Anda di halaman 1dari 28

Laporan Praktikum

METODE GEOMAGNET
(Desa Patontongan, Kecematan Mandai, Kabupaten Maros)

OLEH:
KELOMPOK IV

AGUNG HASAN H22116307


A.R. ADITYA HASANUDDIN H22116514
ABDI NUR RAJALAU H22116301
M. NUR ALAMSYAH RAHMAN H22116516
DEWI AINUN JARIAH H22116006
ISLAMIAH NURSALIM H22116012
RETNO WULANDARI H22116016
ANDI FITRAH FARADHIBA H22116310
NINDA SAPHIRA MUSTAFA H22116506
MARHAENI. S H22116517

PROGRAM STUDI GEOFISIKA


FAKULTAS MATEMATIKA DAN ILMU PENGETAHUAN ALAM
UNIVERSITAS HASANUDDIN
MAKASSAR
2018
BAB I
PENDAHULUAN

I.1 Latar Belakang


Geofisika merupakan ilmu yang mempelajari tentang bumi dengan menggunakan
prinsip-prinsip fisika. Geofisika dalam penerapannya digunakan untuk mengetahui
kondisi di bawah permukaan bumi dengan memanfaatkan parameter-parameter
fisika yang dimiliki oleh batuan di bawah permukaan bumi. Untuk mengetahui
kondisi bawah permukaan bumi, terdapat berbagai macam metode yang dapat
digunakan.

Salah satu metode geofisika yang lazim digunakan untuk mengetahui kondisi
bawah permukaan bumi yaitu metode geomagnet. Metode geomagnet merupakan
salah satu metode geofisika yang sering digunakan untuk survei pendahuluan pada
eksplorasi minyak bumi, gas bumi, arkeologi, sesar, logam, zona akumulasi air
bawah tanah dan mineral. Metode geomagnet digunakan untuk menginterpretasikan
struktur bawah tanah berdasarkan sifat-sifat magnet batuan yang terdapat di bawah
tanah (Azis dkk., 2016).

Dalam geofisika dikenal dua jenis metode, yaitu metode aktif dan metode pasif.
Metode aktif yaitu metode yang dilakukan dengan memberikan gangguan buatan
pada bumi, kemudian mengukur respon yang dihasilkan. Sedangkan metode pasif
dilakukan dengan mengukur medan alami yang dipancarkan oleh bumi. Metode
geomagnetic ini merupakan salah satu metode geofisika pasif, yaitu mengukur
medan magnet alami yang dipancarkan oleh bumi.

Data pengamatan magnetik lebih menunjukan sifat residual yang kompleks.


Dengan demikian, metode magnetik memiliki variasi terhadap waktu jauh lebih
besar. Pengukuran intensitas medan magnetik bisa dilakukan melalui darat, laut dan
udara (Fashihullisan dkk., 2014). Menurut Nurdiyanto dkk. (2004), metode ini
mempunyai akurasi pengukuran yang relative tinggi, peralatan dan pengoperasian
di lapangan relatif mudah dan cepat jika dibandingkan dengan metode geofisika
lainnya.

Metode geomagnet ini merupakan salah satu metode geofisika yang diajarkan
dalam perkuliahan di program studi Geofisika, Universitas Hasanuddin.
Pemahaman terkait metode ini tidak hanya dicukupkan pada konsep yang diajarkan
di dalam kelas. Oleh karena itu, diperlukan praktik langsung di lapangan untuk
merealisasikan teori yang didapatkan di kelas.

I.2 Ruang Lingkup


Ruang lingkup dalam praktikum ini dibatasi pada metode geomagnet yang
dilakukan secara looping untuk mengetahui sebaran anomali magnetik dan kondisi
bawah permukaan secara kualitatif yang dilakukan di Desa Patontongan,
Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros pada hari Sabtu, 10 November 2018.

1.3 Tujuan
1. Mengetahui nilai anomali magnetik daerah penelitian.
2. Memahami dan mengetahui proses akusisi data geomagnet di lapangan
3. Mengetahui proses interpretasi data geomagnet
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

II.1 Geologi Regional

Gambar 2.1 Peta Geologi kabupaten Maros

Menurut Sompotan A.F. (2012), batuan yang tersingkap di daerah Sulawesi Selatan
terdiri dari 5 satuan, yaitu : Satuan Batuan Gunungapi Formasi Carnba, Formasi
Walanae, Satuan Intrusi Basal, Satuan Batuan Gunung api Lompobatang dan
Endapan aluvial, Rawa, dan. Pantai. Satuan Batuan Gunung api Formasi Camba
berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir, terdiri dari breksi gunungapi, lava,
konglomerat, dan tufa halus hingga batuan lapili. Formasi Walanae berumur
Miosen Akhir – Pliosen Awal, terdiri dari batupasir, konglomerat, batu lanau, batu
lempung, batu gamping, dan napal. Satuan Intrusi Basal berumur Miosen Akhir -
Pliosen Akhir, terdiri dari terobosan basal berupa retas, silt, dan stok. Satuan Batuan
Gunungapi Lompobatang berumur Pleistosen, terdiri dari breksi, lava, endapan
lahar, dan tufa. Endapan Aluvial, Rawa, dan Pantai berumur Holosen, terdiri dari
kerikil, pasir, lempung, lumpur, dan batugarnping koral.

Berdasarkan peta geologi Kampala, batuan di daerah ini dapat dibagi menjadi tiga
satuan batuan, yaitu : Formasi Walanae, yang menempati daerah yang sangat luas
atau sekitar 80 %, terdiri dari perselingan antara batupasir berukuran kasar hingga
sangat halus, konglomerat, batulanau, batulempung, batugamping, dan napal.
Satuan ini mempunyai perlapisan dengan kemiringan maksimum 10˚. Namun, pada
beberapa tempat di sekitar Sesar Kalamisu kemiringan 34 lapisannya mencapai 60˚.
Lingkungan pengendapan Formasi Walanae adalah laut. Satuan ini berumur
Miosen Akhir - Pliosen Awal. Kemudian Intrusi Basal, yang merupakan retas-retas
yang mengintrusi Formasi Walanae. Sebagian besar dari basal ini bertelsstur afan
itik. Pada beberapa lokasi ditemukan bertekstur porfiritik dengas enokris
plagioklas, piroksen, mika, olivin, tertanam dalan) masadasar afanitik. Intrusi basal
ini di permukaan umumnya telah terkekarkan dan di beberapa tempat telah terubah
menjadi batuan ubahan (zona argilik) yang didominasi mineral lempung (smektit,
kaolinit, haloisit). Batuan ubahan ini dijumpai di sekitar mata air panas Kampala,
mata air panas Ranggo, dan Kainpung Buluparia. Menurut Pusat Sumber Daya
Geologi satuan ini berumur Miosen Akhir - Pliosen Akhir. Adapun yang terakhir
adalah Endapan Aluvial Sungai, merupakan endapan permukaan hasil rombakan
dari batuan yang lebih tua, terdiri dari material kerikil, pasir, lempung. Batuannya
tersebar di tepi-tepi sungai dan dasar sungai (Sompotan A.F., 2012).

Berdasarkan pada daerah peta geologi daerah penelitian, yaitu di Desa Patontongan,
Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, dapat dilihat bahwa yang mendominasi
daerah tersebut adalah Formasi Camba dan Batuan Gunung Api Formasi Camba,
dan juga terdapat endapan aluvium, danau dan pantai. Pada Formasi Camba dapat
dilihat bahwa terdapat Basal dan Retal Basal dalam jumlah singkapan yang tidak
terlalu luas (Anonim, 2015).

Berdasarkan sifat fisik, tekstur, atau ukuran butir, serta genesa dan batuan penyusun
di Kecamatan Mandai, maka jenis tanah yang dijumpai adalah Alluvial Muda dan
Litosol. Alluvial Muda merupakan endapan aluvium (endapan aluvial sungai,
pantai dan rawa ) yang berumur kuarter (resen) dan menempati daerah morfologi
pedataran dengan ketinggian 0-60 m dengan sudut kemiringan lereng. Sedangkan
Litosol merupakan tanah mineral hasil pelapukan batuan induk, berupa batuan beku
(intrusi) dan/atau batuan sedimen yang menempati daerah perbukitan intrusi dengan
ketinggian 3-1.150 m dan sudut lereng < 70%. Kenampakan sifat fisik berwarna
coklat kemerahan, berukuran lempung, lempung lanauan, hingga pasir lempungan,
plastisitas sedang-tinggi, agak padu, solum dangkal, tebal 0,2-4,5 m. Luas
penyebarannya sekitar 37,60 % (608,79 km2) dari luas kabupaten Maros, meliputi
kecamatan Mallawa, Camba, Bantimurung, Cenrana, Simbang, Tompobulu,
Tanralili dan Mandai (Anonim, 2015).

II.2 Gambaran Umum Metode Geomagnetik


Dalam metode geomagnetik, bumi diyakini sebagai batang magnet raksasa dimana
merupakan penghasil medan magnet utama. Kerak bumi menghasilkan medan
magnet jauh lebih kecil dibanding medan utama magnet yang dihasilkan bumi
secara keseluruhan. Teramatinya medan magnet pada bagian bumi tertentu,
biasanya disebut anomali magnetik yang dipengaruhi suseptibilitas batuan tersebut
dan remanen magnetiknya. Berdasarkan pada anomali magnetik batuan, pendugaan
sebaran batuan yang dipetakan secara lateral maupun vertikal.

II.3 Prinsip dan Konsep Dasar


Metode magnetik adalah salah satu metode geofisika untuk mengukur variasi
medan magnetik di permukaan bumi yang disebabkan oleh adanya variasi distribusi
benda termagnetisasi di bawah permukaan bumi. Variasi intensitas medan magnetik
yang terukur kemudian ditafsirkan dalam bentuk distribusi bahan magnetik di
bawah permukaan, yang kemudian dijadikan dasar bagi pendugaan keadaan geologi
yang mungkin dalam aplikasinya, metode magnetik mempertimbangkan variasi
arah dan besar vektor magnetisasi. Pengukuran intensitas medan magnetik bisa
dilakukan melalui darat, laut, dan udara. Metode magnetik sering digunakan dalam
eksplorasi pendahuluan minyak bumi, panasbumi, dan batuan mineral serta dapat
diterapkan pada pencarian prospeksi benda-benda arkeologi (Lita, 2012).
Teori kemagnetan klasik dan modern berbeda dalam hal konsep dasar. Teori
kemagnetan klasik mirip dengan teori kelistrikan dan gravitasi. Konsep dasarnya
menyatakan bahwa kutub magnetik identik dengan muatan listrik dan titik massa,
yang berbanding terbalik dengan akar kuadrat dari gaya antara kedua kutub, muatan
atau massa. Satuan magnetik yang digunakan adalah sistem cgs (centimeter-gram-
second) atau emu (electromagnetic units). Satuan Sistem Internasional (SI)
berdasarkan pada fakta bahwa medan magnet timbul karena adanya arus listrik.
Bentuk dasarnya merupakan dipole magnetik, yang terbentuk oleh arus listrik
melingkar. Baik satuan cgs maupun SI, keduanya digunakan sebagai satuan
magnetik (Telford dkk., 1990).

II.3.1 Gaya Magnetik


Dasar dari metode magnetik adalah gaya Coloumb antara dua kutub magnetik 𝜌1
dan 𝜌2 yang terpisah sejauh r (cm). Sehingga besarnya gaya magnetik dapat di
rumuskan (Telford dkk., 1990):

𝜌 𝜌
𝐹⃗ = ( 1 22 ) 𝑟̂ (2.1)
𝜇𝑟

Dimana 𝐹⃗ adalah gaya magnetik (Newton), 1 Newton = 10-5 dyne, 𝜌1 𝜌2 adalah kuat
kutub magnetik (A.m), µ adalah permeabilitas magnetik (4π x 10-7 w/A.m), 𝑟̂ adalah
vektor satuan yang berarah dari m1 ke m2.

II.3.2 Kuat Medan Magnet


Kuat medan magnet adalah besarnya medan magnet pada suatu titik dalam ruang
yang timbul sebagai akibat dari sebuah kutub 𝜌 yang berada sejauh r dari titk
tersebut (Telford dkk., 1990).
⃗⃗ dinyatakan dalam persamaan:
Kuat medan magnet 𝐻

𝐹⃗ 𝜌2
⃗⃗ =
𝐻 = 𝑟̂ (2.2)
𝜌2 𝜇𝑟 2

⃗⃗ adalah kuat medan magnet (A/m).


Dimana 𝐻
II.3.3 Kerapatan Arus
Kerapatan arus magnet yaitu jumlah arus dalam satu satuan daerah yang juga
disebut induksi magnet dinyatakan dengan (Nurdin dkk., 2017):

𝐵 = 𝜇𝐻 (2.3)

II.3.4 Medan Magnet Yang Terukur Pada Magnetometer


Medan magnet yang terukur oleh alat magnetometer adalah medan magnet induksi,
termasuk efek magnetisasi yang diberikan oleh persamaan (Nurdin dkk., 2017):

𝐵 = 𝜇0 (𝐻 + 𝑀) (2.4)

II.3.5 Intensitas Kemagnetan


Sejumlah benda-benda magnet dapat dipandang sebagai sekumpulan benda
magnetik. Apabila benda magnet tersebut diletakkan dalam medan luar, benda
tersebut menjadi termagnetisasi karena induksi. Dengan demikian, intensitas
kemagnetan dapat didefinisikan sebagai tingkat kemampuan menyearahkan
momen-momen magnetik dalam medan magnetik luar dapat juga dinyatakan
sebagai momen magnetik persatuan volume

̅
𝑀 𝑚𝑙𝑟̂
𝐼̅ = = (2.5)
𝑉 𝑉

Satuan magnetisasi dalam cgs adalah gauss atau emu.cm-3 dan dalam SI
adalah Am−1 .

II.3.6 Suseptibilitas Magnetik


Tingkat suatu benda magnetik untuk mampu dimagnetisasi ditentukan oleh
suseptibilitas kemagnetan k, yang dituliskan sebagai

𝐼 ̅ = 𝑘𝐻
̅ (2.6)

Harga 𝑘 pada batuan semakin besar apabila dalam batuan tersebut semakin banyak
dijumpai mineral-mineral yang bersifat magnetik. Untuk mengetahui variasi nilai
suseptibilitas magnetik pada mineral maupun batuan-batuan dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.1 Suseptibilitas Magnetik batuan dan mineral (Telford dkk., 1990).
Suseptibilitas x 103 (SI)
Jenis
Jarak Rata-rata
Batuan Sedimen
Dolomit 0-0.9 0.1
Batu Gamping 0-3 0.3
Batu Pasir 0-20 0.4
Serpih 0.01-15 1.6
Batuan Metamorf
Amphibolite 0.7
Sekis 0.3-3 1.4
Filit 1.5
Gnes 0.1-25
Kuarsit 4
Serpentine 3-17
Sabak 0-35 6
Batuan Beku
Granit 0-50 2.5
Riolit 0.2-35
Dolorit 1-35 17
Augite-syenite 30-40
Olivine diabase 25
Diabase 1-160 55
Porfiri 0.3-200 60
Gabero 1-90 70
Basal 0.2-175 70
Diorit 0.6-120 85
Piroksenit 125
Peridotit 90-200 150
Andesit 160
Mineral-mineral
Grapit 0.1
Kuarsa -0.01
Batu garam -0.01
Anhidrit gypsum -0.01
Kalsit -0.001- -001
Batubara 0.02
Lempung 0.2
Kalkofirit 0.4
Spalerit 0.7
Cassiterite 0.9
Siderit 1-4
Pirit 0.05-5 1.5
Limonit 2.5
arsenopirit 3
hematit 0.5-35 6.5
Kromit 3-110 7
Franklinit 430
Furhotit 1-0,006 1500
Ilmenit 300-3500 1800
Magnetit 1200-19200 6000

Nilai suseptibilitas magnetik dalam ruang hampa sama dengan nol karena hanya
benda berwujud yang dapat termagnetisasi. Suseptibilitas magnetik dapat diartikan
sebagai derajat kemagnetan suatu benda. Harga k pada batuan semakin besar
apabila dalam batuan semakin banyak dijumpai mineral-mineral yang bersifat
magnetik. Berdasarkan harga suseptibilitas k, benda-benda magnetik dapat
dikategorikan sebagai diamagnetik, paramagnetik, ferromagnetik. diamagnetik
adalah benda yang mempunyai niai k kecil dan negatif. Paramagnetik adalah benda
magnetik yang mempunyai nilai k kecil dan positif. Sedangkan ferromagnetik
adalah benda magnetik yang mempunyai nilai k positif dan
besar (Fashihullisan dkk., 2014).

II.4 Medan Geomagnetik


Medan geomagnetik dapat didekati secara teori, dengan dipol magnetik yang
terletak di pusat bumi, dengan sudut kemiringan (sudut inklinasi) sebesar 10˚
terhadap sumbu rotasi bumi. Pada permukaan bumi, sudut inklinasi vertikal medan
geomagnetik bervariasi, dari ±90˚ di Kutub utara dan selatan, ke 0˚ di ekuator.
Karena posisi kutub-kutub magnetik dan kutub-kutub geografis tidak sama
(berimpit), maka akan ada juga sudut horizontal (deklinasi) antara sudut utara
magnetic dengan sudut utara geografi. Inklinasi bernilai positif berarti arah medan
ke bawah (tanah) sementara negatif mengarah ke atas (Gambar 2.2). Di belahan
bumi selatan, termasuk di sebagian Indonesia, sudut inlkinasinya negatif (Suryanto,
2017).

Gambar 2.2 Sudut inklinasi bumi, dihitung secara teoritis menggunakan


parameter IGRF 2015 (Geomagnetism BGS dalam Suryanto, 2017).

Medan geomagnetik normal (𝐹⃗ ) memiliki besar yang berkisar antara 30.000 nT di
dekat ekuator hingga 60.000 di dekat kutub utara atau kutub selatan. Di pulau Jawa,
Indonesia, besar nilai geomagnetik normal adalah 45.000 nT. Pada sembarang
tempat di permukaan bumi, nilai 𝐵 dapat diperkirakan menggunakan model global
yang diperbarui setiap lima tahun sekali, yang disebut dengan model IGRF,
International Geomagnetic Reference Field (Suryanto, 2017).

Menurut Susilo dkk. (2017) IGRF merupakan salah satu koreksi yang dilakukan
untuk mendapatkan nilai anomali residual untuk ditafsirkan dalam metode
magnetik. Selain itu, ada pula daily correction yang ditunjukkan pada persamaan
berikut:

𝑡𝑛 −𝑡𝑏𝑠
𝐵𝐷 = (𝐵𝑎𝑘 − 𝐵𝑏𝑠 ) (2.7)
𝑡𝑎𝑘 −𝑡𝑏𝑠

Dimana BD adalah intensitas diurnal medan magnet, 𝐵𝑎𝑘 adalah intensitas dari
medan magnet pada titik terakhir, 𝐵𝑏𝑠 adalah intensitas dari medan magnet pada
base station, 𝑇𝑎𝑘 mencatat waktu pengukuran pada titik terakhir dalam sehari
(Susilo, dkk, 2017).

II.4.1 Medan Magnet Regional


Medan magnet regional merupakan medan magnet utama bumi. Medan magnet
utama bumi berubah terhadap waktu. Untuk menyeragamkan nilai-nilai medan
utama magnet bumi, dibuat standar nilai yang disebut International Geomagnetics
Reference Field (IGRF). IGRF adalah nilai matematis standar dari medan magnet
utama bumi akibat rotasi dan jari–jari bumi. Nilai-nilai IGRF diperoleh dari hasil
pengukuran rata-rata pada daerah luasan sekitar 1 juta km. Nilai pengukuran
tersebut diperoleh dari lembaga yang terlibat dalam pengumpulan dan
penyebarluasan data medan magnet dari satelit, observatorium, dan survei di
seluruh dunia. Data tersebut kemudian digabungkan menjadi sebuah pemodelan
medan magnet utama bumi.Model IGRF hanya dapat menunjukkan nilai medan
magnet bumi secara umum dan tidak dapat secara detail menunjukkan anomali
medan magnet di tiap daerah. IGRF hanya dapat menunjukkan nilai medan magnet
bumi secara umum dan tidak dapat secara detail menunjukkan anomali medan
magnet di tiap daerah (Heningtyas, 2017).

Arah pergerakan medan adalah menuju permukaan bumi sehingga terjadi suatu
perubahan dari Vertical ketika di Kutub Utara yang mana bergerak secara Inward,
kemudian menjadi Horizontal yang bergerak secara Northward ketika di Equator
dan akhirnya berubah Vertikal yang bergerak secara Outward ketika di Kutub
Selatan (Fashihullisan dkk., 2014).
II.4.2 Medan Magnet Luar Bumi
Medan magnet bumi juga dipengaruhi oleh medan luar. Medan ini bersumber dari
luar bumi yang merupakan hasil ionisasi di atmosfer yang ditimbulkan oleh sinar
ultraviolet dari matahari. Karena sumber medan luar ini berhubungandengan arus
listrik yang mengalir dalam lapisan terionisasi di atmosfer, maka perubahan medan
ini terhadap waktu jauh lebih cepat (Telford dkk., 1990).

Beberapa sumber medan magnet luar bumi yang dapat memberi pengaruh saat
pengukuran menggunakan metode geomagnet antara lain:

1. Perubahan konduktivitas listrik lapisan atmosfer dengan siklus 11 tahun.


2. Variasi harian (diurnal variation) dengan periode 24 jam yang berhubungan
dengan pasang surut matahari dan mempunyai jangkau 30 nT. Di permukaan
bumi, variasi harian memiliki magnitude yang konstan pada rentang area
dengan radius sekitar 75 km. Untuk itu, biasanya hanya diperlukan 1 stasiun
monitoring variasi harian di base station selama survey berlangsung.
3. Variasi harian (diurnal variation) 25 jam yang berhubungan dengan pasang
surut bulan dan mempunyai jangkau 2 nT.
4. Badai magnetik (magnetic storm) yang bersifat acak dan mempunyai jangkau
sampai dengan 1000 nT. Jika diketahui sewaktu pengukuran terjadi badai
magnetik, umumnya harus dihindari. Dengan demikian, efek dari luar yang
harus dihilangkan dalam data magnetik pengukuran adalah pengaruh variasi
harian saja.

II.5 Parameter Fisis Medan Magnet Bumi


1. Deklinasi (D), yaitu sudut antara utara magnetik dengan komponen horizontal
yang dihitung dari utara menuju timur
2. Inklinasi(I), yaitu sudut antara medan magnetik total dengan bidang horizontal
yang dihitung dari bidang horizontal menuju bidang vertikal ke bawah.
3. Intensitas Horizontal (H), yaitu besar dari medan magnetik total pada bidang
horizontal.
4. Medan magnetik total (F), yaitu besar dari vektor medan magnetik total.

Gambar 2.3 Tiga Elemen medan magnet bumi (Marzujriban dan Aswad, 2014).

II.6 Anomali magnetik


Anomali magnetik, ∆𝑇 didefinisikan (Gambar 2.3) sebagai operasi vektor
(Suryanto, 2017).

⃗⃗| − |𝐹⃗ |
∆𝑇 = |𝑇 (2.8)

⃗⃗ adalah medan total di suatu titik, 𝐹⃗ adalah medan magnetik regional di


Dengan 𝑇
titik tersebut. Jika ∆𝐹⃗ merupakan gangguan terhadap 𝐹⃗ akibat adanya benda
anomali magnetik di bawah permukaan, maka medan total diberikan
oleh (Suryanto, 2017):

⃗⃗ = 𝐹⃗ + ∆𝐹⃗
𝑇 (2.9)

Gambar 2.4 Gambaran vektor anomali medan magnetik total (Suryanto, 2017).
II.6.1 Anomali Regional dan Residual
Anomali magnetik biasanya mengandung komponen regional dan residual. Salah
satu metode pemisahan komponen regional dan residual adalah dengan kontinuasi
ke atas. Metode ini seolah-olah mengangkat data pengukuran ke atas, ibarat melihat
secara zoom out. Cara ini akan menyebabkan anomaly terlihat menjadi semakin
halus (smooth), ditunjukkan dengan semakin besarnya klosur-klosur dari garis
konturnya (Gambar 2.4) (Suryanto, 2017).

Pengangkatan dilakukan sampai pada kondisi dimana bentuk klosur anomalinya


tidak mengalami perubahan yang signifikan lagi pada saat ketinggian
pengangkatannya ditambah. Pada kondisi ini, maka dapat dianggap bahwa
anomalinya sudah menggambarkan komponen regional di daerah
pengukuran. Untuk mendapatkan anomali lokal, dapat dilakukan pengurangan
antara anomali total dengan anomali regionalnya (Suryanto, 2017).

Anomali medan magnet dihasilkan oleh benda magnetik yang telah terinduksi oleh
medan magnet utama bumi, sehingga benda tersebut memiliki medan magnet
sendiri dan ikut mempengaruhi besarnya medan magnet total hasil pengukuran.
Variasi medan magnetik yang terukur di permukaan merupakan target dari survey
magnetik (anomali magnetik). Besarnya anomali magnetik berkisar ratusan sampai
dengan ribuan nano-Tesla, tetapi ada juga yang lebih besar dari 100.000 nT yang
berupa endapan magnetik. Secara garis besar anomali ini disebabkan oleh medan
magnetik remanen dan medan magnet induksi. Bila arah medan magnet remanen
sama dengan arah medan magnet induksi maka anomalinya bertambah besar,
demikian juga sebaliknya. Medan magnet remanen mempunyai peranan yang besar
pada magnetisasi batuan yaitu pada besar dan arah medan magnetnya serta akan
sangat rumit diamati karena berkaitan dengan peristiwa kemagnetan yang dialami
sebelumnya. Sisa kemagnetan ini disebut dengan Normal Residual Magnetism atau
Residual Manetik Normal yang merupakan akibat magnetisasi medan utama (Kahfi
dan Yulianto, 2008).
Gambar 2.5 Contoh anomali magnetik total (Kiri) dan hasil kontinuasi keatas
setinggi 5 km. Terlihat komponen regional dari anomali magnetik menjadi terlihat
setelah dilakukan pengangkatan (Suryanto, 2017).

II.7 Forward Modeling


Forward modeling disebut juga permodelan tidak langsung atau pemodelan ke
depan. Permodelan ini betujuan untuk memberi gambaran secara matematik
geometri benda penyebab anomali. Pada umumnya berupa suatu poligon yaitu suatu
benda dengn sudut banyak. Pengukuran geomagnet mengukur medan magnet total,
yaitu besaran medan magnet bumi ditambah dengan medan yang beranomali.
Kemagnetan imbasan selalu sejajar dengan medan magnet
bumi (Nurdin dkk., 2017).

Menurut Deniyatno (2010), pemodelan ke depan adalah pembuatan model melalui


pendekatan berdasarkan intuisi geologi. Berdasarkan medan magnet pengamatan,
medan magnet teori (IGRF), medan magnet harian dapat dilakukan interpretasi
(analisis) berupa pemodelan bawah permukaan. Dalam interpretasi geofisika, dicari
suatu model yang menghasilkan respon yang cocok atau fit dengan data
pengamatan. Dengan demikian, model tersebut diangap mewakili kondisi bawah
permukaan.

Forward modeling data magnetik dilakukan dengan membuat benda anomali


dengan geometri dan harga kemagnetan tertentu. Untuk memperoleh data
kesesuaian antara data teoritis (respon model) dengan data lapangan dapat
dilakukan dengan proses coba-coba (trial and error) dengan mengubah harga
parameter model (Deniyatno, 2010).

II.8 Upward Continuation


Kontinuitas ke atas dilakukan dengan mentransformasikan medan potensial yang
diukur di permukaan tertentu ke medan potensial pada permukaan lainnya yang
jauh dari sumber. Tranformasi ini memperlemah anomali-anomali sebagai fungsi
panjang gelombang (Nurdin dkk., 2017).

Pada proses kontinuasi ini tidak boleh menghilangkan body anomali yang ada.
Karena target dari proses ini adalah untuk menentukan body anomaly dari peta
anomali yang sudah ada. Karenanya proses kontinuasi ini tidak bisa dilakukan
sembarangan. Besar ketinggian yang digunakan untuk mengangkat bidang
pengamat tidak boleh terlalu besar, karena dapat mengakibatkan hilangnya
informasi pada daerah tersebut (Lita F., 2012).

Proses kontinuasi ke atas dilakukan pada peta anomaly medan magnetik total.
Penetuan anomali regional dilakukan dengan proses pengangkatan ke atas (upward
continuation) pada anomali medan magnetik total. Penggunaan kontinuasi ke atas
diharapkan dapat membantu untuk memisahkan anomali regional dengan anomali
lokal. Proses kontinuasi dengan uji trial and error dilakukan dengan melihat
kecenderungan pola kontur hasil kontinuasi pada ketinggian tertentu (Indratmoko
dkk., 2009).

Konsep dasar kontinuasi ke atas berasal dari identitas ketiga teorema Green.
Teorema ini menjelaskan bahwa apabila suatu fungsi U adalah harmonik, kontinyu
dan mempunyai turunan yang kontinyu di sepanjang daerah R maka nilai U pada
suatu titik P di dalam daerah R dapat dinyatakan (Blakely, 1995):

1 1 𝜕𝑈 𝜕 1
𝑈(𝑃) = 4𝜋 ∫𝑆 (𝑟 𝜕𝑛 − 𝑈 𝜕𝑛 𝑟 ) 𝑑𝑆 (2.10)

dengan S menunjukkan permukaan daerah R, n menunjukkan arah normal ke luar


dan r adalah jarak dari titik P ke suatu titik pada permukaan S. Persamaan di atas
menggambarkan secara dasar prinsip dari kontinuasi ke atas, di mana suatu medan
potensial dapat dihitung pada setiap titik di dalam suatu daerah berdasarkan sifat
medan pada permukaan yang melingkupi daerah tersebut.

Gambar 2.6 Kontinuasi ke atas dari permukaan horisontal (Blakely, 1995).

Dengan menggunakan sistem koordinat kartesian, dengan sumbu z berarah ke


bawah, kita asumsikan bahwa suatu medan potensial diukur pada permukaan z = z0
dan medan yang kita inginkan terletak pada suatu titik P(x,y,z0 z) yang berada di
atas permukaan tersebut, dimana z  0 . Permukaan S ini mengandung kedua level
permukaan ditambah sebuah hemisphere dengan radius . Sumber anomali berada
pada z.z0. apabila  menjadi besar, maka integrasi pada persamaan kontinuasi di
seluruh hemisphere menjadi kecil. Dengan demikian, jika  mendekati tak
terhingga, maka persamaan (2.10) menjadi (Blakely, 1995):

1 ∞ ∞ 1 𝜕𝑈(𝑥,𝑦,𝑧0 ) 𝜕 1
𝑈(𝑥,𝑦,𝑧0 −∆𝑧) = 4𝜋 ∫−∞ ∫−∞ (𝑟 − 𝑈(𝑥,𝑦,𝑧0 ) 𝜕𝑧 𝑟 ) 𝑑𝑥′𝑑𝑦′ (2.11)
𝜕𝑧

dengan 𝑟 = √(𝑥 − 𝑥′)2 + (𝑦 − 𝑦′)2 + (𝑧0 − ∆𝑧 − 𝑧′)2 dan ∆𝑧 > 0.

II.9 Reduce to Pole


Dalam akuisisi data magnetik dapat dilakukan dengan beberapa cara yaitu secara
looping, baserover, atau gradien vertikal. Perbedaan dalam beberapa cara tersebut
hanya di tekankan dalam penggunaan instrument dalam pengukuran. Pengukuran
secara satu alat merupakan suatu konsep pengukuran geomagnetik dengan
memanfaatkan suatu titik base yang digunakan sebagai titik acuan dan pengukuran
awal hingga terakhir akan kembali pada titik tersebut (looping). Konsep satu alat /
looping sebenarnya pengukuran yang kurang akurat dibandingkan pengukuran
secara base-rover, dikarenakan pengukuran secara looping hanya
memperhitungkan variasi harian dari suatu daerah berdasarkan dua titik saja. Yaitu
titik base dan titik looping. Dimana selisih intensitas medan magnet pada awal
pengukuran dengan intensitas medan magnet pengukuran terakhir adalah sebagai
koreksi variasi harian. Sedangkan pada saat pengukuran berlangsung terjadi
perubahan kondisi matahari. Pengukuran looping biasa jarang dilakukan karena
tingkat akurasi datanya agak kurang baik dibandingkan pengukuran secara base-
rover yang, menghitung variasi harian setiap beberapa jam sekali karena perubahan
kondisi yang berbeda dari matahari (Wijaya F.R. dkk., 2016).

Gambar 2.7 Anomali magnet (kiri) dan anomali hasil reduksi ke kutub (kanan)
(Blakely, 1995)

Reduksi ke kutub atau Reduction To Pole (RTP) dilakukan dengan mengubah


parameter medan magnet bumi pada daerah penelitian yang memiliki rata-rata nilai
deklinasi 0.96˚ dan nklinasi -32˚ menjadi kondisi di kutub yang memiliki deklinasi
0˚ dan inklinasi 90˚, sehingga arah medan magnet yang awalnya dipole menjadi
monopole (Heningtyas, 2017).

Formulasi reduksi ke kutub dimulai dari tinjauan hubungan antara medan potensial
dengan distribusi sumber penyebab anomali. Anomali total medan magnet adalah
(Blakely, 1995):

⃗⃗ = −𝐶𝑚 𝐹̂ . ∇𝑃 ∫ 𝑀
∆𝑇 ⃗⃗⃗ . ∇𝑄 1 𝑑𝑣 (2.12)
𝑅 𝑟
lambang 𝐹̂ adalah vektor satuan dalam arah medan regional. Persamaan (2.12)
dapat ditulis dalam formulasi yang lebih umum sebagai hubungan antara medan
potensial (𝑓 )̅ dengan distribusi material sumber (s):

𝑓(̅ 𝑃) = ∫𝑅 𝑠(𝑄) Ψ(𝑃, 𝑄)𝑑𝑣 (2.13)

Fungsi 𝑓 (̅ 𝑃) adalah medan potensial atau anomali total medan magnetik pada P,
sedangkan s(Q) kuantitas fisis magnetisasi pada Q dan P,Q suatu fungsi Green
berupa anomali total medan magnetik dipole tunggal yang bergantung pada
geometris tempat titik observasi P dan titik distribusi sumber Q. Proses transformasi
reduksi ke kutub dilakukan dengan mengubah arah magnetisasi dan medan utama
dalam arah vertical (Blakely, 1995).

II.10 Teori Dasar Alat Proton-Precession Magnetometer (PPM)


PPM bergantung pada pengukuran frekuensi presesi bebas proton yang telah
terpolarisasi pada arah mendekati normal terhadap medan magnet bumi. Ketika
medan polarisasi tiba-tiba menghilang, presesi proton pada sekitar medan magnet
bumi akan bersifat seperti gasing (spinning top). Medan bumi menyuplai gaya
presesi yang sesuai dengan gravitasi seperti kasus di atas. Analoginya ditunjukkan
pada Gambar 2.7. Proton berpresesi pada kecepatan sudut ω, atau biasa dikenal
dengan frekuensi presesi larmor yang sebanding dengan medan magnet F sehingga
(Telford, 1990):

𝜔 = 𝛾𝑃 𝐹 (2.14)

Konstanta 𝛾𝑃 adalah rasio gyromagnetic dari proton, yaitu rasio momen magnetik
terhadap momentum sudut spinnya. Nilai dari 𝛾𝑃 diketahui hingga akurasi 0,001%.
Karena pengukuran frekuensi yang tepat relatif mudah, medan magnet dapat
diketahui pada akurasi yang sama. Proton yang merupakan muatan bergerak,
menginduksi pada kumparan yang mengelilingi sampel. Bila tegangan yang
bervariasi pada frekuensi presesi adalah ν, maka kita dapat mengetahui medan
magnet dari persamaan (Telford, 1990):
𝐹 = 2𝜋𝑣/𝛾𝑃 (2.15)

dimana faktor 2𝜋/𝛾𝑃 = 23,487 ± 0,002 nT/Hz. Dalam hal ini hanya medan total
yang bisa diukur.

Gambar 2.8 Analogi Proton Precession Spining-Top (Telford, 1990)

Komponen yang penting dari magnetometer ini terdiri dari sumber proton, medan
magnet yang berpolarisasi lebih kuat dari medan magnet yang berpolarisasi
terhadap bumi dan mengarah normal terhadapnya (arah dari medan ini hilang pada
45˚), kumparan pickup yang terpasang kencang dengan sumber, dan penguat untuk
memperkuat tegangan terinduksi pada kumparan, serta alat pengukur frekuensi.
Belakangan beroprasi pada rentang audio karena (dari persamaan 12, 𝜈 = 2130 Hz
untuk F = 50000 nT) hal tersebut harus dapat mengindikasikan beda frekuensi
disekitar 0,4 Hz untuk setiap sesitivitas sensor 10 nT (Telford, 1990).

Sumber proton biasanya berupa botol air kecil (momen inti oksigen adalah 0) atau
beberapa cairan organik yang kaya akan hydrogen seperti alcohol. Medan polarisasi
(5-10) nT diperoleh dengan melewatkan arus secara langsung melewati kumparan
yang mengelilingi botol dengan orientasi timur-barat untuk pengukurannya. Ketika
arus pada kumparan diputus secara tiba-tiba, presesi proton terhadap medan magnet
bumi akan terdeteksi oleh kumparan ke-dua sebagai pembangkit tegangan
sementara dengan interval ~3 detik sebelum proton berhenti berpresesi. Di beberapa
model, kumparan yang sama digunakan untuk polarisasi dan deteksi. Sinyal
modulasi diperkuat ke level yang sesuai dan frekuensi dalat dihitung. Diagram
sistematis ditunjukkan pada Gambar 2.8.

Gambar 2.9 Proton Precession Magnetometer (Telford, 1990)


BAB III
METODOLOGI PENELITIAN

III.1 Lokasi dan Waktu


Penelitian ini dilakukan di Desa Pattontongan, Kecamatan Mandai, Kabupaten
Maros pada hari Sabtu, 10 November 2018 sekitar pukul 11.00-14.00 WITA.

III.2 Alat dan Bahan


Berikut merupakan alat dan bahan yang digunakan dalam praktikum ini:
1. Satu alat Magnetometer geotron G5 Proton beserta sensor, berfungsi sebagai
alat pembaca

Gambar 3.1 Magnetometer Geotron G5 Proton beserta sensor

2. GPS digunakan untuk menentukan koordinat titik pengukuran dan elevasi

Gambar 3.2 Global Positioning System


3. Rol Meter digunakan untuk mengukur jarak antar stasiun pengukuran
Gambar 3.3 Rol Meter

4. Patok digunakan sebagai penanda titik stasiun pengamatan

Gambar 3.4 Patok bambu

5. Alat tulis digunakan untuk mencatat hasil pengukuran

Gambar 3.5 Alat tulis


6. Tabel pengukuran

No Stasiun Waktu Pembacaan Sinyal keterangan


7. Kamera digunakan untuk mendokumentasikan kegiatan praktikum

Gambar 3.6 Kamera

III.3 Prosedur Pengambilan Data


Adapun prosedur pengambilan data pada penelitian ini, yaitu:
1. Menentukan daerah penelitian
2. Menyiapkan peralatan yang diperlukan untuk akuisisi data geomagnet.
3. Mengulur rol meter untuk menetukan jarak tiap stasiun pengamatan.
4. Memasang patok di base dan di setiap stasiun pengukuran.
5. Mencatat koordinat dan elevasi di titik base dan seluruh stasiun pengamatan.
6. Melakukan setting magnetometer, yang terdiri atas pengaturan waktu dan
tanggal pengukuran, dan sebagainya.
7. Melakukan pembacaan terhadap waktu pengukuran dan pembacaan intensitas
medan magnet di base .
8. Melakukan pembacaan terhadap waktu pengukuran dan pembacaan intensitas
medan magnet di setiap stasiun sebanyak 3 kali pembacaan dimana jangkauan
sinyal yang diterima diusahakan bernilai 9, apabila pembacaan sinyal bernilai
kecil dilakukan perulangan sebanyak 5-10 kali.
9. Pengukuran kembali dilakukan di base (looping) untuk mengetahui nilai variasi
diurnal.
10. Kemudian pengukuran dilanjutkan di stasiun terkahir pengamatan sebelum
kembali ke base.
11. Looping diulangi hingga stasiun pengamatan terakhir.

III.4 Pengolahan Data


Adapun pengolahan data pada penelitian ini, yaitu :
1. Data yang diperoleh dari hasil pengukuran di lapangan adalah nilai latitude,
longitude, waktu dan hasil pembacaan intensitas medan magnet, seperti yang
tertera pada tabel pengukuran
2. Mengubah nilai pembacaan latitude dan longitude dari degree minute secon
menjadi UTM dalam meter.
3. Mengubah waktu pembacaan di base dan setiap stasiun ke dalam menit.
4. Menghitung selisih waktu pembacaan di base dan setiap stasiun untuk satu kali
looping.
5. Melakukan filter 3 data pembacaan pada alat dengan melihat nilai standar
deviasi. Lalu menghitung nilai rata-rata dari hasil pembacaan pada alat.
6. Menghitung nilai diurnal change rate untuk setiap looping, dengan rumusan
umum
𝑅𝐵𝑛+1 − 𝑅𝐵𝑛
𝑑𝑖𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙 𝑐ℎ𝑎𝑛𝑔𝑒 𝑟𝑎𝑡𝑒_𝐿𝑛 =
𝑡𝐵𝑛+1 − 𝑡𝐵𝑛

7. Menghitung nilai base drift untuk setiap looping dengan menggunakan


rumusan umum :
𝑏𝑎𝑠𝑒 𝑑𝑟𝑖𝑓𝑡 𝑜𝑓 𝑡ℎ𝑒 𝑙𝑜𝑜𝑝 = 𝑅𝐵𝑛 − 𝑅𝐵1
8. Menghitung nilai diurnal correction dengan menggunakan rumus umum :

𝑑𝑖𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙 𝑐𝑜𝑟𝑟𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛 = 𝑑𝑖𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙 𝑐ℎ𝑎𝑛𝑔𝑒 𝑟𝑎𝑡𝑒𝐿𝑛 × (𝑡𝑜𝑏𝑠 − 𝑡𝐵𝑖 )


+𝑏𝑎𝑠𝑒 𝑑𝑟𝑖𝑓𝑡 𝑜𝑓 𝑡ℎ𝑒 𝑙𝑜𝑜𝑝
9. Menghitung nilai diurnal corrected reading untuk setiap stasiun pengamatan
dengan menggunakan rumus:
𝑅𝑑𝑐 = 𝑅𝑜𝑏𝑠 − 𝑑𝑖𝑢𝑟𝑛𝑎𝑙 𝑐𝑜𝑟𝑟𝑒𝑐𝑡𝑖𝑜𝑛
10. Mencari nilai IGRF lokasi penelitian dengan cara memasukkan titik koordinat
dan elevasi dalam website ngdc.noaa.gov/geomag-web/#igrfwmm
11. Menghitung nilai AMT terkoreksi untuk setiap stasiun dengan rumus :
𝐴𝑀𝑇 = 𝑅𝑑𝑐 − 𝐼𝐺𝑅𝐹
DAFTAR PUSTAKA

Anonim. 2015. Kajian Lingkungan Hidup Strategis (KLHS) Untuk RTRW


Kabupaten Maros, Tinjauan Wilayah Kabupaten Maros.
Azis K.N.,Sumardi Y., Darmawan D., Wibowo N.B. 2016. Interpretasi Struktur
Bawah Tanah pada Sistem Sungai Bribin dengan Metode Geomagnet.
Indonesian Journal of Applied Physics. 31-39.
Blakely R.J. 1995. Potential Theory in Gravity and Magnetic Applications.
Cambridge University Press.
Deniyatno. 2010. Pemodelan ke depan (Forward Modeling) 2 Dimensi Data
Magnetik untuk Identifikasi Bijih Besi di Lokasi X, Propinsi Summatra
Barat. Jurnal Aplikasi Fisika. Vol.6. No.2. 76-82.
Fashihullisan A.L., Susilo A., Jam’an A.F. 2014. Identifikasi Daerah Sesar dan
Intrusi Berdasarkan Perbandingan antara Filter (RTP, Upward, Downward,
dan Aniltic Signal) Data Mapping Regional Magnetik Daerah Garut, Jawa
Barat. Malang : Universitas Brawijaya.

Heningtyas., Wibowo N.B., Darmawan, D. 2017. Interpretasi Struktur Bawah


Permukaan dengan Metode Geomagnet di Jalur Sesar Oyo. Jurnal Fisika
Vol. 6. No. 2. 138-148.

Indratmoko P., Nurwidyanto M.I., Yulianto T. 2009. Interpretasi Bawah


Permukaan Daerah Manifestasi Panas Bumi Parang Tritis Kabupaten Bantul
DIY Dengan Metode Magnetik. Berkala Fisika. Vol.12. No.4. 153-160.

Ismail. 2010.

Kahfi R.A., Yulianto T. 2008. Identifikasi Struktur Lapisan Bawah Permukaan


Daerah Manifestasi Emas Dengan Menggunakan Metode Magnetik Di
Papandayan Garut Jawa Barat. Berkala Fisika. Vol.11. No.4. 127-135.
Lita, Fristy. 2012. Skripsi: Identifikasi Anomali Magnetik di Daerah Prospek
Panasbumi Arjuna-Welirang. Depok: Universitas Indonesia.

Marzujriban, La Ode., Aswad, Sbrianto. 2014. Prosiding Seminar Nasional


Geofisika: Pengaruh Waktu Looping Terhadap Nilai Koreksi Harian dan Anomali
Magnetik Total Pada Pengolahan Data Geomagnet Studi Kasus : Daerah Karang
Sambung. Makassar: Universitas Hasanuddin.

Nurdin N.H., Massinai M.A., Aswad S. 2017. Identifikasi Pola Sebaran Intrusi
Batuan Bawah Permukaan Menggunakan Metode Geomagnet di Sungai
Jenelata Kabupaten Gowa. Jurnal Geocelebes. Vol. 1. No. 1. 17-22.
Nurdiyanto B., Wahyudi, Suyanto I. 2004. Analisis Data Magnetik untuk
Mengetahui Struktur Bawah Permukaan Daerah Manifestasi Airpanas di
Lereng Utara Gunung Api Ungaran. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.

Sompotan A.F. 2012. Struktur Geologi Sulwaesi. Perpustakaan Sains Kebumian,


Institut Teknologi Bandung.

Suryanto, Wiwit. 2017. Diktat Kuliah Metode Magnetik untuk Geothermal. Gadjah
Mada University.

Susilo A., Sunaryo. Isdarmadi K., Rusli. 2017. Investigation of Jabung Temple
Subsurface at Probolinggo, Indonesia Using Resistivity and Geomagnetic
Methods. International Journal of Geomate. Vol. 13.

Telford W.M., Geldart L.P., Sheriff R.E. 1990. Applied Geophysics Second
Edition. USA: Cambridge University Press.

Wijaya F.K., Putra W., Haekal M.B.N., Arasy N. 2016. Identifikasi Keberadaan
Heat Source Menggunakan Metode Geomagnetik Pada Daerah Tlogowatu,
Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Prosiding Seminar Nasional XI “Rekayasa Teknologi Industri dan
Informasi. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.

Anda mungkin juga menyukai