METODE GEOMAGNET
(Desa Patontongan, Kecematan Mandai, Kabupaten Maros)
OLEH:
KELOMPOK IV
Salah satu metode geofisika yang lazim digunakan untuk mengetahui kondisi
bawah permukaan bumi yaitu metode geomagnet. Metode geomagnet merupakan
salah satu metode geofisika yang sering digunakan untuk survei pendahuluan pada
eksplorasi minyak bumi, gas bumi, arkeologi, sesar, logam, zona akumulasi air
bawah tanah dan mineral. Metode geomagnet digunakan untuk menginterpretasikan
struktur bawah tanah berdasarkan sifat-sifat magnet batuan yang terdapat di bawah
tanah (Azis dkk., 2016).
Dalam geofisika dikenal dua jenis metode, yaitu metode aktif dan metode pasif.
Metode aktif yaitu metode yang dilakukan dengan memberikan gangguan buatan
pada bumi, kemudian mengukur respon yang dihasilkan. Sedangkan metode pasif
dilakukan dengan mengukur medan alami yang dipancarkan oleh bumi. Metode
geomagnetic ini merupakan salah satu metode geofisika pasif, yaitu mengukur
medan magnet alami yang dipancarkan oleh bumi.
Metode geomagnet ini merupakan salah satu metode geofisika yang diajarkan
dalam perkuliahan di program studi Geofisika, Universitas Hasanuddin.
Pemahaman terkait metode ini tidak hanya dicukupkan pada konsep yang diajarkan
di dalam kelas. Oleh karena itu, diperlukan praktik langsung di lapangan untuk
merealisasikan teori yang didapatkan di kelas.
1.3 Tujuan
1. Mengetahui nilai anomali magnetik daerah penelitian.
2. Memahami dan mengetahui proses akusisi data geomagnet di lapangan
3. Mengetahui proses interpretasi data geomagnet
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
Menurut Sompotan A.F. (2012), batuan yang tersingkap di daerah Sulawesi Selatan
terdiri dari 5 satuan, yaitu : Satuan Batuan Gunungapi Formasi Carnba, Formasi
Walanae, Satuan Intrusi Basal, Satuan Batuan Gunung api Lompobatang dan
Endapan aluvial, Rawa, dan. Pantai. Satuan Batuan Gunung api Formasi Camba
berumur Miosen Tengah-Miosen Akhir, terdiri dari breksi gunungapi, lava,
konglomerat, dan tufa halus hingga batuan lapili. Formasi Walanae berumur
Miosen Akhir – Pliosen Awal, terdiri dari batupasir, konglomerat, batu lanau, batu
lempung, batu gamping, dan napal. Satuan Intrusi Basal berumur Miosen Akhir -
Pliosen Akhir, terdiri dari terobosan basal berupa retas, silt, dan stok. Satuan Batuan
Gunungapi Lompobatang berumur Pleistosen, terdiri dari breksi, lava, endapan
lahar, dan tufa. Endapan Aluvial, Rawa, dan Pantai berumur Holosen, terdiri dari
kerikil, pasir, lempung, lumpur, dan batugarnping koral.
Berdasarkan peta geologi Kampala, batuan di daerah ini dapat dibagi menjadi tiga
satuan batuan, yaitu : Formasi Walanae, yang menempati daerah yang sangat luas
atau sekitar 80 %, terdiri dari perselingan antara batupasir berukuran kasar hingga
sangat halus, konglomerat, batulanau, batulempung, batugamping, dan napal.
Satuan ini mempunyai perlapisan dengan kemiringan maksimum 10˚. Namun, pada
beberapa tempat di sekitar Sesar Kalamisu kemiringan 34 lapisannya mencapai 60˚.
Lingkungan pengendapan Formasi Walanae adalah laut. Satuan ini berumur
Miosen Akhir - Pliosen Awal. Kemudian Intrusi Basal, yang merupakan retas-retas
yang mengintrusi Formasi Walanae. Sebagian besar dari basal ini bertelsstur afan
itik. Pada beberapa lokasi ditemukan bertekstur porfiritik dengas enokris
plagioklas, piroksen, mika, olivin, tertanam dalan) masadasar afanitik. Intrusi basal
ini di permukaan umumnya telah terkekarkan dan di beberapa tempat telah terubah
menjadi batuan ubahan (zona argilik) yang didominasi mineral lempung (smektit,
kaolinit, haloisit). Batuan ubahan ini dijumpai di sekitar mata air panas Kampala,
mata air panas Ranggo, dan Kainpung Buluparia. Menurut Pusat Sumber Daya
Geologi satuan ini berumur Miosen Akhir - Pliosen Akhir. Adapun yang terakhir
adalah Endapan Aluvial Sungai, merupakan endapan permukaan hasil rombakan
dari batuan yang lebih tua, terdiri dari material kerikil, pasir, lempung. Batuannya
tersebar di tepi-tepi sungai dan dasar sungai (Sompotan A.F., 2012).
Berdasarkan pada daerah peta geologi daerah penelitian, yaitu di Desa Patontongan,
Kecamatan Mandai, Kabupaten Maros, dapat dilihat bahwa yang mendominasi
daerah tersebut adalah Formasi Camba dan Batuan Gunung Api Formasi Camba,
dan juga terdapat endapan aluvium, danau dan pantai. Pada Formasi Camba dapat
dilihat bahwa terdapat Basal dan Retal Basal dalam jumlah singkapan yang tidak
terlalu luas (Anonim, 2015).
Berdasarkan sifat fisik, tekstur, atau ukuran butir, serta genesa dan batuan penyusun
di Kecamatan Mandai, maka jenis tanah yang dijumpai adalah Alluvial Muda dan
Litosol. Alluvial Muda merupakan endapan aluvium (endapan aluvial sungai,
pantai dan rawa ) yang berumur kuarter (resen) dan menempati daerah morfologi
pedataran dengan ketinggian 0-60 m dengan sudut kemiringan lereng. Sedangkan
Litosol merupakan tanah mineral hasil pelapukan batuan induk, berupa batuan beku
(intrusi) dan/atau batuan sedimen yang menempati daerah perbukitan intrusi dengan
ketinggian 3-1.150 m dan sudut lereng < 70%. Kenampakan sifat fisik berwarna
coklat kemerahan, berukuran lempung, lempung lanauan, hingga pasir lempungan,
plastisitas sedang-tinggi, agak padu, solum dangkal, tebal 0,2-4,5 m. Luas
penyebarannya sekitar 37,60 % (608,79 km2) dari luas kabupaten Maros, meliputi
kecamatan Mallawa, Camba, Bantimurung, Cenrana, Simbang, Tompobulu,
Tanralili dan Mandai (Anonim, 2015).
𝜌 𝜌
𝐹⃗ = ( 1 22 ) 𝑟̂ (2.1)
𝜇𝑟
Dimana 𝐹⃗ adalah gaya magnetik (Newton), 1 Newton = 10-5 dyne, 𝜌1 𝜌2 adalah kuat
kutub magnetik (A.m), µ adalah permeabilitas magnetik (4π x 10-7 w/A.m), 𝑟̂ adalah
vektor satuan yang berarah dari m1 ke m2.
𝐹⃗ 𝜌2
⃗⃗ =
𝐻 = 𝑟̂ (2.2)
𝜌2 𝜇𝑟 2
𝐵 = 𝜇𝐻 (2.3)
𝐵 = 𝜇0 (𝐻 + 𝑀) (2.4)
̅
𝑀 𝑚𝑙𝑟̂
𝐼̅ = = (2.5)
𝑉 𝑉
Satuan magnetisasi dalam cgs adalah gauss atau emu.cm-3 dan dalam SI
adalah Am−1 .
𝐼 ̅ = 𝑘𝐻
̅ (2.6)
Harga 𝑘 pada batuan semakin besar apabila dalam batuan tersebut semakin banyak
dijumpai mineral-mineral yang bersifat magnetik. Untuk mengetahui variasi nilai
suseptibilitas magnetik pada mineral maupun batuan-batuan dapat dilihat pada tabel
berikut.
Tabel 2.1 Suseptibilitas Magnetik batuan dan mineral (Telford dkk., 1990).
Suseptibilitas x 103 (SI)
Jenis
Jarak Rata-rata
Batuan Sedimen
Dolomit 0-0.9 0.1
Batu Gamping 0-3 0.3
Batu Pasir 0-20 0.4
Serpih 0.01-15 1.6
Batuan Metamorf
Amphibolite 0.7
Sekis 0.3-3 1.4
Filit 1.5
Gnes 0.1-25
Kuarsit 4
Serpentine 3-17
Sabak 0-35 6
Batuan Beku
Granit 0-50 2.5
Riolit 0.2-35
Dolorit 1-35 17
Augite-syenite 30-40
Olivine diabase 25
Diabase 1-160 55
Porfiri 0.3-200 60
Gabero 1-90 70
Basal 0.2-175 70
Diorit 0.6-120 85
Piroksenit 125
Peridotit 90-200 150
Andesit 160
Mineral-mineral
Grapit 0.1
Kuarsa -0.01
Batu garam -0.01
Anhidrit gypsum -0.01
Kalsit -0.001- -001
Batubara 0.02
Lempung 0.2
Kalkofirit 0.4
Spalerit 0.7
Cassiterite 0.9
Siderit 1-4
Pirit 0.05-5 1.5
Limonit 2.5
arsenopirit 3
hematit 0.5-35 6.5
Kromit 3-110 7
Franklinit 430
Furhotit 1-0,006 1500
Ilmenit 300-3500 1800
Magnetit 1200-19200 6000
Nilai suseptibilitas magnetik dalam ruang hampa sama dengan nol karena hanya
benda berwujud yang dapat termagnetisasi. Suseptibilitas magnetik dapat diartikan
sebagai derajat kemagnetan suatu benda. Harga k pada batuan semakin besar
apabila dalam batuan semakin banyak dijumpai mineral-mineral yang bersifat
magnetik. Berdasarkan harga suseptibilitas k, benda-benda magnetik dapat
dikategorikan sebagai diamagnetik, paramagnetik, ferromagnetik. diamagnetik
adalah benda yang mempunyai niai k kecil dan negatif. Paramagnetik adalah benda
magnetik yang mempunyai nilai k kecil dan positif. Sedangkan ferromagnetik
adalah benda magnetik yang mempunyai nilai k positif dan
besar (Fashihullisan dkk., 2014).
Medan geomagnetik normal (𝐹⃗ ) memiliki besar yang berkisar antara 30.000 nT di
dekat ekuator hingga 60.000 di dekat kutub utara atau kutub selatan. Di pulau Jawa,
Indonesia, besar nilai geomagnetik normal adalah 45.000 nT. Pada sembarang
tempat di permukaan bumi, nilai 𝐵 dapat diperkirakan menggunakan model global
yang diperbarui setiap lima tahun sekali, yang disebut dengan model IGRF,
International Geomagnetic Reference Field (Suryanto, 2017).
Menurut Susilo dkk. (2017) IGRF merupakan salah satu koreksi yang dilakukan
untuk mendapatkan nilai anomali residual untuk ditafsirkan dalam metode
magnetik. Selain itu, ada pula daily correction yang ditunjukkan pada persamaan
berikut:
𝑡𝑛 −𝑡𝑏𝑠
𝐵𝐷 = (𝐵𝑎𝑘 − 𝐵𝑏𝑠 ) (2.7)
𝑡𝑎𝑘 −𝑡𝑏𝑠
Dimana BD adalah intensitas diurnal medan magnet, 𝐵𝑎𝑘 adalah intensitas dari
medan magnet pada titik terakhir, 𝐵𝑏𝑠 adalah intensitas dari medan magnet pada
base station, 𝑇𝑎𝑘 mencatat waktu pengukuran pada titik terakhir dalam sehari
(Susilo, dkk, 2017).
Arah pergerakan medan adalah menuju permukaan bumi sehingga terjadi suatu
perubahan dari Vertical ketika di Kutub Utara yang mana bergerak secara Inward,
kemudian menjadi Horizontal yang bergerak secara Northward ketika di Equator
dan akhirnya berubah Vertikal yang bergerak secara Outward ketika di Kutub
Selatan (Fashihullisan dkk., 2014).
II.4.2 Medan Magnet Luar Bumi
Medan magnet bumi juga dipengaruhi oleh medan luar. Medan ini bersumber dari
luar bumi yang merupakan hasil ionisasi di atmosfer yang ditimbulkan oleh sinar
ultraviolet dari matahari. Karena sumber medan luar ini berhubungandengan arus
listrik yang mengalir dalam lapisan terionisasi di atmosfer, maka perubahan medan
ini terhadap waktu jauh lebih cepat (Telford dkk., 1990).
Beberapa sumber medan magnet luar bumi yang dapat memberi pengaruh saat
pengukuran menggunakan metode geomagnet antara lain:
Gambar 2.3 Tiga Elemen medan magnet bumi (Marzujriban dan Aswad, 2014).
⃗⃗| − |𝐹⃗ |
∆𝑇 = |𝑇 (2.8)
⃗⃗ = 𝐹⃗ + ∆𝐹⃗
𝑇 (2.9)
Gambar 2.4 Gambaran vektor anomali medan magnetik total (Suryanto, 2017).
II.6.1 Anomali Regional dan Residual
Anomali magnetik biasanya mengandung komponen regional dan residual. Salah
satu metode pemisahan komponen regional dan residual adalah dengan kontinuasi
ke atas. Metode ini seolah-olah mengangkat data pengukuran ke atas, ibarat melihat
secara zoom out. Cara ini akan menyebabkan anomaly terlihat menjadi semakin
halus (smooth), ditunjukkan dengan semakin besarnya klosur-klosur dari garis
konturnya (Gambar 2.4) (Suryanto, 2017).
Anomali medan magnet dihasilkan oleh benda magnetik yang telah terinduksi oleh
medan magnet utama bumi, sehingga benda tersebut memiliki medan magnet
sendiri dan ikut mempengaruhi besarnya medan magnet total hasil pengukuran.
Variasi medan magnetik yang terukur di permukaan merupakan target dari survey
magnetik (anomali magnetik). Besarnya anomali magnetik berkisar ratusan sampai
dengan ribuan nano-Tesla, tetapi ada juga yang lebih besar dari 100.000 nT yang
berupa endapan magnetik. Secara garis besar anomali ini disebabkan oleh medan
magnetik remanen dan medan magnet induksi. Bila arah medan magnet remanen
sama dengan arah medan magnet induksi maka anomalinya bertambah besar,
demikian juga sebaliknya. Medan magnet remanen mempunyai peranan yang besar
pada magnetisasi batuan yaitu pada besar dan arah medan magnetnya serta akan
sangat rumit diamati karena berkaitan dengan peristiwa kemagnetan yang dialami
sebelumnya. Sisa kemagnetan ini disebut dengan Normal Residual Magnetism atau
Residual Manetik Normal yang merupakan akibat magnetisasi medan utama (Kahfi
dan Yulianto, 2008).
Gambar 2.5 Contoh anomali magnetik total (Kiri) dan hasil kontinuasi keatas
setinggi 5 km. Terlihat komponen regional dari anomali magnetik menjadi terlihat
setelah dilakukan pengangkatan (Suryanto, 2017).
Pada proses kontinuasi ini tidak boleh menghilangkan body anomali yang ada.
Karena target dari proses ini adalah untuk menentukan body anomaly dari peta
anomali yang sudah ada. Karenanya proses kontinuasi ini tidak bisa dilakukan
sembarangan. Besar ketinggian yang digunakan untuk mengangkat bidang
pengamat tidak boleh terlalu besar, karena dapat mengakibatkan hilangnya
informasi pada daerah tersebut (Lita F., 2012).
Proses kontinuasi ke atas dilakukan pada peta anomaly medan magnetik total.
Penetuan anomali regional dilakukan dengan proses pengangkatan ke atas (upward
continuation) pada anomali medan magnetik total. Penggunaan kontinuasi ke atas
diharapkan dapat membantu untuk memisahkan anomali regional dengan anomali
lokal. Proses kontinuasi dengan uji trial and error dilakukan dengan melihat
kecenderungan pola kontur hasil kontinuasi pada ketinggian tertentu (Indratmoko
dkk., 2009).
Konsep dasar kontinuasi ke atas berasal dari identitas ketiga teorema Green.
Teorema ini menjelaskan bahwa apabila suatu fungsi U adalah harmonik, kontinyu
dan mempunyai turunan yang kontinyu di sepanjang daerah R maka nilai U pada
suatu titik P di dalam daerah R dapat dinyatakan (Blakely, 1995):
1 1 𝜕𝑈 𝜕 1
𝑈(𝑃) = 4𝜋 ∫𝑆 (𝑟 𝜕𝑛 − 𝑈 𝜕𝑛 𝑟 ) 𝑑𝑆 (2.10)
1 ∞ ∞ 1 𝜕𝑈(𝑥,𝑦,𝑧0 ) 𝜕 1
𝑈(𝑥,𝑦,𝑧0 −∆𝑧) = 4𝜋 ∫−∞ ∫−∞ (𝑟 − 𝑈(𝑥,𝑦,𝑧0 ) 𝜕𝑧 𝑟 ) 𝑑𝑥′𝑑𝑦′ (2.11)
𝜕𝑧
Gambar 2.7 Anomali magnet (kiri) dan anomali hasil reduksi ke kutub (kanan)
(Blakely, 1995)
Formulasi reduksi ke kutub dimulai dari tinjauan hubungan antara medan potensial
dengan distribusi sumber penyebab anomali. Anomali total medan magnet adalah
(Blakely, 1995):
⃗⃗ = −𝐶𝑚 𝐹̂ . ∇𝑃 ∫ 𝑀
∆𝑇 ⃗⃗⃗ . ∇𝑄 1 𝑑𝑣 (2.12)
𝑅 𝑟
lambang 𝐹̂ adalah vektor satuan dalam arah medan regional. Persamaan (2.12)
dapat ditulis dalam formulasi yang lebih umum sebagai hubungan antara medan
potensial (𝑓 )̅ dengan distribusi material sumber (s):
Fungsi 𝑓 (̅ 𝑃) adalah medan potensial atau anomali total medan magnetik pada P,
sedangkan s(Q) kuantitas fisis magnetisasi pada Q dan P,Q suatu fungsi Green
berupa anomali total medan magnetik dipole tunggal yang bergantung pada
geometris tempat titik observasi P dan titik distribusi sumber Q. Proses transformasi
reduksi ke kutub dilakukan dengan mengubah arah magnetisasi dan medan utama
dalam arah vertical (Blakely, 1995).
𝜔 = 𝛾𝑃 𝐹 (2.14)
Konstanta 𝛾𝑃 adalah rasio gyromagnetic dari proton, yaitu rasio momen magnetik
terhadap momentum sudut spinnya. Nilai dari 𝛾𝑃 diketahui hingga akurasi 0,001%.
Karena pengukuran frekuensi yang tepat relatif mudah, medan magnet dapat
diketahui pada akurasi yang sama. Proton yang merupakan muatan bergerak,
menginduksi pada kumparan yang mengelilingi sampel. Bila tegangan yang
bervariasi pada frekuensi presesi adalah ν, maka kita dapat mengetahui medan
magnet dari persamaan (Telford, 1990):
𝐹 = 2𝜋𝑣/𝛾𝑃 (2.15)
dimana faktor 2𝜋/𝛾𝑃 = 23,487 ± 0,002 nT/Hz. Dalam hal ini hanya medan total
yang bisa diukur.
Komponen yang penting dari magnetometer ini terdiri dari sumber proton, medan
magnet yang berpolarisasi lebih kuat dari medan magnet yang berpolarisasi
terhadap bumi dan mengarah normal terhadapnya (arah dari medan ini hilang pada
45˚), kumparan pickup yang terpasang kencang dengan sumber, dan penguat untuk
memperkuat tegangan terinduksi pada kumparan, serta alat pengukur frekuensi.
Belakangan beroprasi pada rentang audio karena (dari persamaan 12, 𝜈 = 2130 Hz
untuk F = 50000 nT) hal tersebut harus dapat mengindikasikan beda frekuensi
disekitar 0,4 Hz untuk setiap sesitivitas sensor 10 nT (Telford, 1990).
Sumber proton biasanya berupa botol air kecil (momen inti oksigen adalah 0) atau
beberapa cairan organik yang kaya akan hydrogen seperti alcohol. Medan polarisasi
(5-10) nT diperoleh dengan melewatkan arus secara langsung melewati kumparan
yang mengelilingi botol dengan orientasi timur-barat untuk pengukurannya. Ketika
arus pada kumparan diputus secara tiba-tiba, presesi proton terhadap medan magnet
bumi akan terdeteksi oleh kumparan ke-dua sebagai pembangkit tegangan
sementara dengan interval ~3 detik sebelum proton berhenti berpresesi. Di beberapa
model, kumparan yang sama digunakan untuk polarisasi dan deteksi. Sinyal
modulasi diperkuat ke level yang sesuai dan frekuensi dalat dihitung. Diagram
sistematis ditunjukkan pada Gambar 2.8.
Ismail. 2010.
Nurdin N.H., Massinai M.A., Aswad S. 2017. Identifikasi Pola Sebaran Intrusi
Batuan Bawah Permukaan Menggunakan Metode Geomagnet di Sungai
Jenelata Kabupaten Gowa. Jurnal Geocelebes. Vol. 1. No. 1. 17-22.
Nurdiyanto B., Wahyudi, Suyanto I. 2004. Analisis Data Magnetik untuk
Mengetahui Struktur Bawah Permukaan Daerah Manifestasi Airpanas di
Lereng Utara Gunung Api Ungaran. Yogyakarta: Universitas Gadjah Mada.
Suryanto, Wiwit. 2017. Diktat Kuliah Metode Magnetik untuk Geothermal. Gadjah
Mada University.
Susilo A., Sunaryo. Isdarmadi K., Rusli. 2017. Investigation of Jabung Temple
Subsurface at Probolinggo, Indonesia Using Resistivity and Geomagnetic
Methods. International Journal of Geomate. Vol. 13.
Telford W.M., Geldart L.P., Sheriff R.E. 1990. Applied Geophysics Second
Edition. USA: Cambridge University Press.
Wijaya F.K., Putra W., Haekal M.B.N., Arasy N. 2016. Identifikasi Keberadaan
Heat Source Menggunakan Metode Geomagnetik Pada Daerah Tlogowatu,
Kecamatan Kemalang, Kabupaten Klaten, Provinsi Jawa Tengah.
Prosiding Seminar Nasional XI “Rekayasa Teknologi Industri dan
Informasi. Sekolah Tinggi Teknologi Nasional Yogyakarta.