PENGERTIAN
Growth Poles atau kutub pertumbuhan pertama kali dipergunakan oleh Francois
Perroux (1950). Dengan tesisnya : “……. Pertumbuhan tidak terjadi di sebarang tempat
dan juga tidak terjadi secara serentak, tetapi pertumbuhan terjadi pada titik-titk atau
kutub-kutub pertumbuhan dengan intensitas yang berubah-ubah, lalu pertumbuhan itu
menyebar sepanjang saluran yang beraneka ragam dan dengan pengaruh yang dinamis
terhadap perekonomian wilayah”
Pengertian kutub pertumbuhan yang dikemukakan oleh Perroux ini merupakan suatu
konsep ekonomi, sehingga tidak memiliki dimensi ruang. Untuk menjelaskan
pengertian tersebut, Perroux menciptakan suatu “ruang abstrak” atau ruang dalam
pengertian ekonomi, ruang sebagai suatu kumpulan kekuatan ekonomi;
Pengertian Growth Pole yang terkait dengan ruang sebagai suatu kumpulan kekuatan
ekonomi, yang didefinisikan oleh Perroux sebagai pusat (focii) memiliki gaya
sentrifugal yang memiliki kekuatan untuk “mendorong” dan gaya sentripetal yang
memiliki kekuatan untuk “menarik”. Setiap pusat mempunyai daya tarik dan daya tolak
dalam suatu medan daya tarik dan daya dorong bersama dengan pusat-pusat lainnya.
dengan pengertian ini berarti suatu Growth Poles akan berperan memacu (menarik dan
mendorong) perkembangan ekonomi di wilayah pengaruhnya.
Dalam konteks pertumbuhan, Perroux menyatakan bahwa yang menjadi medan magnet
adalah kegiatan industri.. Menurutnya, untuk mencapai pertumbuhan yang mantap dan
berimbang diperlukan konsentrasi investasi pada sektor-sektor tertentu yang unggul
(leading sectors). Dalam perkembangan selanjutnya akan terjadi suatu proses seleksi
alam sehingga suatu sektor akan makin penting, sementara sektor lainnya justru
menghilang. Proses seleksi ini terkait dengan mekanisme pasar dan inovasi
wirausahawan yang sangat penting dalam proses pembangunan (Hansen, 1981 : 19).
Industri-industri dan kegiatan-kegiatan yang akan berkembang dan membentuk kutub
pertumbuhan tersebut memiliki beberapa ciri sebagai Leading Industries dan
Propulsive Industries , antara lain:
Pengembangan wilayah melalui konsep ini secara nyata akan terlihat dari
perkembangan kota-kota sebagai kutub pertumbuhan-kutub pertumbuhan di suatu
wilayah. Kota-kota pusat pertumbuhan tersebut memiliki tingkat kemajuan berbeda dan
saling berinteraksi sehingga pada kondisi ideal dapat membentuk suatu pola kota yang
hirarkis. Dari hirarki kota ini diharapkan dapat terjadi proses penyebaran kemajuan
antar kota di wilayah tersebut yang pada dasarnya berlangsung dalam beberapa cara,
yaitu (Munir, 1984 : 39):
1. perluasan kegiatan ekonomi ke wilayah pasar yang baru yaitu dari pusat terbesar
kepada yang kecil;
2. perpindahan kegiatan berupah rendah dari pusat yang besar ke pusat yang lebih
kecil karena meningkatnya upah di kota (pusat) yang lebih besar;
3. memberikan alternatif lokasi yang lebih baik untuk kegiatan industri yang
mempunyai wilayah pasar dan kebutuhan prasarana yang berbeda sehingga
operasinya lebih efisien;
4. dorongan investasi dari wirausahawan yang disebarkan melalui hirarki.
1
Pemberian dimensi ruang atau spasial pada konsep Growth Poles ini melahirkan istilah kutub-kutub pertumbuhan
(development poles), pusat-pusat pertumbuhan (growth centers), titik-titik pertumbuhan (growth points), daerah-
daerah pertumbuhan (growth areas), zona-zona pertumbuhan (growth zones), dan wilayah inti atau pusat (core
region) yang menyarankan pengembangan pusat pertumbuhan dalam memajukan atau mengembangkan wilayah
2
timbul karena fasilitas pelayanan sosial dan ekonomi dapat digunakan secara bersama-sama sehingga pembebanan
ongkos untuk masing-masing
Friedman akan melahirkan kota utama dan wilayah sekitarnya yang menjadi Inti (Core)
dari sistem kota-kota nasional dan Pinggiran (Periphery) yang berada di luar serta
bergantung pada Inti. Perkembangan disebarkan dari inti ke pinggiran melalui
pertukaran penduduk, barang, dan jasa. Kota sebagai inti berpengaruh atas wilayah
pinggirannya,
Hubungan antara Core atau pusat pertumbuhan dengan Periphery dilukiskan dengan
dua efek. Menurut, Myrdall (1957), pertama efek sebar ’ Spread Effect’ dan efek serap
balik ‘Backwash Effect’.
Spread Effect terjadi apabila ekspansi kegiatan ekonomi pada Core membutuhkan input
bahan baku dari daerah sekitarnya (mekanisme input-output).. Sebaliknya ‘Backwash
Effect’ terjadi jika industri propulsif tertentu, cenderung hanya akan menarik modal dari
daerah sekitarnya sehingga output akan lebih tinggi. Menurutnya, ‘backwash effect’
akan menjadi lebih kuat dari ‘spread effect’ yang ditandai dengan adanya penyerapan
ekonomi wilayah sekitarnya ke pusat-pusat pertumbuhan wilayah tersebut, yang
berakibat kesenjangan wilayah..
2. STRATEGI AGROPOLITAN
TUJUAN AGROPOLITAN
1. Wilayah agropolitan tersebut harus merupakan wilayah yang tertutup. Hal ini
terkait dengan kebijaksanaan untuk memanfaatkan sumberdaya lokal dan melawan
sistem perdagangan bebas dan mekanisme pasar yang eksploitatif. Melalui
perusahaan-perusahaan multinasional. Ekspresi kemampuan masyarakat untuk
mengembangkan wilayah dengan kemampuannya sendiri (self relience);
2. Mengarahkan pemanfaatan sumberdaya untuk kepentingan wilayah tersebut
sehingga terjadi akumulasi perkembangan di dalam wilayah itu sendiri;
3. Aksesibilitas penduduk yang sama terhadap kekuatan sosial dan faktor produksi.
Basis untuk akumulasi kekuatan sosial ini diantaranya ialah aset produktif dari
faktor produksi seperti tanah, air dan alat produksi lainnya, sumberdaya finansial,
informasi, pengetahuan dan ketrampilan, organisasi sosial-politik.
Konsep pengembangan wilayah terpadu pernah dilaksanakan melalui berbagai ragam program
pengembangan wilayah terpadu, yang pada asalnya merupakan upaya pembangunan wilayah-wilayah
khusus yang bersifat lintas sektoral dan sekaligus meningkatkan kesejahteraan masyarakat serta
penanggulangan kemiskinan di daerah-daerah yang relatif tertinggal. Pada dasarnya program ini
berorientasi pada strategi pemerataan pembangunan, yang dapat berorientasi sektoral apabila terkait
dengan beragamnya kegiatan sektoral dalam satu wilayah, dan dapat berorientasi regional apabila terkait
dengan upaya suatu wilayah untuk meningkatkan perekonomian dan kesejahteraan dari suatu kawasan
tertentu agar dapat memiliki kondisi sosial ekonomi yang lebih meningkat.
Pendekatan yang komprehensif dan mengacu pada keterpaduan antar sektor telah banyak
dilakukan, dalam berbagai fokus kawasan pengembangan, seperti pengembangan wilayah kepulauan,
pengembangan konservasi lahan kritis atau yang terkait dengan kepentingan mempertahankan dan
melestarikan lingkungan hidup, pengembangan kawasan penyangga, pengembangan sosial budaya
pembinaan masyarakat terasing dan pengembangan wilayah tertinggal atau perbatasan 6. Program-program
yang telah pernah dijalankan adalah misalnya program-program pengembangan wilayah terpadu (PPWT)
di beberapa wilayah propinsi di Yogyakarta, Sulawesi, NTT, Irian Jaya; program-program integrated
community development program di taman-taman nasional, wilayah pantai atau wilayah konservasi
lainnya.
Sasaran utama dari program-program ini umumnya adalah peningkatan kesejahteraan dan mutu
sumber daya manusia, perbaikan mutu lingkungan hidup kawasan, dan pembangunan wilayahnya. Untuk
mencapai sasaran tersebut, maka pendekatan yang dipakai adalah pendekatan pengembangan wilayah
secara terpadu, dalam artian penanganan pelaksanaan program dilakukan melalui serangkaian kegiatan
yang bersifat multisektor, serta disesuaikan menurut permasalahan yang dihadapi oleh masing-masing
kawasan atau daerah. Aspek-aspek utama kegiatannya didasarkan pada pengembangan kualitas
kemampuan sumber daya manusia melalui berbagai bentuk pelatihan, transformasi teknologi, keahlian
dalam berbagai bidang, serta berorientasi pada kebutuhan permintaan pasar di daerah. Kegiatannya
sendiri mengikutsertakan pemberian fasilitas peralatan dan permodalan yang dalam beberapa kasus harus
dikembangkan dalam bentuk dana bergulir sehingga menjamin keberlanjutan program.
Pengelolaan program-program dengan pendekatan keterpaduan, sepenuhnya melibatkan
pemerintah daerah tingkat kabupaten dan masyarakat, dengan memberikan peluang yang lebih besar
kepada lembaga swadaya masyarakat, kaum wanita, kaum muda, dan organisasi masyarakat lainnya, untuk
dapat berperan serta. Koordinasi penanganan program dilakukan melalui pembentukan kelompok kerja
yang terdiri atas instansi terkait di tingkat kabupaten yang sesuai dengan program kegiatan yang dilakukan
secara lintas sektoral tersebut. Koordinasi tersebut dilakukan oleh Bappeda Kabupaten dan Biro
Penyusunan Program Setwilda Kabupaten, khususnya dalam rangka memperkuat kemampuan aparatur
dan kelembagaannya, serta untuk menjamin keterpaduan, kesinambungan program, terutama dikaitkan
dengan pembiayaan program yang dikaitkan dengan kegiatan program pembangunan lainnya, apakah
program sektoral, regional, khusus, maupun yang berbantuan luar negeri. Pemikiran akan kesinambungan
program diperlukan, mengingat program-program pemerintah dengan pendekatan keterpaduan ini
umumnya dianggap sebagai stimulan kegiatan di kawasan yang dibangun, dan dengan pelaksanaan riil
pembangunan wilayah memerlukan waktu yang tak terbatas, maka kesinambungan program hanya dapat
terjadi bila pemerintah daerah setempat memberikan kontribusi pendanaan dan masyarakat setempat
terlibat secara langsung dalam pelaksanaan dan pengelolaan kegiatan.
Namun demikian, pendekatan pembangunan secara terpadu tersebut belum secara optimal
diikuti dengan pengembangan kelembagaan pengelolaan pada tatanan lokal yang dapat menjamin
keberlanjutan program pada masyarakat di daerah, sehingga tidak tercipta kesinambungan seperti yang
diharapkan. Selain itu, kurang adanya komitmen serta tidak terciptanya koordinasi yang kuat antarsektor
di daerah, yang menyebabkan tidak terpadunya program kegiatan dan lokasi antara satu program dengan
program lainnya, dan antara satu lokasi dan lokasi lainnya. Program kegiatannya pun masih berorientasi
pada kegiatan pembangunan prasarana dan sarana fisik, dan kegiatan pengembangan produksi tanaman
pangan, perkebunan, perikanan, dan peternakan, yang belum memperhatikan transfer pengetahuan
teknologi dan pasar yang dapat diadopsi masyarakat lokal untuk kesinambungan program pada tahapan
selanjutnya. Pola pengelolaan sumber daya modal dalam sistem bergulir pun belum banyak dipahami, dan
terhambat oleh adanya budaya dan akses terhadap sumber
Pendekatan alternatif ini didasari pemikiran bahwa dengan adanya integrasi sistem
pusat-pusat pertumbuhan yang berjenjang dan berbeda karakteristik fungsionalnya,
maka pusat-pusat tersebut akan dapat memacu penyebaran pembangunan wilayah
(Rondinelli, 1983:4). Pendekatannya adalah memacu perkembangan sektor pertanian
yang diintegrasikan dengan sektor industri pendukungnya. Berdasarkan asumsi
tersebut, sasaran dari strategi ini adalah meningkatkan produksi pertanian, memperluas
lapangan kerja dan meningkatkan pendapatan bagi sebagian besar penduduk, terutama
penduduk yang berada di bawah garis kemiskinan.
Dengan perhatian utama pada sektor pertanian, maka pendekatan ini juga menjelaskan
pentingnya transformasi pola pertanian subsisten menjadi pertanian komersialisasi
dalam pengembangan wilayah. Peningkatan produktivitas harus diikuti oleh
pengembangan sektor industri yang seimbang sehingga kelebihan tenaga kerja sektor
pertanian dapat tertampung. Aktivitas pengolahan dan distribusi produk pertanian
harus mantap dan industri harus dikembangkan untuk menghasilkan input-output
produksi yang berharga murah bagi petani. Pada tahap selanjutnya dikembangkan
berbagai prasarana dan sarana untuk memenuhi kebutuhan dasar (basic needs)
penduduk pedesaan seperti sarana kesehatan dan pendidikan.
Untuk mendukung perkembangan pertanian sehingga nilai komersial produk pertanian
meningkat di pedesaan, maka permukiman-permukiman harus membentuk suatu
sistem yang terintegrasi sehingga pelayananan sarana dan prasarana dapat berlokasi
secara efisien dan penduduk perdesaan memiliki akses yang baik terhadap sarana
tersebut, sehingga mampu diakses oleh semua lapisan masyarakat pedesaan. Tanpa
akses terhadap pusat-pusat pasar yang terintegrasi maka penduduk pedesaan (petani)
akan mengalami kesulitan di dalam pemasaran hasil pertanian, sulit mendapatkan
input-output produksi, modernisasi pola-pola pertanian, penyesuaian produk terhadap
selera pasar (konsumen) dan mendapatkan pelayanan-pelayanan yang dibutuhkan
untuk meningkatkan kualitas hidup dipedesaan (Rondinelli, 1983 :5).
Menurut Brian Berry dalam Rondinelli (1983) seiring dengan pertumbuhan ekonomi
suatu wilayah maka pusat-pusat (central places yaitu permukiman-permukiman yang
juga melayani penduduk di sekitarnya) akan menyebar dan membentuk suatu sistem
yang terintegrasi. Pusat-pusat yang diarahkan berdasarkan pendekatan ini haruslah
merupakan pusat-pusat yang terintegrasi secara hirarki. Dengan demikian perlu
diciptakan suatu sistem yang dapat mengintegrasikan pusat-pusat pelayanan,
perdagangan dan produksi yang berhirarki. Adanya integrasi ini akan memberikan
berbagai manfaat baik bagi pemerintah maupun bagi penduduk di sekitar pusat
tersebut. Fisher dan Rusthon (dalam Rondinelli, 1983 : 5-6) mengemukakan berbagai
manfaat tersebut yaitu:
1. Efisien bagi konsumen karena berbagai kebutuhan dapat dipebuhi dalam satu kali
pepergian (trip) keluar dari desanya;
2. Mengurangi jumlah transportasi yang dibutuhkan untuk melayani pergerakan antar
desa karena masyarakat sudah mengenal berbagai alternatif jalur hubungan (link)
sehingga dapat diketahui jalur hubungan yang paling penting dan kemampuan
pemenuhan kebutuhan fasilitas transportasi yang terbatas dapat dimanfaatkan
secara optimal;
3. Mengurangi panjang jalan yang memerlukan peningkatan karena jalur yang paling
penting bagi setiap desa diketahui sehingga dapat ditentukan prioritas
pengembangan jaringan jalan;
4. Dengan keuntungan aglomerasi, biaya penyediaan berbagai kebutuhan pelayanan
bagi fasilitas-fasilitas akan dapat dikurangi karena biaya tersebut akan ditanggung
secara bersama;
5. Karena berbagai fasilitas tersebut berada di lokasi yang sama maka upaya untuk
memonitoring berbagai aktivitas di pusat tersebut menjadi lebih mudah;
6. Memudahkan interaksi antar individu termasuk pertukaran informasi yang akan
berguna dalam proses modernisasi;
7. Lokasi-lokasi yang memiliki keunggulan akan dapat berkembang secara spontan
sebagai respon terhadap kebutuhan wilayah belakangnya (hinterland).
Seperti yang telah dijelaskan pada bagian sebelumnya keterkaitan spasial merupakan
elemen kunci dari pendekatan integrasi spasial. Selain itu perkembangan pada suatu
wilayah dipengaruhi oleh perkembangan dan perbedaan fungsi permukiman serta
keterkaitan antar permukiman maupun antara permukiman dengan wilayah
pengaruhnya (pelayanannya). Kenyataan memperlihatkan bahwa suatu wilayah bukan
hanya dibentuk oleh sistem permukiman yang terpisah dengan fungsi masing-masing,
namun juga oleh jaringan dan interaksi sosial, ekonomi, dan fisik. Proses interaksi
tersebut dimungkinkan oleh adanya keterkaitan antar permukiman.
Dengan adanya keterkaitan spasial ini penduduk yang tinggal di wilayah pedesaan
memiliki aksesibilitas terhadap berbagai pelayanan, fasilitas, infrastruktur, dan kegiatan
perekonomian yang berlokasi di pusat-pusat desa, kota pasar (kecamatan), maupun
pusat wilayah (regional). Melalui hubungan keterkaitan ini pula, diharapkan penduduk
pedesaan dapat memperoleh input yang dibutuhkannya untuk meningkatkan
produktivitas pertanian dan mendukung kegiatan pemasaran dari berbagai produk yang
dihasilkan, terutama produk pertanian dan industri skala kecil (rumah tangga).
Tabel
KETERKAITAN UTAMA DALAM PEMBANGUNAN WILAYAH
Disamping itu pemusatan dan pembauran berbagai fungsi dan kegiatan perkotaan, baik
fungsi primer maupun sekunder di pusat kota (kota induk) telah menyebabkan
timbulnya berbagai macam permasalahan, diantaranya terjadinya pemusatan (tekanan)
penduduk terutama akibat derasnya arus migrasi penduduk yang datang ke pusat kota.
Dalam konteks ini pusat kota cenderung berkembang meluas menjadi metropolitan atau
mega urban yang meraksasa dan seolah-olah meraup sumberdaya daerah disekitarnya.
Pengembangan kota-kota kecil dan kota sekunder adalah salah satu upaya
dekonsentrasi planologis, yaitu mengembangkan pusat-pusat baru di dalam suatu
wilayah kota besar atau metropolitan, dengan tujuan untuk meratakan perkembangan
di dalam wilayah tersebut. Selanjutnya strategi ini tidak hanya berorientasi kepada
pembangunan perdesaan saja tetapi juga menjalarkan inovasi dan pelayanan bagi
aliran produksi pertanian dan industri ringan dari perdesaan ke kota kecil dan kota yang
lebih besar, sehingga perluasan sistem kota-kota dikaitkan langsung dengan
peningkatan kesejahteraan penduduk perdesaan sejak awal proses pembangunan.
Secara teoritis bentuk pengembangan tersebut adalah upaya mengembangkan pusat-
pusat pertumbuhan baru dalam ruang. Konsep ini pada dasarnya merupakan
pengembangan lebih lanjut daripada konsep ‘Growth Poles’.
Dalam pengembangan kota-kota kecil dan pusat-pusat pertumbuhan yang baru terjadi
proses integrasi antara sektor pertanian dan industri. Strategi ini diharapkan mampu
mengembangkan kesempatan kerja yang luas (60-80%) untuk menahan penduduknya
sendiri maupun penduduk di daerah belakangnya (hinterland) sehingga mereka tidak
bermigrasi ke kota utama (urbanisasi dari bawah). Oleh karena itu pusat-pusat
pertumbuhan baru paling tidak harus mempunyai unsur-unsur (entitas) yang mampu
mempengaruhi perkembangan kawasan ekonomi pengaruhnya. Umumnya unsur ini
adalah kegiatan industri pendorong (Propulsive Industry) yang dapat membangkitkan
tumbuhnya berbagai kegiatan laian, seperti industri pelayanan, perdagangan, jasa dan
sebagainya.
Untuk melaksanakan strategi ini, selain dilakukan pengembangan fasilitas pada kota
kecil tersebut lebih penting lagi adalah pengembangan berbagai prasarana yang akan
mendukung pengembangan pertanian, serta kebijaksanaan lain yang menguntungkan
petani, seperti kebijaksanaan harga, pajak, bantuan kredit, dan sebagainya.
Kebijaksanaan lain yang diperlukan adalah desentralisasi kewenangan yang memadai
untuk pengambilan keputusan sesuai dengan kondisi dan kebutuhan lokal.
Lebih lanjut strategi dekonsentrasi planologis ini bisa dijabarkan dan diperluas dalam
bentuk counter magnet strategy, kota kecil, kota baru, kota satelit, dormitory town, dan
sebagainya. Pada dasarnya konsep counter magnet asal mulanya dilhami oleh rencana
pengembangan garden city.
Counter magnet strategy adalah pengembangan kota-kota kecil dan menengah untuk
dapat menandingi perkembangan dari kota utama (primate city) agar lebih dapat
mendifusikan aspek-aspek kota secara keruangan (Townroe, 1982). Strategi ini dalam
operasionalnya didukung oleh teori pengembangan wilayah seperti Konsep Kutub
Pertumbuhan (The Conceps of Growth Poles), Teori ajang Pusat (The Theory of Central
Places), dan lain sebagainya. Selain aspek spasial, strategi ini juga memiliki fokus pada
pemecahan masalah-masalah pokok non spasial seperti kemiskinan, pengangguran, dan
ketidakmerataan (inequality).