Anda di halaman 1dari 13

STRATEGI PENGEMBANGAN WILAYAH

Dalam perspektif doktrin pengembangan wilayah muncul beberapa alternatif strategi,


yaitu : (1) strategi kutub pertumbuhan (sebagai pendalaman pendekatan pembangunan
dari atas “development from above”); (2) strategi agropolitan (sebagai pendalaman
pendekatan pembangunan dari bawah “development from below”); dan (3) strategi
pengembangan ruang terintegrasi, yang memadukan sektor perkotaan dan perdesaan,
seperti pengembangan kota-kota kecil (dalam perspektif dekonsentrasi planologis)..Tiga
alternatif strategi tersebut mewakili beberapa aspek perdebatan pembangunan wilayah
yang secara umum mengalir dalam lima pokok perdebatan dikotomis, antara lain : (1)
perkotaan-perdesaan; (2) industri pertanian; (3) sentralisasi - desentralisasi sampai
otonomi; (4) pembangunan atas bawah; sampai (5) strategi pertumbuhan dan
pemerataan. Secara lebih detil ketiga strategi tersebut diuraikan pada bagian
berikutnya.

1. STRATEGI KUTUB PERTUMBUHAN

PENGERTIAN

Growth Poles atau kutub pertumbuhan pertama kali dipergunakan oleh Francois
Perroux (1950). Dengan tesisnya : “……. Pertumbuhan tidak terjadi di sebarang tempat
dan juga tidak terjadi secara serentak, tetapi pertumbuhan terjadi pada titik-titk atau
kutub-kutub pertumbuhan dengan intensitas yang berubah-ubah, lalu pertumbuhan itu
menyebar sepanjang saluran yang beraneka ragam dan dengan pengaruh yang dinamis
terhadap perekonomian wilayah”

Pengertian kutub pertumbuhan yang dikemukakan oleh Perroux ini merupakan suatu
konsep ekonomi, sehingga tidak memiliki dimensi ruang. Untuk menjelaskan
pengertian tersebut, Perroux menciptakan suatu “ruang abstrak” atau ruang dalam
pengertian ekonomi, ruang sebagai suatu kumpulan kekuatan ekonomi;

Pengertian Growth Pole yang terkait dengan ruang sebagai suatu kumpulan kekuatan
ekonomi, yang didefinisikan oleh Perroux sebagai pusat (focii) memiliki gaya
sentrifugal yang memiliki kekuatan untuk “mendorong” dan gaya sentripetal yang
memiliki kekuatan untuk “menarik”. Setiap pusat mempunyai daya tarik dan daya tolak
dalam suatu medan daya tarik dan daya dorong bersama dengan pusat-pusat lainnya.
dengan pengertian ini berarti suatu Growth Poles akan berperan memacu (menarik dan
mendorong) perkembangan ekonomi di wilayah pengaruhnya.

Dalam konteks pertumbuhan, Perroux menyatakan bahwa yang menjadi medan magnet
adalah kegiatan industri.. Menurutnya, untuk mencapai pertumbuhan yang mantap dan
berimbang diperlukan konsentrasi investasi pada sektor-sektor tertentu yang unggul
(leading sectors). Dalam perkembangan selanjutnya akan terjadi suatu proses seleksi
alam sehingga suatu sektor akan makin penting, sementara sektor lainnya justru
menghilang. Proses seleksi ini terkait dengan mekanisme pasar dan inovasi
wirausahawan yang sangat penting dalam proses pembangunan (Hansen, 1981 : 19).
Industri-industri dan kegiatan-kegiatan yang akan berkembang dan membentuk kutub
pertumbuhan tersebut memiliki beberapa ciri sebagai Leading Industries dan
Propulsive Industries , antara lain:

Karakteristik Leading Industries


1. Relatif baru, dinamis, dan mempunyai tingkat teknologi maju yang menginjeksikan
iklim pertumbuhan ke dalam suatu daerah.
2. Permintaan terhadap produknya memiliki elastisitas pendapatan yang tinggi,
produk tersebut biasanya dijual ke pasar-pasar nasional.
3. Mempunyai berbagai kaitan antar industri yang kuat dengan sektor-sektor lainnya
(input dan output). Kaitan-kaitan ini dapat bersifat forward maupun backward.
Karakteristik Propulsive Industries :
1. Relatif besar.
2. Tingkat dominasinya tinggi, yaitu kebalikan dari tingkat ketergantungan industri
lain terhadap industri tersebut;
3. Menimbulkan dorongan-dorongan yang nyata kepada lingkungannya.
4. Mempunyai kemampuan berinovasi yang tinggi.Termasuk dalam suatu industri
yang sednag bertumbuh dengan cepat.

Implikasi spasial 1dari konsep kutub pertumbuhan diperkenalkan oleh Boudeville


(1966) yang mendefinisikan kutub pertumbuhan regional sebagai aglomersi geografis
“sekelompok” industri propulsif yang mengalami ekspansi yang berlokasi di suatu
daerah perkotaan dan mendorong perkembangan kegiatan ekonomi lebih lanjut ke
seluruh wilayah pengaruhnya. Melalui efek kumulatif. Kemampuan suatu industri
untuk menyebarkan pertumbuhan tersebut tergantung pada ‘multiplier effect’ yang
berhubungan dengan faktor-faktor input-output antar industri, misalnya efek ganda
dari tenaga kerja dan output pendapatan.

Dalam kutub pertumbuhan terdapat kecenderungan terkonsentrasinya kegiatan


ekonomi pada titik tertentu karena adanya faktor saling keterkaitan dan ketergantungan
aglomerasi (Munir, 1984 : 38). Konsentrasi dan kesalingterkaitan merupakan faktor
penting dalam setiap pusat pertumbuhan karena melalui faktor ini ongkos produksi,
termasuk transportasi pada kegiatan-kegiatan industri dapat diturunkan. (aspek
kesamaan bahan dan pasar). Ada tiga keuntungan aglomerasi, yaitu : Skala ekonomi
(scale economies), Localization economies dan Urbanization economies2. Hal ini berarti
bahwa jika kegiatan ekonomi (industri) yang saling berkaitan dikonsentrasikan pada
suatu tempat tertentu, maka pertumbuhan ekonomi dari daerah yang bersangkutan
akan dapat ditingkatkan dibandingkan kalau industri tersebar dan terpencar ke seluruh
pelosok wilayah.

Pengembangan wilayah melalui konsep ini secara nyata akan terlihat dari
perkembangan kota-kota sebagai kutub pertumbuhan-kutub pertumbuhan di suatu
wilayah. Kota-kota pusat pertumbuhan tersebut memiliki tingkat kemajuan berbeda dan
saling berinteraksi sehingga pada kondisi ideal dapat membentuk suatu pola kota yang
hirarkis. Dari hirarki kota ini diharapkan dapat terjadi proses penyebaran kemajuan
antar kota di wilayah tersebut yang pada dasarnya berlangsung dalam beberapa cara,
yaitu (Munir, 1984 : 39):
1. perluasan kegiatan ekonomi ke wilayah pasar yang baru yaitu dari pusat terbesar
kepada yang kecil;
2. perpindahan kegiatan berupah rendah dari pusat yang besar ke pusat yang lebih
kecil karena meningkatnya upah di kota (pusat) yang lebih besar;
3. memberikan alternatif lokasi yang lebih baik untuk kegiatan industri yang
mempunyai wilayah pasar dan kebutuhan prasarana yang berbeda sehingga
operasinya lebih efisien;
4. dorongan investasi dari wirausahawan yang disebarkan melalui hirarki.

Friedman memperkaya konsep Growth Poles ini dengan mengemukakan konsep


Center-Periphery (Pusat-Pinggiran).. Pengembangan wilayah menurut konsep

1
Pemberian dimensi ruang atau spasial pada konsep Growth Poles ini melahirkan istilah kutub-kutub pertumbuhan
(development poles), pusat-pusat pertumbuhan (growth centers), titik-titik pertumbuhan (growth points), daerah-
daerah pertumbuhan (growth areas), zona-zona pertumbuhan (growth zones), dan wilayah inti atau pusat (core
region) yang menyarankan pengembangan pusat pertumbuhan dalam memajukan atau mengembangkan wilayah
2
timbul karena fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi dapat digunakan secara bersama-sama sehingga pembebanan
ongkos untuk masing-masing
Friedman akan melahirkan kota utama dan wilayah sekitarnya yang menjadi Inti (Core)
dari sistem kota-kota nasional dan Pinggiran (Periphery) yang berada di luar serta
bergantung pada Inti. Perkembangan disebarkan dari inti ke pinggiran melalui
pertukaran penduduk, barang, dan jasa. Kota sebagai inti berpengaruh atas wilayah
pinggirannya,

Hubungan antara Core atau pusat pertumbuhan dengan Periphery dilukiskan dengan
dua efek. Menurut, Myrdall (1957), pertama efek sebar ’ Spread Effect’ dan efek serap
balik ‘Backwash Effect’.
Spread Effect terjadi apabila ekspansi kegiatan ekonomi pada Core membutuhkan input
bahan baku dari daerah sekitarnya (mekanisme input-output).. Sebaliknya ‘Backwash
Effect’ terjadi jika industri propulsif tertentu, cenderung hanya akan menarik modal dari
daerah sekitarnya sehingga output akan lebih tinggi. Menurutnya, ‘backwash effect’
akan menjadi lebih kuat dari ‘spread effect’ yang ditandai dengan adanya penyerapan
ekonomi wilayah sekitarnya ke pusat-pusat pertumbuhan wilayah tersebut, yang
berakibat kesenjangan wilayah..

Hirschman (1958 mengungkapkan pertumbuhan ekonomi pada pusat


pertumbuhan akan berpengaruh pada daerah belakangnya melalui efek polarisasi atau ‘
Polarization Effect’ dan efek penetesan ke bawah (Trickling Down Effect). Polarization
effect tersebut diperkuat dengan adanya pemusatan investasi pada pusat pertumbuhan,
sedangkan Trickling Down Effect dapat tumbuh dengan cara meningkatkan daya tarik
wilayah sekitarnya. Hirschman lebih optimis, sehingga Trickling Down Effect lebih
besar dibanding Polarization Effect. Kuncinya adalah komplementaritas.

POSITIP : GROWTH POLE

1. Konsep kutub pertumbuhan memberikan peluang untuk mendekatkan dua cabang


penting dalam analisis regional yaitu analisis mengenai pertumbuhan ekonomi
regional dan analisis struktur ruang regional.
2. Konsep kutub pertumbuhan memberikan kemungkinan pemakaian dan
pengembangan teknik-teknik analisis seperti analisis input-output, analisis
aglomerasi, dan sebagainya.
3. Konsep kutub pertumbuhan ini dapat digunakan sebagai alat strategi intervensi oleh
pemerintah dalam menetapkan kebijaksanaan-kebijaksanaan investasi bagi
pembangunan daerah.

NEGATIP : GROWTH POLE

1. Kerangka permasalahan dikembangkan dalam setting masyarakat industri dan


cenderung tidak melihat problem spesifik wilayah, khususnya wilayah pedesaan
yang didominasi sektor pertanian.
2. Dalam hubungan pusat-pinggiran, efek balik (backwash effect) sering bekerja lebih
cepat daripada efek pemancaran (spread effect), sehingga kesenjangan wilayah
semakin melebar. Kondisi ini terjadi karena (a) kurang jelasnya hirarki kota-kota;
(b) wilayah pinggiran tidak memiliki kekuasaan untuk mengendalikan
sumberdayanya (Firman, 1989 : 14-18);
3. Rendahnya kapasitas penyerapan tenaga kerja karena industri yang dikembangkan
di pusat-pusat pertumbuhan merupakan industri padat modal, sehingga kenaikan
dalam kapasitas produksi tidak menciptakan kesempatan kerja yang seimbang;
4. Konsep ini tidak mempertimbangkan hubungan dualisme sektoral, antara sektor
informal-formal atau perkotaan-pedesaan dalam pengembangan wilayah.

Contoh Kasus di Indonesia :


Pengembangan berbagai macam bentuk pusat pertumbuhan, seperti Kawasan Industri-
Kawasan Industri yang mengelompok di suatu tempat, terbentuknya Kawasan Andalan
di beberapa daerah, Aglomerasi sistem perkotaan di Indonesia, dan pembentukan
pusat-pusat pengembangan (SWP) di Dokumen tata ruang wilayah.

2. STRATEGI AGROPOLITAN

Muncul sebagai respon kegagalan development from above, seperti kutub


pertumbuhan. Menurut strategi ini pengertian pembangunan tidak hanya kemajuan
ekonomi yang sentralistik, tetapi memberikan kesempatan bagi individu-individu,
kelompok-kelompok sosial dan organisasi masyarakat untuk "memobilisasi"
kemampuan dan sumberdaya lokal bagi kemajuannya. Pendekatan ini menitikberatkan
pada upaya untuk menciptakan dorongan bagi pembangunan dinamis di wilayah-
wilayah (pedesaan) yang relatif terbelakang. Dengan demikian strategi ini lebih
berpihak kepada daerah pedesaan. Pembangunan di suatu wilayah harus berdasarkan
pada mobilisasi sumberdaya alam, sumberdaya manusia, dan institusi lokal yang
berkembang di wilayah tersebut.
Alasan munculnya strategi agropolitan atau tipe-tipe pembangunan dari bawah antara
lain:
 Kegagalan strategi development from above, yang berakibat pada ketimpangan
wilayah, karena terkonsentrasi pada program pembangunan skala besar (large
scale);
 Kondisi fisik dan sosial ekonomi internal merupakan kunci sukses penerapan
strategi pembangunan.
 konsep pembangunan hendaknya berasal dari masyarakat itu sendiri dengan
mempertimbangkan sumberdaya lokal dan partisipasi.
 Sistem ekonomi lokal harus berperan dalam membentuk pola interaksi ekonomi
antar wilayah. Sehingga dapat meningkatkan nilai tambah (value added).

Agropolitan merupakan pendekatan pengembangan wilayah yang menitikberatkan pada


upaya untuk menciptakan dorongan bagi pembangunan dinamis di wilayah-wilayah
pedesaan dan wilayah yang relatif terbelakang. Dalam pendekatan agropolitan upaya
untuk mempercepat pembangunan di perdesaan dilakukan dengan memasukkan
kegiatan non primer seperti industri, perdagangan, jasa dan lain-lain, yang menunjang
perkembangan sektor pertanian. Hal ini berarti bahwa agropolitan adalah suatu wilayah
pertanian yang struktur perekonomiannya tidak hanya bertumpu pada sektor pertanian.
Sektor non pertanian yang dikembangkan ialah sektor industri yang memiliki linkages
secara langsung, yaitu menghasilkan alat pertanian dan mengolah hasil pertanian
(agroindustri). Untuk menunjang pemasaran, dikembangkan pula sektor perdagangan
dan jasa. Dalam konteks ruang (Friedmann, 1976 : 37), perlu ditentukan satuan-satuan
ruang yang lebih besar dari unit desa sebagai dasar bagi pembangunan desa yang
progresif. Dan menata perencanaan dan pembangunan atas dasar wilayah (teritorial)..

TUJUAN AGROPOLITAN

1. Mengubah wilayah perdesaan dengan memperkenalkan kegiatan-kegiatan non


primer dan gaya hidup kota (urbanism life) yang telah disesuaikan dengan
lingkungan pedesaan. Mobilitas penduduk ke kota menjadi berkurang dan terjadi
akumulasi modal di perdesaan.
2. Membentuk ruang sosial-ekonomi dan politik antar desa sehingga membentuk
kesatuan ruang yang lebih luas yang dinamakan distrik agropolitan (agropolitan
district);
3. Menyeimbangkan pendapatan desa dan kota dengan memperbanyak kesempatan
kerja produktif dan memadukan kegiatan-kegiatan pertanian dengan kegiatan non
pertanian;
4. Menggunakan tenaga kerja secara efektif dengan memanfaatkan sumberdaya alam
termasuk peningkatan hasil pertanian, peningkatan industri yang berkaitan dengan
pertanian (agroindustri), memperluas pemberian jasa-jasa untuk perdesaan dan
pembangunan sarana dan prasarana;
5. Merangkai distrik agropolitan menjadi jaringan regional, dengan cara membangun
dan memperbaiki sarana untuk menciptakan hubungan antar wilayah agropolitan
dan antara wilayah agropolitan dengan kota-kota yang lebih besar;
6. Memberikan otonomi pada aparat pemerintah di wilayah agropolitan sehingga
mereka dapat merencanakan pembangunan berdasarkan sumberdaya wilayahnya
sendiri.
7. Memperbaiki sistem keuangan termasuk memperbaiki nilai tukar barang-barang
antara desa dan kota sehingga tercipta kesesuaian harga yang saling
menguntungkan.

KUNCI STRATEGI AGROPOLITAN

1. Wilayah agropolitan tersebut harus merupakan wilayah yang tertutup. Hal ini
terkait dengan kebijaksanaan untuk memanfaatkan sumberdaya lokal dan melawan
sistem perdagangan bebas dan mekanisme pasar yang eksploitatif. Melalui
perusahaan-perusahaan multinasional. Ekspresi kemampuan masyarakat untuk
mengembangkan wilayah dengan kemampuannya sendiri (self relience);
2. Mengarahkan pemanfaatan sumberdaya untuk kepentingan wilayah tersebut
sehingga terjadi akumulasi perkembangan di dalam wilayah itu sendiri;
3. Aksesibilitas penduduk yang sama terhadap kekuatan sosial dan faktor produksi.
Basis untuk akumulasi kekuatan sosial ini diantaranya ialah aset produktif dari
faktor produksi seperti tanah, air dan alat produksi lainnya, sumberdaya finansial,
informasi, pengetahuan dan ketrampilan, organisasi sosial-politik.

Pemerintah memainkan beberapa peranan yang penting. Pertama, bertindak sebagai


pelindung terhadap kekuatan-kekuatan ekonomi dari luar wilayah yang bersifat
“menghisap” kekayaan ekonomi wilayah yang bersangkutan (local economic). Kedua,
berperan didalam mengkoordinasikan kebijaksanaan-kebijaksanaan nasional untuk
perubahan struktural dan pertumbuhan, dan mengembangkan proyek-proyek yang
bermanfaat untuk meningkatkan kemampuan ekonomi wilayah agropolitan. ketiga,
mendukung wilayah agropolitan untuk merealisasikan proyek-proyek pembangunan
berdasarkan sumberdayanya. Keempat, menjaga supaya perubahan-perubahan
kemajuan tidak merusak sistem sosial yang ada di masyarakat wilayah agropolitan.
Kelima, menyebarkan kemajuan dengan mengalirkan kelebihan sumberdaya di suatu
bagian wilayah ke bagian wilayah lainnya yang relatif kekurangan (Friedmann, 1979 :
203).

KRITIK STRATEGI AGROPOLITAN

 Pemutusan hubungan antara sektor perkotaan dengan perdesaan, karena khawatir


akan terjadinya ekaploitasi (tidak melihat segi positip perkotaan
 Sistem wilayah tertutup hampir mustahil dilakukan.
 Dikaitkan dengan kewenangan daerah, pendekatan inin menyarankan otonomi
daerah yang seluas-luasnya oleh masyarakat setempat sulit diterapkan..

Contoh Kasus Indonesia :


Meskipun tidak sama persis (secara idiologis), 3 di Indonesia pada saat ini sedang
memprogramkan pengembangan agropolitan di banyak daerah, bahkan hampir semua
daerah (seperti ketika dulu orang terpesona dengan pusat pertumbuhan).. Selain itu dua
dasawarsa sebelumnya telah dikembangkan program Pengembangan Wilayah Terpadu
(PPWT) (lihat Box berikut)

Program Pengembangan Wilayah Terpadu

Konsep pengembangan wilayah terpadu pernah dilaksanakan melalui berbagai ragam program
pengembangan wilayah terpadu, yang pada asalnya merupakan upaya pembangunan wilayah-wilayah
khusus yang bersifat lintas sektoral dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta
penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah yang relatif tertinggal. Pada dasarnya program ini
berorientasi pada strategi pemerataan pembangunan, yang dapat berorientasi sektoral apabila terkait
dengan beragamnya kegiatan sektoral dalam satu wilayah, dan dapat berorientasi regional apabila terkait
dengan upaya suatu wilayah untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan dari suatu kawasan
tertentu agar dapat memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih meningkat.
Pendekatan yang komprehensif dan mengacu pada keterpaduan antar sektor telah banyak
dilakukan, dalam berbagai fokus kawasan pengembangan, seperti pengembangan wilayah kepulauan,
pengembangan konservasi lahan kritis atau yang terkait dengan kepentingan mempertahankan dan
melestarikan lingkungan hidup, pengembangan kawasan penyangga, pengembangan sosial budaya
pembinaan masyarakat terasing dan pengembangan wilayah tertinggal atau perbatasan 6. Program-program
yang telah pernah dijalankan adalah misalnya program-program pengembangan wilayah terpadu (PPWT)
di beberapa wilayah propinsi di Yogyakarta, Sulawesi, NTT, Irian Jaya; program-program integrated
community development program di taman-taman nasional, wilayah pantai atau wilayah konservasi
lainnya.
Sasaran utama dari program-program ini umumnya adalah peningkatan kesejahteraan dan mutu
sumber daya manusia, perbaikan mutu lingkungan hidup kawasan, dan pembangunan wilayahnya. Untuk
mencapai sasaran tersebut, maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan pengembangan wilayah
secara terpadu, dalam artian penanganan pelaksanaan program dilakukan melalui serangkaian kegiatan
yang bersifat multisektor, serta disesuaikan menurut permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing
kawasan atau daerah. Aspek-aspek utama kegiatannya didasarkan pada pengembangan kualitas
kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai bentuk pelatihan, transformasi teknologi, keahlian
dalam berbagai bidang, serta berorientasi pada kebutuhan permintaan pasar di daerah. Kegiatannya
sendiri mengikutsertakan pemberian fasilitas peralatan dan permodalan yang dalam beberapa kasus harus
dikembangkan dalam bentuk dana bergulir sehingga menjamin keberlanjutan program.
Pengelolaan program-program dengan pendekatan keterpaduan, sepenuhnya melibatkan
pemerintah daerah tingkat kabupaten dan masyarakat, dengan memberikan peluang yang lebih besar
kepada lembaga swadaya masyarakat, kaum wanita, kaum muda, dan organisasi masyarakat lainnya, untuk
dapat berperan serta. Koordinasi penanganan program dilakukan melalui pembentukan kelompok kerja
yang terdiri atas instansi terkait di tingkat kabupaten yang sesuai dengan program kegiatan yang dilakukan
secara lintas sektoral tersebut. Koordinasi tersebut dilakukan oleh Bappeda Kabupaten dan Biro
Penyusunan Program Setwilda Kabupaten, khususnya dalam rangka memperkuat kemampuan aparatur
dan kelembagaannya, serta untuk menjamin keterpaduan, kesinambungan program, terutama dikaitkan
dengan pembiayaan program yang dikaitkan dengan kegiatan program pembangunan lainnya, apakah
program sektoral, regional, khusus, maupun yang berbantuan luar negeri. Pemikiran akan kesinambungan
program diperlukan, mengingat program-program pemerintah dengan pendekatan keterpaduan ini
umumnya dianggap sebagai stimulan kegiatan di kawasan yang dibangun, dan dengan pelaksanaan riil
pembangunan wilayah memerlukan waktu yang tak terbatas, maka kesinambungan program hanya dapat
terjadi bila pemerintah daerah setempat memberikan kontribusi pendanaan dan masyarakat setempat
terlibat secara langsung dalam pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan.
Namun demikian, pendekatan pembangunan secara terpadu tersebut belum secara optimal
diikuti dengan pengembangan kelembagaan pengelolaan pada tatanan lokal yang dapat menjamin
keberlanjutan program pada masyarakat di daerah, sehingga tidak tercipta kesinambungan seperti yang
diharapkan. Selain itu, kurang adanya komitmen serta tidak terciptanya koordinasi yang kuat antarsektor
di daerah, yang menyebabkan tidak terpadunya program kegiatan dan lokasi antara satu program dengan
program lainnya, dan antara satu lokasi dan lokasi lainnya. Program kegiatannya pun masih berorientasi
pada kegiatan pembangunan prasarana dan sarana fisik, dan kegiatan pengembangan produksi tanaman
pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan, yang belum memperhatikan transfer pengetahuan
teknologi dan pasar yang dapat diadopsi masyarakat lokal untuk kesinambungan program pada tahapan
selanjutnya. Pola pengelolaan sumber daya modal dalam sistem bergulir pun belum banyak dipahami, dan
terhambat oleh adanya budaya dan akses terhadap sumber

4. STRATEGI INTEGRASI SPASIAL


(FUNCTIONAL SPATIAL INTEGRATION)
3
Agropolitan yang dikembangkan oleh banyak daerah, hanya bersifat manajemen terhadap kluster wilayah agribisnis,
bahkan dilandasi oleh ide pusat pertumbuhan yang berbasis kepada sumberdaya lokal khususnya pertania n
Strategi integrasi spasial merupakan jalan tengah antara pendekatan sentralisasi yang
menekankan pertumbuhan pada wilayah perkotaan (metropolitan) dan desentralisasi
yang menekankan penyebaran investasi dan sumberdaya pembangunan pada kota-kota
kecil dan pedesaan. Dengan argumen ini Rondinelli menganjurkan pembentukan
sistem spasial yang mengintegrasikan pembangunan perkotaan dan pedesaan. Hal ini
dilakukan dengan menciptakan suatu jaringan produksi, distribusi dan pertukaran yang
mantap mulai dari desa - kota kecil -kota menengah - kota besar (metropolitan)..

Pendekatan alternatif ini didasari pemikiran bahwa dengan adanya integrasi sistem
pusat-pusat pertumbuhan yang berjenjang dan berbeda karakteristik fungsionalnya,
maka pusat-pusat tersebut akan dapat memacu penyebaran pembangunan wilayah
(Rondinelli, 1983:4). Pendekatannya adalah memacu perkembangan sektor pertanian
yang diintegrasikan dengan sektor industri pendukungnya. Berdasarkan asumsi
tersebut, sasaran dari strategi ini adalah meningkatkan produksi pertanian, memperluas
lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan bagi sebagian besar penduduk, terutama
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.

Dengan perhatian utama pada sektor pertanian, maka pendekatan ini juga menjelaskan
pentingnya transformasi pola pertanian subsisten menjadi pertanian komersialisasi
dalam pengembangan wilayah. Peningkatan produktivitas harus diikuti oleh
pengembangan sektor industri yang seimbang sehingga kelebihan tenaga kerja sektor
pertanian dapat tertampung. Aktivitas pengolahan dan distribusi produk pertanian
harus mantap dan industri harus dikembangkan untuk menghasilkan input-output
produksi yang berharga murah bagi petani. Pada tahap selanjutnya dikembangkan
berbagai prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs)
penduduk pedesaan seperti sarana kesehatan dan pendidikan.
Untuk mendukung perkembangan pertanian sehingga nilai komersial produk pertanian
meningkat di pedesaan, maka permukiman-permukiman harus membentuk suatu
sistem yang terintegrasi sehingga pelayananan sarana dan prasarana dapat berlokasi
secara efisien dan penduduk perdesaan memiliki akses yang baik terhadap sarana
tersebut, sehingga mampu diakses oleh semua lapisan masyarakat pedesaan. Tanpa
akses terhadap pusat-pusat pasar yang terintegrasi maka penduduk pedesaan (petani)
akan mengalami kesulitan di dalam pemasaran hasil pertanian, sulit mendapatkan
input-output produksi, modernisasi pola-pola pertanian, penyesuaian produk terhadap
selera pasar (konsumen) dan mendapatkan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan
untuk meningkatkan kualitas hidup dipedesaan (Rondinelli, 1983 :5).

SISTER PERMUKIMAN YANG TERINTEGRASI DAN HIRARKIS

Menurut Brian Berry dalam Rondinelli (1983) seiring dengan pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah maka pusat-pusat (central places yaitu permukiman-permukiman yang
juga melayani penduduk di sekitarnya) akan menyebar dan membentuk suatu sistem
yang terintegrasi. Pusat-pusat yang diarahkan berdasarkan pendekatan ini haruslah
merupakan pusat-pusat yang terintegrasi secara hirarki. Dengan demikian perlu
diciptakan suatu sistem yang dapat mengintegrasikan pusat-pusat pelayanan,
perdagangan dan produksi yang berhirarki. Adanya integrasi ini akan memberikan
berbagai manfaat baik bagi pemerintah maupun bagi penduduk di sekitar pusat
tersebut. Fisher dan Rusthon (dalam Rondinelli, 1983 : 5-6) mengemukakan berbagai
manfaat tersebut yaitu:
1. Efisien bagi konsumen karena berbagai kebutuhan dapat dipebuhi dalam satu kali
pepergian (trip) keluar dari desanya;
2. Mengurangi jumlah transportasi yang dibutuhkan untuk melayani pergerakan antar
desa karena masyarakat sudah mengenal berbagai alternatif jalur hubungan (link)
sehingga dapat diketahui jalur hubungan yang paling penting dan kemampuan
pemenuhan kebutuhan fasilitas transportasi yang terbatas dapat dimanfaatkan
secara optimal;
3. Mengurangi panjang jalan yang memerlukan peningkatan karena jalur yang paling
penting bagi setiap desa diketahui sehingga dapat ditentukan prioritas
pengembangan jaringan jalan;
4. Dengan keuntungan aglomerasi, biaya penyediaan berbagai kebutuhan pelayanan
bagi fasilitas-fasilitas akan dapat dikurangi karena biaya tersebut akan ditanggung
secara bersama;
5. Karena berbagai fasilitas tersebut berada di lokasi yang sama maka upaya untuk
memonitoring berbagai aktivitas di pusat tersebut menjadi lebih mudah;
6. Memudahkan interaksi antar individu termasuk pertukaran informasi yang akan
berguna dalam proses modernisasi;
7. Lokasi-lokasi yang memiliki keunggulan akan dapat berkembang secara spontan
sebagai respon terhadap kebutuhan wilayah belakangnya (hinterland).

Dalam aktualisasinya pengembangan pusat-pusat tersebut merupakan


pengembangan sistem permukiman, sehingga pendekatan ini memberikan perhatian
utama pada penataan sistem permukiman sehingga terintegrasi dalam ruang. Suatu
sistem permukiman yang terintegrasi akan memberikan akses yang potensial bagi
penduduk di seluruh wilayah terhadap pasar yang beragam, berbagai fasilitas perkotaan
dan input yang berguna bagi pengembangan pertanian. Penyebaran konsentrasi
investasi di permukiman yang mempunyai ukuran dan karakteristik yang berebda
merupakan salah satu elemen penting dalam pendekatan ini. Penyebaran investasi di
permukiman-permukiman yang berjenjang ini menurut Rondinelli dan Ruddle akan
memberikan manfaat yakni (Rondinelli, 1983 : 7-8):
1. Dengan adanya efek pemancaran (spead effect) dan skala ekonomi (economic of
scale), pusat-pusat diharapkan dapat berperan dalam menyebarkan kemajuan
bagi penduduk di sekitarnya (daerah hinterland);
2. Menata ekonomi pedesaan melalui mekanisme ekonomi (penawaran dan
permintaan), sistem administrasi, dan sistem pelayanan sehingga kesempatan
kerja dapat tercipta dan semakin beragam;
3. Menciptakan iklim yang kondusif bagi lahirnya individu-individu yang kreatif
dan inovatif;
4. Investasi yang sudah ada dapat dimanfaatkan untuk tujuan wilayah dan
menciptakan keunggulan komparatif lokasi dari pusat-pusat;
5. Meningkatkan permintaan berbagai fasilitas pelayanan dan infrastruktur baru
sehingga pertumbuhan wilayah dapat terus dipacu.
6. Menciptakan interaksi (fisik-ekonomi) antar berbagai permukiman dan antara
permukiman dengan wilayah belakangnya yang akan meningkatkan aksesibilitas
tempat pusat;
7. Menarik aktivitas sosial-ekonomi yang berhubungan sehingga dapat membentuk
pasar baru bagi berbagai komoditi wilayah.

Dengan adanya hirarki dan spesialisasi fungsi masing-masing sistem


permukiman di atas maka diharapkan terjadi keterkaitan yang dapat mendorong
pertumbuhan sektor-sektor ekonomi dan pembukaan lapangan kerja terutama di sektor
non pertanian. Dengan demikian arahan pengembangan pusat-pusat permukiman
harus berada dalam kerangka pengembangan kegiatan sosial-ekonomi yang akan
dikembangkan (berkembang) di suatu wilayah. Karena sektor ekonomi utama di daerah
pedesaan adalah sektor pertanian, maka arahan pengembangan pusat-pusat
permukiman harus terkait dengan upaya pengembangan sektor pertanian dan sektor-
sektor pendukung lainnya, seperti sektor industri.

MEMBANGUN POLA KETERKAITAN SPASIAL

Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya keterkaitan spasial merupakan
elemen kunci dari pendekatan integrasi spasial. Selain itu perkembangan pada suatu
wilayah dipengaruhi oleh perkembangan dan perbedaan fungsi permukiman serta
keterkaitan antar permukiman maupun antara permukiman dengan wilayah
pengaruhnya (pelayanannya). Kenyataan memperlihatkan bahwa suatu wilayah bukan
hanya dibentuk oleh sistem permukiman yang terpisah dengan fungsi masing-masing,
namun juga oleh jaringan dan interaksi sosial, ekonomi, dan fisik. Proses interaksi
tersebut dimungkinkan oleh adanya keterkaitan antar permukiman.

Dengan adanya keterkaitan spasial ini penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan
memiliki aksesibilitas terhadap berbagai pelayanan, fasilitas, infrastruktur, dan kegiatan
perekonomian yang berlokasi di pusat-pusat desa, kota pasar (kecamatan), maupun
pusat wilayah (regional). Melalui hubungan keterkaitan ini pula, diharapkan penduduk
pedesaan dapat memperoleh input yang dibutuhkannya untuk meningkatkan
produktivitas pertanian dan mendukung kegiatan pemasaran dari berbagai produk yang
dihasilkan, terutama produk pertanian dan industri skala kecil (rumah tangga).

Rondinelli, membedakan menjadi 7 (tujuh) keterkaitan (spatial linkages) , yaitu: (1)


Keterkaitan fisik (jaringan transportasi); (2) Keterkaitan ekonomi, keterkaitan
produksi ke depan (forward linkages) dan ke belakang (backward linkages). (3)..
Keterkaitanpergerakan penduduk (migrasi) dan tenaga kerja, (4). Keterkaitan
teknologi, (5). Keterkaitan sosial. (6). Keterkaitan pelayanan sosial. (7).. Keterkaitan
administrasi, politik dan kelembagaan..

KUNCI DALAM STRATEGI INTEGRASI SPASIAL


1. Adanya hirarki dan keterkaitan (linkages) antar kelompok masyarakat atau
organisasi yang berlokasi pada komunitas yang tersebar.
2. Terciptanya transformasi struktur tata ruang, organisasi, tingkah laku,
kelembagaan sosial-ekonomi dan kultur sehingga elemen-elemen tersebut
menjadi suatu instrumen yang produktif dalam proses pertumbuhan dan
perubahan.
3. Perbaikan sistem administrasi dan kepemihakan dari pemerintah terutama bagi
wilayah-wilayah yang belum berkembang, serta koordinasi antar lembaga.

KRITIK DAN KEGAGALAN STRATEGI INTEGRASI SPASIAL


 Pendekatan ini terlalu ideal sehingga jauh dari kenyataan. Pengembangan sektor
secara serentak pada kenyataannya sulit dilakukan karena keterbatasan
sumberdaya..
 Disamping kritik tersebut, sistem permukiman sebagai pembentukintegrasi spasial
sering tidak dapat berjalan sebagaimana yang diinginkan. Kegagalan permukiman
untuk mendukung terbentuknya integrasi spasial ini diantaranya disebabkan:
1. Jumlah pusat-pusat dan permukiman yang skalanya lebih kecil tidak memadai
sehingga tidak terbentuk hirarki permukiman. Keadaan ini disebabkan oleh dua
kondisi, yakni:
a). jumlah penduduk terlalu sedikit sehingga penyediaan prasarana menjadi
tidak efisien;
b).secara spasial letak (lokasi) permukiman-permukiman tersebut berjauhan
sehingga tidak dapat membentuk suatu sistem pelayanan.
2. Distribusi fasilitas dan pelayanan diantara permukiman-permukiman tidak
memadai, bahkan untuk fasilitas pelayanan dan infrastruktur "dasar" seperti
kesehatan dan pendidikan.
3. Tidak terdapat keterkaitan (interaksi) antar pusat permukiman maupun antar
permukiman dengan wilayah pelayanannya.
Untuk menciptakan suatu sistem permukiman (sistem keruangan) yang
terintegrasi, terdapat berbagai instrumen intervensi yang dapat dilakukan, antara lain :
pertama, pengembangan kapasitas pelayanan (fasilitas) dari pusat-pusat permukiman
yang ada; kedua, pembentukan dan penguatan keterkaitan spasial antar pusat
permukiman dan antara pusat permukiman tersebut dengan wilayah pelayanannya
(belakang); ketiga, pengembangan wilayah belakang.
Contoh Kasus Indonesia : Pengembangan Kota-kota Kecil dan menengah atau strategi
dekonsentrasi planologis, rural urban linkages. Sebagian besar masih dalam tataran
konsep (tidak operasional)

Tabel
KETERKAITAN UTAMA DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH

TIPE KETERKAITAN ELEMEN KETERKAITAN


Keterkaitan Fisik  Jaringan jalan
 Jaringan transportasi sungai dan air
 Jaringan rel kereta api
 Ketergantungan ekologi
Keterkaitan Ekonomi  Pola pemasaran
 Aliran bahan mentah dan bahan setengah jadi
 Aliran modal
 Keterkaitan produksi ke depan dan kebelakang
(forward and backward linkages)
 Pola konsumsi dan belanja
 Aliran komoditas secara lintas sektoral dan lintas
regional
Keterkaitan Pergerakan  Migrasi permanen atau temporer yang malakukan
Penduduk perjalanan dalam rangka bekerja.
Keterkaitan Teknologi  Ketergantungan teknologi
 Sistem irigasi
 Sistem telekomunikasi
Keterkaitan Interaksi Sosial  Pola kunjungan
 Pola kekerabatan
 Kegiatan ritual dan keagamaan
 Interaksi kelompok-kelompok sosial
Keterkaitan Pelayanan Jasa  Jaringan aliran energi
 Jaringan kredit dan finansial
 Jaringan pendidikan, peltihan, dan perluasannya
 Sistem pelayanan kesehatan
 Pola pelayanan profesi, perdagangan, dan teknik
 Sistem pelayanan transportasi
Keterkaitan Politik,  Hubungan struktural
Administrasi, dan  Aliran budget pemerintah
Organisasi  Ketergantungan organisasi
 Pola pengawasan kewenangan dan persetujuan
 Pola transaksi antar jurisdiksi
 Rantai keputusan politik informal
Sumber : Dennis A. Rondinelli, Applied Methods of Regional Analysis (1985:143)

STRATEGI PENGEMBANGAN KOTA-KOTA KECIL


(DEKONSENTRASI PLANOLOGIS)
Strategi ini didasarkan anggapan bahwa di negara berkembang pengembangan dari
atas, yang menitikberatkan pembangunan industri di kota besar (metropolitan), tidak
akan dapat dijalarkan ke seluruh wilayah. Kota-kota ukuran sedang atau menengah
tidak mampu menciptakan eksternal ekonomi yang dibutuhkan untuk menjalarkan
pertumbuhan dari kota-kota besar (Hansen, 1981 : 318). Hal ini didukung fakta bahwa
pertumbuhan kota-kota kecil dan sedang (20.000 - 100.000 jiwa) rendah, sebaliknya
kota-kota besar makin tumbuh sehingga cenderung membentuk pola primate.

Disamping itu pemusatan dan pembauran berbagai fungsi dan kegiatan perkotaan, baik
fungsi primer maupun sekunder di pusat kota (kota induk) telah menyebabkan
timbulnya berbagai macam permasalahan, diantaranya terjadinya pemusatan (tekanan)
penduduk terutama akibat derasnya arus migrasi penduduk yang datang ke pusat kota.
Dalam konteks ini pusat kota cenderung berkembang meluas menjadi metropolitan atau
mega urban yang meraksasa dan seolah-olah meraup sumberdaya daerah disekitarnya.

Pengembangan kota-kota kecil dan kota sekunder adalah salah satu upaya
dekonsentrasi planologis, yaitu mengembangkan pusat-pusat baru di dalam suatu
wilayah kota besar atau metropolitan, dengan tujuan untuk meratakan perkembangan
di dalam wilayah tersebut. Selanjutnya strategi ini tidak hanya berorientasi kepada
pembangunan perdesaan saja tetapi juga menjalarkan inovasi dan pelayanan bagi
aliran produksi pertanian dan industri ringan dari perdesaan ke kota kecil dan kota yang
lebih besar, sehingga perluasan sistem kota-kota dikaitkan langsung dengan
peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan sejak awal proses pembangunan.
Secara teoritis bentuk pengembangan tersebut adalah upaya mengembangkan pusat-
pusat pertumbuhan baru dalam ruang. Konsep ini pada dasarnya merupakan
pengembangan lebih lanjut daripada konsep ‘Growth Poles’.

Dalam pengembangan kota-kota kecil dan pusat-pusat pertumbuhan yang baru terjadi
proses integrasi antara sektor pertanian dan industri. Strategi ini diharapkan mampu
mengembangkan kesempatan kerja yang luas (60-80%) untuk menahan penduduknya
sendiri maupun penduduk di daerah belakangnya (hinterland) sehingga mereka tidak
bermigrasi ke kota utama (urbanisasi dari bawah). Oleh karena itu pusat-pusat
pertumbuhan baru paling tidak harus mempunyai unsur-unsur (entitas) yang mampu
mempengaruhi perkembangan kawasan ekonomi pengaruhnya. Umumnya unsur ini
adalah kegiatan industri pendorong (Propulsive Industry) yang dapat membangkitkan
tumbuhnya berbagai kegiatan laian, seperti industri pelayanan, perdagangan, jasa dan
sebagainya.

Pengembangan dekonsentrasi planologis ada dua macam, yaitu pengembangan kota-


kota baru dan pusat-pusat pertumbuhan baru. Pada prinsipnya, kedua macam
pengembangan dekonsentrasi tersebut mempunyai tugas dan peranan yang sama, yaitu
mengurangi beban kota utama. Pengembangan kota baru dibangun selengkapnya pada
lahan yang masih kosong, sedangkan pengembangan pusat-pusat pertumbuhan baru
adalah pengembangan pusat-pusat yang sudah ada di sekotar kota utama (Hansen,
1972). Dalam konteks pembangunan wilayah kota sebagai suatu sistem wilayah,
pengembangan kota-kota kecil di sekitar kota utama merupakan bentuk pengembangan
pusat-pusat pertumbuhan baru dalam rangka memenuhi tingkat kebutuhan
penduduknya dan mengurangi beban kota utama.

Secara pragmatis, dekonsentrasi planologis dapat dikatakan sebagai upaya penyebaran


satu atau beberapa fungsi dari kota inti ke kota-kota kecil di sekitarnya. beberapa fungsi
penting kota utama sengaja dipindah atau dikeluarkan serta ditempatkan di beberapa
kota kecil disekitarnya, Misalnya relokasi industri ke daerah pinggiran kota. Selain itu
ada beberapa tujuan yang ingin dicapai dari strategi dekonsentrasi planologis, antara
lain:
1. Memberikan kesempatan pertumbuhan bagi kota kecil
2. Mendorong lingkungan kehidupan kekotaan (urbanized) secara lebih merata
3. Mengurangi beban masalah kota besar
4. Menahan laju pertumbuhan pertumbuhan kota-kota besar yang tidak terkendali
5. Menciptakan hubungan fungsional kota-kota yang lebih baik dalam sistem
perkotaan

Untuk melaksanakan strategi ini, selain dilakukan pengembangan fasilitas pada kota
kecil tersebut lebih penting lagi adalah pengembangan berbagai prasarana yang akan
mendukung pengembangan pertanian, serta kebijaksanaan lain yang menguntungkan
petani, seperti kebijaksanaan harga, pajak, bantuan kredit, dan sebagainya.
Kebijaksanaan lain yang diperlukan adalah desentralisasi kewenangan yang memadai
untuk pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal.

Lebih lanjut strategi dekonsentrasi planologis ini bisa dijabarkan dan diperluas dalam
bentuk counter magnet strategy, kota kecil, kota baru, kota satelit, dormitory town, dan
sebagainya. Pada dasarnya konsep counter magnet asal mulanya dilhami oleh rencana
pengembangan garden city.

Counter magnet strategy adalah pengembangan kota-kota kecil dan menengah untuk
dapat menandingi perkembangan dari kota utama (primate city) agar lebih dapat
mendifusikan aspek-aspek kota secara keruangan (Townroe, 1982). Strategi ini dalam
operasionalnya didukung oleh teori pengembangan wilayah seperti Konsep Kutub
Pertumbuhan (The Conceps of Growth Poles), Teori ajang Pusat (The Theory of Central
Places), dan lain sebagainya. Selain aspek spasial, strategi ini juga memiliki fokus pada
pemecahan masalah-masalah pokok non spasial seperti kemiskinan, pengangguran, dan
ketidakmerataan (inequality).

No. KEBIJAKSANAAN PENGEM PENGEM PENGEMBANGAN


PEMBANGUNAN BANGAN KUTUB BANGAN RUANG PENGEMBANGAN
NASIONAL PERTUMBUHAN AGROPOLITAN TERINTEGRASI KOTA-
KOTA KECIL
1. Menitikberatkan Pembangunan Pembangunan Pembangunan Pembangunan
pembangunan Ekonomui Sosial Ekonomi ekonomi,
ekonomi dan terpenuhinya
terpenuhinya kebutuhan
kebutuhan pokok pokok
2. Pemerataan dengan Pertumbuhan Pemerataan, dan Pertumbuhan Pemerataan
pertumbuhan dahulu tujuan sosial lain dengan dahulu, baru
pemerataan pertumbuhan
3. Keseimbangan dan Menitikberatkan Pembangunan Integrasi Keseimbangan
kesesuaian pembangunan di perdesaan pembangunan kota - desa dari
hubungan kota-desa kota kota dan desa kota kecil
4. Integrasi sistem Integrasi Ketertutupan, Integrasi Mengarah
ekonomi nasional keberdikarian kepada integrasi
distrik
5. Keseimbangan Titik berat pada Titik berat pada Keseimbangan Pertanian dan
sektor Industri dan industri pertanian industri dan industri kecil
Pertanian pertanian
6. Keterkaitan sektor Titik berat pada Titik berat pada Kaitan sektor Titik berat
modern dan sektor modern pertanian modern dan sektor
tradisional sejak tradisional tradisional, lokal
mula
7. Pembangunan ‘dari Dari atas Dari bawah Dari atas dan dari Dari bawah
atas’ dan ‘dari bawah
bawah’
8. Terbuka terhadap Secara tidak Pemutusan Tidak Tidak
sistem pasar dunia, langsung ketergantungan, mensyaratkan mensyaratkan
dan mengurangi mensyaratkan dengan
ketergantungan keterbukaan, ketertutupan
secara bertahap ketergantungan atau berdikari
yang besar

Anda mungkin juga menyukai