Anda di halaman 1dari 9

Pemuda belia itu bernama Elias Daniel Mogot.

Daan Mogot adalah nama populer Elias Daniel


Mogot. Pemuda ini cukup mengagumkan. Bayangkan ketika anak-anak saat ini yang berumur 14
tahun masih doyan main playstation ataupun ber-FB ria, ternyata saat umur 14 tahun Daan Mogot
sudah ikut berperang.Pemuda kelahiran Manado, 28 Desember 1928, ini dibawa oleh orang
tuanya ke Batavia (Jakarta) saat berumur 11 tahun. Daan Mogot adalah anak dari pasangan
Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang. Ayahnya ketika itu adalah Hukum Besar Ratahan. Ia anak
kelima dari tujuh bersaudara. Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex E. Kawilarang (Panglima
Siliwangi, serta Panglima Besar Permesta) dan Irjen. Pol. A. Gordon Mogot (mantan Kapolda
Sulut). Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota VOLKSRAAD (Dewan Rakyat masa Hindia-
Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang.

Mayor Daan Mogot

Di umur 14 tahun (tahun 1942) Daan Mogot masuk PETA (Pembela Tanah Air) yaitu organisasi
militer pribumi bentukan Jepang di Jawa, walaupaun sebenarnya ia tak memenuhi syarat karena
usianya belum genap 18 tahun. Oleh prestasinya yang luar biasa ia diangkat menjadi pelatih PETA
di Bali. Kemudian dipindahkan ke Batavia.

Saat kejatuhan Jepang dan selepas Proklamasi 1945, Daan Mogot bergabung dengan pemuda
lainnya mempertahankan kemerdekaan dan menjadi salah seorang tokoh pemimpin Barisan
Keamanan Rakyat (BKR) dan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) dengan pangkat Mayor. Uniknya
saat itu Daan Mogot baru berusia 16 tahun namun sudah berpangkat Mayor.

Malang tak dapat ditolak, saat ia berjuang membela negeri ini, ayahnya tewas dibunuh oleh para
perampok yang menganggap “orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londoh-londoh (antek-
antek) Belanda. Kesedihannya itu ia sampaikan pada sepupunya Alex Kawilarang.

“Banyak benar anarki terjadi di sini,” kata Alex Kawilarang.

“Memang, itu yang mesti torang bereskan. Oleh karena itu, senjata harus berada di torang pe
tangan” kata Daan Mogot. “Torang, orang Manado, jangan berbuat yang bukan-bukan. Awas, hati-
hati! Torang musti benar-benar menunjukkan, di pihak mana kita berada.”

Daan Mogot berkeinginan mencurahkan pengetahuannya, apa yang dulu didapatkannya saat
masih dibawah PETA. Ia ingin mendidik para pemuda yang mau menjadi tentara. Dan keinginan
besarnya itu akhirnya terwujud dengan berdirinya Akademi Milter di Tangerang 18 November
1945 bersama Kemal Idris, Daan Yahya dan Taswin. Dan Daan Mogot diangkat menjadi Direktur
Militer Akademi Tangerang (MAT) saat ia berusia 17 tahun dengan calon Taruna pertama yang
dilatih berjumlah ada 180 orang.

Hutan Lengkong – Serpong Tangerang

Pada tanggal 30 November 1945 dilakukan perundingan antara Indonesia dengan delegasi Sekutu.
Indonesia diwakili oleh Wakil Menteri Luar Negeri Agoes Salim yang didampingi oleh dua dua
perwira TKR yaitu Mayor Wibowo dan Mayor Oetarjo. Sedangkan pihak Sekutu (Inggris), Brigadir
ICA Lauder didampingi oleh Letkol Vanderpost (Afrika Selatan) dan Mayor West.

Pertemuan yang merupakan Meeting of Minds, menghasilkan ketetapan tentang pengambil-


alihan primary objectives tentara Sekutu oleh TKR yang meliputi perlucutan senjata dan
pemulangan 35 ribu tentara Jepang yang masih di Indonesia, pembebasan dan pemulangan Allied
Prisoners of War and Internees (APWI) yang kebanyakan terdiri dari lelaki tua, wanita, dan anak-
anak berkebangsaan Belanda dan Inggris sebanyak 36 ribu.

Berdasarkan kesepakatan 30 November 1945, tentara Sekutu tidak lagi memiliki alasan untuk
memasuki wilayah kekuasaan Indonesia maupun menggunakan tentara Jepang untuk memerangi
Indonesia dengan dalih mempertahankan status quo pra- Proklamasi. Perintah itu disampaikan
oleh pihak Sekutu kepada Panglima Tentara Jepang Letjen Nagano.

Sekitar tanggal 5 Desember 1945 ditegaskan oleh Kolonel Yashimoto dari pimpinan tentara Jepang
kepada pimpinan Kantor Penghubung TKR di Jakarta cq Mayor Oetarjo bahwa para komandan
tentara Jepang setempat sesuai dengan keputusan pimpinan tentara Sekutu, telah diperintahkan
tunduk kepada para komandan TKR setempat yang bertanggung jawab atas pemulangan mereka.

Namun pada tanggal 24 Januari 1946, Daan Mogot mendengar pasukan NICA Belanda sudah
menduduki Parung. Dan bisa dipastikan mereka akan melakukan gerakan merebut senjata tentara
Jepang di depot Lengkong.

Ini sangat berbahaya karena akan mengancam kedudukan Resimen IV Tangerang. Untuk
mendahului jangan sampai senjata Jepang jatuh ke tangan sekutu, berangkatlah pasukan TKR
dibawah pimpinan Mayor Daan Mogot dengan berkekuatan 70 taruna Militer Akademi Tangerang
(MAT) dan delapan tentara Gurkha pada tanggal 25 Januari 1946 lewat tengah hari sekitar pukul
14.00. Ikut pula bersamanya beberapa orang perwira seperti Mayor Wibowo, Letnan Soebianto
Djojohadikoesoemo dan Letnan Soetopo.
Dengan mengendarai tiga truk dan satu jip militer hasil rampasan dari Inggris, para prajurit
berangkat dan sampai di markas Jepang Lengkong pukul 16.00 WIB. Di depan pintu gerbang, truk
diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dengan Mayor
Daan Mogot, Mayor Wibowo, dan taruna Alex Sajoeti (fasih bahasa Jepang) berjalan di depan.
Pasukan taruna diserahkan kepada Letnan Soebianto dan Letnan Soetopo untuk menunggu di
luar.

Kapten Abe, dari pihak Jepang, menerima ketiganya di dalam markas. Mendengar penjelasan
maksud kedatangan mereka, Kapten Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di
Jakarta. Ia beralasan bahwa ia belum mendapat perintah atasannya tentang perlucutan senjata.
Saat perundingan berjalan, ternyata Lettu Soebianto dan Lettu Soetopo sudah mengerahkan para
taruna memasuki sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana dengan kerelaan dari
anak buah Kapten Abe. 40 orang Jepang telah terkumpulkan di lapangan.

Namun entah mengapa, tiba-tiba terdengar bunyi tembakan yang tidak diketahui dari mana
asalnya. Disusul tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan mitraliur yang diarahkan kepada
pasukan taruna yang terjebak. Tentara Jepang yang berbaris di lapangan ikut pula memberikan
perlawanan dengan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke
dalam truk milik TKR.

Terjadilah pertempuran yang tak seimbang, apalagi pengalaman tempur dan persenjataan para
Taruna tak sebanding dsengan pihak Jepang. Taruna MAT menjadi sasaran empuk, diterjang oleh
senapan mesin, lemparan granat serta perkelahian sangkur seorang lawan seorang.

Ketika mendengar pecahnya pertempuran, Mayor Daan Mogot segera berlari keluar meninggalkan
meja perundingan dan berupaya menghentikan pertempuran namun upaya itu tidak berhasil.
Mayor Daan Mogot bersama beberapa pasukannya menyingkir meninggalkan asrama tentara
Jepang, memasuki hutan karet yang dikenal sebagai hutan Lengkong.Namun Taruna MAT yang
berhasil lolos menyelamatkan diri di antara pohon-pohon karet mengalami kesulitan
menggunakan karaben Terni yang dimiliki. Sering peluru yang dimasukkan ke kamar-kamarnya
tidak pas karena ukuran berbeda atau sering macet. Pertempuran ini tidak berlangsung lama,
karena pasukan itu bertempur di dalam perbentengan Jepang dengan persenjataan dan
persediaan peluru yang amat terbatas.Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru
pada paha kanan dan dada. Tapi ketika melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati
tertembak, ia kemudian mengambil senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia
sendiri dihujani peluru tentara Jepang dari berbagai penjuru.
Daan Mogot lahir di Manado, Sulawesi Utara, pada tanggal 28 Desember 1928 dari pasangan
Nicolaas Mogot dan Emilia Inkiriwang (Mien), diberi nama Elias Daniel Mogot dan dipanggil Daan
Mogot. Ayahnya ketika itu adalah Hakim Besar Ratahan. Ia anak kelima dari tujuh bersaudara.
Saudara sepupunya antara lain Kolonel Alex Kawilarang (Panglima Divisi Siliwangi, serta Panglima
Besar PERMESTA) dan Inspektur Jenderal Polisi A. Gordon Mogot (mantan Kepala Kepolisian
Daerah Sulawesi Utara).

Pada tahun 1939, ketika ia berumur 11 tahun, keluarganya pindah dari Manado ke Batavia
(sekarang Jakarta) dan menempati rumah di Van Heutsz Plein (sekarang bernama Jalan Cut Mutia
di Jakarta Pusat). Di Batavia, ayahnya diangkat menjadi anggota Volksraad (Dewan Rakyat Hindia
Belanda). Kemudian ayahnya diangkat sebagai Kepala Penjara Cipinang di timur Meester Cornelis
(sekarang Jatinegara, Jakarta Timur).

Bergabung dengan PETA di Masa Pendudukan Jepang

Pada tahun 1942, Jepang menduduki Hindia Belanda. Pada tahun itu juga, pemuda Daan Mogot
direkrut ke Seinen Dojo, pasukan paramiliter pribumi bentukan Jepang di Tangerang. Di pasukan
tersebut, Daan menjadi angkatan pertama. Sebenarnya usia Daan Mogot belum memenuhi syarat
yang ditentukan pihak Jepang yakni 18 tahun, ia waktu itu masih berumur 14 tahun. Namun
karena kepandaiannya dan prestasinya selama pendidikan militer, Daan justru dipromosikan
menjadi pembantu instruktur Pembela Tanah Air (PETA) di Bali pada tahun 1943. Semasa di Bali, ia
mendapatkan dua sahabat karib, yaitu Kemal Idris dan Zulkifli Lubis. Mereka bertemu saat
bersama 47 orang lainnya mengikuti pendidikan gerilya (“guerilla warfare”) di bawah pimpinan
Kapten Yanagawa. Selain mereka, peserta lainnya adalah Kusno Wibowo, Sabirin Mukhtar, Satibi
Darwis dan Effendi.

Setelah dilantik menjadi perwira PETA, Daan Mogot, Zulkifli Lubis dan Kemal Idris bersama
beberapa perwira PETA lainnya mendirikan sekolah untuk melatih para calon anggota PETA di
Bali. Jepang mengganggap Bali sebagai daerah pertahanan strategis dan tempat pendaratan
potensial bagi musuh. Untuk itu kekuatan dipersiapkan, terutama di daerah-daerah Tabanan,
Negara dan Klungkung. Jepang memberikan kepercayaan kepada Daan Mogot melatih di Tabanan,
Kemal Idris di Nagara dan Zulkifli Lubis di Klungkung. Sekalipun ketiga sahabat itu terpisah-pisah
tempat tugasnya, namun mereka selalu mengadakan kontak, baik membicarakan hal yang
berhubungan dengan latihan maupun tentang nasib rakyat yang sedang menderita di bawah
penjajahan. Kegiatan latihan yang spesifik saat itu ialah mempersiapkan pertahanan guna
menghadapi serangan musuh di pantai.

Selama setahun para Shodancho di Bali menjalankan tugas dengan baik. Tahun 1944 mereka harus
berpisah. Daan Mogot, bersama 3 orang Shodancho lainnya harus kembali ke Jawa, sedangkan
Zulkifli Lubis dan Kemal Idris yang tetap tinggal di Bali. Mereka bertindak sebagai instruktur PETA,
memberikan latihan kepada calon-calon perwira hingga mereka mahir dalam berbagai bidang
ketentaraan. Sedangkan Daan ditempatkan sebagai Staf Markas Besar PETA di Jakarta hingga
Jepang menyerah pada 15 Agustus 1945.

Bergabung dengan BKR di Masa Kemerdekaan Indonesia

Setelah kemerdekaan Indonesia diproklamasikan pada tanggal 17 Agustus 1945, Daan Mogot
bergabung dengan Barisan Keamanan Rakyat (BKR)[1] dan mendapat pangkat Mayor. Ini hal yang
menarik, mengingat usia Daan Mogot saat itu baru 16 tahun. Daan Mogot bertugas di bawah
Letnan Kolonel Moeffreni Moe'min, seorang mantan Daidanco PETA dari Daidan I Jakarta, Pasukan
yang menaungi wilayah Karesidenan Jakarta bermarkas di Jalan Cilacap No. 5. Sejumlah perwira
ex-PETA yang bergabung di pasukan tersebut, antara lain Singgih, Daan Jahja, Kemal Idris, Daan
Mogot, Islam Salim, Jopie Bolang, Oetardjo, Sadikin (Resimen Cikampek), Darsono (Resimen
Cikampek), dan lain-lain.

Mendirikan Akademi Militer Tangerang

Berbekal pengalamannya sebagai pelatih PETA di Bali, Daan Mogot, bersama rekan-rekannya
sesama perwira menengah TKR, seperti Kemal Idris, Daan Jachja dan Taswin, menggagas pendirian
akademi militer untuk melatih calon-calon perwira TKR dalam mempertahankan kemerdekaan
Indonesia. Gagasannya ditanggapi serius oleh Markas Besar Tentara (MBT) di Jakarta dan pada 18
November 1945 berdirilah Militaire Academie Tangerang (MAT), dan Daan Mogot pun dilantik
sebagai Direktur.

Pada tahap awal direkrutlah 180 orang calon kadet angkatan pertama yang akan dilatih menjadi
perwira. Di antara mereka terdapat mahasiswa yang berasal dari Sekolah Kedokteran Ika Daigaku
Jakarta. Mereka dipersiapkan menjadi komandan peleton, komandan kompi bahkan komandan
batalyon. Sejumlah perwira dan bintara yang menjadi pelatih/instruktur MAT antara lain Kapten
Taswin, Kapten Tommy Prawirasuta, Kapten Rukman, Kapten Kemal Idris, Kapten Oscar (Otje)
Mochtan, Kapten Jopie Bolang, Kapten Endjon Djajaroekmantara, Sersan Bahruddin, dan Sersan
Sirodz.

Pada saat yang hampir bersamaan, yaitu pada tanggal 5 November 1945, di Yogyakarta juga
berdiri sebuah Militaire Academie Yogya (MAY).

Pertempuran Lengkong

Pada tanggal 24 Januari 1946, Kepala Staf Resimen IV Tangerang Mayor Daan Jahja menerima
informasi intelijen bahwa pasukan Belanda dan KNIL sudah menduduki Parung dan akan merebut
depot senjata tentara Jepang di Lengkong (belakangan diketahui bahwa Parung baru diduduki
Belanda bulan Maret 1946). Gerakan militer Belanda itu akan mengancam kedudukan Resimen IV
Tangerang dan Akademi Militer Tangerang secara serius. Sebab itu pihak Resimen IV Tangerang
mengadakan tindakan pengamanan. Mayor Daan Yahya segera memanggil Mayor Daan Mogot
dan Mayor Wibowo, perwira penghubung yang diperbantukan kepada Resimen IV Tangerang.

Tanggal 25 Januari 1946 sekitar pukul 14.00, setelah melapor kepada Komandan Resimen IV
Tangerang Letnan Kolonel Singgih, berangkatlah pasukan di bawah pimpinan Mayor Daan Mogot
dengan berkekuatan 70kadet MA Tangerang dan 8 tentara Gurkha. Selain taruna, dalam pasukan
itu terdapat beberapa orang perwira, yaitu Mayor Wibowo, Letnan Satu Soebianto
Djojohadikoesoemo dan Letnan Satu Soetopo. Kedua Perwira Pertama ini adalah perwira Corps
Polisi Militer (CPM). Strategi ini dilakukan untuk mendahului jangan sampai senjata tentara
Jepang yang sudah menyerah tidak jatuh ke tangan kepada tentara Belanda.

Setelah melalui perjalanan yang berat karena jalannya rusak dan penuh lubang-lubang perangkap
tank, serta penuh barikade-barikade, pasukan TKR tersebut tiba di depot senjata Jepang di
Lengkong sekitar pukul 16.00. Pada jarak yang tidak seberapa jauh dari gerbang markas, truk
diberhentikan dan pasukan TKR turun. Mereka memasuki markas tentara Jepang dalam formasi
biasa. Mayor Daan Mogot, Mayor Wibowo dan taruna Alex Sajoeti berjalan di muka dan mereka
bertiga kemudian masuk ke kantor Kapten Abe. Pasukan Kadet MAT diserahkan kepada Letnan
Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo untuk menunggu di luar.

Gerakan pertama ini berhasil dengan baik dan mengesankan pihak Jepang. Di dalam kantor
markas Jepang ini, Mayor Daan Mogot menjelaskan maksud kedatangannya. Akan tetapi Kapten
Abe meminta waktu untuk menghubungi atasannya di Jakarta, karena ia mengatakan belum
mendapat perintah atasannya tentang pelucutan senjata. Ketika perundingan berjalan, rupanya
Letnan Satu Soebianto dan Letnan Satu Soetopo sudah mengerahkan para kadet memasuki
sejumlah barak dan melucuti senjata yang ada di sana. Sementara sekitar 40 orang tentara Jepang
yang ada di depot tersebut dikumpulkan di lapangan.

Kemudian secara tiba-tiba terdengar bunyi tembakan, yang tidak diketahui dari mana datangnnya.
Bunyi tersebut segera disusul oleh rentetan tembakan dari tiga pos penjagaan bersenjatakan
mitraliur yang tersembunyi yang diarahkan kepada pasukan Kadet MAT yang terjebak. Tentara
Jepang lainnya yang semula sudah menyerahkan senjatanya dan berbaris di lapangan lantas
berhamburan merebut kembali sebagian senjata mereka yang belum sempat dimuat ke dalam
truk.
Dalam waktu yang amat singkat berkobarlah pertempuran yang tidak seimbang antara pihak
Indonesia dengan Jepang, Pengalaman tempur yang cukup lama, ditunjang dengan persenjataan
yang lebih lengkap, menyebabkan Kadet MAT menjadi sasaran empuk. Selain senapan mesin yang
digunakan pihak Jepang, juga terjadi pelemparan granat serta perkelahian sangkur satu lawan
satu.

Mayor Daan Mogot segera berlari keluar meninggalkan meja perundingan dan berupaya
menghentikan pertempuran, namun upaya tersebut tidak berhasil. Mayor Daan Mogot segera
memerintahkan pasukannya untuk meninggalkan depot tentara Jepang tersebut dan mundur ke
hutan karet di sekitarnya. Kadet MAT yang berhasil lolos lantas menyelamatkan diri di antara
pohon-pohon karet. Mereka mengalami kesulitan menggunakan karaben Terni yang mereka
sandang. Seringkali peluru yang dimasukkan ke magazsin tidak pas karena ukuran berbeda atau
sering macet. Pertempuran tidak berlangsung lama, karena pasukan itu bertempur di dalam
perbentengan Jepang dengan peralatan persenjataan dan persediaan pelurunya amat terbatas.

Dalam pertempuran, Mayor Daan Mogot terkena peluru pada paha kanan dan dada. Tapi ketika
melihat anak buahnya yang memegang senjata mesin mati tertembak, ia kemudian mengambil
senapan mesin tersebut dan menembaki lawan sampai ia sendiri dihujani peluru tentara Jepang
dari berbagai penjuru. Akhirnya 33 kadet dan 3 perwira gugur, sementara 10 kadet luka berat dan
Mayor Wibowo beserta 20 kadet lainnya ditawan Jepang. Sedangkan, 3 kadet lainnya: Soedarno,
Menod, Oesman Sjarief, berhasil meloloskan diri pada 26 Januari 1946 dan tiba di Markas
Komando Resimen TKR Tangerang pada pagi keesokan harinya.

Pasukan Jepang bertindak dengan penuh kebengisan, mereka yang telah luka terkena peluru dan
masih hidup dihabisi dengan tusukan bayonet. Ada yang tertangkap sesudah keluar dari tempat
perlindungan, lalu diserahkan kepada Kempetai Bogor. Beberapa orang yang masih hidup menjadi
tawanan Jepang dan dipaksa untuk menggali kubur bagi teman-temannya.

Monumen Pertempuran Lengkong, terletak di Jalan Pahlawan Seribu, Lengkong Wetan, Serpong,
Tangerang Selatan, Propinsi Banten, Indonesia.

Tanggal 29 Januari 1946 di Tangerang diselenggarakan pemakaman kembali 36 jenasah yang gugur
dalam peristiwa Lengkong disusul seorang taruna Soekardi yang luka berat namun akhirnya
meninggal di RS Tangerang. Mereka dikuburkan di dekat penjara anak-anak Tangerang. Selain
para perwira militer dari Tangerang, Akademi Militer Tangerang, kantor Penghubung Tentara,
hadir pula pada upacara tersebut Perdana Menteri RI Sutan Sjahrir, Wakil Menteri Luar Neger
Agus Salim, yang puteranya Sjewket Salim ikut gugur dalam peristiwa tersebut, dan para anggota
keluarga kadet yang gugur. Pacar Mayor Daan Mogot, Hadjari Singgih memotong rambutnya yang
panjang mencapai pinggang dan menanam rambut itu bersama jenasah Daan Mogot. Setelah itu
rambutnya tak pernah dibiarkan panjang lagi.

Penutup

Nama Daan Mogot diabadikan sebagai nama jalan yang menghubungkan Grogol dan Cengkareng
di Jakarta Barat dengan kota Tangerang. Sementara, di tempat pertempuran Lengkong tersebut,
dibangun monumen peringatan. Kisah Pertempuran Lengkong dijadikan dasar penulisan skenario
film Merah Putih (2009).

Ironisnya, sementara Daan Mogot berjuang gugur di medan pertempuran dalam rangka
mempertahankan kemerdekaan Indonesia, ayahnya justru tewas dibunuh gerombolan perampok
yang menganggap ”orang Manado” (orang Minahasa) sebagai londo-londo (antek-antek) Belanda.

Biodata singkat

Nama : Elias Daniel Mogot;

Nama populer : Mayor Daan Mogot;

Tempat/tgl lahir: Manado, 28 Desember 1928;

Tempat/tgl meninggal: Tangerang, 25 Januari 1946;

Keluarga: Ayah : Nicolaas Mogot (Nico);

Ibu : Emilia Inkiriwang (Mien);

Saudara : Kakak: Evert, Lilly, Hetty, Eddy;

Adik : Fietje, Tilly;

Pengalaman:

1942-1943: Anggota Seinen Dojo angkatan pertama;

1943: Anggota Pembela Tanah Air (PETA) angkatan ke-1;

1943-1944: Shodancho PETA di Bali;

1944-1945: Staf Markas PETA (Gyugun Sidobu) di Jakarta;

1945: Perwira pada Resimen IV/Tangerang (pangkat Mayor);

1945-1946: Pendiri/Direktur pertama Akademi Militer Tangerang (MAT)

Anda mungkin juga menyukai