Puji dan Syukur selalu kita panjatkan kehadlirat Allah
SWT, atas segala nikmat-Nya. Hari ini kita dapat melaksanakan shalat Jumat karena Allah SWT masih memberikan kepada kita nikmat Iman, nikmat Islam dan nikmat Sehat.
Shalawat dan Salam selalu kita haturkan kepada panutan
kita Nabi Muhammad SAW, segenap keluarga dan para sahabatnya. Dan semoga di yaumul hiyamah nanti atas Ridha Allah SWT kita mendapatkan Syafaat atau pertolongannya Amin Ya Rabbal Alamin.
Melalui mimbar Jumat ini saya berwasiat, khususnya
kepada diri saya sendiri dan umumnya kepada para jamaah Jumah untuk selalu meningkatkan taqwa kita kepada Allah SWT, dengan cara melaksanakan perintah- Nya dan menjauhi larangan-Nya.
Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah,
Manusia ditakdirkan Allah SWT sebagai ciptaan terbaik
(ahsanu taqwîm). Ia memiliki kecenderungan- kecenderungan pribadi atau nafsu yang tidak dimiliki malaikat. Manusia juga mempunyai akal sehat yang tidak dimiliki hewan. Dengan kedua karunia itulah manusia hidup di dunia ini beraktivitas sedemikian rupa: mereka bekerja, bergaul, belajar, makan, minum, bepergian, bersantai, dan lain sebagainya. Sekarang Pertanyaannya adalah: seberapa besar apa yang kita lakukan itu tidak mendatangkan mudarat ? Mudarat berarti merugikan. Mudarat ada dua, yakni mudarat bagi diri sendiri dan mudarat bagi orang lain. Banyak perbuatan yang tidak mudarat bagi diri sendiri tetapi mudarat bagi orang lain. Contohnya, berbisnis dengan cara merugikan orang lain, menduduki kursi di angkutan umum yang bukan haknya, atau sejenisnya. Sebaliknya, banyak pula yang tampaknya tidak mudarat bagi orang lain namun merugikan diri sendiri. Misalnya, mengonsumsi obat-obatan terlarang, meninggal ibadah, dan lain-lain.
Kalaupun tidak menimbulkan mudarat, sudahkah
aktivitas yang kita jalani bukan sesuatu yang mubadzir atau sia-sia? Sikap malas kita, bersenang-senang secara berlebihan, berbelanja di luar kebutuhan, membual ke sana kemari, bermain media sosial secara berlebihan, mungkin secara kasat mata tidak merugikan orang lain maupun diri sendiri, tetapi sukar menghindari dari kemubadziran. Padahal, innal mubadzdzirîna kânû ikhwânasy syayâthîn (sesungguhnya orang-orang yang berbuat boros / mubadzir adalah kawan-kawan setan).
Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah,
Pertanyaan-pertanyaan tersebut sesungguhnya adalah
bagian dari cara manusia mengintrospeksi diri (mawas diri) atau muhâsabah. Muhasabah penting dilakukan untuk mencermati diri sendiri bukan semata kelebihan- kelebihan yang membuat kita percaya diri, melainkan juga kekurangan-kekurangan yang membuat kita memperbaiki diri. Muhasabah merupakan usaha untuk mengoreksi kemampuan kita dalam mengelola karunia akal dan nafsu: apakah sudah berjalan secara baik atau tidak. Muhasabah ialah introspeksi, mawas, atau meneliti diri. Yakni menghitung-hitung perbuatan pada tiap tahun, tiap bulan, tiap hari, bahkan setiap saat. Oleh karena itu muhasabah tidak harus dilakukan pada akhir tahun atau akhir bulan. Namun perlu juga dilakukan setiap hari, bahkan setiap saat. Konsep Muhasabah, dalam al-Qur‟an terdapat dalam Surat (Al-Hasyr: 18-19).
د د يِاَ أميِنيهاَ الد ذ
تس مماَ قمددمم ت ف ت م ت سن م ن ر ظ ظ ن ت نمْتل تو ه م ل ال ا ُوقظ ن تا ا ُون ظ م م آ ن م ِيذ م م َ( مول١٨) لذغمدد مواتدنظقوُا اللدهم إذدن اللدهم مخبذيس ذ مباَ تمنتعممظلوُمن ذ ك ظهظمتمظكوُنظوُا مكاَلدذيِمن نمظسوُا اللدهم فمأمنتمساَظهتم أمنتنظفمسظهتم ظأولمئذ م (١٩) التمفاَذسظقوُمن Artinya: “Hai orang-orang yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan apa yang telah diperbuatnya untuk esok (hari akhirat) dan bertakwalah kepada Allah. Sesungguhnya Allah Maha Mengetahui apa yang kamu kerjakan. Dan janganlah kamu seperti orang-orang yang lupa kepada Allah, lalu Allah menjadikan mereka lupa kepada diri mereka sendiri. Mereka itulah orang-orang yang fasik. (QS. AlHasyr: 18-19). Sayyidina Umar bin Khattab pernah bertutur, bahwa Rasulullah SAW bersabda :
ب عيروعم اْرلضقعياَعمضة عععلىَ عمرن ف اْرلضحعساَ ن اْلعركعبضر عوإضينعماَ عيضخ ف َب عنرفعسنه ضفىَ اْلفدرنعياعحاَعس ع Artinya: “Diriwayatkan dari Umar bin Khattab, Nabi bersabda: Hisablah dirimu sebelum kamu dihisab, dan hiasilah dirimu sekalian (dengan amal shaleh), karena adanya sesuatu yang lebih luas dan besar, dan sesuatu yang meringankan hisab di hari kiamat yaitu orang-orang yang bermuhasabah atas dirinya ketika didunia. (H.R. Tirmidzi).
Sayyidina Umar menganggap bahwa evaluasi diri lebih
dini akan menguntungkan kita pada kehidupan kelak. Mengapa demikian? Karena dengan mengevaluasi diri sendiri, manusia akan mengenali kekurangan- kekurangannya yang diharapkan dapat diperbaiki sesegera mungkin. Kondisi ini akan meminimalkan kesalahan sehinga tanggung jawab dalam kehidupan di akhirat nanti menjadi sangat ringan.
Dalam hadits yang lain Rasulullah SAW bersabda, yang
artinya :
Dari Syadad bin Aus ra, dari Nabi Muhammad SAW
bahwa beliau bersabda, ‘Orang yang cerdas (sukses) adalah orang yang menghisab (mengevaluasi) dirinya sendiri, serta beramal untuk kehidupan sesudah kematiannya. Sedangkan orang yang lemah adalah orang yang mengikuti hawa nafsunya serta berangan-angan terhadap Allah SWT.' (HR Tirmidzi. Ia berkata, “Ini Hadits Hasan”).
Hadits ini secara tersirat mengungkapkan bahwa akallah
yang seharusnya menundukkan nafsu bukan sebaliknya. Nafsu merupakan sebuah potensi yang sejatinya hanya untuk memenuhi kebutuhan wajar dan alamiah manusia, semisal makan, minum, kawin, tidur, atau sejenisnya. Tatkala nafsu menunggangi akal sehat, maka yang terjadi adalah tamak dan kesewenang-wenangan. Saat itulah muhasabah dibutuhkan untuk memperbaiki diri.
Dari penjelasan ini, setidaknya ada dua manfaat penting
yang bisa dicatat dari introspeksi diri. Pertama, ishlâh atau semangan membenahi diri. Introspeksi membuka mata kita tentang kelemahan-kelemahan, kekurangan- kekurangan, untuk di kemudian diperbaiki. Introspeksi juga mengandaikan adanya perencanaan sebelum melakukan sesuatu agar kesalahan yang serupa tidak terulang.
Sebagai hamba, manusia diwajibkan untuk memposisikan
kehidupan di akhirat lebih utama daripada alam duniawi ini. Dengan introspeksi diri mereka sesungguhnya sedang mengejawantahkan ajaran bahwa kelak semua yang diperbuat anggota badan manusia akan dipertanggungjawabkan di kehidupan kelak.
Sebagaimana tertuang dalam Surat Yasin ayat 65:
Pada hari ini Kami tutup mulut mereka dan berkatalah
kepada Kami tangan mereka dan memberi kesaksianlah kaki mereka terhadap apa yang dahulu mereka usahakan” (QS. Yasin/36 Ayat 65).
Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah,
Yang kedua, introspeksi diri menghindarkan kita dari sifat
‘ujub (bangga diri) atau sombong. Muhasabah fokus pikiran tertuju pada kekurangan diri sendiri. Hal ini akan banyak mengurangi perilaku manusia yang cenderung gemar menilai atau mengoreksi diri sendiri. Orang akan disibukkan dengan mencermati kesalahan diri sendiri ketimbang memvonis salah orang lain; mencari kesesatan pikiran dan perilaku diri sendiri ketimbang menghakimi sesat orang lain. Sifat ini sebenarnya selaras dengan pesan Al-Qur’an yang mendorong setiap manusia agar tidak sok suci. Allah berfirman,
“Maka janganlah kamu mengatakan dirimu suci. Dialah
Allah SWT yang paling mengetahui tentang orang yang bertakwa.” (QS. An-Najm Ayat 32).
Jamaah Shalat Jumat Rahimakumullah,
Demikianlah khutbah yang dapat saya sampaikan pada
kesempatan ini, Semoga Allah SWT selalu membimbing kita semua, sehingga kita semua termasuk golongan orang-orang yang senantiasa mengevaluasi diri, demi perbaikan diri sendiri dan keluarga kita kepada hal-hal yang lebih baik.