Anda di halaman 1dari 17

PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11

PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA


5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
ANALISIS POTENSI TANAH LONGSOR MENGGUNAKAN METODE SEISMIK
REFRAKSI CRITICAL DISTANCE METHOD DAN DELAY TIME PLUS MINUS
PADA DAERAH KEBUN KARET, KECAMATAN IMOGIRI, BANTUL, D. I.
YOGYAKARTA

Sava Sintya Larasati1*


Rani Kurniawati2
Ajimas Pascaning S3
Efraim Maykel Hagana4
Cici Arti5
Purwanta6
Okta Dwi Puspita7
Faiz Akbar Prihutama 8
1
Teknik Geofisika, UPN “Veteran” Yogykarta
2
Teknik Geofisika, UPN “Veteran” Yogykarta
3
Teknik Geofisika, UPN “Veteran” Yogykarta
4
Teknik Geofisika, UPN “Veteran” Yogykarta
5
Teknik Geofisika, UPN “Veteran” Yogykarta
6Teknik Geofisika, UPN “Veteran” Yogykarta
7
Teknik Geofisika, UPN “Veteran” Yogykarta
8
Teknik Geologi,, UPN “Veteran” Yogykarta
*corresponding author: savasintya@gmail.com

ABSTRAK
Kabupaten Bantul merupakan salah satu daerah yang berpotensi terhadap bencana tanah longor. Hal
tersebut karena Kabupaten Bantul termasuk ke dalam zona Gunung Batur yang terdiri dari batuan
gunung api yang sudah lapuk. Daerah penelitian berada di Kebun Karet, Kecamatan Imogiri yang
berpotensi terhadap tanah longsor. Tujuan dari penelitian ini untuk mengidentifikasi kondisi lapisan di
permukaan dan di bawah permukaan bumi sehingga dapat mengetahui potensi tanah longsor. Metode
penelitian menggunakan pengukuran seismik refraksi dengan perhitungan T-X CDM (Critical
Distance Method) dan Delay Time Plus Minus pada 9 lintasan dengan jarak offset 2 meter. Melalui
pengolahan data menggunakan metode CDM dapat mengetahui adanya dua lapisan dengan kemiringan
mencapai 68.019o sedangkan dengan metode Plus Minus dapat mengetahui bahwa pada lapisan
pertama terdapat litologi batupasir dengan kecepatan rambat gelombang 1.121,795 m/s sedangkan
pada lapisan kedua terdapat litologi batulempung dengan kecepatan rambat gelombang 1.248,647 m/s.
Sehingga dapat diketahui bahwa bidang gelincir terdapat pada lapisan batulempung.
Kata Kunci : potensi tanah longsor, cdm dan plus minus, seismik refraksi, batupasir, batulempung

1. Pendahuluan
1.1.Latar Belakang
Kabupaten Bantul merupakan salah satu kawasan yang rentan terhadap terjadinya
bencana alam tanah longsor yang dipengaruhi kondisi geologi maupun aktivitas masyarakat
sekitar. Berdasarkan Badan Penanggulangan Bencana Daerah Kabupaten Bantul, Daerah
Istimewa Yogyakarta menyatakan terdapat 43 titik di Daerah Bantul pada akhir tahun 2017
lalu. Tanah longsor ini dapat diakibatkan karena meningkatnya intensitas hujan, sehingga
menimbulkan suatu pergerakan tanah. Besarnya jumlah kasus pergerakan tanah ini tidak
hanya terlepas dari adanya faktor intensitas terjadinya hujan saja, melainkan kondisi lapisan
suatu batuan, bentuk morfologi yang cenderung memiliki pola kontur curam, struktur geologi,
penggunaan lahan, juga dapat mempengaruhi terjadinya pergerakan tanah (Kusumosubroto,
2013). Selain itu dapat terjadi tergantung pada sudut kemiringan lereng, serta jenis material
yang terkandung (Wieczorek dan Snyder, 2009). Kemudian terdapatnya lahan pertanian di

1048
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
lereng dan kurangnya pepohonan berakar kuat dapat juga mengakibatkan terjadinya bencana
tanah longsor.
Parameter-parameter terjadinya longsor dapat diidentifikasi oleh akibat adanya interaksi
antara faktor iklim, topografi, vegetasi tanah, mupun manusia (Arsyad, S.,1989). Tanah
longsor ini, bergerak pada suatu bidang tertentu yang disebut sebagai bidang gelincir. Bidang
gelincir secara umum berada dibawah permukaan bumi. Namun, secara spesifik bidang
gelincir berada diantara bidang yang stabil (bedrock) dengan bidang yang tidak stabil atau
bergerak (bidang yang tergelincir).
Bagian bawah permukaan bumi dapat digambarkan atau ditentukan berdasarkan
penjalaran gelombang seismik. Metode seismik memiliki ketepatan serta resolusi yang tinggi
di dalam memodelkan atau menggambarkan sesuatu yang ada dibawah permukaan bumi.
Metode seismik dibagi menjadi dua, yaitu metode seismik refleksi dan metode seismik
refraksi.
Metode seismik refleksi digunakan untuk menentukan atau menggambarkan bagian
bawah permukaan yang dalam, sedangkan seismik refraksi digunakan untuk memodelkan
struktur geologi yang dangkal. Metode seismik refraksi pada umumnya diaplikasikan pada
kasus geoteknik, survei awal ekplorasi, hingga mitigasi bencana (Ekaristi,K.G.B., 2015) .
Dalam bidang mitigasi bencana, seismik refraksi dalam geofisika digunakan untuk identifikasi
bidang gelincir atau investigasi pergerakan tanah (longsor). Selain itu, kegunaan lain dari
survei dengan menggunakan metode seismik refraksi ini yaitu dalam bidang pertanian.
Analisa mengenai litologi di bawah permukaan dapat memberikan informasi mengenai
komponen yang terdapat pada bawah permukaan, sehingga dapat memprediksi jenis tanaman
yang sesuai ditanam pada daerah penelitian.
Perhitungan dalam metode seismik refraksi sendiri dibagi menjadi dua, yaitu metode T-X
dan metode Delay Time. Metode T-X merupakan pengolahan data pada seismik refraksi yang
paling sederhana, dengan hasil yang cukup kasar pada lapisan yang homogen. Sedangkan
metode Delay Time merupakan metode lanjutan yang dapat menggambarkan lapisan yang
tidak rata dibawah permukaan bumi. Pada penelitian ini menggunakan metode seismik
refraksi dengan pengolahan data T-X Critical Distance Method dan Delay Time Plus Minus
yang dapat mengetahui kecepatan rambat gelombang, kedalaman lapisan, litologi batuan, dan
kemiringan lapisan. Sehingga diharapkan dapat mengetahui potensi tanah longsor pada daerah
penelitian.
Kabupaten Bantul memiliki banyak titik yang menjadi area rawan longsor dikarenakan
terletak pada apitan bukit pada bagian timur diapit oleh bukit patahan Batur Agung, dan pada
bagian barat terdapat bukit dengan ketinggian 100 mdpl - 200 mdpl. Kecamatan Imogiri
termasuk kedalam kawasan rawan longsor yang ada di Kabupaten Bantul dikarenakan pada
daerah tersebut terdapat bukit-bukit curam yang cukup berpotensi terjadinya longsor. Dengan
menggunakan metode perhitungan T-X Critical Distance Method (CDM) dan Delay Time
Plus-Minus dapat menganalisa bidang gelincir serta litologi yang ada dibawah permukaan
bumi berdasarkan perbedaan kecepatan rambat gelombang pada selang waktu tertentu, serta
memahami sifat fisik batuan di daerah Perkebunan Karet, Kecamatan Imogiri, Kabupaten
Bantul, D.I.Yogyakarta.

1.2. Metode Seismik Refraksi


Metode seismik refraksi dihitung berdasarkan waktu jalar gelombang pada tanah/batuan
dari posisi sumber ke penerima pada berbagai jarak tertentu. Pada metode ini, gelombang
yang terjadi setelah usikan pertama (first break) diabaikan, sehingga sebenarnya hanya data
first break saja yang dibutuhkan. Parameter jarak (offset) dan waktu jalar dihubungkan oleh
1049
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
cepat rambat gelombang dalam medium. Kecepatan tersebut dikontrol oleh sekelompok
konstanta fisis yang ada di dalam material dan dikenal sebagai parameter elastisitas.
Dalam memahami perambatan gelombang seismik di dalam bumi, perlu mengambil
beberapa asumsi untuk memudahkan penjabaran matematis dan menyederhanakan pengertian
fisisnya. Asumsi-asumsi tersebut antara lain seperti medium bumi dianggap berlapis-lapis
dan tiap lapisan menjalarkan gelombang seismik dengan kecepatan yang berbeda-beda, makin
bertambah kedalamannya, batuan lapisan akan semakin kompak, panjang gelombang seismik
lebih kecil dari ketebalan lapisan bumi. Hal ini memungkinkan setiap lapisan yang memenuhi
syarat tersebut akan dapat terdeteksi, perambatan gelombang seismik dapat dipandang sebagai
sinar, sehingga mematuhi hukum-hukum dasar lintasan sinar di atas, pada bidang batas antar
lapisan, gelombang seismik merambat dengan kecepatan pada lapisan di bawahnya, kecepatan
gelombang bertambah dengan bertambahnya kedalaman. Selain itu metode seismik memiliki
hukum dasar dalam prinsip penjalaran gelombang ke segala arah di bawah permukaan bumi
menggunakan hukum Snellius, azas Fermat, dan prinsip Hugyens (Telford, W.M., L.P.
Goldart., R.E. Sheriff., 1976).

1.3. Geologi Regional


Secara umum, fisiografi Jawa Tengah bagian tenggara yang meliputi kawasan G.
Merapi,Yogyakarta, Surakarta dan Pegunungan Selatan dapat dibagi menjadi dua zona, yaitu
Zona Solo dan Zona Pegunungan Selatan (Bemmelen, 1949) seperti terlihat pada Gambar 1.
Kabupaten Bantul sendiri merupakan wilayah yang berada pada dominasi struktur geologi
Young Merapi Volcanic (Quartenary) bagian tengah dan Volcanic (Miocine dan Oligomicine)
pada bagian timur yang terlihat pada Gambar 2. Secara struktural Kabupaten Bantul diapit
oleh bukit patahan, yaitu lereng barat Pegunungan Batur Agung (Batur Agung Ranges) pada
bagian timur dan bagian barat berupa bekas laguna. Wilayah yang berada pada apitan bukit
patahan ini disebut sebagai graben. Oleh karena itu, wilayah Kabupaten Bantul dalam
toponim geologi dan geomorfologi disebut Graben Bantul. Graben ini terbentuk dari proses
diatrofisme tektonisme yang dipengaruhi oleh aktivitas gunung merapi dan gunungapi tua.
Selain berada pada apitan bukit apitan, wilayah Kabupaten Bantul juga berada pada
bentang lahan Fluvio-Marine yang memiliki banyak potensi serta permasalahan. Hal ini
terjadi karena wilayah Kabupaten Bantul juga merupakan wilayah transisi antara asal lahan
marine (proses yang mengerjai angin dan gelombang dari Samudra Hindia). Pada daerah
Bantul umumnya memiliki jenis tanah liat (lempung) dan sebagian kerikil / batuan. Dari
kondisi morfologi dan curah hujan pertahun tertinggi 6.810 mm (Dinas SDA, 2013) membuat
adanya probabilitas kejadian longsor.Wilayah transisi ini yaitu dataran yang asal prosesnya
dari aktivitas vulkanis dan endapan sungai. Bentuk lahan fluvial disebabkan oleh akibat
aktivitas aliran sungai. Bentukan-bentukan ini berhubungan dengan daerah-daerah
penimbunan seperti lembah-lembah sungai besar dan dataran alluvial.
Bentuk-bentuk lain dalam skala kecil dapat terjadi berupa dataran banjir, tanggul alam,
teras sungai, dan kipas alluvial. Kemusdian, banyak sekali potensi alam yang dimiliki
Kabupaten Bantul, salah satunya aquifer (air tanah), karena sumbernya berasal dari dataran
tinggi gunung merapi yang jumlahnya cukup melimpah. Selain itu terdapat permasalahan
yang terjadi di Kabupaten Bantul, yaitu mengenai potensi terjadinya longsor. Kawasan-
kawasan yang rawan terhadap longsor terdapat pada sebagian kecamatan, yaitu Kecamatan
Piyungan, Pleret, Imogiri, Pundong, Sedayu, dan Pajangan. Hal ini dikarenakan pada
kecamatan tersebut terdapat bukit-bukit yang cukup berpotensi terjadi longsor.

1050
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
2. Metode Penelitian
2.1 Metode Penelitian
Pengambilan data seismik refraksi dilakukan secara langsung (data primer) yang
dilakukan pada hari Sabtu-Minggu, 05 - 06 Mei 2018, pada pukul 06.30 - 17.00 WIB. Lokasi
penelitian berada di daerah Perkebunan Karet, Kecamatan Imogiri, Kabupaten Bantul,
D.I.Yogyakarta. Penelitian ini mendapatkan jumlah lintasan sebanyak 9 yang terlihat pada
Gambar 7. Proses pengukuran data dilakukan dengan menggunakan alat PASI Seismograph 3
Channel, palu seismik sebagai sumber gelombang seismik dengan bantalan atau landasan palu,
serta 3 buah geophone untuk merekam atau menangkap gelombang seperti pada Gambar 8.
Selain itu juga menggunakan kompas, GPS, dan trigger seismik untuk menguatkan sinyak
gelombang yang akan dihasilkan. Teknik bentangan yang digunakan yaitu bentangan inline,
dengan total panjang lintasan berkisar 30 meter - 32 meter dengan jarak spasi antar geophone
sebesar 2 meter. Kondisi pada daerah penelitian yaitu berupa area perbukitan dengan
kemiringan lereng yang cukup curam, dan dipenuhi dengan tanaman karet. Sedangkan data
sekunder yang mendukung penelitian ini berupa geologi regional daerah penelitian yang
diambil melalui prosiding, internet, dan jurnal-jurnal ilmiah mengenai penelitian di daerah ini.

2.2. Metode Pengolahan Data


Pada penelitian ini menggunakan metode seismik refraksi dengan pengolahan data T-X
Critical Distance Method dan Delay Time Plus Minus.
2.2.1. T-X Critical Distance Method (CDM)
Metode T-X merupakan salah satu cara yang dianggap paling sederhana dan hasilnya
relatif cukup kasar, kedalaman lapisan diperoleh pada titik-titik tertentu saja, namun pada
sistem perlapisan yang cendrung homogen dan relatif rata cara ini mampu memberikan hasil
yang relatif akurat dengan kesalahan kecil. Metode T-X terdiri dari metode Intercept Time
Method (ITM) dan Critical Distance Method (CDM).
Metode Critical Distance Method (CDM) digunakan untuk mencari kedalaman lapisan
datar, banyak lapisan dan miring sama dengan mengasumsikan bahwa lapisan homogen
(kecepatan lapisan relatif seragam) dan bidang batas lapisan rata atau tanpa undulasi.
Jarak kritis terjadi pada saat gelombang refraksi tiba terlebih dahulu dari gelombang
langsung sedangkan gelombang refraksi kritis merupakan gelombangang terbentuk padasudut
kritis dengan sudut bias 90o dengan V1 / V2 = sin i. Pengolahan data seismik refraksi
menggunakan metode CDM terdiri atas beberapa macam seperti pada lapisan datar dengan
satu lapisan datar atau banyak lapisan datar serta pada lapisan miring. Pada penelitian ini
menggunkan pengolahan data seismik refraksi menggunakan metode CDM pada lapisan
miring (Gambar 3) dengan persamaan rumus sebagai berikut :
hd  hu x cos  (h d hu ) tanic
Td  
V1 cosic V2 (1)
Melalui prinsip geometri akan didapatkan persamaan sebagai berikut :
x 2h cosic x 2h cos ic
Td  sin(ic   )  d Tu  sin(ic   )  u
V1 V1 atau V1 V1 (2)
Berikut adalah kurva waktu rambat untuk gelombang bias pada lapisan miring. Karena
V1 V1
Sin( c   )  dan Sin( c   )  , maka akan diperoleh :
Vd Vu

1051
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
1  1 V1 V 
 sin  sin 1 1 
2 Vd Vu 
(3)

1  1 V1 V 
c  sin  sin 1 1  (4)
2 Vd Vu 

Kecepatan V1 dihitung langsung dari slope gelombang langsung, Vd dan Vu dihitung dari
slope gelombang bias pada masing-masing arah penembakan. Dari harga Vd dan Vu tersebut
dapat kita peroleh harga V2 dengan persamaan berikut :
2V2uV2 d
V2  cos (5)
V2u  V2 d

Sedangkan untuk memperoleh ketebalan down-dip dan up-dip dapat kita selesaikan dengan
persamaan sebagai berikut :
t id  V1
hd 
2 cos c (untuk down-dip) (6)
t V
hu  iu 1 (untuk up-dip) (7)
2 cos c

Rumus untuk mencari waktu tempuh pada lapisan miring yaitu :

(8)

(9)

Dari kurva travel time kita ketahui :


(10)

(11)

(12)

(13)

2.2.2. Delay Time Plus Minus Method


Metode Delay Time digunakan dengan prinsip memanfaatkan waktu tunda perambatan
gelombang untuk mencapai receiver seperti pada Gambar 4. Metode ini memanfaatkan waktu
tunda yang menjalar dari sumber ke lapisan kecepatan (V1) lalu bidang bidang batas bias (V2)
menuju ke penerima gelombang pada lapisan kecepatan (V1). Metode Delay Time meliputi
metode ABC, metode Plus Minus, metode Generalized Reciprocal Method (GRM), dan
metode Hagiwara.

1052
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Dasar dari metode Plus Minus terletak pada timbal balik tempuh, yaitu tempuh dari
gelombang seismik antara dua tiitk di satu arah adalah sama dengan tempuh dalam arah yang
berlawanan. Analisis Plus Time untuk menganalisa kedalaman (depth) seperti pada Gambar 5.
Analisa Minus Time yang dugunakan untuk determinasi kecepatan gelombang. Plus Time
adalah jumlah waktu rambatan gelombang dari geophone pada sumber dan forward dan
geophone dari sumber reverse dikurangi dengan travel time antara sumber keduanya.
Sedangkan Minus Time adalah pengurangan waktu rambatan gelombang dari geophone pada
sumber forward dan geophone dari sumber reverse lalu dikurangi dengan travel time antara
sumber keduanya yang terlihat pada Gambar 6.
Pada saat analisis metode Plus Minus didefinisikan oleh dua titik crossover (forward
menyebar (XF) dan reverse menyebar (Xr)), yang menentukan batas antara lapisan pertama
kedatangan dan kedatangan lapisan kedua. Metode Plus Minus merupakan turunan dari
metode Delay Time untuk kasus yang lebih kompleks dengan bidang batas lapisan yang tidak
rata, dapat mencari tebal lapisan lapuk. Selain itu metode Plus Minus juga menggunakan
beberapa asumsi dengan bidang batas lapisan C-F adalah lurus dan kemiringan dari refraktor
tidak terlalu besar atau <100. Plus time dapat dirumuskan sebagai berikut :
t (14)
Masing-masing waktu tempuh raypath dapat digantikan dengan waktu tempuh yang lebih
kecil dari raypath.
t t tt t (15)

t t t (16)

t t t (17)

t t tt t t t (18)

t t t t t (19)

t t t t
t (20)

Sedangkan untuk persamaan Minus Time sebagai berikut :

t (21)

V2 dapat dicari dengan analisa geophone D dan D’ dipisahkan oleh jarak ΔX, maka:

tt t t t (22)

Kemudian, kurangkan T-D dengan T-D’, maka :

t
t t t (23)

t dan t sama dengan 晦 (24)

t
t t ሻ晦 (25)

1053
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
3. Data
Pada penelitian yang dilakukan di daerah Perkebunan Karet, Kecamatan Imogiri,
Kabupaten Bantul, D.I.Yogyakarta mendapatkan data sebanyak 9 lintasan. Melalui
pengukuran menggunakan metode seismik refraksi memperoleh data berupa jarak offset
antara geophone, dengan waktu tiba gelombang seismik yang diinjeksikan dengan palu
seismik secara forward dan reverse. Selain itu memperoleh besarnya azimuth lintasan dan
slope lintasan. Setelah itu data lapangan dapat dilakukan pengolahan data menggunakan
metode T-X Critical Distance Method dan Delay Time Plus Minus dengan menggunakan
software Microsoft Excel. Pengolahan data lapangan akan menghasilkan kecepatan rambat
gelombang seismik pada setiap lapisan di bawah permuaan bumi, kedalaman lapisan batuan,
ketebalan lapisan, dan sudut kemiringan lapisan.
Dengan pengolahan menggunakan Critical Distance Method (CDM) dapat diketahui
bahwa kecepatan rata-rata lapisan pertama (V1) berkisar dari 587,1212 m/s hingga mencapai
1.203,704 m/s. Berdasarkan tabel kecepatan perambatan gelombang (Jakosky, 1940) dapat
diindikasikan bahwa kerikil dan pasir dalam kondisi kering memiliki kecepatan perambatan
gelombang sebesar 468 m/s – 915 m/s. Sedangkan pada pasir dalam kondisi basah akan
memiliki kecepatan perambatan gelombang sebesar 610 m/s – 1.830 m/s. Hal tersebut juga
memerlukan korelasi dengan bebatuan yang ditemukan di lapangan. Pada lapisan kedua
memiliki kecepatan rata-rata (V2) berkisar antara 916,667 m/s hingga mencapai 1.785,131 m/s.
Melalui data perbandingan kecepatan gelombang lapisan pertama dan kecepatan gelombang
lapisan kedua tersebut dapat diketahui bahwa kecepatan rata-rata lapisan kedua lebih besar
daripada kecepatan rata-rata lapisan pertama yang seusai dengan asumsi-asumsi seismik yang
berlaku. Pada tabel kecepatan perambatan gelombang (Jakosky, 1940) dapat diindikasikan
bahwa lempung memiliki kecepatan perambatan gelombang sebesar 915 m/s – 2.750 m/s.
Sedangkan kemiringan lapisan / slope mulai dari 25.148o – 68.019o yang dapat berpotensi
terhadap terjadinya bencana tanah longsor.
Sedangkan melalui pengolahan menggunakan metode Plus Minus dapat diketahui bahwa
kecepatan rata-rata lapisan pertama (V1) berkisar dari 587,1212 m/s hingga mencapai
1.203,704 m/s. Serta lapisan kedua memiliki kecepatan rata-rata (V2) berkisar antara 916,667
m/s hingga mencapai 1.785,131 m/s. Indikasi litologi batuan menggunakan tabel kecepatan
perambatan gelombang (Jakosky, 1940) yang sama dengan pengolahan data Critical Distance
Method (CDM). Melalui data perbandingan kecepatan gelombang lapisan pertama dan
kecepatan gelombang lapisan kedua tersebut dapat diketahui bahwa kecepatan rata-rata
lapisan kedua lebih besar daripada kecepatan rata-rata lapisan pertama yang seusai dengan
asumsi-asumsi seismik yang berlaku. Sedangkan kemiringan lapisan / slope mulai dari
24.644o – 68.019o yang dapat berpotensi terhadap terjadinya bencana tanah longsor.
Melalui pengukuran data seismik refraksi di lapangan dan pengolahan data menggunakan
Critical Distance Method serta metode Plus Minus yang memiliki kecepatan perambatan
gelombang tertinggi sebesar 1.248,647 m/s. Lapisan tersebut terdapat pada lintasan 1 pada
daerah penelitian dengan litologi batuan berupa batulempung sebagai bidang gelincir. Selain
itu pada lapisan tersebut memiliki kemiringan / slope sebesar 68.019o . Sehingga diindikasikan
dapat berpotensi terjadinya tanah longosr.

4. Hasil dan Pembahasan


4.1.Critical Distance Method (CDM)
4.1.1....Profil Bawah Permukaan Lintasan 1

1054
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Profil bawah permukaan pada Gambar 9 telah melakukan pengolahan data dengan
menggunakan metode Critical Distance Method (CDM) lapisan miring. Pada profil bawah
permukaan tersebut terdapat beberapa komponen,yaitu terdapat dua sumbu berupa sumbu X
dan Y. Sumbu X menunjukkan jarak (offset) dengan satuan meter dan sumbu Y yang
menunjukkan nilai kedalaman suatu lapisan dalam satuan meter.
Batas kedua lapisan tersebut berada pada offset 0 meter, yaitu pada kedalaman -
0.94619 meter dan pada offset 32 meter dengan kedalaman -1.27442 meter. Berdasarkan
analisa variasi kecepatan dengan menggunakan tabel velocity (Jakosky, 1940), maka dapat
diidentifikasi bahwa litologi lapisan pertama berupa batupasir dengan kecepatan V1 sebesar
1.121,79 m/s, dan litologi pada lapisan kedua berupa lapisan batulempung dengan kecepatan
V2 sebesar 1.248,65 m/s. Sehingga pada lapisan kedua memiliki tingkat kekerasan batuan atau
kekompakan batuan yang lebih besar dibandingkan dengan lapisan yang pertama. Kemudian
lapisan tersebut memiliki kemiringan mencapai 68.019o. Profil bawah permukaan menggunakan
metode CDM memperlihatkan litologi batuan dengan kemiringan lapisan yang menggangap
bahwa tidak terdapat adanya undulasi atau lapisan rata.
Pada daerah penelitian, termasuk kedalam kategori lahan pertanian yang kering,
dengan topografi yang tidak datar dengan masukan air bergantung kepada turunnya air hujan.
Pada daerah penelitian ini, untuk lahan keringnya berada pada ketinggian 50 mdpl - >200
mdpl. sehingga pada lahan ini sangat cocok untuk ditanami tanaman palawija, ketela, pala,
dan lain-lain. Saat ini pada daerah penelitian, sedang ditanami pohon karet dengan jarak antar
pohon kurang lebih 3 meter.
4.1.2....Penampang Kecepatan Lintasan 1
Penampang kecepatan pada Gambar 10 telah melakukan pengolahan data dengan
menggunakan metode Critical Distance Method (CDM) lapisan miring. Panjang lintasan pada
lintasan ini yaitu 32 meter dengan kedalaman mencapai -3.323 meter. Penampang kecepatan
dapat menggambarkan variasi kecepatan pada lapisan yang dilakukan pengukuran. Nilai
kecepatan ditunjukkan oleh adanya variasi warna dengan warna ungu hingga biru
menunjukkan kecepatan rendah berkisar antara 1.150 m/s – 1.180 m/s, warna hijau hingga
kuning menunjukkan nilai kecepatan sedang berkisar antara 1.185 m/s -1.210 m/s, dan warna
kuning hingga merah menunjukkan nilai kecepatan tinggi berkisar antara 1.220 m/s – 1.250
m/s.
Pada penampang tersebut memiliki nilai kecepatan yang rendah dengan V1
sebesar 1.121,79 m/s dan meningkat hingga mencapai V2 sebesar 1.248,65 m/s. Sehingga
dapat diinterpretasikan, bahwa pada lapisan kedua memiliki jenis batuan yang lebih kompak
dibandingkan dengan litologi diatasnya. Pada lapisan pertama diidentifikasi memiliki litologi
batupasir dan pada lapisan kedua diidentifikasi memiliki litologi batulempung. Kemudian
berdasarkan asumsi seismik, nilai kedalaman akan semakin besar seiring dengan
meningkatnya kecepatan rambat gelombang yang merambat dibawah permukaan, selain itu
kecepatan yang merambat pada material yang lebih kompak akan memiliki nilai kecepatan
yang jauh lebih besar.

4.2. Plus Minus Method


4.2.1....Profil Bawah Permukaan Lintasan 1
Profil bawah permukaan pada Gambar 11 telah melakukan pengolahan data
menggunakan metode Plus Minus. Pada profil bawah permukaan tersebut terdapat beberapa
komponen,yaitu terdapat dua sumbu berupa sumbu X dan Y. Sumbu X menunjukkan jarak
(offset) dengan satuan meter dan terdapat sumbu Y yang menunjukkan nilai kedalaman suatu
lapisan dalam satuan meter.
1055
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
Batas kedua lapisan tersebut berada pada offset 10 meter, yaitu pada kedalaman -
2.06 meter dan pada offset 24 meter dengan kedalaman -3.43 meter. Berdasarkan analisa
variasi kecepatan dengan menggunakan tabel velocity (Jakosky, 1940), maka dapat
diidentifikasi bahwa litologi lapisan pertama berupa batupasir basah dengan kecepatan V1
sebesar 1.121,795 m/s, dan litologi pada lapisan kedua berupa lapisan lempung dengan
kecepatan V2 sebesar 1.842,159 m/s. Sehingga pada lapisan kedua memiliki tingkat kekerasan
batuan atau kekompakan batuan yang lebih besar dibandingkan dengan lapisan yang pertama.
Pada lapisan lempung ini juga dapat diindikasikan sebagai bidang longsor, atau bidang luncur
longsoran, karena bersifat impermeable dengan ketebalan yang bervariasi.
Batuan induk pada daerah penelitian ini yaitu breksi, sehingga jenis tanah yang
mendominasi pada daerah penelitian ini berupa tanah latosol (BPN dalam Bantulkab,2015).
Tanah latosol sendiri merupakan jenis tanah yang terbentuk akibat adanya pelapukan batuan
sedimen dan metamorf. Perkembangan horizon tanah ini juga berlangsung lambat hingga
sedang.
Selain itu, pada daerah penelitian, termasuk kedalam kategori lahan pertanian
yang kering, dengan topografi yang tidak datar dimana masukan air bergantung kepada
turunnya air hujan. Pada daerah penelitian ini, untuk lahan keringnya berada pada ketinggian
50 mdpl - >200 mdpl. sehingga pada lahan ini sangat cocok untuk ditanami tanaman palawija,
ketela, pala, dll. Saat ini pada daerah penelitian, sedang ditanami pohon karet dengan jarak
antar pohon kurang lebih 3 meter. Kemudian, pada lapisan lempung ini juga dapat
diindikasikan sebagai bidang longsor, atau bidang luncur longsoran, karena bersifat
impermeable dengan ketebalan yang bervariasi.

4.2.2....Penampang Kecepatan Lintasan 1


Penampang bawah permukaan pada Gambar 12 telah melakukan pengolahan
menggunakan data hasil pengolahan dengan menggunakan metode Plus Minus. Penampang
tersebut dibuat dengan menggunakan Software Surfer dengan sumbu X sebagai offset dalam
satuan meter dan Y sebagai kedalaman dalam satuan meter.
Melalui penampang bawah permukaan dengan metode Plus Minus dapat terlihat
bahwa terdapat tiga variasi warna. Variasi warna berkecepatan tinggi ditandai dengan warna
yang dapat terlihat pada scale bar color ditandai dengan warna orange tua hingga merah yang
terlihat pada bagian bawah atau barat penampang kecepatan dengan nilai kecepatan sebesar
3.200 m/s – 4.800 m/s. Hal ini dikarenakan semakin ke dalam suatu lapisan atau permukaan
maka nilai kecepatan yang dihasilkan akan semakin bertambah. Variasi warna dengan
kecepatan sedang dapat terliht dengan scale bar color ditandai dengan warna hijau sampai
kuning tua yang mendominasi pada bagian tengah penampang kecepatan dan terlihat
memanjang dari barat hingga timur dengan nilai kecepatan sebesar 1.800 m/s – 3.200 m/s Hal
ini menunjukkan nilai kecepatan mendominasi dengan kecepatan yang sedang. Variasi warna
dengan kecepatan rendah dapat terlihat dengan scale bar color ditandai dengan warna ungu
sampai biru yang mendominasi pada bagian atas atau utara penampang kecepatan dan terlihat
menebal ke bagian timur penampang dengan nilai kecepatan sebesar 200 m/s -1.800 m/s. Hal
ini dikarenakan semakin ke dalam suatu lapisan atau permukaan maka nilai kecepatan yang
dihasilkan akan semakin bertambah dan begitu pula sebaliknya semakin keatas akan semakin
lambat nilai kecepatannya.

4.3. Perbandingan Peta Kecepatan V1 dan Kecepatan V2


Peta kecepatan V1 dan V2 menggunakan metode CDM dan Plus Minus pada Gambar 13
telah melakukan pengolahan dari data seluruh lintasan sebanyak 9 lintasan. Peta tersebut telah

1056
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
dibuat menggunakan software Surfer untuk mengubah data lapangan menjadi peta atau
penampang yang menggambarkan kondisi di lapangan.
Pada perbandingan peta kecepatan V1 dan V2 dibedakan mejadi dua buat peta pada hari
berbeda yang terletak pada jarak lapangan yang cukup jauh dan memiliki arah penyebaran
geophone yang berbeda. Melalui peta tersebut dapat dilihat bahwa kecepatan V1 bewarna
merah menunjukkan lapisan yang memiliki kecepatan yang tinggi diantara yang lainnya
dengan nilai berkisar antara 1.200 m/s hingga 1.000 m/s. Sedangkan kecepatan V2
ditunjukkan oleh warna merah dengan nilai sebesar 1.500 m/s hingga 1.100 m/s. Warna
kuning hingga hijau menunjukkan bahwa kecepatan pada lapisan yang memiliki kecepatan
sedang, kecepatan pada lapisan pertama ditunjukkan oleh nilai berkisar dari 1.000 m/s hingga
700 m/s dan kecepatan pada lapisan kedua ditunjukkan oleh nilai berkisar dari 1.100 m/s
hingga 800 m/s. Selanjutnya untuk warna biru hingga ungu menunjukkan lapisan tersebut
memiliki kecepatan yang rendah diantara yang lainnya dengan kecepatan lapisan pertama
ditunjukkan oleh nilai sebesar 700 m/s hingga 100 m/s dan untuk kecepatan lapisan kedua
ditunjukkan oleh nilai sebesar 800 m/s hingga 200 m/s.
Peta ini menunjukkan bahwa perbedaan warna yang terjadi diakibatkan karena adanya
perbedaan kecepatan antar lintasan yang disebabkan oleh adanya perbedaan litologi atau
kekompakan antar batuan penyusun dibawahnya. Litologi batuan yang memiliki kecepatan
tinggi dapat diidentifikasikan sebagai batulempung sedangkan litologi batuan yang memiliki
kecepatan rendah dapat diidentifikasikan sebagai batupasir.

4.4...................................................................................................................Perbandingan
Peta Kedalaman Critical Distance Method dan Metode Plus Minus (3D)
Pada Gambar 14 terlihat peta kedalaman menggunakan metode CDM dan Plus Minus
yang telah dilakukan pengolahan data dari seluruh lintasan sebanyak 9 lintasan. Peta tersebut
telah dibuat menggunakan software Surfer untuk mengubah data lapangan menjadi peta atau
penampang yang menggambarkan kondisi di lapangan.
Pada peta kedalaman CDM dapat terlihat bahwa kedalaman yang ditunjukkan oleh warna
merah menunjukkan lintasan yang memiliki kedalaman yang tinggi diantara yang lainnya
dengan nilai yang berkisar antara 0.5 m hingga 1 m di bawah permukaan. Sedangkan peta
kedalaman Plus Minus ditunjukkan oleh warna merah dengan nilai sebesar 1 m hingga 1.5
meter di bawah permukaan. Warna kuning hingga hijau menunjukkan bahwa kedalaman pada
lintasan memiliki kedalaman yang sedang dengan CDM menunjukkan nilai yang berkisar dari
1 meter hingga 3.5 meter di bawah permukaan dan Plus Minus Method ditunjukkan oleh nilai
sebesar 1.5 hingga 3.5 meter di bawah permukaan. Selanjutnya untuk warna biru hingga ungu
menunjukkan bahwa lintasan tersebut memiliki kedalaman yang sangat rendah atau dalam
diantara yang lainnya dengan CDM ditunjukkan oleh nilai sebesar 3.5 meter hingga 7.5 meter
di bawah permukaan dan Plus Minus Method ditunjukkan oleh nilai sebesar 3.5 meter hingga
4 meter di bawah permukaan.
Sehingga dapat diketahui bahwa setiap lintasan memiliki kedalaman yang beragam yang
menujukkan bahwa lapisan tidak rata atau berundulasi. Selain itu juga dapat mengetahui
ketebalan dari bidang gelincir yang dapat berpontensi terjadinya bencana longsor pada lapisan
batuan batulempung yang memiliki kecepatan tinggi.

4.5.Geologi Daerah Penelitian


Berdasarkan dari stratigrafi daerah penelitian termasuk kedalam Formasi Merapi Muda
yang terdiri atas satuan batupasir merapi muda dan satuan alluvial. Pada satuan batupasir
merapi muda, batuan penyusunnya yaitu terdiri dari batupasir silika, konglomerat dengan
1057
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA
sisipan batupasir halus. Susunan ini dapat dimungkinkan masih menerus kesegala arah pada
daerah penelitian. Namun untuk ketebalan pada lapisan ini belum dapat dipastikan secara
akurat. Litologi pada daerah penelitian ini dicirikan dengan batupasir berwarna abu-abu,
dengan ukuran pasir kasar hingga halus. Untuk satuan alluvial ini berada pada bagian utara
pada daerah penelitian yang tersusun atas material yang mengalami pelapukan lebih lama.
Material ini disusun oleh material berukuran lempung hingga kerakal.

5. Kesimpulan
Berdasarkan hasil pengukuran metode seismik refraksi menggunakan metode pengolahan
data Critical Distance Method (CDM) dan Plus Minus Method yang dilakukan di Daerah
Kebun Karet, Kecamatan Imogiri, Bantul, D. I. Yogyakarta dapat disimpulkan bahwa:
 Secara umum dari pengukuran yang dilakukan pada lintasan 1 hingga lintasan 9
diketahui bahwa litologi penyusun di lokasi terdiri dari litologi batupasir pada lapisan
pertama dan batulempung pada lapisan kedua. Sedangkan melalui pengamatan di
lapangan terdapat pula material lepas dan lapisan lapuk. Berdasarkan jenis litologi batuan
pada lokasi penelitian maka dapat diketahui jika daerah tersebut memiliki potensi
pergerakan tanah dengan batulempung sebagai bidang gelincirnya.
 Berdasarkan data pengkuran yang memiliki kecepatan perambatan gelombang tertinggi
sebesar 1.248,647 m/s dengan kemiringan / slope sebesar 68.019o. Lapisan tersebut
terdapat pada lintasan 1 pada daerah penelitian dengan litologi batuan berupa
batulempung. Sedangkan kedalaman lapisan pada lintasan berkisar antara -0.946 m - -
1.274 m.
 Lapisan lapuk atau soil yang ada dipermukaan memiliki sifat permeable, sehingga
dengan intensitas curah hujan yang tinggi akan memberikan beban sehingga akan diserap
oleh lapisan pasir, namun karena batulempung memiliki sifat impermeable maka saat
massa tidak dapat ditahan oleh lapisan dua akan diloloskan dan menjadi pergerakan tanah
(tanah longsor).
 Batuan induk pada daerah penelitian ini terdiri dari breksi, sehingga jenis tanah yang
mendominasi pada daerah penelitian ini berupa tanah latosol (BPN dalam Bantulkab,
2015). Tanah tersebut dapat menyerap air dengan baik sehingga dapat menahan erosi,
meskipun memiliki bidang gelincir dengan kemiringan yang cukup miring. Selain itu
pada daerah penelitian yang merupakan perkebunan karet yang berakar tunggang
sehingga tanah akan semakin stabil dan kuat.
 Pada daerah penelitian, termasuk kedalam kategori lahan pertanian yang kering, dengan
topografi yang tidak datar dimana masukan air bergantung kepada turunnya air hujan.
Pada daerah penelitian ini, untuk lahan keringnya berada pada ketinggian 50 mdpl - >200
mdpl. sehingga pada lahan ini sangat cocok untuk ditanami tanaman palawija, ketela, pala,
dan lain-lain.

Acknowledgements
Puji Syukur Kehadirat Tuhan Yang Maha Esa karena atas segala Rahmat dan Karunia-
Nya sehingga dapat terselesaikannya penelitian ini yang berjudul “Analisis Potensi Tanah
Longsor Menggunakan Metode Seismik Refraksi Critical Distance Method dan Delay Time
Plus Minus pada Daerah Kebun Karet, Kecamatan Imogiri, Bantul, D. I. Yogyakarta”.
Sehingga penelitian ini dapat berguna dan bermanfaat bagi para pembacanya.

1058
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Penyusun ingin menyampaikan ucapan terima kasih yang sebesar-besarnya kepada semua
orang yang telah memberikan dukungan dalam pembuatan penelitian ini hingga selesai. Serta
kepada Pak Ajimas Pascaning, ST, MSc selaku dosen pembimbing yang telah membimbing
dalam menyusun penelitian ini.

Daftar Pustaka
Arsyad, S. (1989). Konseruasi Tanah dan Air. IPB. Bogor
Badan Pertanahan Nasional. (2015). Bantul Kab: Data Umum Jenis Tanah. Bantul;
Yogyakarta.
Bemmelen, Van, R. W. (1949). The Geology of Indonesia. Martinus Nyhoff, The Haque;
Nederland.
BPPD Bantul. (2017). BPBD Bantul : Hujan Deras Sebabkan Longsor di 43 Titik. Republika;
Jakarta.Tersedia di : https://www.republika.co.id/berita/nasional/daerah/17/11/29/p05
bvt354-bpbd-bantul-hujan-deras-sebabkan-longsor-di-43-titik
Dinas SDA. (2013). Data Curah Hujan. Dinas Sumber Daya Air; Pemerintah Kabupaten
Bantul.
Ekaristi, K. G. B. (2015). Aplikasi Metode Seismik Refraksi Untuk Analisa Litologi Bawah
Permukaan Pada Daerah Babarsari, Kabupaten Sleman, Yogyakarta. Teknik
Geofisika UPN “Veteran” Yogyakarta ; Yogyakarta.
Jakosky, J.J. (1940). Exploration Geophysics. Times-mirror Press; the University of
California. P 660.
Kusumosubroto, H. (2013). Aliran debris dan lahar, pembentukan, pengaliran dan
pengendaliannya. Graha Ilmu; Yogyakarta.
Raharjo, Wartono, Sukandarrumidi, dan Rosidi. (1977). Peta Geologi Lembar Yogyakarta,
Jawa. Direktorat Geologi ; Bandung.
Telford, W.M., L.P. Goldart., R.E. Sheriff. (1976). Applied Geophysics, Second Edition.
Cambridge University Press; New York.
Wieczorek, G.F., and Snyder, J.B. (2009). Monitoring slope movements, in Young, R., and
Norby, L., Geological Monitoring; Boulder, Colorado, Geological Society of America,
p. 245–271, doi: 10.1130/2009.

1059
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 1. Sketsa peta fisiografis sebagian Pulau Jawa dan Madura (Van Bemmelen, 1949)

Gambar 2. Peta Geologi Lembar Yogyakarta, Jawa (Raharjo, Wartono, Sukandarrumidi, dan Rosidi., 1977)

1060
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 3. Kurva waktu rambat gelombang bias dan gelombang pantul


pada bidang miring

Gambar 4. Ilustrasi Metode Delay Time pada Single Shot

Gambar 5. Analisis Plus Time Berdasarkan Metode Plus Minus

Gambar 6. Analisa Minus Time untuk Mencari Informasi Kecepatan V2

1061
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 7. Desain Survey Pengukuran di Daerah Penelitian

Gambar 8. Peralatan dan Perlengkapan

Gambar 9. Pofil Bawah Permukaan Lintasan 1 CDM


1062
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 10. Penampang Kecepatan Lintasan 1 CDM

Gambar 11. Pofil Bawah Permukaan Lintasan 1 Plus Minus Method

Gambar 12. Penampang Kecepatan Lintasan 1 Plus Minus Method

1063
PROCEEDING, SEMINAR NASIONAL KEBUMIAN KE-11
PERSPEKTIF ILMU KEBUMIAN DALAM KAJIAN BENCANA GEOLOGI DI INDONESIA
5 – 6 SEPTEMBER 2018, GRHA SABHA PRAMANA

Gambar 13. Peta Kecepatan V1 dan V2 CDM dan Plus Minus Method

Gambar 14. Peta Kedalaman (3D) V1 dan V2 CDM dan Plus Minus Method

1064

Anda mungkin juga menyukai