Anda di halaman 1dari 9

ABDUL ARIF HABIBI

175060600111017
KELAS B
DAMPAK PERUBHAN IKLIM

Peningkatan konsentrasi gas rumah kaca (GRK), yaitu CO2, CH4, N2O, SF6, HFC, dan
PFC terjadi akibat aktivitas manusia seperti pemanfaatan bahan bakar fosil, pengembangan
industri, limbah, usaha pertanian dan peternakan, dan konversi lahan yang tidak terkendali.
Aktivitas tersebut mengakibatkan terperangkapnya radiasi di atmosfer sehingga meningkatkan
suhu permukaan bumi secara global. Dampak umum dari perubahan iklim ialah sebagai
berikut.

a. Kenaikan suhu permukaan


Meningkatnya temperatur global menjadi penyebab melelehnya es di kutub, meningkatnya
permukan air laut, dan meningkatnya frekuensi terjadinya badai. Peningkatan suhu ini bukan
berarti semua daerah akan menjadi panas, bisa saja di suatu tempat terjadi peningkatan suhu
sedangkan di tempat lain justru semakin dingin. Suhu bumi yang meningkat dapat berdampak
langsung terhadap kehidupan manusia seperti peningkatan konsumsi energi dan meningkatnya
ancaman kelaparan akibat penurunan produksi tanaman atau gagal panen, sebagai akibat dari
evaporasi yang berlebihan sehingga ketersediaan air sangat terbatas, serangan hama dan
penyakit yang meningkat. Kemudiaan, Meningkatnya serangan wabah penyakit malaria,
demam berdarah, diare, gangguan pernafasan akibat meningkatnya kabut asap karena
kebakaran hutan dan sebagainya.
Contoh Kasus :
Sumber:
https://sains.kompas.com/read/2017/01/20/14500721/suhu.bumi.naik.1.1.derajat.celsius/
Suhu Bumi Naik 1,1 Derajat Celsius
Organisasi Meteorologi Dunia menyatakan 2016 sebagai tahun terpanas dalam sejarah.
Suhu atmosfer Bumi rata-rata dalam setahun naik 1,1 derajat celsius dibandingkan periode
sebelum Revolusi Industri 1850-1899. ). Kenaikan suhu itu hanya satu indikasi dari perubahan
iklim akibat ulah manusia, yakni kenaikan konsentrasi gas rumah kaca, karbon dioksida (CO2),
dan gas metana (CH4). Konsentrasi CO2 mencapai rekor tertinggi pada 2015, yakni 400 bagian
per juta (ppm) atau 144 persen lebih tinggi dibandingkan sebelum Revolusi Industri dan terus
meningkat. Seiring dengan kenaikan suhu dan konsentrasi gas rumah kaca, es di Kutub Utara
dan Kutub Selatan meleleh lebih cepat. Kenaikan suhu di Kutub Utara dua kali lebih cepat
dibandingkan temperatur global
Dampak di indonesia sendiri terjadi kenaikan suhu laut per tahun 0,01-0,02 derajat
celsius. Dampak jangka pendek kenaikan suhu ini ialah menguatnya energi badai tropis. Badai
tropis tak melintas ekuator, tapi mengarah ke area dengan garis lintang lebih tinggi. Saat energi
badai menguat, ekor badai berdampak serius bagi Indonesia. Badai tropis Yvette terbentuk di
Samudra Hindia pada 21 Desember 2016, memicu hujan ekstrem sehingga ada banjir besar di
Kota Bima, Nusa Tenggara Barat. Curah hujan di Bima saat itu 208 milimeter per hari, tertinggi
dalam sejarah. Pada akhir Januari sampai awal Februari 2012, badai tropis Iggy yang terbentuk
di Samudra Hindia memicu cuaca ekstrem berupa angin kencang di sebagian area Indonesia.
Wilayah terdampak yang meliputi Banten, Kepulauan Seribu, dan pesisir selatan Kalimantan
menunjukkan kuatnya ekor badai.

b. Perubahan intensitas curah hujan


Perubahan yang terjadi ditunjukkan dengan adanya ketidak-menentuan musim,
meningkatnya curah hujan pada saat musim penghujan sehingga meningkatkan potensi
kejadian banjir dan longsor yang dapat mengurangi luasan lahan pertanian, kekeringan dan
penurunan ketersediaan air berkepanjangan yang akan mempengaruhi pasokan air untuk
wilayah perkotaan dan pertanian, serta meluasnya kebakaran hutan.
Contoh Kasus :
Sumber : http://www.mongabay.co.id/2018/10/30/kekeringan-landa-jogja-dan-jateng-pangan-
terancam/
Kekeringan Landa Jogja dan Jateng, Pangan Terancam?
Seseorang peternak harus menjual kambing ke Pasar Sentolo, Kabupaten Kulon Progo,
Yogyakarta. Bukan lantaran tak punya uang tetapi kesulitan mencari rumput untuk pakan
ternak. Sehektar sawah garapan pun kering. Tanah retak, irigasi kering. Biasanya, bulan
September sudah masuk musim tanam, namun ketidakpastian cuaca membuat semua
berantakan, bahkan terdapat juga yang mengalami gagal panen karena kemarau panjang. Hujan
belum turun sampai pekan ketika Oktober. Badan Meteorologi, Klimatologi dan Geofisika
(BMKG) memprediksi hujan turun di pekan kedua November. Di saat itu, kemungkinan
sumber air belum bisa mengeluarkan air, karena sebagian besar mengering. Masyarakat
kesulitan mengakses air bersih. Tidak hanya di Kulon Progo, Bantul dan Gunung Kidul juga
mengalami kelangkaan air bersih. Kepala Pelaksana BPBD Gunung Kidul mengatakan, lima
kecamatan masuk kategori zona merah. Ada 14 kecamatan di kabupaten itu alami kekeringan
ekstrem akibat musim kemarau panjang. BPBD Gunungkidul sampai saat ini terus droping air
bersih ke masyarakat. Selama kekeringan, bantuan air yang sudah tersalur 4.930 kali. Jumlah
Dampak kekeringan yang kian meluas, BNPB akan mempertimbangkan penetapan status
tanggap darurat kekeringan di Gunungkidul. Bertambahnya wilayah terdampak kekeringan
diikuti peningkatan warga terdampak. Sebelumnya, 96.523 orang di Gunungkidul terdampak
kekeringan, saat ini jumlah kian bertambah jadi 122.104 jiwa. Begitu pula di Jawa Tengah,
Kepala Pelaksana Harian (Kalakhar) BPBD Jateng, mengatakan dampak ini itu tersebar di
hampir semua kabupaten dan kota di Jateng. Berdasarkan data Badan Penanggulangan Bencana
Daerah (BPBD) Jateng, terakhir, kekeringan di 233 kecamatan dan 850 desa di Jateng yang
kekurangan air bersih. Sejauh ini, total 13.242 tangki air bersih dikirimkan untuk memenuhi
kebutuhan air bersih warga setempat.
Kekeringan tak hanya berdampak pada air bersih langka juga mengancam hasil
pertanian. Prediksinya, hujan baru turun di sejumlah wilayah bulan ini. Lampung, Jawa, Bali
dan Nusa Tenggara, merupakan wilayah paling parah kekeringan. Saat ini, katanya, banyak
wilayah pertanian di Pulau Jawa, mengalami puso (gagal panen). Padahal, Jawa, merupakan
sentra pangan yang menyumbang sekitar 60% dari luas lahan pertanian Indonesia. Kondisi ini,
akan membuat panen padi terlambat dibandingkan waktu normal. Akhirnya, setok beras
nasional berkurang untuk menutupi produksi telat.

c. Perubahan suhu permukaan laut (SPL)


Kenaikan suhu permukaan laut berdampak terhadap hal yaitu merusak terumbu karang
(coral bleaching) dan mengubah arus laut yang berakibat pada pola migrasi ikan di laut yang
berdampak besar terhadap penghasilan nelayan dan juga meluasnya genangan air laut dan
abrasi di wilayah pesisir serta peningkatan intrusi air laut ke daratan sehingga mengancam
kehidupan di wilayah pesisir.
Contoh Kasus
Sumber : https://nasional.tempo.co/read/111187/pemanasan-global-rusak-ekosistem-
terumbu-karang
Pemanasan Global Rusak Ekosistem Terumbu Karang
Perubahan Iklim yang menyebabkan terjadinya pemanasan global dapat merusak
ekosistem terumbu karang. Naiknya permukaan dan suhu air laut adalah dua kendala yang
menjadi penyebab utama kerusakan dan kepunahan terumbu karang. Hewan karang akan
menjadi stres bila terjadi kenaikan suhu lebih dari 2-3 derajat celsius diatas suhu air laut normal
menurut Kepala Pusat Penelitian Terumbu Karang Universitas Hasanuddin. ada saat stres,
pigmen warna (alga bersel satu atau zooxanthellae) yang melekat ditubuhnya akan pergi
sehingga menyebabkan terjadinya proses pemutihan (bleaching). Sebanyak 70-90 persen
karang menggantungkan makanan pada alga tersebut, jadi mereka akan mengalami kelaparan
ataupun kematian. ila karang memutih atau mati, rantai makanan akan terputus yang
berdampak pada ketersediaan ikan dilaut dan ekosistem laut.

d. Kenaikan tinggi muka laut (TML)


Dampak terjadinya cuaca ekstrim bisa beragam, bisa terjadi secara spontan dan memakan
banyak korban dalam jumlah besar (bencana), tetapi juga bisa berdampak tidak langsung yaitu
melalui hilangnya beberapa jasa lingkungan di lingkup sektor pertanian, perikanan dan
kelautan serta kesehatan. Dalam sektor pertanian antara lain berkurangnya populasi hewan
penyerbuk tanaman (polinator) dan penebar biji seperti burung, serta berkurangnya populasi
musuh alami dari hama dan penyakit tanaman.
Contoh Kasus
Sumber : https://www.academia.edu/4928058/Kenaikan_Muka_Laut

Kenaikan Paras Laut Dan Dampaknya Terhadap Pesisir Lautkabupaten Manokwari


Papua Barat

Berdasarkan pada citra satelit maupun dari data insitu di Kabupaten Manokwari
Provinsi Papua Barat dengan menggunakan dataanaomali TPL sejak tahun 1993-2009,
menunjukkan kenaikan TPL 7.6mm/tahun, hal ini membuktikan bahwa kenaikan muka laut
pada kurun waktutersebut cenderung naik. Hasil analisis menunjukkan bahwa wilayah-wilayah
di KabupatenManokwari yang diduga akan mengalami genangan akibat naiknya muka
lautyaitu Teluk Andai, Teluk Sowi, Teluk Sawaibu dan Teluk Pasir Putih, mengingat keempat
Teluk tersebut berada di wilayah pesisir yang berhadapan langsung dengan perairan dan juga
banyaknya aktifitas-aktifitas yang dilakukan oleh masyarakat yang ada di wilayah tersebut
yang dapat meningkatkan kerentanan terhadap terjadinya genangan. Jika hal ini terjadi terus-
menerus, tentunya akan semakin membuat wilayah atau darat yang terkena pengaruh akan
semakin besar. Hal ini diprediksi akan semakin menambah tambak, pemukiman, jalan serta
sarana prasarana yang ada disekitarnya akan rusak akibat kikisan genangan air.
Perubahan garis pantai diduga juga dapat menyebabkan semakin bertambahnya genangan
air laut sampai ke darat. Perubahan garis pantai dapat terjadi oleh berbagai sebab, diantaranya
akibat erosi dan sedimentasi yang disebabkan arus, angin, gelombang, maupun pasang surut.
Meningkatnya eksploitasi sumber daya pesisir serta pesatnya laju pencemaran, secara gradual
dipengaruhi oleh masukan limbah baik domestik atau dari penduduk setempat serta industri,
yang berakibat penurunan kualitas fisik lingkungan perairan dan produktivitas ekosistem dapat
turun ke titik terendah. Dampak yang mungkin muncul adalah merosotnya kondisi sosial-
ekonomi masyarakat yang menggantungkan hidupnya pada sumberdaya alam di sekitar
perairan pesisir.

Dampak Perubahan Iklim Berdasarkan Sektor


1. Sektor Pertaniaan
Pada sektor pertaniaan, emisi umumnya dihasilkan berasal dari penggunaan pupuk,
peternakan, lahan sawah, limbah ternak, dan pembakaran sisa sisa hasil pertaniaan. Emisi gas
rumah kaca dari sektor pertaniaan berupa CO₂, CH₄, dan N₂O.
- CO₂ sebagian besar dilepaskan dari proses pembusukan oleh mikroba, pembakaran
bagiaan – bagiaan tanaman, dan dari bahan organik tanah
- CH₄ (Metana) terjadi akibat unsur – unsur dari bahan organik sedang dalam kondisi
kekurangan oksigen, terutama pada proses fermentasi ruminasia, kotoran ternal, dan
lahan sawah.
- N₂O dihasilkan dari transformasi mikroba pada tanah dan kotoran ternak dan meningkat
apabila ketersediaan nitrogen melebihi kebutuhan tanaman, terutama pada kondisi basah

Faktor utama yang terkait dengan perubahan iklim global, yang berdampak terhadap sektor
pertanian adalah:
a. Perubahan pola hujan
Perubahan pola hujan ini terjadi seperti di beberapa wilayah di indonesia dalam beberapa
dekade terakhir yang contohnya dapat dilihat seperti awal musim hujan yang mundur di
beberapa lokasi yang berbeda dari tahun – tahun sebelumnya yang relatif konstan. Perubahan
– perubahan seperti ini akan mempersulit para petani dalam memperkirakan datangnya musim
kemarau ataupun musim hujan. Kemudiaan, perubahan pola ini akan menurunkan ketersediaan
air waduk yang bisa menimbulkan kekeringan. Dampak pada ke pertaniaannya sendiri tentunya
bisa menyebabkan penurunan produktivitas pertaniaan ataupun gagal panen, jika tidak ada
perubahan dari pola tanam petani sendiri karena iklim yang tidak menentu.
b. Meningkatnya kejadian iklim ekstrim (banjir dan kekeringan)
Hasil analisis global terhadap indeks perubahan iklim, yaitu suatu indeks yang mengukur
penyimpangan iklim di masa datang dibandingkan yang terjadi saat ini, yang dilakukan oleh
Baettig et al. (2007) mengindikasikan bahwa nilai penyimpangan iklim di Indonesia akan
meningkat pada masa mendatang sebesar 7 dan 8. Nilai tersebut menunjukkan bahwa Indonesia
akan mengalami peningkatan frekuensi kejadian iklim ekstrim seperti banjir, kekeringan, dan
tanah longsor. Dampak ke pertaniaan sendiri berupa berkurangnya luas panen atau turunnya
produktivitas
c. Peningkatan suhu udara dan permukaan air laut
Peningkatan suhu menyebabkan terjadinya peningkatan transpirasi yang selanjutnya
menurunkan produktivitas tanaman pangan, meningkatkan konsumsi air, mempercepat
pematangan buah/biji, menurunkan mutu hasil, dan mendorong berkembangnya hama
penyakit tanaman. setiap kenaikan suhu minimal 1 °C akan menurunkan hasil tanaman padi
sebesar 10%. Kenaikan permukaan air laut juga berdampak serius pada sektor pertanian.
Dampak paling nyata adalah penciutan lahan pertanian di pesisir pantai (Jawa, Bali, Sumatera
Utara, Lampung, Nusa Tenggara Barat, dan Kalimantan), kerusakan infrastruktur pertanian,
dan peningkatan salinitas yang merusak tanaman.

Contoh Kasus Dampak Perubahan Iklim di Sektor Pertaniaan

Sumber : http://www.spi.or.id/perubahan-iklim-ekstrim-petani-spi-gagal-panen/

Perubahan Iklim Ekstrim, Petani SPI Gagal Panen!


Para petani anggota Serikat Petani Indonesia (SPI) di berbagai wilayah di Indonesia
saat ini sedang menderita kerugian akibat perubahan iklim ekstrim. Kondisi ini terjadi di
salah satu Desa Kota Garo, Tapung Hilir, Kabupaten Kampar, Riau dimana seluas 10 hektar
lahan cabe milik SPI terendam banjir, yang berakibat seluruh tanaman cabe yang ditanam
mengalami gagal panen. Hal ini disebabkan oleh meluapnya sungai yang disebabkan hujan
deras yang terus mengguyur dalam beberapa hari di Provinsi Riau. Petani sendiri tidak
memperhitungkan atau tidak memperkirakan sama sekali hal ini terjadi karena biasanya
pada bulan – bulan tersebut kering atau hujan berkurang tidak seekstrim yang sekarang.
Kemudiaan, petani kopi SPI di Kepahiang, Bengkulu. Jamingin yang menuturkan
terjadi penurunan hasil panen akibat intensitas hujan yang sangat tinggi. Intensitas hujan ini
mengakibatkan bunga kopi banyak berguguran dan tanamannya menjadi tidak sehat, alhasil
panen hanya sekitar 20 %. Penurunan hasil ini tentunya berdampak juga kepada pendapatan
para petani yang menurun drastis karena hasil yang tidak sebanding dengan modal yang
dikeluarkan. Akibatnya, para petani semakin melarat dan upaya dari pemerintah sendiri
belum ada dalam menanggapi persoalan ini.
2. Sektor Transportasi
Transportasi yang cukup padat, sering menyebabkan kemacetan lalu lintas kendaraan
bermotor, sehingga terjadi peningkatan emisi gas buang CO₂, CH₄ dan N₂O dari penggunaan
bahan bakar minyak. Secara sederhana, di bidang transportasi semakin padatnya penggunaan
kendaraan bermotor yang tida ramah lingkungan sehingga membuat pengguaan bahan bakar
fossil semakin banyak, karena meningkatnya konsums untuk bahan baka fossil (BBM) sebagai
penggerak kendaraan. Pembakaran BBM oleh mesin kendaraan ini yang kemudiaan
melepaskan gas karbon atau emisi ke ruang terbuka yang menyebabkan lapisan gas rumah kaca
di atmosfir meningkat dan terjadi perubahan iklim.
Dampak perubahan iklim di bidang transportasi
a. Unsur iklim seperti curah hujan, kabut dan angin sering menghambat transportasi darat
terutama jika terjadi kabut tebal, hujan lebat dan tanah longsor.
b. Dalam pelayaran unsur iklim seperti angin kencang dapat menimbulkan gelombang laut
yang besar, lebih-lebih jika terjadi siklon tropis yang dapat membahayakan awak kapal
dan penumpangnya.
c. Cuaca buruk merupakan masalah yang memerlukan perhatian khusus dan serius di dalam
dunia penerbangan.
d. Unsur cuaca yang menentukan penerbangan adalah arah dan kecepatan angin pada
berbagai ketinggian, perawanan (awan rendah dan kabut), tinggi dan ketebalan awan, jarak
pandang (penglihatan), hujan badai disertai petir, turbulensi udara dan pengendapan es

Contoh Kasus
Sumber:
https://www.bbc.com/indonesia/berita_indonesia/2016/06/160622_indonesia_bencana_sitaro
_sangihe
Transportasi lumpuh, bantuan ke pulau-pulau di Sulawesi Utara terhambat
Hujan deras yang disertai ombak tinggi masih berlangsung di Provinsi Sulawesi Utara
sehingga transportasi udara dan laut dihentikan. Akibatnya, bantuan ke pulau-pulau yang
terdampak bencana gagal dikirimkan. Di Kabupaten Kepulauan Siau Tagulandang Biaro
(Sitaro), yang berjarak sekitar 90 mil laut dari Kota Manado, ombak setinggi empat meter di
perairan Kabupaten Sitaro praktis menghambat akses warga untuk ke luar pulau dan demikian
sebaliknya. Tidak hanya itu, Kabupaten berpenduduk 45.000 jiwa ini juga dilanda banjir dan
tanah longsor sehingga akses warga dari ibu kota kabupaten ke Pelabuhan Ulu-Ulu terputus
lantaran Jembatan Batuawang di Kecamatan Siau Timur tertimbun material lahar dingin dari
material erupsi Gunung Karangetang. Terhambatnya transportasi darat dan laut di pulau –
pulau di Sulawesi Utara ini tidak lain disebabkan juga oleh perubahan iklim dimana terjadi
cuaca ekstrem yang berakibat terjadinya tanah longsor, banjir, dan tingginya ombak di
permuaan laut, sehingga aktifitas transportasi menuju wilayah – wilayah tersebut menjadi
terhambat.
DAFTAR PUSTAKA

Susandi, A., Herlianti, I., Tamamadin, M., & Nurlela, I. (2008). Dampak perubahan iklim
terhadap ketinggian muka laut di wilayah Banjarmasin. Jurnal ekonomi lingkungan, 12(2).

Surmaini, E., lahan Pertanian, B. B. L. S., Runtunuwu, E., & Las, I. (2015). Upaya sektor
pertanian dalam menghadapi perubahan iklim.

Surmaini, E., & Faqih, A. (2016). Kejadian Iklim Ekstrem dan Dampaknya Terhadap Pertanian
Tanaman Pangan di Indonesia. Jurnal Sumberdaya Lahan, 10(2).

Hairiah, K., Rahayu, S., Suprayogo, D., & Prayogo, C. (2016). Perubahan iklim: sebab dan
dampaknya terhadap kehidupan. Bogor (ID): ICRAF. Terdapat pada: https://www.
worldagroforestry. org/region/sea/publications/download.

Syafasiti. 2015. Pengaruh Iklim Terhadap Transportasi. Dilihat 5 Desember 2018.


https://syafasiti.wordpress.com/2015/06/14/pengaruh-iklim-terhadap-bangunan-transportasi/

Anda mungkin juga menyukai