Anda di halaman 1dari 3

Cultuur Stelsel Jilid II

Manusia dan sejarah makanan, terjalin lewat iklim dunia yang panjang.
pemburu-pengumpul, pertanian awal, pencarian komoditi pangan dan obat-obatan
sudah terjalin sejak 9500-8500 SM. Pada awalnya manusia (Homo Sapiens) mencari
makanan dengan cara memburu, jejak tersebut masih bisa kita lacak di pedalaman
benua Afrika. Kemudian manusia (Homo Sapiens), menyebar ke berbagai penjuru
dunia, seperti Eropa Barat, Asia Timur, Asia Tengah, Nusantara, dan Amerika. Tempat
yang baru akan menghadirkan tantangan yang baru juga, terutama dalam
mengumpulkan makanan, semisal di Australia, tantangan pertama yang harus dihadapi
manusia ialah menaklukkan hewan yang berbobot besar, diatas 1 ton, baik di darat
maupun di laut, dan mereka dituntut untuk beradaptasi dengan lingkungan setempat.
Ketika pemburu-pengumpul ini menemukan daerah baru dan dituntut untuk menyimpan
persediaan makanan untuk menghadapi iklim yang ekstrem, mereka mencoba untuk
menanam tumbuhan yang mengandung kalori besar dan bisa didomestikasi. Pada 3500
SM manusia mulai membudidayakan tanaman, seperti gandum, padi, jagung, kentang
dan lain-lain. Permasalahan terbesar manusia justru tunduk pada kemauan tumbuhan
yang dibudidayakan, manusia yang sebelumnya tidak bergantung pada kebutuhan
pangan tertentu, justru berbalik arah, gandum menjadi pangan ketergantungan manusia
untuk bertahan hidup. Gandum mempekerjakan manusia, dan manusia hanya bisa
mengundi nasib, apakah ia bisa bertahan hidup atau tidak, melalui panen gandum yang
tidak pasti berhasil.

Permasalahan ketergantungan pangan tersebut, yang sudah terjadi beribu-ribu


tahun silam, ternyata menjalar pada kehidupan manusia modern. Permasalahan
budidaya gandum itu hanya sebagai pengantar, manusia saat ini jauh lebih banyak
membutuhkan bahan pangan untuk bertahan hidup dan memonopoli perut manusia
yang lain. Manusia bukan hanya butuh gandum, saat ini komoditi lain seperti tebu, kopi,
teh, tembakau, cokelat, kina, cengkeh, dan kelapa sawit juga menjadi kebutuhan pokok.
Akibatnya, alih fungsi tanah, pembukaan lahan hutan, dan penanaman paksa kerap
terjadi.

Cultuur stelsel (tanam paksa) di Hindia-Belanda 1830-1870, salah satu kasus


pemaksaan birokrasi pemerintah terhadap tanah jajahan. Van Den Bosch (1830-1834)
menjabat sebagai Gubernur Jenderal Hindia Belanda dan ditugaskan untuk
memulihkan kas Pemerintah Belanda yang terkuras habis akibat perang dipenogoro
dan perang padri. Van Den Bosch mengusulkan untuk mencoba menanam komoditi
yang laku di pasaran Eropa, seperti kopi, tebu, tembakau, dan kelapa sawit. Komoditi
tersebut nantinya akan mendongkrak pendapatan negara lewat perdagangan
internasional yang dikelola oleh VOC. Pada awalnya perjanjian tanam paksa tersebut,
mencaplok lahan petani sebanyak 1/5, pemerintah Hindia-Belanda mewajibkan petani
untuk menanam komoditi yang sudah disediakan pemerintah, dengan berbagai
peraturan, dan dibawah pengawasan bupati setempat. Lambat laun petani dipaksa
menyerahkan seluruh lahannya untuk menanam kebutuhan komoditi untuk
perdagangan, dan bukan untuk kebutuhan pangan petani, seperti padi, akibatnya petani
kelaparan dan banyak meninggal, terutama di daerah sepanjang Pantura (Jawa
Tengah). Rakyat pribumi kemudian beralih dari mengonsumsi padi, menjadi singkong,
penekanan pemerintah Belanda ini menghasilkan efek negatif dan positif bagi pribumi,
namun yang perlu diperhatikan disini ialah kemampuan adaptasi petani menghadapi
kelaparan dengan mengonsumsi makanan yang kaya kalori seperti ubi dan singkong.

Evolusi manusia mencari bahan pokok makanan dari zaman ke zaman kian
berkembang, seperti kata Hegel bahwa pemikiran manusia akan senantiasa maju dan
tidak akan kembali pada fase kemunduran. Dalam era modern manusia sangat
bergantung pada bahan makanan yang mengandung banyak kalori dan berbahan
manis, coba cek penelitian Yuval Noah dalam bukunya Homo Deus. Manusia modern
begitu serakah, bagaimana mungkin ia mengakui sebagai makhluk Sapiens (Bijak),
tetapi dalam tingkahnya ia selalu bertikai, terutama soal makanan.

Indonesia mayoritas penduduknya mengonsumsi padi, padi sudah lama menjadi


permasalahan, dari pemerataan pangan hingga impor dari luar negeri. Namun baru-
baru ini sebuah kajian antrpologi, menunjukkan tidak semua rakyat indonesia
bergantung pada padi, masyarakat indonesia timur memiliki sagu sebagai bahan
makanan sehari-hari.

Lupakan pemaparan di atas jika tidak penting, Indonesia menemui krisis pangan,
hampir setiap tahun, persediaan lumbung padi selalu menemui krisis, bahkan di musim
panen, pemerintah masih siap impor dari luar negeri, seperti vietnam. Krisis yang
melanda membuat pemerintah mengarahkan untuk membuka lahan pertanian baru,
seperti di papua selatan, Siberut dan lain sebagainya. Siberut secara tekstur tanah tidak
dapat ditanami padi, oleh karena itu masyarakat adat sejak zaman dahulu sudah
terbiasa untuk mencari makanan di hutan, seperti talas, ubi dan sagu. Lalu mengapa
pemerintah terus menginvasi dan menuntut masyarakat menanam makanan pokok
yang tidak cocok dengan tanah dan budaya tersebut?.

Selain padi yang menemui banyak masalah, kelapa sawit juga gencar
menyerang warga, data Konsorium Pembaruan Agraria (KPA), setidaknya saat ini
terdapat 7,5 juta ha lahan kelapa sawit dan ditargetkan mencapai 20 juta ha pada tahun
2020. Kelapa sawit mengancam lahan produktif warga yang sudah digunakan untuk
lahan pertanian, seperti kasus pembukaan lahan di Mahuze, Merauke.
Ketidakadilan ekologi menjadi pusat perhatian di era ini, ketergantungan bahan
makanan, belum ada kampanye pemerintah soal pangan alternatif, dan kesewenangan
mengubah lahan produktif menjadi lahan produksi komoditi dagang, seperti kelapa
sawit.

Konflik agraria, kekurangan ketersediaan bahan pangan, dan ketergantungan


masyarakat yang konsumtif, merupakan sejarah makanan manusia modern, dibalik itu
peralihan lahan pertanian menjadi industri, pemaksaan penanaman bahan pangan yang
tidak menguntungkan rakyat menjadi kasus mengerikan, karena itu cultuur stelsel jilid II
sudah bangkit.

Anda mungkin juga menyukai