Anda di halaman 1dari 9

1.

Kebaya Encim

Salah satu pakaian adat Betawi yang paling sering ditampilkan adalah
Kebaya Encim untuk wanita. Baik dari gadis remaja, perempuan muda,
hingga perempuan setengah baya Betawi menggemari kebaya yang
simpel, sederhana, namun tetap bisa menampilkan kesan keanggunan ini.

Pakaian adat Betawi satu ini kerapkali digunakan saat momen-momen


Pekan Raya Jakarta, seragam karyawati instansi pemerintah dan swasta,
peringatan hari besar, menerima tamu istimewa, pentas seni budaya, dan
acara-acara lainnya.

Di masa lalu, saat budaya Eropa masih memiliki pengaruh yang kuat di
Batavia atau Jakarta, kebaya ini terbuat dari kain berbahan lace atau
brokat buatan Eropa yang dikombinasikan dengan bordiran penduduk
lokal. Hasilnya, kebaya tersebut tampak seperti langsung dibordir. Bordiran
tersebut biasanya bermotif bunga yang dapat Anda temukan pada bagian
bawah kebaya atau pergelangan tangan.

Bordiran yang digunakan dalam Kebaya Encim ini juga beragam, salah
satunya bordiran yang berlubang banyak yang disebut kerancang. Jaman
dulu, kerancang lembut dan tampilannya halus mendekati sempurna.

Sekarang, pembuatan kerancang banyak yang menggunakan bantuan


teknologi komputer. Hasilnya memang lebih cepat dan lebih inovatif namun
kerancang tersebut terasa agak kasar, keras, dan kurang sempurna. Jika
dibandingkan dengan kerancang yang dibuat dengan tangan, hasilnya
sangat jauh.

Bagian leher membentuk huruf V (V-neck). Model asli Kebaya Kerancang


meruncing ke bawah di bagian muka bawahnya. Runcingan tersebut
berukuran 12 cm sampai 30 cm dari dasar panggul wanita. Model
meruncing ini disebut dengan Kebaya Sonday.

Kemudian bawah lengan melebar sehingga tampak agak sedikit besar


dibandingkan ukuran lingkaran di pangkal lengan. Model yang disebut
Kebaya Model Goeng ini kembali diminati oleh banyak kalangan wanita
masa kini. Kebaya Encim mengalami modifikasi dan modernisasi dengan
adanya bahan-bahan seperti brokat, silk, organdi, sutra alam, dan lainnya.

Sebagai bawahannya, Kebaya Encim dipadukan dengan kain sarung


dengan model yang beragam. Mulai dari model buket, pucuk rebung, kain
pagi sore (kain panjang yang disarungkan di pinggang, buket, tumbak, atau
belah ketupat. Namun demikian, banyak remaja putri yang memadukan
Kebaya Encim dengan celana panjang ataupun rok panjang.

Pada awalnya, tidak terdapat selendang pada setelan Kebaya Encim.


Namun seiring berjalannya waktu, penambahan selendang menjadi
modifikasi pakaian adat Betawi ini. Hasilnya di luar dugaan, penggunaan
selendang ternyata dapat menjadikan wanita yang mengenakannya lebih
berwibawa dan lebih resmi.

Pada umumnya, rambut wanita yang mengenakan dihias dengan mengan


menggunakan sanggul dengan model yang disesuaikan dengan keinginan
pemakainya. Kemudian jika mau, dipasangkan kerudung dengan
menampakkan sedikit rambut bagian depan. Namun bagi wanita berhijab,
tidak perlu menggunakan sanggul. Jilbab yang telah dikenakan cukup
dilapisi kerudung dengan menampakkan jilbab bagian depan dan lehernya.

Untuk menambah kecantikan, para wanita mengenakan perhiasan berupa


anting air seketel atau giwang asur, peniti rantai susun tiga, cincin bermata,
gelang listering atau gelang ular, dan kalung tebar. Yang terpenting,
perpaduan perhiasan dan pakaian serasi. Sehingga terserah mana saja
yang ingin dipakai.

Para wanita menggunakan selop tertutup sebagai alas kaki. Paduan


Kebaya Encim dari atas hingga bawah bertujuan untuk memelihara
kehormatan dan keanggunan perempuan. Filosofi dari pakaian adat Betawi
satu ini adalah keindahan, kedewasaan, kecantikan, keceriaan, kearifan,
serta taat aturan dan tuntunan leluhur.

2. Baju Sadaria

Baju Sadaria digunakan oleh para laki-laki Betawi dan seringkali


dipasangkan dengan Kebaya Encim. Pakaian ini sering digunakan dalam
festival Abang None dan juga Pekan Raya Jakarta. Penampilan pakaian
yang sederhana namun bersahaja ini tentu familiar bagi Grameds semua.
Baju Sadaria ini berupa baju taqwa atau baju koko yang berkerah
Shanghai (kerah tertutup) setinggi 3-4 cm. Umumnya pakaian ini berwarna
putih dan berlengan panjang. Jika dilihat dari sejarah, pakaian ini banyak
terinspirasi oleh budaya China yang para lelakinya banyak mengenakan
baju koko. Disebut baju koko karena pakaian ini banyak dipakai oleh para
koko (kakak laki-laki dalam bahasa Mandarin).

Baju Sadaria terbuat dari kain katun, namun terkadang ada juga yang
terbuat dari kain sutra dan sutera alam linen. Baju ini berkancing dari atas
sampai bawah serta mempunyai saku di sisi kanan dan kiri bagian
bawahnya. Tidak jarang di sisi samping bagian bawah diberi belahan
sekitar 15 cm agar pria yang mengenakannya tidak merasa terlalu ketat
dan agak bebas.

Terkadang, Baju Sadaria diberi bordiran pada kerah bagian tengah atau
sebelah kanan kiri. Bahan yang dipilih dalam membuat bordiran tersebut
bisa katun, sutera alam, atau lainnya.

Baju Sadaria dipadankan dengan dua pilihan celana. Yakni, celana bahan
yang panjang berwarna gelap atau celana panjang komprang dengan motif
batik.

Pemilihan celana akan mempengaruhi alas kaki yang harus dikenakan.


Jika celana panjang gelap yang dipilih, maka sepatu pantofel yang pantas
dikenakan agar tampak selaras. Jika celana panjang batik dengan model
komprang yang digunakan, maka sandal terompah lebih cocok untuk dipilih
sebagai alas kaki.

Sebagai pelengkap, para pria Betawi menggunakan kopiah (peci) berwarna


hitam polos sebagai penutup kepala. Kemudian terdapat kain sarung yang
dilipat (cukin) digantungkan di leher yang biasanya dipegang dengan
kedua tangan saat sesi foto. Tujuan pemakaian cukin untuk dijadikan
sarung atau sajadah saat melakukan ibadah shalat, senjata atau alat untuk
melawan penjahat yang ditemui.

Baju Sadaria ini dipakai oleh karyawan dari instansi pemerintah ataupun
swasta pada waktu-waktu tertentu, acara adat, atraksi pariwisata,
menyambut tamu istimewa, dan peringatan hari besar. Tidak ada filosofi
khusus dari pakaian ini. Hanya saja pakaian ini untuk menunjukkan
identitas pemakainya sebagai laki-laki yang rendah hati, dinamis, sopan,
dan memiliki wibawa.
3. Pangsi Betawi

Pakaian adat Betawi yang satu ini sering dipakai oleh para jawara Betawi
yang notabene para pendekar. Satu setel pakaian ini terdiri dari Baju Tikim
dan Celana Pangsi. Hanya saja, belakangan ini pakaian ini lebih dikenal
dengan Baju Pangsi.

Berdasarkan catatan sejarah, Baju Tikim dan Celana Pangsi mendapatkan


pengaruh dari budaya China. Baju Tikim berasal dari Bahasa Hokkian,
yakni Tui Kim. Dan Celana Pangsi berasal dari Phang Si. Keduanya
diadaptasi dari pakaian orang-orang China yang tinggal di Batavia.

Baju Pangsi ini memiliki bentuk leher bulat seperti huruf O atau Bahasa
kekiniannya O-neck. Disertai dengan lengan panjang, Baju Pangsi dibuat
dengan ukuran yang longgar dibanding ukuran tubuh pemakainya.

Dulunya, baju ini dibuat tanpa kancing namun sekarang umumnya


menggunakan kancing. Para pria Betawi mengenakan kaos putih polos
sebagai lapisan dalam Baju Pangsi sehingga terkadang baju tersebut bisa
dilepas kancingnya.

Sedangkan Celana Pangsi merupakan celana panjang yang agak longgar


sehingga tampak kebesaran. Warna celana disesuaikan dengan warna
baju yang digunakan. Dulunya, pakaian adat Pangsi ini digunakan oleh
laki-laki Betawi dalam kegiatan sehari-hari. Namun seiring perkembangan
jaman, pakaian ini lebih banyak dikenakan oleh para jawara, pendekar,
jagoan, main pukulan, dan petani Betawi.

Di pinggang laki-laki Betawi, tersemat ikat pinggang yang ukurannya lebih


lebar daripada ikat pinggang biasa. Dan di lehernya, terdapat kain sarung
yang dilipat rapi. Fungsi sarung ini bermacam-macam karena bisa untuk
sajadah dan sarung saat sholat serta senjata saat duel.

Warna Baju Pangsi Betawi ini tidak hanya hitam, namun ada juga warna
merah, hijau, dan putih. Masing-masing warna memiliki arti tersendiri. Baju
Pangsi berwarna putih atau krem biasanya digunakan oleh jago silat yang
juga merupakan pemuka agama.
Ilmu agama yang didpatakan oleh pesilat tersebut didapatkan dari berguru
kepada Engkong Haji. Baju Pangsi hitam biasanya digunakan oleh para
centeng. Dan Baju Pangsi warna merah digunakan oleh seseorang yang
memiliki kemampuan silat dan ilmu agama yang tinggi sehingga tidak
dapat diragukan lagi kemampuannya.

Warna baju tersebut tentunya berpengaruh pada warna atribut lainnya,


misalnya peci. Warna atribut tersebut menandakan siapa orang yang
memakai baju tersebut. Pada jaman dulu, siapapun yang memakai peci
merah adalah orang yang diakui oleh masyarakat sebagai orang yang
ilmunya sudah tinggi, tukang jalan, dan telah banyak makan asam garam
alias punya banyak pengalaman. Jika peci sudah turun tangan, keadaan
sudah luar biasa gentingnya.

Jika diibaratkan dengan jaman sekarang, peci merah mungkin bisa


disamakan dengan baret merah. Orang-orang pemakai peci merah
merupakan ujung tombak perlawanan terhadap apapun yang dianggap
sebagai pengganggu keamanan, ketentraman, dan kedamaian
masyarakat.

Oleh karena itu, peci merah beserta Baju Pangsi merah merupakan
pakaian yang sakral dan tidak bisa digunakan oleh sembarang orang.
Namun demikian, jika penggunaannya untuk keperluan seni, pakaian ini
boleh digunakan oleh orang biasa.

4. Pakaian Bangsawan Ujung Serong

Selanjutnya pakaian adat Betawi yang dikhususkan untuk para bangsawan


dan demang. Pakaian ini dinamakan Pakaian Bangsawan atau Ujung
Serong dan umumnya hanya digunakan oleh para laki-laki.

Pakaian satu ini sering digunakan oleh Aparatur Sipil Negara (ASN) atau
Pegawai negeri Sipil (PNS) di kantor pemerintah, acara pernikahan
sebagai tamu atau wali, peringatan hari besar, menyambut tamu istimewa,
dan acara-acara resmi lainnya.

Sebagai lapisan dalam, pria Betawi menggunakan kemeja putih. Kemudian


jas tutup berwarna hitam atau gelap digunakan setelah kemeja putih.
Sebagai bawahan, digunakan celana pantalon berwarna senada dengan
jas tertutup. Kemudian di pinggang dililitkan kain batik yang telah diatur
sedemikian rupa dan panjangnya sampai paha.

Alas kaki yang selaras adalah sepatu pantofel. Untuk mengesankan


bangsawan berkelas, disematkan arloji emas. Terakhir, penutup kepala
berupa peci untuk menambah kesan berwibawa.

5. Pakaian Pengantin Betawi

Sesuai namanya, Pakaian Pengantin Betawi diperuntukkan pasangan yang


menikah. Seperti pakaian pengantin di daerah lainnya, Pakaian pengantin
Betawi ini memiliki ciri khas dan keistimewaan pakaian adat lain dari
daerah yang sama. Karena pernikahan adalah peristiwa yang sakral.

Pakaian pengantin Betawi ini merupakan perpaduan dari budaya Arab,


China, India, dan Eropa sehingga tidak heran jika pakaian adat Betawi satu
ini memiliki model yang cukup unik. Untuk pria, pakaian pengantinnya
bernama Dandanan Care Haji. Sementara untuk wanita, pakaian
pengantinnya bernama Dandanan Care None Pengantin Cine.

Bagaimana setelan pakaian pengantin tersebut? Yuk Grameds kita bahas


agak dalam di bawah ini.

A. Dandanan Care Haji


Pakaian ini terdiri atas jubah panjang yang berwarna cerah dan penutup
kepala berupa surban. Warna surban menyesuaikan dengan warna jubah
dan dihiasi dengan manik-manik cerah. Di bagian depan sebelah kiri
terdapat untaian bunga melati yang menjuntai hingga bahu.

B. Dandanan Care None Pengantin Cine

Pakaian untuk mempelai wanita ini terdiri dari dari banyak jenis, mulai dari
pakaian atas, bawahan, mahkota, dan perhiasan. Di bawah ini akan kita
bahas satu per satu bagiannya.
a. Tuaki
Baju bagian atas berupa blus yang terbagi beberapa model, yang terkenal
model baju kurung Melayu dan model Shanghai China. Tuaki tampak
gemerlap dan penuh dengan kemilau. Baju ini juga dihiasi dengan manik-
manik keemasan terutama pada sekitar dada, bahu, dan kedua ujung
lengan.

b. Kun
Padanan dari Tuaki yang menjadi bawahan ini berupa rok yang bentuknya
melebar di bagian bawahnya. Panjangnya hingga mata kaki wanita yang
mengenakannya. Kun seringkali juga dihiasi dengan benang tebar dengan
warna dan kombinasi yang sesuai dengan atasannya.

c. Teratai
Aksesoris ini terbuat dari beludru yang dihiasi logam dengan motif bunga
tanjung. Teratai merupakan perhiasan yang diletakkan di bahu dan dada
sehingga keduanya tertutup. Jumlahnya ada delapan lembar yang disusun
secara simetris sehingga terlihat rapi dan estetik.

d. Sanggul
e. Tusuk Konde
Konon, tusuk konde ini mirip dengan huruf lam dalam Bahasa Arab yang
melambangkan keesaan Allah dalam agama Islam. Tusuk konde ini dipakai
dengan cara menusukkannya pada siangko kecil penutup simpul tali cadar.

f. Siangko Bercadar

Siangko bercadar merupakan penutup wajah seperti cadar meski tidak


menutup wajah seluruhnya. Pada umumnya, Siangko ini terbuat dari emas
atau perak dan panjangnya 30 cm menjuntai ke bawah di depan wajah.

Siangko melambangkan kesucian seorang gadis yang terjaga dengan baik.


Tidak hanya itu, dari Siangko yang digunakan, status sosial pengantin
dapat dikenali. Bila pengantin menggunakan Siangko, biasanya yang
menikah merupakan orang kalangan menengah ke atas.
g. Kembang Goyang berjumlah dua puluh.
h. Hiasan Burung Phoenix
Hiasan ini juga dikenal dengan sebutan kembang besar yang jumlah empat
buah namun bentuknya juga mirip dengan burung Phoenix. Jika kita ingat
tentang burung legenda ini, ia suka terbang tinggi ke angkasa dan suka
bersiul dengan indah sebagai simbol kebahagiaan.

Dengan demikian, kedua mempelai diharapkan bisa bahagia dalam


menjalani hidup berumah tangga.

i. Kalung tebar
j. Sumping atau Sunting Telinga
Konon, sumping ini jika dipakai oleh pengantin yang sudah tidak gadis alias
perawan, maka mempelai wanita akan mengalami pusing bahkan
parahnya bisa sampai pingsan.

k. Kerabu
Perpaduan antara anting dan giwang yang dijadikan satu sebagai
perhiasan telinga mempelai wanita.

Anda mungkin juga menyukai