Anda di halaman 1dari 3

Asal Usul dan Sejarah Blangkon

Monday, April 2, 2012


Blangkon adalah tutup kepala yang digunakan oleh kaum pria sebagai bagian dari pakaian tradisional jawa.
Blangkon sebenarnya bentuk praktis dari iket yang merupakan tutup kepala yang dibuat dari batik. Tidak ada catatan
sejarah yang dapat menjelaskan asal mula pria jawa memakai ikat kepala atau penutup kepala ini.

Pada masyarakat jawa jaman dahulu, memang ada satu cerita Legenda tentang Aji Soko. Dalam cerita ini,
keberadaan iket kepala pun telah disebut, yaitu saat Aji Soko berhasil mengalahkan Dewata Cengkar, seorang
raksasa penguasa tanah Jawa, hanya dengan menggelar sejenis sorban yang dapat menutup seluruh tanah Jawa.
Padahal seperti kita ketahui , Aji Soko kemudian dikenal sebagai pencipta dan perumus permulaan tahun Jawa yang
dimulai pada 1941 tahun yang lalu.

Ada sejumlah teori yang menyatakan bahwa pemakaian blangkon merupakan pengaruh dari, budaya Hindu dan
Islam yang diserap oleh orang Jawa. Menurut para ahli, orang Islam yang masuk ke Jawa terdiri dari dua etnis yaitu
keturuan cina dari Daratan Tiongkok dan para pedagang Gujarat. Para pedagang Gujarat ini adalah orang keturunan
Arab, mereka selalu mengenakan sorban, yaitu kain panjang dan lebar yang diikatkan di kepala mereka. Sorban
inilah yang meng-inspirasi orang jawa untuk memakai iket kepala seperti halnya orang keturunan arab tersebut.

Ada teori lain yang berasal dari para sesepuh yang mengatakan bahwa pada jaman dahulu, iket kepala tidaklah
permanen seperti sorban yang senantiasa diikatkan pada kepala. Tetapi dengan adanya masa krisis ekonomi akibat
perang, kain menjadi satu barang yang sulit didapat. Oleh sebab itu , para petinggi keraton meminta seniman untuk
menciptakan ikat kepala yang menggunakan separoh dari biasanya untuk efisiensi Maka terciptalah bentuk penutup
kepala yang permanen dengan kain yang lebih hemat yang disebut blangkon.
Pada jaman dahulu, blangkon memang hanya dapat dibuat oleh para seniman ahli dengan pakem (aturan) yang baku.
Semakin memenuhi pakem yang ditetapkan, maka blangkon tersebut akan semakin tinggi nilainya. Seorang ahli
kebudayaan bernama Becker pernah meneliti tata cara pembuatan Blangkon ini, ternyata pembuatan blangkon
memerlukan satu keahlian yang disebut “virtuso skill”. Menurut nya : “That an object is useful, that it required
virtuso skill to make –neither of these precludes it from also thought beatiful. Some craft generete from within their
own tradition a feeling for beauty and with it appropriete aesthetic standards and common of taste”.

Penilaian mengenai keindahan blangkon, selain dari pemenuhan terhadap pakem juga tergantung sejauh mana
seseorang mengerti akan standard cita rasa serta ketentuan- ketentuan yang sudah menjadi standar sosial. Pakem
yang berlaku untuk blangkon, ternyata bukan hanya harus dipatuhi oleh pembuatnya, tetapi juga oleh para
penggunanya. Seperti yang diungkapkan oleh Becker sebagai berikut: “By accepting beauty as a criterion,
participants in craft activities on a concern characteristic of the folk definition of art. That definition includes an
emphasis on beauty as typified in the tradition of some particular art, on the traditions and conserns of the art world
itself as the source of value, on expression of someone’s thoughts and feelings, and on the relative freedom of artist
from outside interference with the work”.
Blangkon pada prinsipnya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk persegi empat bujur sangkar. Ukurannya kira-
kira selebar 105 cm x 105 cm. Yang dipergunakan sebenarnya hanya separoh kain tersebut. Ukuran blangkon
diambil dari jarak antara garis lintang dari telinga kanan dan kiri melalui dahi dan melaui atas. Pada umumnya
bernomor 48 paling kecil dan 59 paling besar. Blangkon terdiri dari beberapa tipe yaitu : Menggunakan mondholan,
yaitu tonjolan pada bagian belakang blangkon yang berbentuk seperti Onde-onde. Blangkon ini disebut sebagai
blangkon gaya Yogyakarta. Tonjolan ini menandakan model rambut pria masa itu yang sering mengikat rambut
panjang mereka di bagian belakang kepala, sehingga bagian tersebut tersembul di bagian belakang blangkon. Lilitan
rambut itu harus kencang supaya tidak mudah lepas.

Blangkon iku sajinis panutup sirah kanggo wong priya sing kagawé saka bahan kain bathik utawa lurik. Blangkon
sejatiné wujud modhèrn lan praktis saka iket. Ing busana tradhisional adat Jawa lan adat Sundha blangkon dianggo
minangka pasangan karo busana beskap. (wikipedia)

Model trepes, yang disebut dengan gaya Surakarta. Gaya ini merupakan modifikasi dari gaya Yogyakarta yang
muncul karena kebanyakan pria sekarang berambut pendek. Model trepes ini dibuat dengan cara menjahit langsung
mondholan pada bagian belakang blangkon. Selain dari suku Jawa (sebagian besar berasal dari provinsi Jawa
Tengah, DIY, dan Jawa Timur), ada beberapa suku laindi Indonesia yang memakai iket kepala yang mirip dengan
blangkon jawa yaitu : suku Sunda (sebagian besar berasal dari provinsi Jawa Barat dan Banten), suku Madura, suku
Bali, dan lain-lain. Hanya saja dengan pakem dan bentuk ikat yang berbeda-beda.

Asal-muasal Blangkon

Blangkon adalah penutup kepala kaum pria sebagai pelengkap pakain tradisional jawa. Blangkon
sebenarnya bentuk praktis dari iket yang terbuat dari kain batik. Tidak ada catatan sejarah yang jelas
kapan orang jawa mulai memakai penutup kepala.
Dalam cerita rakyat dulu, ada legenda tentang ajisaka yang mengalahkan raksasa prabu dewata cengkar
dengan cara prabu dewata cengkar di suruh mengulur sorban penutup kepalanya ajisaka hingga terjatuh
kedalam samudra. Dari legenda ajisaka inilah tulisan jawa lahir mengisahkan tentang utusannya(caroko)
ajisaka.
Ada teori yang mengatakan bahwa pemakaian blangkon merupakan pengaruh dari hindu dan islam yang
di serap oleh orang jawa. Menurut para ahli, islam masuk ke tanah jawa di bawa oleh dua etnik, yaitu
etnik cina dari dataran tiongkok dan pedagang dari gujarat yang merupakan keturunan arab. Orang
gujarat selalu menutup kepala mereka dengan sorban, inilah yang menginspirasi orang jawa memakai
penutup kepala.
Ada teori lain dari para sesepuh yang mengatakan, bahwa zaman dahulu ikat kepala tidaklah permanen
seperti sekarang, ikat kepala zaman dahulu hanaya kain seperti sorban yang bisa di lepas. Tetapi karena
terjadi perang yang berimbas pada krisis politik dan terjadi kelangkaan kain, maka pihak keraton
memerintahkan para seniman untuk membuat ikat kepala yang simpel dan tidak memakan bahaan kain
banyak, maka terciptalah Blangkon.
Pada zaman dahulu memang blangkon hanya bisa dibuat oleh seniman ahli dengan pakem(aturan) yang
baku. semakin memenuhi pakem yang di tetapkan, maka nilai blangkon akan semakin tinggi. Seorang
ahli kebudayaan bernama backer pernah meneliti tentang pembuatan blangkon, ternyata pembuatan
blangkon membutuhkan keahlian yang disebut "virtuso skill" menurutbya : "That an objeck is useful,
that it required virtuso skill to make-neither of these precludes it from also thought beatiful. Same craft
generete from within their own traditon of feelling for beauty and with it appropriete aesthetic
atandards and common of taste".
Blangkon sebenarnya hanya terbuat dari kain iket atau udeng berbentuk persegi empat. Ukurannya kira-
kira 150X150cm. Yang digunakan hanya separuh kain tersebut. Pada umumnya blangkon berukuran 48
paling kecil dan 59 paling besar. Blangkon terdiri dari beberapa tipe, yitu menggunakan mendolan, yaitu
tonjolan pada bagian belakang blangkon pada blangkon medel jogja. Tonjolan ini menndakan model
rambut pria masa itu yang panjang dan diikat di belakang, sehingga bagian itu tersembul pada bagian
belakang blangkon.
Model trepes yang merupakan gaya surakarta/solo merupakan modifikasi dari gaya jogja, karena pada
masa itu kebanyakan pria sudah berambut pendek. Selain dari suku jawa (sebagian besar dari jawa
tengah, jogja dan jawa timur), ada beberapa suku lain di indonesia yang memakai ikat kepala mirip
dengan blangkon jawa, yaitu : suku sunda (sebagian besar jawa barat dan banten), suku betawi, suku
madura suku bali dan lain-lain, hanya saja dengan pakem dan bentuk yang berbeda-beda.

Anda mungkin juga menyukai