Anda di halaman 1dari 29

LAPORAN PENDAHULUAN CEDERA KEPALA

I. Konsep Penyakit Cedera Kepala


1.1. Definisi
Cedera kepala merupakan cedera meliputi trauma kulit kepala,
tengkorak, dan otak (Morton, 2012 dalam Asuhan Keperawatan Praktis,
2016).

Trauma kepala adalah suatu injuri yang dapat melibatkan seluruh struktur
kepala mulai dari lapisan kulit kepala atau tingkat yang paling ringan,
tulang tengkorak, duramater, vaskuler otak sampai dengan jaringan otak
sendiri baik berupa luka tertutup maupun tembus.

Klasifikasi cedera kepala (Brain Injury Association Of Michigan, 2005


dalam Asuhan Keperawatan Praktis, 2016)
Berdasarkan patologi:
1. Cedera kepala primer
Merupakan akibat cedera awal. Cedera awal menyebabkan gangguan
integritas fisik, kimia, dan listrik dari sel diarea tersebut, yang
menyebabkan kemtian sel.
2. Cedera kepala sekunder
Cedera ini merupakan cedera yang menyebabkan kerusakan otak lebih
lanjut yang terjadi setelah trauma sehingga meningkatkan TIK yang
tak terkendali, meliputi respon fisiologis cedera otak, termasuk edema
serebral, perubahan biokimia, dan perubahan hemodinamik serebral,
iskemia serebral, hipotensi sistemik dan infeksi local atau sistemik.
Menurut jenis cedera
1. Cedera kepala terbuka dapat menyebabkan fraktur tulang tengkorak
dan laserasi dua meter. Trauma yang menembus tengkorak dan
jaringan otak.
2. Cedera kepala tertutup dapat disamakan pada pasien dengan gegar
otak ringan dengan cedera serebral yang luas.

Menurut berat ringannya berdasarkan GCS (Glasgown Coma Scale)


1. Cedera kepala ringan/minor
 GCS 14 – 15
 Dapat terjadi kehilangan kesadaran, amnesia, tetapi kurang dari
30 menit
 Tidak ada fraktur tengkorak
 Tidak ada kontusia serebral, hematoma
2. Cedera kepala sedang
 GCS 9 – 13
 Kehilangan kesadaran dan asam anamnesa lebih dari 30 m tetapi
kurang dari 24 jam
 Dapat mengalami fraktur tengkorak
 Diikuti contusia serebral, laserasi dan hematoma intracranial
3. Cedera kepala berat
 GCS -8
 Kehilangan kesadaran dan atau terjadi amnesia lebih dari 24 jam
 Juga meliputi kontusia serebral, laserasi atau hematomaintra
cranial
Skala Koma Glosgow
Dewasa Respon Bayi dan anak-anak
Buka Mata (Eye)
Spontan 4 Spontan
Berdasarkan perintah verbal 3 Berdasarkan suara
Berdasarkan rangsang nyeri 2 Berdasarkan rangsang nyeri
Tidak memberi respon 1 Tidak memberi respons
Respon Verbal
Senyum, orientasi terhadap
Orientasi baik 5
obyek
Menangis tetapi dapat
Percakapan kacau 4
ditenangkan
Menangis dan tidak dapat
Kata-kata kacau 3
ditenangkan
Mengerang 2 Mengerang dan agitatif
Tidak memberi respons 1 Tidak memberi respons
Respon Motorik
Menurut perintah 6 Aktif
Melokalisir rangsang nyeri 5 Melokalisir rangsang nyeri
Menjauhi rangsang nyeri 4 Menjauhi rangsang nyeri
Fleksi abnormal 3 Fleksi abnormal
Ekstensi abnormal 2 Ekstensi abnormal
Tidak memberi respons 1 Tidak memberi respons
Skor 14 - 15 12- 13 11 - 12 8 - 10 <5

Kondisi Composmentis Apatis Somnolent Stupor Koma


Sumber: Ilmu bedah saraf satyanegara hal: 185
1.2 Etiologi
Menurut Satyanegara, 2010 dalam Asuhan Keperawatan Praktis, 2016
Mekanisme cedera kepala meliputi cedera akselerasi, deselerasi,
akselerasi deselerasi, coup-countre coup, dan cedera rotasional yaitu
1.2.1 Cedera Akselerasi terjadi jika objek bergerak menghantam kepala
yang tidak bergerak (misalnya alat pemukul menghantam kepala
atau peluru yang ditembakkan kekepala).
1.2.2 Cedera Deselerasi terjadi jika kepala yang bergerak membentur
obyek diam, seperti pada kasus jatuh atau tabrakan mobil ketika
kepala membentur kaca depan mobil.
1.2.3 Cedera akselerasi-deselerasi sering terjadi dalam kasus kecelakaan
kendaraan bermotor dan episode kekerasan fisik.
1.2.4 Cedera Coup-countre coup terjadi jika kepala terbentur yang
menyebabkan otak bergerak dalam ruang cranial daan dengan
kuat mengenai area tulang tengkorak yang berlawanan serta area
kepala yang pertama kali terbentur. Sebagai contoh pasien
dipukul dibagian belakang kepala.
1.2.5 Cedera rotasional terjadi jika pukulan/benturan menyebabkan otak
berputar dalam rongga tengkorak, yang mengakibatkan
peregangan atau robeknya neuron dalam substansia alba serta
robeknya pembuluh darah yang memfiksasi otak dengan bagian
dalam rongga tengkorak.

1.3 Tanda Gejala


Tanda gejala cedera kepala secara umum adalah:
1.3.1 Penurunan kesadaran
1.3.2 Keabnormalan pada sistem pernafasan
1.3.3 Penurunan reflek pupil, reflek kornea
1.3.4 Penurunan fungsi neurologis secara cepat
1.3.5 Perubahan TTV (peningkatan frekuensi nafas, peningkatan tekanan
darah, bradikardi, takikardi, hipotermi, atau hipertermi).
1.3.6 Pusing, vertigo
1.3.7 Mual dan muntah
1.3.8 Perubahan pada perilaku, kognitif, maupun fisikAmnesia
1.3.9 Kejang

Menurut Smeltzer, suzanna, 2002 dalam Asuhan Keperawatan Praktis


2016 Pada pemeriksaan klinis biasanya yang dipakai untuk menentukan
cedera kepala menggunakan pemeriksaan CGS yang dikelompokkan
menjadi cedera kepala ringan, sedang dan berat.
Nyeri yang menetap atau setempat, biasanya menunjukkan adanya
fraktur yaitu
1. Fraktur kubah cranial menyebabkan bengkak pada sekitar fraktur
2. Fraktur dasar tengkorak dicurigai ketika CSS keluar dari telinga dan
hidung
3. Laserasi atau kontusio otak ditunjukkan oleh cairan spinal berdarah..

Kondisi cedera kepala yang dapat terjadi antara lain:


1. Komosio serebri
Tidak ada jaringan otak yang rusak, tetapi hanya kehilangan fungsi ota
sesaat (pingsan <10 menit) atau amnesia pasca cedera kepala.
2. Kontusio serebri
Adanya kerusakan jaringan otak dan fungsi otak (pingsan > 10 menit)
atau terdapat lesi neurologic yang jeas. Kontusio serebri sering terjadi
dan sebagian besar terjadi di lobus frontal dan lobus remporal,
walaupun dapat juga terjadi pada setiap bagian dari otak. Kontusio
serebri dalam waktu beberapa jam atau haari, dapat berubah menjadi
perdarahan intraserebral yang membutuhkan tindakan operasi (Brain
Injury Association of Michigan).

3. Laserasi serebri
Kerusakan otak yang luas disertai robekan durameter serta fraktur
terbuka pada cranium (Brain Injury Association of Michigan).
4. Epidural Hematom (EDH)
Hematom antara durameter dan tulang, biasanya sumber
perdarahannya adalah robeknya arteri meningea media. Ditandai
dengan penurunan kesadaran dengan ketidaksamaan neurologis sisi
kiri dan kanan (hemiparase/plegi, pupil anisokor, reflex patologis satu
sisi). Gambaran CT Scan area hiperdens dengan bentuk bikonvek atau
letikuler diantara 2 sutura. Jika perdarahan >20 cc atau > 1 cm midline
shift >5 mm dilakukan operasi untuk menghentikan perdaarahan.
5. Subdural hematom (SDH)
Hematom dibawah lapisan durameter dengan sumber perdarahan dapat
berasal dari Bridging vein, a/v cortical, sinus venous. Subdural
hematom adalah terkumpulnya darah antara durameter dan jaringan
otak, dapat terjadi akut dan kronik. Terjadi akibat pecahnya peembuluh
darah vena, perdarahan lambat dan sedikit. Periode akut dapat terjadi
dalam 48 jam – 2 hari, 2 minggu atau beberapa bulan. Gejala-gejalanya
adalah nyeri kepala, bingung, mengantuk, berpikir lambat, kejang dan
udem pupil, dan secara klinis adanya lateralisasi yang paling sering
berupa hemiparase/plegi. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan
gambaran hiperdens yang berupa bulan sabit (cresent). Indikasi operasi
jika perdarahan tebalnya >1 cm dan terjadi pergeseran garis tengah >5
mm.
6. SAH (Subarachnoid Hematom)
Merupakan perdarahan fokal di daerah subarachnoid.Gejala klinisnya
menyerupai kontusio serebri. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan
lsi hiperdens yang mengikuti arah girus-girus serebri di daerah yang
berdekatan dengan hematom. Hanya diberikan terapi konservatif, tidak
memerlukan terapi operatif (Misulis KE, Head TC).
7. ICH (Intracerebral Hematom)
Perdarahan intracerebral adalah perdarahan yang terjadi pada jaringan
otak biasanya akibat robekan pembuluh darah yang ada dalam jaringan
otak. Pada pemeriksaan CT Scan didapatkan lesi perdarahan diantara
neuron otak yang relative normal. Indikasi dilakukan operasi adanya
daerah hiperdens, diameter >3 cm, perifer, adanya pergeseran garis
tengah.

8. Fraktur basis kranii (Misulis KE, Head TC)


Fraktur dari dasar tengkorak, biasanya melibatkan tulang temporal,
oksipital, sphenoid dan etmoid. Terbagi menjadi fraktur basis kranii
anterior dan posterior. Pada fraktur anterior melibatkan tulang etmoid
dan sphenoid, sedangkan pada fraktur posterior melibatkan tulang
temporal, oksipital dan beberapa bagian tulang sphenoid. Tanda
terdapat ffraktur basis kranii antara lain:
a. Ekimosis periorbital (Racoon’s eyes)
b. Ekimosis mastoid (Battle’s sign)
c. Keluar darah beserta cairan serebrospinal dari hidung atau telinga
(rinore atau otore)
d. Kelumpuhan nervus cranial
1.4 Patofisiologi
Patofisiologis dari cedera kepala traumatic dibagi dalam proses primer
dan proses sekunder. Kerusakan yang terjadi dianggap karena gaya fisika
yang berkaitan dengan suatu trauma yang relative baru terjadi dan
bersifat irreversible untuk sebagian besar daerah otak. Walaupun
kontusio dan laserasi yang terjadi pada permukaan otak, terutama pada
kutub temporal dan permukaan orbital dari lobus frontalis, memberikan
tanda-tanda jelas tetapi selama lebih dari 30 tahun telah dianggap jejas
akson difus pada substasi alba subkortex adalah penyebab utama
kehilangan kesadaran berkepanjangan, gangguan respon motorik dan
pemulihan yang tidak komplit yang merupakan penanda pasien yang
menderita cedera kepala traumatik berat.

Proses Primer
Proses primer timbul langsung pada saat trauma terjadi. Cedera primer
biasanya fokal (perdarahan, konusi) dan difus (jejas akson difus).Proses
ini adalah kerusakan otak tahap awal yang diakibatkan oleh benturan
mekanik pada kepala, derajat kerusakan tergantung pada kuat dan arah
benturan, kondisi kepala yang bergerak diam, percepatan dan
perlambatan gerak kepala. Proses primer menyebabkan fraktur
tengkorak, perdarahan segera intrakranial, robekan regangan serabu saraf
dan kematian langsung pada daerah yang terkena.

Proses Sekunder
Kerusakan sekunder timbul beberapa waktu setelah trauma menyusul
kerusakan primer. Dapat dibagi menjadi penyebab sistemik dari
intrakranial. Dari berbagai gangguan sistemik, hipoksia dan hipotensi
merupakan gangguan yang paling berarti. Hipotensi menurunnya tekanan
perfusi otak sehingga mengakibatkan terjadinya iskemi dan infark otak.
Perluasan kerusakan jaringan otak sekunder disebabkan berbagai faktor
seperti kerusakan sawar darah otak, gangguan aliran darah otak
metabolisme otak, gangguan hormonal, pengeluaran bahan-bahan
neurotrasmiter dan radikal bebas. Trauma saraf proses primer atau
sekunder akan menimbulkan gejala-gejala neurologis yang tergantung
lokasi kerusakan.

Kerusakan sistem saraf motorik yang berpusat dibagian belakang lobus


frontalis akan mengakibatkan kelumpuhan pada sisi lain. Gejala-gejala
kerusakan lobus-lobus lainnya baru akan ditemui setelah penderita sadar.
Pada kerusakan lobus oksipital akan dujumpai ganguan sensibilitas kulit
pada sisi yang berlawanan. Pada lobus frontalis mengakibatkan
timbulnya seperti dijumpai pada epilepsi lobus temporalis.

Kelainan metabolisme yang dijumpai pada penderita cedera kepala


disebabkan adanya kerusakan di daerah hipotalamus. Kerusakan dibagian
depan hipotalamus akan terjadi hepertermi. Lesi di regio optika berakibat
timbulnya edema paru karena kontraksi sistem vena. Retensi air, natrium
dan klor yang terjadi pada hari pertama setelah trauma tampaknya
disebabkan oleh terlepasnya hormon ADH dari daerah belakang
hipotalamus yang berhubungan dengan hipofisis.

Setelah kurang lebih 5 hari natrium dan klor akan dikeluarkan melalui
urine dalam jumlah berlebihan sehingga keseimbangannya menjadi
negatif. Hiperglikemi dan glikosuria yang timbul juga disebabkan
keadaan perangsangan pusat-pusat yang mempengaruhi metabolisme
karbohidrat didalam batang otak. Batang otak dapat mengalami
kerusakan langsung karena benturan atau sekunder akibat fleksi atau torsi
akut pada sambungan serviks medulla, karena kerusakan pembuluh darah
atau karena penekanan oleh herniasi unkus.

Gejala-gejala yang dapat timbul ialah fleksiditas umum yang terjadi pada
lesi tranversal dibawah nukleus nervus statoakustikus, regiditas
deserebrasi pada lesi tranversal setinggi nukleus rubber, lengan dan
tungkai kaku dalam sikap ekstensi dan kedua lengan kaku dalam fleksi
pada siku terjadi bila hubungan batang otak dengan korteks serebri
terputus.

Gejala-gejala Parkinson timbul pada kerusakan ganglion basal.


Kerusakan-kerusakan saraf-saraf kranial dan traktus-traktus panjang
menimbulkan gejala neurologis khas. Nafas dangkal tak teratur yang
dijumpai pada kerusakan medula oblongata akan menimbulkan
timbulnya Asidesil. Nafas yang cepat dan dalam yang terjadi pada
gangguan setinggi diensefalon akan mengakibatkan alkalosisi
respiratorik.

1.5 Pemeriksaan Penunjang


Menurut Satyanegara, 2010 dalam Asuhan Keperawatan Praktis, 2016
pemeriksaan penunjang diantaranya:
1.5.1 Foto polos tengkorak (skull X-ray)
1.5.2 Angiografi serebral
1.5.3 Pemeriksaan MRI
1.5.4 CT Scan: indikasi ct scan nyeri kepala atau muntah-muntah,
penurunan GCS lebih 1 point, adanya lateralisasi, bradikardi, (nadi
<60x/menit), fraktur impresi dengan lateralisasi yang tidak sesuai,
tidak ada perubahan selama 3 hari perawatan dan luka tembus
akibat benda tajam atau peluru.

1.6 Komplikasi
1.6.1 Kerusakan saraf cranial
a. Anosmia
Kerusakan nervus olfactorius menyebabkan gangguan sensasi
pembauan yang jika total disebut dengan anosmia dan bila
parsial disebut hiposmia. Tidak ada pengobatan khusus bagi
penderita anosmia.
b. Gangguan penglihatan
Gangguan pada nervus opticus timbul segera setelah mengalami
cedera (trauma). Biasanya disertaihematoma di sekitar
mata, proptosis akibat adanya perdarahan, dan edema di
dalam orbita. Gejala klinik berupa penurunan visus, skotoma,
dilatasi pupil dengan reaksi cahaya negative, atau hemianopia
bitemporal. Dalam waktu 3-6 minggu setelah cedera yang
mengakibatkan kebutaan, terjadi atrofi papil yang difus,
menunjukkan bahwa kebutaan pada mata tersebut bersifat
irreversible.
c. Oftalmoplegi
Oftalmoplegi adalah kelumpuhan otot-otot penggerak bola mata,
umumnya disertai proptosis dan pupil yang midriatik. Tidak ada
pengobatan khusus untuk oftalmoplegi, tetapi bisa diusahakan
dengan latihan ortoptik dini.
d. Paresis fasialis
Umumnya gejala klinik muncul saat cedera berupa gangguan
pengecapan pada lidah, hilangnya kerutan dahi, kesulitan
menutup mata, mulut moncong, semuanya pada sisi yang
mengalami kerusakan.
e. Gangguan pendengaran
Gangguan pendengaran sensori-neural yang berat biasanya
disertai vertigo dan nistagmus karena ada hubungan yang erat
antara koklea, vestibula dan saraf. Dengan demikian adanya
cedera yang berat pada salah satu organ tersebut umumnya juga
menimbulkan kerusakan pada organ lain.
1.6.2 Disfasia
Disfasia dapat diartikan sebagai kesulitan untuk memahami atau
memproduksi bahasa disebabkan oleh penyakit sistem saraf pusat.
Penderita disfasia membutuhkan perawatan yang lebih lama,
rehabilitasinya juga lebih sulit karena masalah komunikasi. Tidak
ada pengobatan yang spesifik untuk disfasia kecuali speech
therapy.
1.6.3 Hemiparesis
Hemiparesis atau kelumpuhan anggota gerak satu sisi (kiri atau
kanan) merupakan manifestasi klinik dari kerusakan jaras
pyramidal di korteks, subkorteks, atau di batang otak. Penyebabnya
berkaitan dengan cedera kepala adalah perdarahan otak, empiema
subdural, dan herniasi transtentorial.
1.6.4 Sindrom pasca trauma kepala
Sindrom pascatrauma kepala (postconcussional syndrome)
merupakan kumpulan gejala yang kompleks yang sering dijumpai
pada penderita cedera kepala. Gejala klinisnya meliputi nyeri
kepala, vertigo gugup, mudah tersinggung, gangguan konsentrasi,
penurunan daya ingat, mudah terasa lelah, sulit tidur, dan gangguan
fungsi seksual.
1.6.5 Fistula karotiko-kavernosus
Fistula karotiko-kavernosus adalah hubungan tidak normal antara
arteri karotis interna dengan sinuskavernosus, umumnya
disebabkan oleh cedera pada dasar tengkorak.
1.6.6 Epilepsi
Epilepsi pascatrauma kepala adalah epilepsi yang muncul dalam
minggu pertama pascatrauma (early posttrauma epilepsy) dan
epilepsy yang muncul lebih dari satu minggu pascatrauma (late
posttraumatic epilepsy) yang pada umumnya muncul dalam tahun
pertama meskipun ada beberapa kasus yang mengalami epilepsi
setelah 4 tahun kemudian.

1.7 Penatalaksanaan
Penatalaksanaan medis yaitu diantaranya:
1.7.1 Tindakan terhadap peningkatan TIK
a. Pemantauan TIK dengan ketat
b. Oksigenasi adekuat
c. Pemberian manitol
d. Penggunaan steroid
e. Peninggatan tempat tidur pada bagian kepala
f. Bedah neuro

1.7.2 Tindakan pendukung lain


a. Dukung ventilasi
b. Pencegahan kejang
c. Pemeliharaan cairan, elektrolit dan keseimbangan nutrisi.
d. Terapi antikonvulsan
e. CPZ untuk menenangkan pasien
Menurut Satyanegara, 2010 dalam Asuhan Keperawatan Praktis 2016
yaitu
1.7.1 Stabilisasi kardiopulmoner mencakup prinsip-rinsip ABC (Airway,
Breating- Circulation). Keadaan dimana hipoksemia, hipotensi,
anemia akan cenderung memperhebat peninggian TIK dan
menghasilkan prognosis yang lebih buruk.
1.7.2 Semua cedera kepala berat memerlukan tindakan intubasi pada
kesempatan pertama
1.7.3 Pemeriksaan umum untuk mendeteksi berbagai macam cedera atau
gangguan-gangguan dibagian tubuh lainnya.
1.7.4 Pemeriksaan neurologis mencakup respons mata, motorik, verbal,
pemeriksaan pupil, reflek okulosefalik dan reflex okuloves tubuler.
Penilaian neurologis kurang bermanfaat bila tekanan darah
peenderita rendah (syok).
1.7.5 Penanganan cedera-cedera dibagian lainnya
1.7.6 Pemberian pengobatan seperti: antiedemaserebri, anti kejang, dan
natrium bikarbonat.
1.7.7 Tindakan pemeriksaan diagnostik seperti: sken tomografi computer
otak, angiografi serebral, dan lainnya.
1.8 Pathway
II. Rencana Asuhan Klien dengan Gangguan Cedera Kepala
2.1 Pengkajian
Pengumpulan data klien baik subjektif maupun objektif pada gangguan
system persarafan sehubungan dengan cedera kepala tergantung pada
bentuk, lokasi, jenis injuri, dan adanya komplikasi pada organ vital
lainnya. Pengkajian keperawatan cedera kepala meliputi anamnesis,
riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan diagnostic, dan
pengkajian psikososial.
a. Aktivitas/istirahat
Gejala: Letih, lelah, malaise, perubahan kesadaran dan kehilangan
keseimbangan sakit kepala yang hebat pada saat perubahan postur
tubuh/aktivitas. Keterbatasan akibat keadaan.
b. Sirkulasi
Gejala: riwayat hipertensi
Tanda: Hipertensi, denyutan vaskuler (misalnya daerah temporal),
pucat, wajah tampak kemerahan.
c. Integritas Ego
Gejala:
a) Perasaan ketidakmampuan, keputusasaan, ketidak berdayaan,
depresi.
b) Peka rangsangan selama nyeri kepala
c) Faktor-faktor stress emosional/lingkungan tertentu.
d. Makanan/cairan
Gejala:
a) Makan-makanan yang tinggi kandungan vasoaktifnya, misalnya
kafein, coklat, daging berlemak.
b) Mual/muntah, anoreksia
c) Penurunan berat badan
e. Neurosensori
Gejala:
a) Pusing, disorientasi, tidak mampu berkonsentrasi
b) Riwayat cedera kepala yang baru terjadi, trauma, infeksi
intracranial
c) Kraniotomy
d) Penurunan tingkat kesadaran
e) Status mental: mengobservasi penampilan klien dan tingkah laku
f) Perubahan visual, sensitive terhadap cahaya/suara yang keras.
g) Kelemahan progresif/paralisi satu sis temporer

Tanda:
a) Perubahan pola bicara/prosespikir
b) Mudah terangsang,peka terhadap stimulus
c) Penurunan reflek tendon dalam papiledema
f. Nyeri/Kenyamanan
Karakteristik tergantung pada jenis sakit kepala:
Pascatraumatik: beratdan biasanya bersifat kronis, kontiniu atau
intrmiten, setempat atau umum, intensitas beragam, diperburuk oleh
gangguan emosional, perubahan posisi tubuh.
Tanda: Nyeri, kemerahan, pucat pada daerah wajah, respon
emosional/perilaku tak terarah, gelisah.
g. Interaksi social:
Gejala: perubahan dalam tanggung jawab peran/interaksi social yang
berhubungan dengan penyakit.
h. Ventilasi
Pada cedera kepalatertutup disarankan untuk melakukan hiperventilasi
manual dengan memberikan oksigen.
i. Hipotermi
Penurunan laju metabolisme serebral akan oksigen menyebabkan
penurunan darah serebral.
Pengkajian Kegawatdaruratan :
1. Primary Survey
a. Airway dan cervical control
Hal pertama yang dinilai adalah kelancaran airway. Meliputi
pemeriksaan adanya obstruksi jalan nafas yang dapat disebabkan
benda asing, fraktur tulang wajah, fraktur mandibula atau maksila,
fraktur larinks atau trachea. Dalam hal ini dapat dilakukan “chin
lift” atau “jaw thrust”. Selama memeriksa dan memperbaiki jalan
nafas, harus diperhatikan bahwa tidak boleh dilakukan ekstensi,
fleksi atau rotasi dari leher.
b. Breathing dan ventilation
Jalan nafas yang baik tidak menjamin ventilasi yang baik.
Pertukaran gas yang terjadi pada saat bernafas mutlak untuk
pertukaran oksigen dan mengeluarkan karbon dioksida dari tubuh.
Ventilasi yang baik meliputi:fungsi yang baik dari paru, dinding
dada dan diafragma.
c. Circulation dan hemorrhage control
1) Volume darah dan Curah jantung
Kaji perdarahan klien. Suatu keadaan hipotensi harus dianggap
disebabkan oleh hipovelemia. Observasi dalam hitungan detik
untuk dapat memberikan informasi mengenai keadaan
hemodinamik yaitu kesadaran, warna kulit dan nadi.
2) Kontrol Perdarahan
d. Disability
Penilaian neurologis secara cepat yaitu tingkat kesadaran, ukuran
dan reaksi pupil.
e. Exposure dan Environment control
Dilakukan pemeriksaan fisik head toe toe untuk memeriksa jejas.
2. Secondary Survey
a. Fokus assessment
b. Head to toe assessment

2.1.1 Riwayat keperawatan


2.1.1.1 Anamnesis: Identitas klien meliputi nama, umur
(kebanyakan terjadi pada usia muda), jenis kelamin
(banyak laki-laki, karena sering ngebut-ngebutan dengan
motor tanpa pengaman helm), pendidikan, alamat,
pekerjaan, agama, suku bangsa, tanggal dan jam masuk
rumah sakit, nomor register, diagnosis medis.
2.1.1.2 Keluhan utama
Keluhan utama yang sering menjadi alasan klien untuk
meminta pertolongan kesehatan tergantung dari seberapa
jauh dampak trauma kepala disertai penurunan tingkat
kesadaran.
2.1.1.3 Riwayat penyakit saat ini
Adanya riwayat trauma yang mengenai kepala akibat dari
kecelakaan lalu lintas, jatuh dari ketinggian, dan trauma
langsung ke kepala. Pengkajian yang didapat meliputi
tingkat kesadaran menurun (GCS <15), konvulsi, muntah,
takipnea, sakit kepala, wajah simetris atau tidak, lemah,
luka dikepala, paralisis, akumulasi secret pada saluran
pernapasan, adanya liquor dari hidung dan telinga, serta
kejang. Adanya penurunan atau perubahan pada tingkat
kesadaran dihubungkan dengan perubahan di dalam
intracranial. Keluhan perubahan perilaku juga umum
terjadi. Sesuai perkembangan penyakit, dapat terjadi
letargi, tidak responsif, dan koma. Perlu ditanyakan pada
klien atau keluarga yang mengantar klien (bila klien tidak
sadar) tentang penggunaan obat-obatan adiktif dan
penggunaan alcohol yang sering terjadi pada beberapa
klien yang suka ngebut-ngebutan.
2.1.1.4 Riwayat penyakit dahulu
Pengkajian yang perlu ditanyakan meliputi adanya riwayat
hipertensi, riwayat cedera kepala sebelumnya, diabetes
mellitus, penyakit jantung, anemia, penggunaan obat-obat
antikoagulan, aspirin, vasodilator, obat-obat adikti,
konsumsi alcohol berlebihan.
2.1.1.5 Riwayat penyakit keluarga
Mengkaji adanya anggota generasi terdahulu yang
mendertita hipertensi dan diabetes mellitus.
2.1.1.6 Pengkajian Psiko-Sosial-Spiritual
Pengkajian mekanisme koping yang digunakan klien
untuk menilai respons emosi klien terhadap penyakit yang
dideritanya dan perubahan peran klien dalam keluarga dan
masyarakat serta respons atau pengaruhnya dalam
kehidupan sehari-harinya baik dalam keluarga ataupun
dalam masyarakat. Apakah ada dampak yang timbul pada
klien, yaitu timbul seperti ketakutan akan kecacatan, rasa
cemas, rasa ketidakmampuan untuk melakukan aktifitas
secara optimal, dan pandangan terhadap dirinya yang salah
(gangguan citra diri).

Adanya perubahan hubungan dalam peran karena klien


mengalami kesukaran untuk berkomunikasi akibat
gangguan bicara. Pola persepsi dan konsep diri didapatkan
klien merasa tidak berdaya, tidak ada harapan, mudah
marah, dan tidak kooperatif.

Karena klien harus menjalani rawat inap maka apakah


keadaan ini memberi dampak pada status ekonomi klien,
karena biaya perawatan dan pengobatan memerlukan dan
yang tidak sedikit. Cedera kepala memerlukan biaya untuk
pemeriksaan, pengobatan, dan perawatan dapat
mengacaukan keuangan keluarga sehingga faktor biaya ini
dapat mempengaruhi stabilitas emosi dan pikiran klien dan
keluarga. Perawat juga memasukkan pengkajian terhadap
fungsi neurologis dengan dampak gangguan neurologis
yang akan terjadi pada gaya hidup individu .Perspektif
keperawatan dalam mengkaji terdiri atas dua masalah,
yaitu keterbatasan yang diakibatkan oleh defisit neurologis
dalam hubungannya dengan peran sosial klien dan rencana
pelayanan yang akan mendukung adaptasi pada gangguan
neurologis didalam sistem dukungan individu.

2.1.2 Pemeriksaan fisik


Setelah melakukan anamnesis yang mengarah pada keluhan-
keluhan klien, pemeriksaan fisik sangat mendukung data dari
pengkajian anamnesis. Pemeriksaan fisik sebaiknya dilakukan per
sistem (B1-B6) dengan focus pemeriksaan fisik pada pemeriksaan
B3 (brain) yang terarah dan dihubungkan dengan keluhan-keluhan
dari klien.
Keadaan umum pasien yaitu dimana pada keadaan cedera kepala
umumnya mengalami penurunan tingkat kesadaran (cedera kepala
ringan GCS 14-15, cedera kepala sedang GCS 9-13, cedera kepala
berat GCS kurang dari 8) dan terjadi perubahan pada tanda-tanda
vital.

1. Breathing (B1)
Kompresi pada batang otak akan mengakibatkan gangguan
irama jantung, sehingga terjadi perubahan pada pola napas,
kedalaman, frekuensi maupun iramanya, bisa berupa Cheyne
Stokes atau Ataxia breathing. Napas berbunyi, stridor, ronkhi,
wheezing (kemungkinan karena aspirasi), cenderung terjadi
peningkatan produksi sputum pada jalan napas.
2. Blood (B2)
Efek peningkatan tekanan intrakranial terhadap tekanan darah
bervariasi. Tekanan pada pusat vasomotor akan meningkatkan
transmisi rangsangan parasimpatik ke jantung yang akan
mengakibatkan denyut nadi menjadi lambat, merupakan tanda
peningkatan tekanan intrakranial. Perubahan frekuensi jantung
(bradikardia, takikardia yang diselingi dengan bradikardia,
disritmia).
3. Brain (B3)
Gangguan kesadaran merupakan salah satu bentuk manifestasi
adanya gangguan otak akibat cidera kepala. Kehilangan
kesadaran sementara, amnesia seputar kejadian, vertigo,
sinkope, tinitus, kehilangan pendengaran, baal pada
ekstrimitas. Bila perdarahan hebat/luas dan mengenai batang
otak akan terjadi gangguan pada nervus cranialis, maka dapat
terjadi:
a. Perubahan status mental (orientasi, kewaspadaan, perhatian,
konsentrasi, pemecahan masalah, pengaruh emosi/tingkah
laku dan memori).
b. Perubahan dalam penglihatan, seperti ketajamannya,
diplopia, kehilangan sebagian lapang pandang, foto fobia.
c. Perubahan pupil (respon terhadap cahaya, simetri), deviasi
pada mata.
d. Terjadi penurunan daya pendengaran, keseimbangan tubuh.
e. Sering timbul hiccup/cegukan oleh karena kompresi pada
nervus vagus menyebabkan kompresi spasmodik diafragma.
f. Gangguan nervus hipoglosus. Gangguan yang tampak lidah
jatuh kesalah satu sisi, disfagia, disatria, sehingga kesulitan
menelan.
4. Blader (B4)
Pada cidera kepala sering terjadi gangguan berupa retensi,
inkontinensia uri, ketidakmampuan menahan miksi.
5. Bowel (B5)
Terjadi penurunan fungsi pencernaan: bising usus lemah, mual,
muntah (mungkin proyektil), kembung dan mengalami
perubahan selera. Gangguan menelan (disfagia) dan
terganggunya proses eliminasi alvi.
6. Bone (B6)
Pasien cidera kepala sering datang dalam keadaan parese,
paraplegi. Pada kondisi yang lama dapat terjadi kontraktur
karena imobilisasi dan dapat pula terjadi spastisitas atau
ketidakseimbangan antara otot-otot antagonis yang terjadi
karena rusak atau putusnya hubungan antara pusat saraf di otak
dengan refleks pada spinal selain itu dapat pula terjadi
penurunan tonus otot.
2.1.3 Pemeriksaan penunjang
1. Pemeriksaan laboratorium : darah lengkap, urine, kimia darah,
analisa gas darah.
2. CT-Scan (dengan atau tanpa kontras: mengidentifikasi luasnya
lesi, perdarahan, determinan ventrikuler, dan perubahan jaringan
otak.
3. MRI : digunakan sama seperti CT-Scan dengan atau tanpa
kontras radioaktif.
4. Cerebral Angiography: menunjukkan anomali sirkulasi cerebral,
seperti perubahan jaringan otak sekunder menjadi udema,
perdarahan dan trauma.
5. X-Ray : mendeteksi perubahan struktur tulang (fraktur),
perubahan struktur garis (perdarahan, edema), fragmen tulang.
Ronsent Tengkorak maupun thorak.
6. CSF, Lumbal Punksi : dapat dilakukan jika diduga terjadi
perdarahan subarachnoid.
7. ABGs : Mendeteksi keberadaan ventilasi atau masalah
pernafasan (oksigenasi) jika terjadi peningkatan tekanan
intrakranial.
8. Kadar Elektrolit:Untuk mengkoreksi keseimbangan elektrolit
sebagai akibat peningkatan tekanan intracranial.

2.2 Diagnosa Keperawatan yang mungkin muncul


Diagnosa 1: Nyeri akut berhubungan dengan trauma kepala
2.2.1 Definisi
Pengalaman sensori dan emosional yang tidak menyenangkan
yang munculakibat kerusakan jaringan yang actual atau potensial
atau digambarkan dalam hal kerusakan sedemikian rupa
(International Association for the study of Pain): awitan yang
tiba-tiba atau lambat dari intensitas ringan hingga berat dengan
akhir yang dapat diantisipasi atau diprediksi dan berlangsung <6
bulan.

2.2.2 Batasan karakteristik:


1. Perubahan tekanan darah
2. Perubahan frekuensi jantung
3. Perubahan frekuensi pernapasan
4. Mengekspresikan perilaku (misalnya gelisah, merengek,
menangis)
5. Sikap melindungi area nyeri
6. Fokus menyempit (misalnya gangguan persepsi nyeri,
hambatan proses berpikir,penurunan interaksi dengan orang
dan lingkungan)
7. Indikasi nyeri yang dapat diamati
8. Perubahan posisi untuk menghindari nyeri
9. Melaporkan nyeri secara verbal
10. Gangguan tidur

2.2.3 Faktor yang berhubungan dengan trauma kepala

Diagnosa 2: Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan


mual dan muntah
2.2.4 Definisi
Beresiko mengalami dehidrasi vascular, selular, atau intraseluler.
2.2.5 Batasan Karakteristik
Subyektif
Haus
Objektif
1. Perubahan status mental
2. Penurunan turgor kulit dan lidah
3. Kulit dan membrane mokusa kering
4. Hematokrit meningkat
5. Suhu tubuh meningkat
6. Peningkatan frekuensi nadi
7. Penurunan tekanan darah
8. Penurunan volume dan tekanan nadi
9. Kelemahan
Faktor resiko
1. Kehilangan volume cairan aktif
2. Kurang pengetahuan
3. Penyimpangan yang mempengaruhi asupan cairan
4. Kehilangan cairan melalui rute abnormal
2.2.6 Faktor yang berhubungan dengan mual dan muntah

2.3 Perencanaan
Diagnosa 1 Nyeri akut berhubungan dengan trauma kepala
2.3.1 Tujuan dan Kriteria hasil
Tujuan: Klien merasa nyaman, tidak mengeluh nyeri dan tanda-
tanda vital dalam batas normal
Krieria hasil:
1. Mampu mengontrol nyeri (tahu penyebab nyeri, mampu
menggunakan teknik nonfarmakologi untuk mengurangi nyeri).
2. Melaporkan bahwa nyeri berkurang dengan menggunakan
manajemen nyeri
3. Mampu mengenali nyeri (skala, intenitas, frekuensi dan tanda
nyeri).
4. Menyatakan rasa nyaman setelah nyeri berkurang.
2.3.2 Intervensi Keperawatan dan rasional
Intervensi Rasional
1. Lakukan pengkajian nyeri secara 1. Untuk mengetahui
komprehensif termasuk lokasi, seberapa tingkat nyeri
karakteristik, durasi, frekuensi, kualitas yang dirasakan pasien
dan faktor presipitasi

2. Gunakan teknik komunikasi terapeutik 2. Untuk mengetahui data


untuk mengetahui pengalaman nyeri subyektif tentang nyeri
pasien dari pasien
3. Kaji kultur yang mempengaruhi respon 3. Untuk melakukan
nyeri intervensi lebih lanjut
mengenai nyeri
4. Kurangi rangsangan 4. Rangsangan akan dapat
membuat nyeri lebih
terasa
5. Pemberian obat analgetik sesuai dengan 5. Obat analgetik
program digunakan untuk
mengurangi nyeri
6. Ciptakan lingkungan yang nyaman 6. Lingkungan yang
termasuk tempat tidur nyaman akan membuat
pasien lebih nyaman
7. Berikan sentuhan terapeutik, lakukan 7. Sentuhan terapeutik
distraksi dan relaksasi dapat mengurangi rasa
nyeri

Diagnosa 2: Resiko kekurangan volume cairan berhubungan dengan


mual dan muntah
2.3.3 Tujuan dan Kriteria hasil
Tujuan: Tidak ditemukan tanda-tanda kekurangan volume cairan
atau dehidrasi, membran mokusa lembab, integritas kulit baik, dan
nilai elektrolit dalam batas normal
Kriteria hasil:
1. Mempertahankan urine output sesuai dengan usia dan BB, BJ
urin normal, HT normal
2. Tekanan darah, nadi,suhu tubuh dalam batas normal
3. Tidak ada tanda-tanda dehidrasi
4. Elastisitas torgur kulit baik
5. Membran mokusa lembab
6. Tidak ada rasa haus berlebihan

2.3.4 Intervensi Keperawatan dan rasional


Intervensi Rasional
1. Pertahankan catatan intake dan output 1.Untuk mengetahui cairan
yang akurat intake dan output yang
sudah masuk dan keluar
2. Monitor status hidrasi (kelembaban 2.Mengetahui tanda-tanda
membrane mokusa, nadi adekuat, dehidrasi
tekanan darah ortostatik)
3. Monitor vital sign 3.Mengetahui
perkembangan vital sign
pasien
4. Monitor status cairan termasuk intake 4.Mengetahui jumlah cairan
dan output cairan yang masuk dan yang keluar
kedalam tubuh pasien
5. Kolaborasikan pemberian cairan IV 5.Untuk memenuhi cairan
pasien
III. Daftar Pustaka
Judith M.Wilkinso, Nancy R. Ahern (2012). Buku Saku Diagnosis
Keperawatan edisi 9. Jakarta: EGC.

Amin H, Hardhi K. (2016). Asuhan Keperawatan Praktis Edisi Revisi Jilid 1.


Yogyakarta: Mediaction.

Martapura, Januari 2017

Preseptor Akademik, Preseptor Klinik,

(…………………..……...) (…………………………..)

Anda mungkin juga menyukai