Anda di halaman 1dari 9

Muhasabah, Jalan Perbaikan Diri

Khutbah I
Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah,

Puji dan Syukur selalu kita panjatkan kehadlirat Allah


SWT, atas segala nikmat-Nya. Hari ini kita dapat
melaksanakan shalat Jumat karena Allah SWT masih
memberikan kepada kita nikmat Iman, nikmat Islam dan
nikmat Sehat.

Shalawat dan Salam selalu kita haturkan kepada panutan


kita Nabi Muhammad SAW, segenap keluarga dan para
sahabatnya. Dan semoga di yaumul hiyamah nanti atas
Ridha Allah SWT kita mendapatkan Syafaat atau
pertolongannya Amin Ya Rabbal Alamin.

Melalui mimbar Jumat ini saya berwasiat, khususnya


kepada diri saya sendiri dan umumnya kepada para
jamaah Jumah untuk selalu meningkatkan taqwa kita
kepada Allah SWT, dengan cara melaksanakan perintah-
Nya dan menjauhi larangan-Nya.

Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah,

Manusia ditakdirkan Allah SWT sebagai ciptaan terbaik


(ahsanu taqwîm). Ia memiliki kecenderungan-
kecenderungan pribadi atau nafsu yang tidak dimiliki
malaikat. Manusia juga mempunyai akal sehat yang tidak
dimiliki hewan. Dengan kedua karunia itulah manusia
hidup di dunia ini beraktivitas sedemikian rupa: mereka
bekerja, bergaul, belajar, makan, minum, bepergian,
bersantai, dan lain sebagainya.
Sekarang Pertanyaannya adalah: seberapa besar apa
yang kita lakukan itu tidak mendatangkan mudarat ?
Mudarat berarti merugikan. Mudarat ada dua, yakni
mudarat bagi diri sendiri dan mudarat bagi orang lain.
Banyak perbuatan yang tidak mudarat bagi diri sendiri
tetapi mudarat bagi orang lain. Contohnya, berbisnis
dengan cara merugikan orang lain, menduduki kursi di
angkutan umum yang bukan haknya, atau sejenisnya.
Sebaliknya, banyak pula yang tampaknya tidak mudarat
bagi orang lain namun merugikan diri sendiri. Misalnya,
mengonsumsi obat-obatan terlarang, meninggal ibadah,
dan lain-lain.

Kalaupun tidak menimbulkan mudarat, sudahkah


aktivitas yang kita jalani bukan sesuatu yang mubadzir
atau sia-sia? Sikap malas kita, bersenang-senang secara
berlebihan, berbelanja di luar kebutuhan, membual ke
sana kemari, bermain media sosial secara berlebihan,
mungkin secara kasat mata tidak merugikan orang lain
maupun diri sendiri, tetapi sukar menghindari dari
kemubadziran. Padahal, innal mubadzdzirîna kânû
ikhwânasy syayâthîn (sesungguhnya orang-orang yang
berbuat boros / mubadzir adalah kawan-kawan setan).

Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah,

Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya adalah


bagian dari cara manusia mengintrospeksi diri (mawas
diri) atau muhâsabah. Muhasabah penting dilakukan
untuk mencermati diri sendiri bukan semata kelebihan-
kelebihan yang membuat kita percaya diri, melainkan
juga kekurangan-kekurangan yang membuat kita
memperbaiki diri. Muhasabah merupakan usaha untuk
mengoreksi kemampuan kita dalam mengelola karunia
akal dan nafsu: apakah sudah berjalan secara baik atau
tidak.
Muhasabah ialah introspeksi, mawas, atau meneliti diri. Yakni
menghitung-hitung perbuatan pada tiap tahun, tiap bulan, tiap hari,
bahkan setiap saat. Oleh karena itu muhasabah tidak harus dilakukan
pada akhir tahun atau akhir bulan. Namun perlu juga dilakukan setiap
hari, bahkan setiap saat. Konsep Muhasabah, dalam al-Qur‟an terdapat
dalam Surat (Al-Hasyr: 18-19).

‫د‬ ‫د‬ ‫يِاَ أميِنيهاَ الد ذ‬


‫ت‬‫س مماَ قمددمم ت‬ ‫ف‬
‫ت‬
‫م ت س‬‫ن‬
‫م‬ ‫ن‬ ‫ر‬ ‫ظ‬
‫ظ‬ ‫ن‬
‫ت‬ ‫ن‬‫م‬ْ‫ت‬‫ل‬
‫ت‬‫و‬ ‫ه‬
‫م‬ ‫ل‬ ‫ال‬ ‫ا‬
ُ‫و‬‫ق‬‫ظ‬ ‫ن‬ ‫ت‬‫ا‬ ‫ا‬
ُ‫و‬‫ن‬
‫ظ‬ ‫م‬
‫م‬ ‫آ‬ ‫ن‬
‫م‬ ِ‫ي‬‫ذ‬ ‫م م‬
َ‫( مول‬١٨) ‫لذغمدد مواتدنظقوُا اللدهم إذدن اللدهم مخبذيس ذ مباَ تمنتعممظلوُمن‬
‫ذ‬
‫ك ظهظم‬‫تمظكوُنظوُا مكاَلدذيِمن نمظسوُا اللدهم فمأمنتمساَظهتم أمنتنظفمسظهتم ظأولمئذ م‬
(١٩) ‫التمفاَذسظقوُمن‬
Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan
hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk
esok (hari akhirat) dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah
Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti
orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa
kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS.
AlHasyr: 18-19).
Sayyidina Umar bin Khattab pernah bertutur, bahwa
Rasulullah SAW bersabda :

‫ض‬‫عحاَضسنبواْ أعرنفنعسنكرم عقربعل أعرن نتعحاَعسنب رواْ عوعتعزيينن رواْ لضرلععرر ض‬


‫ب عيروعم اْرلضقعياَعمضة عععلىَ عمرن‬ ‫ف اْرلضحعساَ ن‬ ‫اْلعركعبضر عوإضينعماَ عيضخ ف‬
َ‫ب عنرفعسنه ضفىَ اْلفدرنعيا‬‫عحاَعس ع‬
Artinya: “Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Nabi bersabda: Hisablah
dirimu sebelum kamu dihisab, dan hiasilah dirimu sekalian (dengan amal
shaleh), karena adanya sesuatu yang lebih luas dan besar, dan sesuatu
yang meringankan hisab di hari kiamat yaitu orang-orang yang
bermuhasabah atas dirinya ketika didunia. (H.R. Tirmidzi).

Sayyidina Umar menganggap bahwa evaluasi diri lebih


dini akan menguntungkan kita pada kehidupan kelak.
Mengapa demikian? Karena dengan mengevaluasi diri
sendiri, manusia akan mengenali kekurangan-
kekurangannya yang diharapkan dapat diperbaiki
sesegera mungkin. Kondisi ini akan meminimalkan
kesalahan sehinga tanggung jawab dalam kehidupan di
akhirat nanti menjadi sangat ringan.

Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, yang


artinya :

Dari Syadad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad SAW


bahwa beliau bersabda, ‘Orang yang cerdas (sukses)
adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya
sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah
kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang
yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan
terhadap Allah SWT.' (HR Tirmidzi. Ia berkata, “Ini
Hadits Hasan”).

Hadits ini secara tersirat mengungkapkan bahwa akallah


yang seharusnya menundukkan nafsu bukan sebaliknya.
Nafsu merupakan sebuah potensi yang sejatinya hanya
untuk memenuhi kebutuhan wajar dan alamiah manusia,
semisal makan, minum, kawin, tidur, atau sejenisnya.
Tatkala nafsu menunggangi akal sehat, maka yang terjadi
adalah tamak dan kesewenang-wenangan. Saat itulah
muhasabah dibutuhkan untuk memperbaiki diri.

Dari penjelasan ini, setidaknya ada dua manfaat penting


yang bisa dicatat dari introspeksi diri. Pertama, ishlâh
atau semangan membenahi diri. Introspeksi membuka
mata kita tentang kelemahan-kelemahan, kekurangan-
kekurangan, untuk di kemudian diperbaiki. Introspeksi
juga mengandaikan adanya perencanaan sebelum
melakukan sesuatu agar kesalahan yang serupa tidak
terulang.

Sebagai hamba, manusia diwajibkan untuk memposisikan


kehidupan di akhirat lebih utama daripada alam duniawi
ini. Dengan introspeksi diri mereka sesungguhnya sedang
mengejawantahkan ajaran bahwa kelak semua yang
diperbuat anggota badan manusia akan
dipertanggungjawabkan di kehidupan kelak.

Sebagaimana tertuang dalam Surat Yasin ayat 65:

Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah


kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah
kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan”
(QS. Yasin/36 Ayat 65).

Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah,

Yang kedua, introspeksi diri menghindarkan kita dari sifat


‘ujub (bangga diri) atau sombong. Muhasabah fokus
pikiran tertuju pada kekurangan diri sendiri. Hal ini akan
banyak mengurangi perilaku manusia yang cenderung
gemar menilai atau mengoreksi diri sendiri. Orang akan
disibukkan dengan mencermati kesalahan diri sendiri
ketimbang memvonis salah orang lain; mencari kesesatan
pikiran dan perilaku diri sendiri ketimbang menghakimi
sesat orang lain.
Sifat ini sebenarnya selaras dengan pesan Al-Qur’an yang
mendorong setiap manusia agar tidak sok suci. Allah
berfirman,

“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah


Allah SWT yang paling mengetahui tentang orang yang
bertakwa.” (QS. An-Najm Ayat 32).

Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah,

Demikianlah khutbah yang dapat saya sampaikan pada


kesempatan ini, Semoga Allah SWT selalu membimbing
kita semua, sehingga kita semua termasuk golongan
orang-orang yang senantiasa mengevaluasi diri, demi
perbaikan diri sendiri dan keluarga kita kepada hal-hal
yang lebih baik.

Anda mungkin juga menyukai