan Peniti Ceplok di tengah sanggul, serta peniti
pada bagian sisi kiri dan kanan rambut.
2. Mengenakan kain garis miring dengan model tanpa baju
3. Sanggul ini dikenakan di hari ulang tahun raja (wiosan)
 Bentuk aksesoris untuk putri dewasa (gadis) adalah :
1.Mengenakan Peniti Ceplok di tengah sanggul, serta peniti
renteng pada bagian sisi kiri dan kanan rambut.
2.Menggenakan kain dengan semekan, mengenakan kebaya
tanpa bef.
3. Dipakai sehari-hari.
 Bentuk aksesoris untuk putri dewasa yang telah menikah adalah :
1.Ukel tekuk dengan hiasan pethat emas dan bunga ceplok jebehan
2.Mengenakan kain batik wiron seredan, memakai kebaya beludru
atau sutra panjang dengan pelisir pita emas dan memakai peniti
susun emas
3. Sanggul ini dikenakan pada saat mengiringi raja ketika
menghadiri resepsi diluar keraton.
 Untuk inang pengasuh adalah :
1. Memakai ukel tanpa hiasan.
2. Memakai kain batik tanpa wiron dan memakai semekan, tidak
mengenakan baju, mengenakan sampir barong dan wedung atau
paturon barong.
Aksesoris yang lebih umum digunakan adalah menggunakan Ceplok Jebehan yang terdiri
dari:
1. Ceplok, digunakan pada tengah sanggul bagian atas
2. Dua tangkai Bunga Jebehan yang menjuntai kebawah, dipasang pada bagian kiri dan kanan
sanggul.
3. Pethat bentuk Gunung, dipasangkan pada bagian atas sanggul (diantara sanggul dang sunggaran)
4. Peralatan yang digunakan
a) Sisir (sisir yang salah satu ujungnya melengkung untuk keperluan membuat sunggar).
b) Minyak rambut.
c) Cemara 100-125 cm.
d) Jepitan dan harnal
e) Hairnet yang terbuat dari bahan nilon.
f) Karet pengikat rambut.
5. Cara membentuk sunggaran
a) Rambut pada kedua sisi (diatas telinga) disisir kearah atas dan tengah. Setelah rapi rambut diikat
menjadi satu dibagian tengah belakang kepala.
b) Setelah rambut diikat, sedikit dilonggarkan pada kedua sisi untuk mendapatkan bentuk sunggar
yang dimaksud. Bantuan ibu jari dan keempat jari yang lain menjepit rambut pada rambut
dikedua sisi dilakukan, dengan menarik keluar sedikit, tanpa dipaksakan.
6. Cara membuat sanggul
a) Ikatan rambut yang sudah disatukan mulai dibentuk menjadi sanggul.
b) Pertama kali adalah pembuatan lingkaran pertama pada sebelah kiri.
c) Arah rambut menjuntai ke bawah, tepat pada garis pertumbuhan rambut, arahkan rambut ke
bagian atas, membuat setengah lingkaran, menuju ikatan rambut.
d) Sampai pada gerakan ini sudah terlihat satu buah lingkaran pada sebelah kiri.
e) Posisikan rambut untuk membuat lingkaran sebelah kanan dengan cara membawa rambut
tersebut ke batas pertumbuhan rambut disebelah kanan.
f) Arahkan ujung rambut ke bagian tengah sanggul ke arah kanan, lalu menuju ke atas, ke tempat
ikatan rambut. Ujung rambut diikatkan pada pangkal ikatan dan dikencangkan dengan
menggunakan jepit rambut.
g) Bagian lingkaran kedua dibalik arahnya, sehingga posisi bagian atas sanggul menjadi satu.
h) Ambil lungsen yang sudah dipersiapkan untuk diikatkan tepat ditengah sanggul sebagai penguat
sanggul.
Tampak depan.
Tampak samping
Tampak belakang
Sanggul daerah Jawa Tengah (Ukel Konde)
1. Asal-usul dan sejarah sanggul
Sanggul tradisional ukel konde ini sudah umum dipakai oleh para gadis dan orang
dewasa. Pada zaman dahulu bentuk sanggul ini kecil dan tempatnya agak di atas kepala. Rambut
kaum wanita pada zaman dahulu selalu panjang dan pada waktu mereka akan pergi mandi atau
berpergian rambutnya selalut dikonde. Letaknya disebelah atas atau bagian puncak kepala dan
bentuknya kecil bulat menonjol.
Pada zaman Pakubuwono X, hampir semua segi kebudayaan mencapai titik
kesempurnaan, termasuk seni tata rias rambut. Oleh karena itu, bentuk sanggul tradisional ini
pun semakin disempurnakan sehingga bentuknya ada yang lebih besar, berbentuk bulat telur
(lonjong), atau gepeng (pipih). Tempatnya tidak lagi dibagian atas kepala, tetapi agak ke bawah
dan dilengkapi dengan sunggar pada kanan dan kiri kepala di atas telinga, supaya kelihatan lebih
luwes.
2. Macam-macam sanggul
a) Ukel Ageng Bangun Tulak
Sanggul resmi atau sanggul kebesaran ini bentuknya memanjang seperti kupu-kupu
tarung. Menurut kepercayaan suku Jawa, kupu-kupu yang hinggap dirambut, terutama kupu-
kupu kuning, merupakan perlambang bahwa rezeki dan kebahagiaan akan datang. Untuk itu cara
penggunaan sanggul:
 Bagi putra-putri remaja, ukel ageng dipakai dengan pandan.
 Bagi umum, ukel ageng dipakai dengan pandan dan dicampur dengan bunga mawar serta kenanga.
 Bagi putra-putri yang sudah bersuami, ukel ageng dipakai dengan bunga mawar tulak melati.
Ukel Ageng Bangun Tulak cocok dipakai sehari-hari, pada situasi resmi, dan pada dodotan
kebesaran.
b) Sanggul Bokor Mengkurep
Sanggul ini berbentuk bokor yang menelungkup dan biasanya dipakai oleh pengantin.

c) Ukel konde
Sanggul ini termasuk sanggul yang sering dipakai acara resmi di Indonesia sekarang. Ukel ageng
ini merupakan sanggul tradisional yang tetap digemari sampai sekarang.
3. Cara membentuk sanggul
Sanggul tradisional ini memerlukan rambut yang panjang dan untuk rambut yang tidak
panjang memerlukan cemara. Agar sanggul berhasil dengan baik maka peralatan yang diperlukan
adalah:
a. Sisir
b. Minyak rambut
c. Jepitan dan harnal
d. Hairnet yang terbuat dari bahan nilon
e. Karet pengikat rambut.
Sebelum sanggul dibentuk, rambut harus diberi minyak agar mudah diatur. Pada waktu
membuat sunggar, pertama-tama rambut yang berada di kanan-kiri kepala (diatas telinga)
dinaikkan keatas kemudian dijepit. Rambut yang telah dinaikkan di kanan-kiri kepala itu ditarik
dengan ibu jari atau dengan sisir lengkung hingga rambut berbentuk lengkung atau berupa
sunggar.
Selanjutnya, rambut dsisir kebelakang dan disatukan dengan cara mengikatnya dengan
karet dan tingginya 5 jari tangan kita (diukur dari guide line). Kemudian, cemara diikatkan pada
rambut yang telah diikat dengan karet itu (letak rambut di atas cemara). Rambut dan cemara
disisir rapi, diberi minyak rambut dan agak dipelintir sampai kira-kira tiga perempat dari panjang
cemara. Dengan tangan kiri, di bentuk lingkaran pada tempat ujung rambut itu diputarkan, agar
karet itu tertutup. Lingkaran yang ditangan kiri digeser ketengah hingga membentuk ukel konde
yang diinginkan.
4. Hiasan sanggul
a. Ukel konde mempunyai 2 hiasan tusuk konde yang terbuat dari kulit penyu. Tusuk konde itu
diletakkan pada kanan kiri sanggul. Di tengah-tengah sanggul bagian atas itu diletakkan hiasan
penetep (tusuk kecil).
Pada sanggul orang dewasa kalangan bangsawan dapat dipakai cunduk bunga hidup, biasanya
berupa bunga melati, di atas sanggul sebelah kiri. Cunduk yang diletakkan di atas sanggul
sebelah kanan, biasanya dipakai oleh penari atau pesinden. Pada sanggul wanita yang masih
gadis tidak boleh dipakai cunduk bunga hidup.
b. Ukel konde selalu dipakai atau diserasikan dengan kebaya pendek, kain wiron dan selendang
juga dipakai pemanis penampilan keseluruhan.
Tampak depan
Tampak samping
Tampak belakang

Diposting oleh wanda .fauzi di 19.44


Kirimkan Ini lewat EmailBlogThis!Berbagi ke TwitterBerbagi ke FacebookBagikan ke Pinterest

Bagaimana Cara Membuat Jarik Wiru

Kain wiron adalah kain batik yang salah satu ujungnya di wiru atau dilipat-lipat seperti kipas. Biasanya
dipakai sebagai setelan dari kebaya. Walaupun juga bisa dipakai tanpa kebaya, tapi hanya dengan
kemben. Kalau kita perhatikan kain jarik pada busana adat Jawa, biasanya ada lipatan-lipatan di bagian
depan kain. Nah, lipatan itu disebut wiru dan harus ada setiap kita memakai jarik untuk busana adat
Jawa. Memang, saat ini sudah banyak jarik instan yang sudah diwiru dan siap pakai. Tapi bagaimana
kalau kita hanya punya jarik biasa dan bingung bagaimana mewirunya? Wiru bisa dibedakan menjadi
gaya Solo dan Jogja. Pada gaya Solo, pinggiran kain jarik yang biasanya berwarna putih nggak
diperlihatkan atau dilipat ke dalam, sedangkan pada wiru gaya Jogja diperlihatkan. Setelah itu, cara
mewirunya sama.

Untuk wiru gaya Solo, pertama-tama lipat bagian pinggir kain ke dalam sebanyak dua kali agar bagian
pinggir kain tersembunyi. Untuk gaya Jogja, lipat sebanyak satu kali saja. Lebarnya kira-kira 3 jari untuk
laki-laki dan 2 jari untuk perempuan.

Lipat kain ke arah sebaliknya selebar lipatan pertama tadi, kemudian ke arah sebaliknya lagi, dan
seterusnya, seperti cara membentuk lipatan pada kipas. Untuk jumlah lipatannya biasanya ganjil, mulai
dari 3, 5, 7, 9, dan seterusnya. Semakin banyak wirunya, semakin indah ketika dipakai.

Bagi yang belum biasa mewiru, memang agak sulit saat melipat karena lipatan kain belum ‘mati’ jadi kain
cenderung susah diatur. Orang Jawa biasanya menggunakan teknik meremas seperti gambar di bawah ini
untuk ‘mematikan’ lipatan. Teknik meremas ini dilakukan di setiap lipatan, jadi memang semakin banyak
wirunya, proses mewiru jadi semakin lama.

Setelah selesai, jepit wiron dengan paper clip agar nggak lepas.

Wiru berjumlah ganjil 3, 5, 7, 9 dan seterusnya. Lebar wiru untuk perempuan adalah sekitar 2 cm.
Semakin banyak jumlah wirunya, maka akan semakin kelihatan indah waktu dipakai. Tapi otomatis juga
memerlukan lebih banyak waktu pada waktu membuat wirunya. Selain itu kain wiron dengan jumlah
wiru yang banyak juga hanya bisa dipakai oleh mereka yang berbadan langsing.

jarik-wiru-pria

Bagaimana Cara Membuat Jarik Wiru

Wiru bisa dibedakan menjadi gaya Jogya dan Solo. Pada wiru gaya Jogya, pinggiran batik yang disebut
tumpal tidak dilipat ke dalam tapi diperlihatkan atau dilipat keluar. Sedang tumpal batik pada wiru gaya
Solo dilipat kedalam dan tidak diperlihatkan. Baru sesudah itu lipatan-lipatan selanjutnya akan sama,
yaitu kearah luar. Untuk pemakaiannya, bagi laki-laki wiru berada di sebelah kanan kain, sedangkan
perempuan berada di sebelah kiri. Semoga artikel bagaimana cara membuat jarik wiru ini semakin
menambah ide kreasi anda tentang berbusana. Tips yang bermanfaat dari www.anisalurik.com ini patut
dicoba. www.anisalurik.com selalu berusaha memperkenalkan budaya. Selamat mewiru!

Anda mungkin juga menyukai