Anda di halaman 1dari 5

Pinjam meminjam merupakan hal yang biasa terjadi antara individu satu dan individu lain dalam

kehidupan. Pinjam meminjam merupakan salah satu bentuk hablum minannaas dan salah satu
bentuk tolong menolong dalam kebaikan. Secara bahasa pinjam meminjam berasal dari bahasa arab
yaitu ‘Ariyah’. Sedangkan menurut syara’ adalah sebuah akad yang berupa pemberian manfaat suatu
benda halal dari seseorang kepada orang lain, tanpa ada imbalan dan dengan tidak mengurangi atau
merusak benda yang dipinjamkan serta dikembalikan setelah diambil manfaatnya. Dasar hukum
pinjam meminjam terdapat dalam Q.S Al-Maidah ayat 2:

ِ ‫َو َت َع َاو ُنوا َعلَى ْال ِبرِّ َوال َّت ْق َو ٰى ۖ َواَل َت َع َاو ُنوا َعلَى اِإْل ْث ِم َو ْالع ُْد َو‬
ۚ ‫ان‬

Arti: “Dan tolong-menolonglah kamu dalam (mengerjakan) kebajikan dan takwa, dan jangan tolong-
menolong dalam berbuat dosa dan pelanggaran”

Hukum Pinjam Meminjam

Menurut hukum asalnya pinjam meminjam adalah boleh atau mubah, namun dapat berubah
menjadi hukum yang lain apabila dalam keadaan seperti berikut:

Sunnah, apabila pinjam meminjam dilakukan untuk memenuhi kebutuhan hajatnya, lantaran sang
peminjam memang tidak mempunyai barang tersebut. Misalnya meminjam uang untuk membayar
sekolah anak.

Wajib, apabila pinjam meminjam ini dilakukan demi memenuhi kebutuhan yang sangat mendesak,
dan apabila tidak meminjam akan mengalami suatu kerugian atau mara bahaya. Misalnya ada salah
satu anggota keluarga yang sakit parah dan harus segera diobatkan, kalau tidak maka sakitnya akan
semakin parah bahkan berujung kematian, namun keluarga dari orang yang sakit ini tidak
mempunyai biaya, maka sang keluarga wajib meminjam uang untuk mengobatkan anggota keluarga
yang sakit ini.

Haram, apabila pinjam meminjam dilakukan untuk menunjang perbuatan maksiat atau untuk
berbuat jahat dan membahayakan orang lain. Misalnya meminjam sepeda motor yang digunakan
untuk menjambret, meminjam pisau untuk membunuh, dll.

Bagaimanakah Ketentuan Pinjam Meminjam Yang Sesuai Syariat Islam?


Dalam Islam, kegiatan yang berhubungan dengan tingkah laku manusia baik kepada Rabbnya
maupun sesama, semua diatur dalam Al-Quran dan hadits serta sesuai dengan ketentuan syariat,
termasuk kegiatan pinjam meminjam ini, yang masuk dalam ranah Muamalah. Sebenarnya kegiatan
pinjam meminjam tidak sesederhana dan seremeh yang kita anggap dan dilakukan sehari-hari. Hal
ini ada beberapa ketentuan, di antaranya:

Pinjam meminjam harus dilaksanakan atau dimanfaatkan untuk hal-hal yang baik dan halal, karena
pinjam meminjam dalam maksiat hukumnya haram.

Orang yang meminjam barang hanya boleh menggunakan barang yang dipinjamkan sebatas yang
diizinkan oleh pemiliknya.

Orang yang meminjam harus merawat barang yang dipinjamkan dengan baik. Sesuai hadits nabi
berikut:

ْ ‫صلَّي هللاُ َعلَ ْي ِه َو َسلَّ َم َعلَي ْال َي ِد َما َأ َخ َذ‬


)‫(رواه الخمسة االّ النسائ‬  ‫ت َح َّتى ُيَؤ ِّد ْي ِه‬ َ ُّ‫َعنْ َسم َُر َة َقا َل ال َّن ِبي‬

Artinya: “ Dari Samurah, Nabi saw. bersabda: Tanggung jawab barang yang diambil atas yang
mengambil sampai dikembalikannya barang itu. ” (HR. Lima Orang Ahli Hadits).

Akad pinjam-meminjam boleh diputus dengan catatan tidak merugikan salah satu pihak.

Jika barang yang dipinjamkan rusak atau hilang dengan pemakaian sebatas yang diizinkan
pemiliknya, maka peminjam tidak wajib mengganti. Sebab pinjam-meminjam itu sendiri berarti
saling percaya dan mempercayai, Akan tetapi kalau kerusakan barang yang dipinjam akibat dari
pemakaian yang tidak semestinya atau oleh sebab lain, maka peminjam wajib menggantinya. Hal ini
sesuai hadits Nabi SAW:

ِ ‫الزعِ ْي ُم‬
)‫غَار ٌم (رواه ابو داود و الترمذ‬ ِ ‫اَ ْل َع‬
َّ ‫ار َي ُة ُمَؤ َّدةٌ َو‬

Artinya: “Pinjaman wajib dikembalikan, dan orang yang menjamin sesuatu harus membayar“ (H.R.
Abu Daud).

Jika dalam proses mengembalikan barang itu memerlukan ongkos atau biaya maka yang
menanggung adalah pihak peminjam.
Akad pinjam-meminjam akan putus jika salah seorang dari kedua belah pihak meninggal dunia, atau
karena gila. Maka jika terjadi hal seperti itu maka ahli waris wajib mengembalikannya, dan tidak
halal menggunakannya. Dan andaikan ahli waris menggunakannya maka wajib membayar sewanya.

Jika terjadi perselisihan antara pemberi pinjaman dengan peminjam, misalnya yang pemberi
pinjaman mengatakan bahwa barangnya belum dikembalikan, sedang peminjam mengatakan bahwa
barangnya belum dikembalikan, maka pengakuan yang diterima adalah pengakuannya pemberi
pinjaman dengan catatan disertai sumpah.

Setelah si peminjam telah mengetahui bahwa yang meminjamkan sudah memutuskan/membatalkan


akad, maka dia tidak boleh memakai barang yang dipinjam itu.

Lantas Bolehkah Kita Meminjam Barang, Namun Juga Mengurangi Substansi Atau Isi Dari Barang
Tersebut?

Yang dinamakan pinjam meminjam seperti yang dipaparkan pada pengertian di atas adalah suatu
akad pemberian manfaat suatu benda halal dari seseorang kepada orang lain, tanpa ada imbalan
dan dengan tidak mengurangi atau merusak benda yang dipinjamkan serta dikembalikan setelah
diambil manfaatnya. Dalam salah satu dari ketentuan pinjam meminjam di atas juga disebutkan
bahwa ‘Jika dalam proses mengembalikan barang itu memerlukan ongkos atau biaya maka yang
ِ ‫الزعِ ْي ُم‬
menanggung adalah pihak peminjam’, ditambah lagi hadits berikut ‫غَار ٌم‬ ِ ‫ اَ ْل َع‬ yang
َّ ‫ار َي ُة ُمَؤ َّدةٌ َو‬
menyebutkan bahwa pinjaman wajib dikembalikan dan orang yang menjamin wajib membayarnya.
Dari hadits ini dapat kita simpulkan bahwa Jika barang yang dipinjamkan rusak atau hilang dengan
pemakaian sebatas yang diizinkan pemiliknya, maka peminjam tidak wajib mengganti, akan tetapi
kalau kerusakan dan kehilangan barang yang dipinjam akibat dari pemakaian yang tidak semestinya
atau oleh sebab lain, maka peminjam wajib menggantinya.

Hal ini mungkin sepele, namun secara tidak sadar juga sering terjadi di kehidupan sehari-hari kita.
Misalnya di dalam kelas teman kita meminjam pulpen atau tipe-x milik kita, akadnya adalah
meminjam, namun secara tidak sadar dia menggunakan tinta dari pulpen atau isi dari tipe-x tersebut
sehingga substansinya berkurang. Hal ini tidak dihukumi sebagai pinjam meminjam barang, namun
dihukumi sebagai meminta isi dari barang tersebut. Karena substansinya berkurang dan tidak hanya
diambil manfaatnya saja, namun juga isinya. Sama halnya ketika kita meminjam motor teman kita.
Akadnya adalah meminjam, namun sebenarnya juga mengurangi bensin yang ada di motor tersebut.
Sehingga ini bukan dinamakan meminjam, tapi meminta. Jika akadnya adalah meminjam, maka si
peminjam harus mengganti bensin yang telah digunakannya, dan isinya harus sama seperti sedia
kala ketika dia meminjam, jika tidak maka hal tersebut dihukumi sebagai hutang kepada si pemilik
barang. Dan hal ini termasuk ke dalam merugikan salah satu pihak, yaitu si pemilik barangnya.
Akibatnya tidak tercapainya kemaslahatan antar kedua belah pihak, namun hanya pada pihak
peminjam barang saja. Hal ini juga sesuai dengan pendapat beberapa sahabat di antaranya pendapat
asy-Syafi’i dan Ahmad yang mengatakan bahwa peminjam harus menggantinya (barang yang hilang
tersebut) dalam kondisi apapun, dan pendapat ini masyhur. Ini juga diriwayatkan sebagai pendapat
Abu Hurairah, dan Ibnu Abbas.
Dalam akad pinjam-meminjam (al-Ariyah), objek yang dipinjamkan tidak mengalami perpindahan
kepemilikan. Sehingga peminjam tidak memiliki hak apapun terhadap barang itu, selain hak guna
sementara, selama izin yang diberikan pihak yang meminjamkan. Misalnya jika kita hutang motor,
maka Anda berhak memiliki motor itu. Selanjutnya bisa kita jual atau sewakan bahkan digadaikan
untuk hutang. Lain halnya jika kita pinjam motor, lalu motor itu kita jual atau kita sewakan dan
gadaikan untuk hutang, kita disebut orang yang tidak amanah karena tidak menjaga barang
pinjaman dengan benar, bahkan ampai menjualnya karena motor ini buka milik kita, tapi motor
pinjaman milik orang lain. Kita hanya punya hak guna pakai selama masih diizinkan. Karena itulah,
benda habis pakai, hanya mungkin dilakukan akad hutang. Meskipun ketika akad menyebutnya
pinjam, namun hukumnya utang. Misalnya makanan, uang, atau benda habis pakai lainnya, seperti
yang dikatakan As-Samarqandi dalam Tuhfatul Fuqaha’:

،‫ النه لما رضي باالنتفاع به باستهالكه ببدل‬،‫ ولكن يسمى عارية مجازا‬،‫ فهو قرض حقيقة‬،‫كل ما ال يمكن االنتفاع به إال باستهالكه‬
‫كان تمليكا له ببدل‬

Semua benda yang tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan menghabiskannya, maka
hakikatnya hanya bisa diutangkan. Namun bisa disebut pinjam sebagai penggunaan majaz. Karena
ketika pemilik merelakan untuk menggunakan barang itu melalui cara dihabiskan dengan mengganti,
berarti terjadi perpindahan hak milik dengan mengganti. Kemudian Al-Kasani menjelaskan dengan
menyebutkan beberapa contoh:

‫وعلى هذا تخرج إعارة الدراهم والدنانير أنها تكون قرضا ال إعارة ; ألن اإلعارة لما كانت تمليك المنفعة أو إباحة المنفعة على‬
‫ وال سبيل إلى ذلك إال بالتصرف في العين ال في المنفعة‬, ‫ وال يمكن االنتفاع إال باستهالكها‬, ‫اختالف األصلين‬

Berdasarkan penjelasan ini dipahami bahwa meminjamkan dinar atau dirham, statusnya adalah
utang dan bukan pinjam meminjam. Karena pinjam-meminjam hanya untuk benda yang bisa
diberikan dalam bentuk perpindahan manfaat (hak pakai). Sementara dinar dirham tidak mungkin
dimanfaatkan kecuali dengan dihabiskan. Tidak ada cara lain untuk itu, selain menghabiskan
bendanya bukan mengambil hak gunanya. Lebih lanjut dijelaskan lagi:

‫لو استعار حليا ليتجمل به صح ; ألنه يمكن االنتفاع به من غير استهالك بالتجمل… وكذا إعارة كل ما ال يمكن االنتفاع به إال‬
‫ يكون قرضا ال إعارة لما ذكرنا أن محل حكم اإلعارة المنفعة ال بالعين‬, ‫باستهالكه كالمكيالت والموزونات‬

Jika ada yang meminjam perhiasan untuk dandan, statusnya sah sebagai pinjaman. Karena perhiasan
mungkin dimanfaatkan tanpa harus dihabiskan ketika dandan, sementara meminjamkan benda yang
tidak mungkin bisa dimanfaatkan kecuali dengan dihabiskan, seperti bahan makanan yang ditakar
atau ditimbang, statusnya utang bukan pinjam meminjam, sesuai apa yang kami sebutkan
sebelumnya bahwa posisi pinjam meminjam hanya hak guna, bukan menghabiskan bendanya.
(Bada’i as-Shana’i, 8/374)

Dalam konteks ini kita mengambil contoh pinjam motor, ketika akadnya pinjam motor, lalu
dikembalikan dalam waktu yang ditentukan dengan kondisi barang yang sama, namun bensinnya
berkurang, maka ini dapat dihukumi sebagai utang, karena bensin termasuk benda habis pakai,
sehingga harus diganti ketika kita telah menggunakan motornya sehingga bensinnya berkurang atau
habis. Karena pada dasarnya meminjam hanyalah mengambil manfaat atau nilai guna dari barang
tersebut, bukan mengurangi substansi dari barang tersebut. Karena waktu pengembalian barang
harus dalam keadaan dan kondisi yang sama seperti ketika dipinjam, termasuk bensin. Jika bensin
berkurang, maka ini dapat dihukumi sebagai ‘barang yang hilang’ karena dipinjam oleh peminjam
tersebut, sehingga wajib diganti oleh peminjam, dan bila tidak diganti maka dihukumi sebagai
hutang. Maka dari sini dapat kita simpulkan bahwa ketika berakad meminjam suatu barang, namun
di dalam barang tersebut ada suatu benda yang habis pakai seperti bensin atau tinta dalam pulpen,
maka hal ini dihukumi sebagai hutang. Dan hutang harus dibayar oleh orang yang bersangkutan
(peminjam).

Wallahu a’lam bis shawab

Anda mungkin juga menyukai