Anda di halaman 1dari 2

9.

Takrif iltizam
Iltizam menurut pengertian hukum adalah:

‫“ کﻮﻥشﺧﺺ ﻣڪﻟﻑ شرﻋﺎ ﺑﻌﻣﻞ ﺃﻭﺍﻣﺘﻧﺎ ﻉ ﻣﻦﻋﻤﻝ ﻠﻤصﻟﺣﺔ ﻏﻴﺭﮦ‬seseorang yang dibebani menurut syara’
mengerjakan suatu pekerjaan atau tak mengerjakan untuk kemaslahatan orang lain”.[6]

Menurut pendapat saya, inilah takrif yang paling tepat bagi iltizam jika ditinjau dari segi hukum.

Para sarjana yang mengatakan teori iltizam membuat beberapa istilah intuk pihak-pihak yang
bersangkutan, yaitu dain dan madin. Dain atau kreditur dinamakan multazam lahu, madin atau
debitur dinamakan multazim, sedangkan hutang dinamakan mahallul iltizam. Sebenarnya istilah-
istilah kreditur maupun debitur ini tidak sesuai dengan ‘urf Fiqh islam dengan istilah terhadap
iltizam yang sifatnya mengerjakan sesuatu, seperti iltizam buruh, sipenyewa dan suatu obyek
yang mempunyai qimah adabiyah, seperti seorang istri yang wajib menaati suaminya. Maka
sangatlah baik kalau kita mengikuti apa yang disampaikan dalam hukum Islam, yakni dengan
menggunakan istilah multazim atau multazam lahu dan iltizam, tidak memakai istilah kreditur
atau debitur tersebut. Jadi jelasnya, kalau orang umum mengikuti orang- orang barat dengan
mengunakan istilah istilah kredditur atau debitur, maka istilah ini tidak dapat kita terapkan
kepada sesuatu yang sifatnya bernilai adabi. Selain itu juga jika kita menggunakan istilah
kreditur maupun debitur, maka pengerttian yang dapat kita pahami hanya mengenai suatu yang
berkenaan dengan maadiyah, dan juga tidak bisa dditerapkan pada sesuatu yang berkenaan
dengan adabiyah. Karena tidak ada hutang piutang antara soal ketaatn istri terhadap suami
misalnya. Jika kita melihat perkembangan sejarah, lafadz iltizam yang diungkap atau biasa
dipakai oleh para puqaha tentang iltizam ternyata sudah terlebih dahulu dipakai, sebelum orng-
orang barat dengan hukum – hukum mereka mengatakan iltizam sebagai krreditur dan debitur
dalam istilah mereka. Dan sebagai bukti bahwa iltizam itu adalah lafadz yang terlebih dahulu
dipakai ; Asy Syathiby berkata :

“diantara syarat berpautan titah Allah dengan para mukallaf, ialah mungkin dipahami titah itu;
karena sesungguhnya titah itu, ilzam yang menghendaki iltizam”[7]. Jadi dengan bukti tersebut
diatas dapat dikatakan iltizam itu lebih baik dipakai dari padda istilah- istilah yang disampaikan
oleh orang- orang maupun hukum p hukum barat tersebut.

10.Mashadirul (sumber) iltizam

Masdar iltizam, ialah: “sesuatu peristiwa atau suatu urusan yang dari padanya terjadi
iltizam”. Sesuatu ini dinamakan mashdar iltizam. maka iltizam antara penjual dan pembeli
mashdarnya adalah aqad bai’. Iltizam orang yang merusakkan harta orang lain ialah tindaknya
yang merusakkan harta orang lain itu. Iltizam ayah bagi nafkah anaknya ialah syara’.
Ahli-ahli fiqh dan ahli ushul menandaskan bahwasannya segala akad adalah sebab bagi
hukum-hukum yang timbul dari padanya yaitu iltizam. Kalau demikian, akhadlah yang menjadi
mashdar iltizam, itulah yang terjadi sebabnya.
Mashdr-mashdar iltizam ini tersimpul dalam buku mashdar, yaitu: akad, iradah,
mumfaridah, perbuatanya yang mendatangkan kemudaratan, perbuatan yang menghasilkan
kemanfaatan dan syara’.
Arti mashdar, ialah: “ segala yang lazim atau pasti dilakukan berdasarkan kepada salah
satu dari lima tersebut diatas dan yang timbul daripadanya.” Dalam pada itu mashdar-mashdar
ini tidaklah harus berkumpul semuanya untuk sesuatu iltizam, tidak sebagaimana adanya syarat
untuk mewujudkan masyaruth. Mashdar ini merupakan sebab, maka sebab itu masing-
masingnya berdiri sendiri. Dan yang dikehendaki dengan mashdar iltizam, ialah “sebab yang
langsung menimbulkan iltizam”
11.Waqi’ah syar,iyah
Perubahan yang menimbulkan suatu bekasan, itulah yang dinamakan wa’qiah syar’iyah.
Waqi’ah syar’iyah ini adakalanya kembali kepada iradah manusia, adakalanya kembali kepada
bukan iradah manusia. Umpamanya: berembusnya angin badai, meletusnya gunung berapi,
mungkin dipandang suatu kekuatan yang memaksa untuk membebaskan mukallaf dari sebagian
iltizam. seperti apabila kejadian-kejaadian itu tidak memungkinkan lagi si penyewa mengambil
manfaat yang disewa. Umpamanya kita menyewa satu rumah, lalu karena angin badai rumah itu
dibawa angin, maka sudah barang itu tentu kita tidak lagi membayar sewanya, kepada pemilik
rumah, atau tak dapat seseorang pengurus mengurus urusanya tepat pada waktunya. Maka
tidaklah diharuskan dia membayar kerugian karena sudah timbul suatu perubahan dari alam.

Dan terkadang waqi’ah itu dari perbuatan manusia yang tidak mempunyai iradah dan tidak
mempunyai ahliyah. Contohnya: orang gila, anak kecil, yang belum mempunyai mumayyiz.
Maka apabila mereka merusakkan harta orang lain tidaklah dikenakan ganti rugi.

Dan terkadah waqi,ah syar,iyah ini dari perbuatan manusia yang mempunyai irradah tetapi
irradahnya tidak turut campur, seperti kelahiran anak. Maka peristiwa itu mewujudkan hak untuk
si anak.

Kesimpulanyya waqi’ah syar’iyah itulah sumber atau mashdar ‘alaqah dan rabithah dalam
bidang hakiki.

Anda mungkin juga menyukai