Oleh :
MUHAMMAD DENI REZA PAHLEVI
16204241035
2019
BAB I
PENDAHULUAN
A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa seorang pengarang yang
disampaikan melalui tulisan. Karya sastra lahir di dalam masyarakat sebagai hasil imajinasi
seorang pengarang terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.
‘’... la literature, au sens strict, comme l’ensemble des texts qui, à chaque
époque, ont été considérés comme échappant aux usages de la pratique courante, et
visent à signifier plus en significant différemment-bref: l’ensemble des texts ayant une
dimension esthétique’’
(Schmitt dan Viala, 1957:16).
‘’...sastra, dalam arti sempit, seperti tulisan pada umumnya yang setiap zaman,
dianggap menyimpang dari pemakaian semestinya, dan dimaksudkan memiliki arti
berbeda: bahwa tulisan adalah suatu dimensi keindahan‘’.
Karya sastra sebagai sarana berkomunikasi, perwujudan dan ungkapan hati. Selain itu,
karya sastra memiliki manfaat yang penting bagi manusia. Karya sastra bersifat
memberikan hiburan batin tentang kehidupan manusia ketika membaca sebuah karya
sastra. Selain itu gunakan untuk memperkaya pengetahuan.
Karya sastra diciptakan untuk dibaca dan dinikmati oleh pembaca melalui penafsiran
makna-makna yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Dalam memahami suatu karya
sastra perlu adanya kajian yang mendalam terhadap teks karya sastra dari berbagai unsur
yang membentuknya atau disebut dengan telaah sastra (Fananie, 2002: 63). Telaah sastra
digunakan untuk mengkaji karya sastra yang meliputi berbagai aspek baik aspek intrinsik
maupun ekstrinsik.
Roman sebagai salah satu genre sastra, merupakan sebuah sistem yang terdiri atas
unsur-unsur yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan makna yang utuh.
Hubungan antarunsur tersebut membentuk kepaduan yang erat sehingga dalam
pengkajiannya perlu dipahami keterkaitan unsur-unsur di dalam sebuah roman. Pengkajian
suatu roman dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan seperti pendekatan semiotik,
struktural, struktural genetik, dan lain lain.
Pada akhir abad 18, gerakan Revolusi Prancis secara tidak langsung menimbulkan
pengaruh yang cukup besar bagi dunia sastra. Salah satunya adalah munculnya kritik oleh
Mary Woolstonecraft (Wikipedia), seorang filosof perempuan. Woolstonecraft
menyatakan bahwa wanita tidak seharusnya direndahkan di hadapan laki-laki,
menurutnya, mereka terlihat rendah karena kurangnya pendidikan yang didapat oleh kaum
wanita saat itu. Seiring berkembangnya waktu, semakin banyak muncul
pengarangpengarang perempuan seperti Andre Gidé, Virginia Woolf, Mary
Woolstonecraft, Christine de Pizzane, Betty Friedan, Simone de Beauvoir, dan lain lain
Simone de Beauvoir adalah salah satu pengarang karya sastra yang lahir pada 9 Januari
1908 dan meninggal pada 14 April 1986 di Paris. Dia terlahir dari kalangan keluarga kaya
dan mendapatkan pendidikan bourgeoise dan katolik secara eksklusif. Pada umur 14 tahun,
de Beauvoir merubah keyakinannya menjadi Atheis karena kebangkrutan yang dialami
keluarganya dan memutuskan untuk menjadi seorang sastrawan. Setelah menyelesaikan
sekolah menengahnya, de Beauvoir mempelajari matematika, sastra, dan filsafat. Dia
bertemu dengan kekasihnya, Jean-Paul Sartre, yang juga adalah seorang filsuf di
universitas yang sama. Pada tahun 1929, Simone de Beauvoir mendapat peringat kedua
dalam ajang penghargaan agegrasi filosofi satu peringkat tepat di belakang kekasihnya.
Roman yang akan dikaji dalam penelitian ini berjudul La Femme Rompue karya Simone
de Beauvoir. Roman ini di tulis pada tahun 1967 dan diterbitkan oleh Gallimard. Roman
ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, yaitu: bahasa inggris sebagai The
woman Destroyed dan bahasa indonesia sebagai Perempuan yang Dihancurkan. Roman
ini terdapat tiga kisah panjang yang menyeret kita dalam kehidupan tiga perempuan,
melewati masa-masa muda, menghadapi krisis yang tak terduga-duga. Ada perempuan
tercabik-cabik perselingkuhan suaminya, ada yang lambat laun tertekan karena perilaku
sang anak, dan ada yang frustasi serta gusar dalarn kesendiriannya. Apakah menjadi
perempuan berarti menjadi masalah itu sendiri? Bahkan jika sang perempuan meraih
sukses dalam karier, keuangan, dan kehidupan intelektual? Sebagai fiksi, kisah-kisah ini
memikat, menggelar wawasan yang luar biasa dari de Beauvoir untuk perempuan. Inilah
persembahan terbaik penulis legendaris tentang perempuan.
Karya lain de Beauvoir antara lain ; L’invitée (1943), Le Sang Des Autres (1945), Tous
Les Hommes Sont Mortels (1946), Le Deuxième sexe (1949), dan Les Mandarins (1954).
B. Identifikasi Masalah
Dari latar belakang yang telah diuraikan, dapat diidentifikasi permasalahan sebagai
berikut.
1. Wujud unsur-unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema dalam
membangun roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir.
2. Keterkaitan antarunsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema
dalam roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir.
3. Kondisi sosial, politik, budaya yang melatarbelakangi roman La Femme Rompue
karya Simone de Beauvoir.
4. Pandangan dunia pengarang dalam roman La Femme Rompue karya Simone de
Beauvoir.
5. Feminisme dalam roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir.
C. Batasan Masalah
1. Wujud unsur-unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema dalam
membangun roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir.
2. Keterkaitan antarunsur intrinsik dalam roman La Femme Rompue karya Simone de
Beauvoir.
3. Kondisi sosial, politik, budaya yang melatarbelakangi roman La Femme Rompue
karya Simone de Beauvoir.
4. Wujud feminisme dalam roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir.
D. Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang telah diuraikan, maka dirumuskan masalah sebagai
berikut.
1. Bagaimanakah wujud unsur-unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan
tema dalam membangun roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir?
2. Bagaimanakah keterkaitan antarunsur intrinsik dalam roman La Femme Rompue
karya Simone de Beauvoir?
3. Bagaimanakah wujud feminisme dalam roman La Femme Rompue karya Simone
de Beauvoir?
E. Tujuan Penelitian
F. Manfaat Penelitian
1. Manfaat teoretis
2. Manfaat praktis
KAJIAN TEORI
A. Pengertian Roman
„‟ Oeuvre d‟imagination en prose, assez longue, qui présente et fait vivre dans un
milieu des personnages donnés comme réels, nous fait connaître leur psychologie,
leur destin, leurs aventures‟‟.
„‟Roman adalah karya imaginasi bergenre prosa yang cukup panjang, yang
menghadirkan dan menghidupkan tokoh-tokoh tertentu seperti di dunia nyata,
memperkenalkan kepada pembaca tentang psikologi, tujuan, dan petualangan-
petualangan tokoh-tokoh tersebut‟‟.
Roman pertama kali ditulis dalam bahasa Prancis pada abad pertengahan
(Moyen Age). Schmitt (1982 : 215) juga mendefinisikan roman sebagai berikut ;
„‟ Roman est genre narratif long, en prose. Au Moyen Age, „roman‟ renvoie à la
langue employée : le roman, par opposition au latin. Cette forme peu contraignante
n‟a cessé de se développer, et est aujourd‟hui le genre le plus productive‟‟.
„‟Roman adalah jenis narasi panjang berbentuk prosa. Pada abad pertengahan,
roman menggunakan bahasa roma sebagai oposisi dari bahasa Latin. Bentuk roman
sendiri sedikit terikat namun terus berkembang, dan saat ini roman merupakan
bentuk prosa paling produktif‟‟.
Schmitt (1982 : 215) juga menjelaskan bahwa roman merupakan karya sastra yang bisa
menceritakan semua jenis subjek penceritaan berupa cerita cinta, petualangan, horor,
fiksi, ilmiah, dan lain lain.
Berdasarkan pengertian-pengertian roman menurut para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa roman merupakan karya sastra berbentuk narasi panjang bergenre
prosa, yang memunculkan tokoh-tokoh sesuai dengan yang ada di dalam kehidupan
nyata. Roman dapat berisi cerita tentang percintaan, petualangan, horor, fiksi, maupun
ilmiah yang diceritakan kepada pembaca dengan menyertakan psikologi, tujuan dan
petualangan daripada tokoh-tokoh di dalam cerita roman tersebut.
Adapun unsur-unsur intrinsik roman antara lain alur, penokohan, latar, dan tema.
Berikut penjelasan dari alur, penokohan, latar, dan tema.
1. Alur
Menurut Stanton, (2012 : 28) sebuah cerita memiliki alur atau jalan cerita.
Rangkaian-rangkaian peristiwa ini memiliki bagian awal, bagian tengah, dan bagian
akhir yang nyata, meyakinkan pembaca, dan logis, serta mampu memunculkan dan
mengakhiri ketegangan-ketegangan. Alur memiliki peran penting dalam suatu
cerita karena setiap persitiwa memiliki hubungan sebab akibat, tidak hanya yang
berupa hal-hal fisik seperti ujaran dan tingkah laku, tetapi juga sifat dan
perkembangan sikap karakter, keputusan-keputusan, dan variable pengubah sifat
tokohnya seperti pada kutipan di bawah ini.
Schmitt (1982 : 62) juga mengemukakan bahwa :
“L‟action est l‟ensemble des faits relatés dans un récit constitue son action.
Cette action comprend: des actes, des états (qui affectent ces participants), des
situations, des événements (naturels ou sociaux, qui surviennent indépendamment
de la volonté des participants).”
Alur sorot balik memiliki urutan peristiwa yang tidak bersifat kronologis. Cerita
tidak dimulai dari tahap awal, namun dari tahap tengah ataupun akhir, baru kemudian
ke tahap awal cerita. Pada umumnya, cerita yang menggunakan alur jenis ini dimulai
dengan langsung memunculkan konflik.
c. Alur Campuran
Dalam suatu karya fiksi, bisa jadi tidak mutlak menggunakan alur progresif saja
atau alur regresif saja. Secara garis besar, bisa jadi alur progresif, namun terdapat
beberapa peristiwa sorot balik. Hal ini memunculkan kemungkinan bahwa pengarang
menggunakan alur campuran, yakni perpaduan antara alur progresif dan alur regresif.
Menurut Wellek (1990 : 285), alur terbentuk dari struktur naratif yang lebih kecil
seperti episode dan kejadian. Dalam penentuan alur dari sebuah cerita, tidak melulu
sesuai dengan urutan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, peneliti harus
menentukan sekuen atau satuan cerita terlebih dahulu.
„‟ Une séquence est, d‟une façon générale, un segment de texte qui forme un tout
cohérent autour d‟un même centre d‟intérêt. Une séquence narrative correspond à
une série de faits représentant une étape dans l‟évolution de l‟action.”.
Sekuen, secara umum, merupakan bagian dari teks yang membentuk koherensi
(satu kesatuan) dalam suatu cerita. Sekuen terdiri dari urutan – urutan peristiwa yang
menunjukkan pengembangan suatu cerita.
Schmitt (1982 : 27), membatasi sekuen dengan kriteria – kriteria sebagai berikut :
a. Elles doivent correspondre à une même concentration de l‟intérêt (ou focalisation);
soit qu‟on y observe un seul et même objet (un même fait, un même personnage, une
même idée, un même champ de réflexion).
b. Elles doivent former un tout cohérent dans le temps ou dans l‟espace: se situer en
un même lieu ou un même moment, ou rassembler plusieurs lieux et moments en une
seule phase: une période de la vie d‟une personne, une série d‟exemples et de preuves
à l‟appui d‟une même idée.
a. Sekuen harus terpusat pada satu titik (fokalisasi) ; yang diamati adalah objek
tunggal yang memiliki kesamaan (peristiwa, tokoh, gagasan dan bidang pemikiran
yang sama).
b. Sekuen harus dalam satu kurun waktu dan ruang yang koheren; menggambarkan
sesuatu yang terjadi pada suatu tempat atau peristiwa yang sama, menyatukan
beberapa tempat dan kejadian pada satu fase : satu masa dalam kehidupan seorang
tokoh, pembuktian dalam suatu gagasan yang sama).
Besson (1987:117) membagi alur menjadi lima tahapan seperti pada tabel di atas,
yakni:
Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita, pemberian informasi awal, dan
pengenalan situasi,latar dan tokoh yang terutama berfungsi sebagai pembuka dan
menjadi dasar untuk tahap berikutnya.
Tahap di mana konflik yang dialami tokoh yang telah dimunculkan pada tahapan
sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.
Tahap penyelesaian konflik yang telah mencapai klimaks dan jalan cerita berakhir.
Pada dasarnya, sebuah cerita memiliki kekuatan sebagai unsur penggerak dalam
membentuk cerita itu sendiri yang bisa digunakan untuk menemukan alur.
Keterangan gambar :
a. Destinateur (D1) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan
berfungsi sebagai pembawa atau penggerak cerita.
b. Destinataire (D2) adalah seseorang atau sesuatu yang menerima objekhasil tindakan
sujet.
c. Sujet (S) adalah seseorang yang mengincar sesuatu atau seseorang (objet).
d. Objet (O) adalah sesuatu atau seseorang yang diinginkan oleh sujet.
e. Adjuvant (Adj) adalah seseorang atau sesuatu yang membantu sujet untuk
mendapatkan objet.
f. Opposant (Op) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi dan menggagalkan
usaha sujet untuk mendapatkan objet.
Peyroutet (2001: 8) mengkategorikan akhir sebuah cerita ke dalam 7 tipe yaitu sebagai
berikut.
b. Fin heurese
c. Fin comique
g. Fin réflexive
a. Le récit réaliste.
Cerita yang melukisan kejadian nyata. Pengarang harus memberikan keterangan secara
jelas mengenai tempat kejadian, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya sebuah
cerita.
b. Le récit historique.
c. Le récit d’aventures.
Cerita yang melukiskan situasi dan aksi tak terduga serta luar biasa dari tokoh cerita.
Cerita ini biasanya terjadi di negara yang jauh dan terpencil yang dicoba diungkap oleh
sang tokoh cerita.
d. Le récit policier.
Cerita pahlawan, polisi, ataupun detektif dalam mengungkap suatu kasus. Pembaca
dituntut untuk jeli dalam memahami cerita yang disajikan.
e. Le récit fantastique.
Cerita yang melukiskan kejadian di luar batas-batas norma pada umumnya. Cerita
bersifat khayalan dan mengandung peristiwa yang aneh dan tidak masuk diakal.
f. Le récit de science-fiction.
Cerita yang melukiskan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Cerita ini
berimajinasi mengenai dunia baru di luar yang sudah ada saat ini. Tema cerita
membahas mengenai kosmos, planet baru dan tak dikenal, objek-objek luar angkasa.
2. Penokohan
Penokohan merupakan unsur penting yang harus ada dalam suatu cerita. Tokoh
berperan dalam semua tindakan yang membentuk konflik dan membuat jalinan sebuah
cerita dalam karya fiksi. Penokohan adalah agen dari sebuah aksi yang berupa individu,
manusia, ataupun makhluk yang membawa sifat psikologis (Barthes: 1981).
Schmitt (1982: 69-70) juga menjelaskan karakteristik dan sifat khas tokoh guna
memudahkan dalam pengidentifikasian tokoh.
a. Le portrait
Tokoh selalu digambarkan secara fisik, moral, dan sosial. Gabungan ketiga hal itu
membentuk le portrait du personnage.
Penggambaran karakter tokoh dengan cara yang tidak langsung melainkan dari
identifikasi karakter melalui apa yang dilakukan, dikatakan, dan dirasakan oleh tokoh
yang bersangkutan.
a. Tampilan fisik
Untuk menentukan tokoh utama dapat dilihat dari jumlah kemunculan tokoh
yang bersangkutan di dalam sebuah cerita. Tokoh utama ini berperan sebagai tokoh
yang diutamakan penceritaannya dan mendominasi sebagian besar cerita. Di samping
itu juga, penentuan sebuah tokoh utama dilihat dari pengaruhnya terhadap
perkembangan alur secara keseluruhan dalam cerita.
3. Latar
Dalam sebuah karya fiksi, latar berfungsi untuk memberikan kesan realitas
kepada pembaca. Keberadaan elemen setting hakikatnya tidaklah hanya sekedar
menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan
berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan
masyarakat pada waktu cerita ditulis (Fananie, 2002: 98).
Dari kajian latar secara mendalam, dapat diketahui kesesuaian serta hubungan
antara perilaku dan karakter tokoh dengan situasi dan kondisi masyarakat, norma, dan
pandangan hidup masyarakatnya. Oleh karena itu, latar juga bisa memberikan informasi
yang baru bagi pembaca sehingga memperkaya pengetahuan dan pengalaman hidup
bagi penikmat karya sastra.
Barthes (1981: 7) mengemukakan unsur-unsur latar dalam karya sastra, “...le
récit est présent dans tous les temps, dans tous les lieux, dans tous les sociétés...”.
“...sebuah karya hadir dalam keseluruhan waktu, tempat, dan sosial...”.
Sependapat dengan Barthes, Nurgiyantoro (2013 : 314) membedakan latar ke
dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu saling
berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
1) Latar tempat
Latar tempat mengacu pada deskripsi tempat terjadinya peristiwa dalam karya
fiksi. Peyroutet (2001: 6) menjelaskan bahwa lokasi cerita dapat berupa tempat-
tempat eksotis seperti gurun dan hutan belantara atau tempat-tempat lain seperti
pulau impian, planet-planet yang mampu memikat hati dan menambah
pengetahuan pembacanya. Dalam upaya meyakinkan pembaca, pengarang
haruslah benar-benar menguasai tempat atau lokasi dimana cerita terjadi, baik
sifat maupun keadaan geografisnya.
2) Latar waktu
Latar waktu adalah sesuatu yang menunjukkan kapan peristiwa dalam cerita
terjadi. Peyroutet (2001: 6) menjelaskan bahwa latar waktu memberikan
keterangan secara tepat mengenai masa, bulan, tahun terjadinya peristiwa yang
diceritakan. Latar waktu juga meliputi lamanya proses penceritaan.
3) Latar sosial
Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat sesuai dengan tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Perwujudan latar sosial ini bisa dilihat pada kemunculan masalah
dalam lingkup yang cukup kompleks seperti adat istiadat, kebiasaan hidup,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, maupun cara bersikap.
Selain itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang
bersangkutan. Keberadaan latar sosial ini mendukung dan memperkuat
kekhususan dari latar tempat sebuah karya fiksi.
4. Tema
Karya sastra dibuat untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran pengarang yang
berkaitan dengan situasi sosial yang sedang terjadi di dalam kehidupannya. Dalam
menciptakan sebuah karya, pengarang tidak pernah terlepas dari kondisi sosial dan
budaya di sekitarnya. Hal inilah yang membuat karya sastra beraneka ragam. Tema
merupakan unsur dasar yang berupa ide, gagasan, atau pandangan yang menjiwai
cerita. Stanton dan Kenny (via Nurgiyantoro, 2013: 114) mengatakan bahwa tema
merupakan makna yang terkandung di dalam cerita.
Tema sebuah cerita dapat diungkapkan melalui berbagai cara seperti konflik
antartokoh, dialog antartokoh atau melalui komentar-komentar tidak langsung.
Nurgiyantoro (2013 : 133) membagi tema menjadi dua yaitu tema utama dan
tema tambahan. Tema utama (tema mayor) adalah pokok cerita yang menjadi
landasan dasar umum sebuah karya. Tema tambahan (tema minor) adalah makna
yang hanya terdapat di bagian tertentu dalam sebuah cerita. Tema utama digunakan
pengarang sebagai gagasan dasar cerita, sedangkan tema tambahan bersifat
mendukung keberadaan tema utama.
Menurut pendapat Moeliono (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002: 61), secara leksikal
feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya
antara kaum perempuan dan laki-laki. Sedangkan menurut Ratna (2004: 184), feminisme
adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik
dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.
Istilah feminisme tidak dapat diparalelkan begitu saja dengan istilah feminin sebab laki-
laki yang feminis pun ada dan tidak harus berperilaku kefeminisan (Sugihastuti dan
Suharto, 2002: 62). Akan tetapi, banyaknya feminis laki-laki juga dapat menimbulkan
masalah. Ketika ada laki-laki yang menjadi seorang feminis dan memperjuangkan hak-hak
perempuan, hal ini justru menjadi tanda bahwa perempuan memang masih merupakan
makhluk yang perlu ditolong orang lain untuk mengentaskannya. Perempuan seolah-olah
ketinggalan dari laki- laki. Hal tersebut menunjukkan semakin sulitnya untuk
menghentikan subordinasi perempuan.
Gerakan emansipasi perempuan merupakan proses pelepasan diri kaum perempuan dari
kedudukan sosial ekonomi yang rendah serta pengekangan hukum yang membatasi
kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju (Moeliono dalam
Sugihastuti dan Suharto, 2002: 62). Emansipasi merupakan suatu konsep gerakan yang
menyokong feminisme. Seseorang yang mengaku emansipatoris belum tentu menjadi
feminis. Akan tetapi, seorang feminis sudah pasti seorang emansipatoris. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Sofia dan Sugihastuti (2003: 24) yang menjelaskan bahwa
emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa
memperjuangkan hak serta kepentingan mereka yang tertindas dan mengalami
ketidakadilan. Dalam feminisme konsep gerakannya sudah memperjuangkan hak dan
kepentingan perempuan yang tertindas dan mengalami ketidakadilan.
Fakih (2006: 7-8) berpendapat bahwa jenis kelamin merupakan kategori biologis,
sedangkan gender merupakan makna kultural yang dikait-kaitkan dengan identitas kelamin.
Dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun budaya. Misalnya, bahwa
perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat
yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan,
sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-
sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Perubahan
juga bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Fakih (2006: 9) juga
mengutarakan jika semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-
laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun
berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang disebut konsep gender.
Jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 2006: 8).
Misalnya, bahwa manusia berjenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memilki penis,
memiliki jakun, dan memproduksi sperma. Untuk manusia berjenis kelamin perempuan
memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi ovum,
memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat
pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat
tersebut tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak
berubah dan merupakan ketentuan biologis atau kodrati.
Senada dengan pendapat Sugihastuti dan Suharto (2002: 63), perbedaan jenis kelamin
mengacu pada perbedaan fisik, terutama fungsi reproduksi, sedangkan gender merupakan
interpretasi sosial dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin. Secara sederhana
perbedaan konsep jenis kelamin dan gender tercantum dalam tabel berikut
2. Pergerakan Feminisme
Sejarah pergerakan kaum perempuan sudah dimulai sejak abad 18 sampai awal abad
19, terpicu oleh Revolusi Amerika dan Perancis. Pergerakan ini adalah First Wave
Feminism atau Gelombang Pertama Feminisme. Munculnya gerakan ini dilatarbelakangi
oleh beberapa sebab, antara lain adanya tatanan feodalisme. Dalam tatanan feodalisme,
perempuan hanya menjadi korban secara fisik dan non fisik. Pada tahun 1785 terbentuk
perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan, didirikan pertama kali di kota
Middelburg, Belanda bagian selatan. Gerakan ini dipelopori oleh Lady Mary Worthly
Montagu dan Marquis de Concordet. Kemunculannya saat itu hanya bertujuan menuntut
kesamaan hak dalam bidang pendidikan dan kesamaan perlakuan di tempat kerja, misalnya
tentang jam kerja dan upah. Gerakan ini mampu menghasilkan terbentuknya organisasi
yang menuntut hak pilih bagi perempuan, seperti The National Women’s Suffrage
Association (Perhimpunan Nasional Perempuan untuk Hak Pilih) dan The American
Women’s Suffrage Association (Perhimpunan Perempuan Amerika untuk Hak Pilih).
Jika ada gelombang pertama tentunya ada gelombang kedua, Second Wave Feminism
benar terjadi di tahun 1960-an. Gelombang pergerakan yang berawal di Amerika ini masih
menuntut persamaan hak mendapat pekerjaan. Di Inggris juga terjadi pergerakan dengan
tujuan yang agak berbeda yaitu menentang patriarki, sedangkan di Italia dan Jerman
bertujuan menentang penindasan, eksploitasi seksual terhadap kaum perempuan, dan
aborsi. Di negara berkembang atau di negara jajahan juga ikut bergejolak. Nasib kaum
perempuan di negara berkembang maupun di negara jajahan masih sangat tertindas. Hal
tersebut membuktikan bahwa gerakan feminisme gelombang pertama hanya mampu
membebaskan sebagian kaum perempuan di negara maju. Masalah pendidikan dan
perbedaan perlakuan terhadap buruh perempuan, terutama dalam hal upah ternyata juga
menjadi penyebab munculnya gerakan feminisme gelombang kedua. Adapun organisasi-
organisasi yang terbentuk adalah NOW (National Organization for Women), National
Welfare Rights Organization yang didirikan oleh beberapa aktivis perempuan, dan MANA
(The Mexican-American Women’s National Association). Kelompok-kelompok diskusi
perempuan juga bermunculan, kelompok ini merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide
kaum perempuan.
Pada dasarnya feminisme merupakan gerakan yang berangkat dari kesadaran bahwa
kaum perempuan selalu dalam posisi tertindas dan terdiskriminasi, sehingga diusahakan
untuk mengakhiri penindasan tersebut. Namun Fakih (2006: 78) mengatakan bahwa
feminisme bukan merupakan gerakan pemberontakan terhadap laki-laki, upaya melawan
pranata sosial seperti institusi rumah tangga dan perkawinan, maupun upaya perempuan
untuk mengingkari kodratnya. Menurut Fakih (2006: 79), hakikat dari perjuangan feminis
adalah kesamaan, martabat, dan kebebasan untuk mengontrol raga dan kehidupan baik di
dalam maupun di luar rumah.
Dalam arti leksikal, feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Sesuai dengan pendapat Goefe (dalam
Sugihastuti, 2009: 21) yang mengatakan bahwa feminisme adalah teori tentang persamaan
antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita. Dalam ilmu sastra,
feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang
mengarahkan fokus analisis kepada wanita (Sugihastuti, 2009: 21). Jika selama ini
dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra
Barat ialah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca wanita membawa
persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya (Showalter dalam Sugihastuti, 2009:
21). Kehadiran pembaca wanita diharapkan akan menghadirkan pandangan baru dalam
karya sastra untuk dapat menyejajarkan kedudukan tokoh wanita dan laki-laki di dalam
suatu karya. Dilihat dari permasalahan tersebut, kritik sastra feminis merupakan salah satu
teori kritik sastra yang paling dekat untuk dipakai sebagai alat jawabnya.
Akhir-akhir ini dikenal konsep reading as a woman “membaca sebagai wanita” yang
diungkapkan Culler (via Sugihastuti, 2009: 21). Konsep ini adalah konsep yang sekiranya
pantas digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang
androsentris atau patriarkal, yang sampai sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan
pembacaan sastra.
Lebih jauh, konsep yang ditawarkan Culler itu pada dasarnya dapat dimasukkan ke
dalam kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik wanita atau kritik
tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandungnya adalah pengkritik
memandang sastra dengan kesadaran khusus; kesadaran bahwa ada jenis kelamin lain yang
banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Membaca sebagai wanita
berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki
yang androsentris atau patriarkal, yang sampai sekarang masih menguasai penulisan dan
pembacaan sastra. Perbedaan jenis kelamin pada diri penyair, pembaca, karya, dan
kenyataan serta faktor luar itulah yang mempengaruhi situasi sistem komunikasi sastra.
Memaknai kekuasaan pria di mata wanita, misalnya, hal itu tidak cukup dipandang
dalam kedudukannya sebagai unsur dalam struktur karya, tetapi perlu juga dipandang
faktor pembacanya. Pembaca wanita yang membaca sebagai wanita mempengaruhi
kongkretisasi karya karena makna teks, seperti dikatakan oleh Iser (dalam Sugihastuti,
2009: 22), di antaranya ditentukan oleh peran pembaca. Sebuah teks hanya dapat bermakna
setelah teks tersebut dibaca.
Dalam konteks ini, pembaca wanita pun dianggap berpengaruh dalam pemahamannya
atas karya sastra. Jenis kelamin dipertimbangkan dalam hal ini. Pertimbangan jenis kelamin
yang melahirkan sikap “membaca sebagai wanita” dicakup dalam kritik sastra feminis.
Dapat dimengerti bahwa kritik sastra feminis, dengan demikian berkaitan dengan teori
resepsi sastra, yang mempertimbangkan peran pembaca dan proses pembacaan. “Membaca
sebagai wanita” berkaitan dengan faktor sosial budaya pembacanya. Dalam hal ini, sikap
baca menjadi penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap
bacanya. Di Barat, kritik sastra feminis sering dimetaforakan sebagai quilt ungkap Yoder
(melalui Sugihastuti, 2009: 22). Quilt adalah potongan-potongan kain berbentuk persegi
yang dijahit menjadi satu dan pada bagian dalam dilapisi dengan kain lembut. Metafora ini
dapat dikenakan sebagai metafora pengertian kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis
diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang wanita
dapat sadar membaca karya sastra sebagai wanita. Menurut Millet (dalam Sugihastuti,
2009: 23), paham kritik sastra feminis ini menyangkut soal politik dalam sistem komunikasi
sastra. Maksudnya adalah sebuah politik yang langsung mengubah hubungan kekuatan
kehidupan antara wanita dan pria dalam sistem komunikasi sastra.
Arti kritik sastra feminis secara sederhana adalah sebuah kritik yang memandang sastra
dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan
budaya, sastra, dan kehidupan manusia. Jenis kelamin itu membuat banyak perbedaan, di
antara semuanya dalam sistem kehidupan manusia.
BAB III
METODE PENELITIAN
Moeliono, (Peny.). 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.
Scmitt, M.P danViala,A. 1982. Savoir –Lire. Paris: Les Éditions Didier.
Wellek, Rene dan Warren Austin. 1993. Teori Kesusastraan (terjemahan melalui
Budiyanto). Jakarta: Gramedia.
https://atelier.leparisien.fr/sites/histoire/2015/10/22/un-amour-de-concours/ diakses
pada 25 Februari 2019
https://mises.org/library/mary-woolstonecraft-human-right-and-french-
revolutionroberta-modugno/ diakses pada 25 Februari 2019
https://lilleauxlivres.wordpress.com/2014/09/04/les-belles-images-de-simone-
debeauvoir/ diakses pada 25 Februari 2019
Http://eprints.uny.ac.id/22092/1/Ana%20Dewi%20Harsanti%2008204241013.pdf diakses
pada 13 Maret 2019
http://eprints.uny.ac.id/20021/1/Ega%20Noviana%20Ammin%20Putry%2009204241008.pdf
http://eprints.uny.ac.id/28550/1/SKRIPSI_Fera%20Friska%20Ayu%20Adityastuti_092042440
13.pdf diakses pada 13 Maret 2019
http://eprints.uny.ac.id/16354/1/Kurnia%20Chandra%20Rahaviana%2009204244035.pdf