Anda di halaman 1dari 27

KAJIAN FEMINISME DALAM ROMAN

LA FEMME ROMPUE KARYA SIMONE DE BEAUVOIR


Disusun Guna Memenuhi Tugas Metode Penelitian Bahasa dan Sastra
Dosen Pengampu : Dian Swandayani, S.S.M.Hum.

Oleh :
MUHAMMAD DENI REZA PAHLEVI
16204241035

PENDIDIKAN BAHASA PRANCIS

FAKULTAS BAHASA DAN SENI

UNIVERSITAS NEGERI YOGYAKARTA

2019
BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Karya sastra merupakan hasil cipta, rasa, dan karsa seorang pengarang yang
disampaikan melalui tulisan. Karya sastra lahir di dalam masyarakat sebagai hasil imajinasi
seorang pengarang terhadap gejala-gejala sosial di sekitarnya.
‘’... la literature, au sens strict, comme l’ensemble des texts qui, à chaque
époque, ont été considérés comme échappant aux usages de la pratique courante, et
visent à signifier plus en significant différemment-bref: l’ensemble des texts ayant une
dimension esthétique’’
(Schmitt dan Viala, 1957:16).
‘’...sastra, dalam arti sempit, seperti tulisan pada umumnya yang setiap zaman,
dianggap menyimpang dari pemakaian semestinya, dan dimaksudkan memiliki arti
berbeda: bahwa tulisan adalah suatu dimensi keindahan‘’.
Karya sastra sebagai sarana berkomunikasi, perwujudan dan ungkapan hati. Selain itu,
karya sastra memiliki manfaat yang penting bagi manusia. Karya sastra bersifat
memberikan hiburan batin tentang kehidupan manusia ketika membaca sebuah karya
sastra. Selain itu gunakan untuk memperkaya pengetahuan.
Karya sastra diciptakan untuk dibaca dan dinikmati oleh pembaca melalui penafsiran
makna-makna yang terdapat dalam karya sastra tersebut. Dalam memahami suatu karya
sastra perlu adanya kajian yang mendalam terhadap teks karya sastra dari berbagai unsur
yang membentuknya atau disebut dengan telaah sastra (Fananie, 2002: 63). Telaah sastra
digunakan untuk mengkaji karya sastra yang meliputi berbagai aspek baik aspek intrinsik
maupun ekstrinsik.

Roman sebagai salah satu genre sastra, merupakan sebuah sistem yang terdiri atas
unsur-unsur yang saling berkaitan sehingga membentuk suatu kesatuan makna yang utuh.
Hubungan antarunsur tersebut membentuk kepaduan yang erat sehingga dalam
pengkajiannya perlu dipahami keterkaitan unsur-unsur di dalam sebuah roman. Pengkajian
suatu roman dapat dilakukan melalui berbagai pendekatan seperti pendekatan semiotik,
struktural, struktural genetik, dan lain lain.

Dalam penelitian ini digunakan pendekatan struktural untuk mengungkap hubungan


antarunsur intrinsik karya sastra yang dipandang sebagai sebuah kesatuan yang bulat atau
utuh. Unsur-unsur tersebut adalah unsur instrinsik yang terdiri dari alur, penokohan, latar,
dan tema. Analisis struktural dilakukan pertama kali dengan mengidentifikasi, mengkaji,
kemudian mendeskripsikan fungsi dan hubungan antarunsur intrinsik. Langkah
selanjutnya adalah menjelaskan fungsi masing-masing unsur di dalam karya sastra yang
menunjang makna keseluruhan dan hubungan antarunsurnya.

Pada akhir abad 18, gerakan Revolusi Prancis secara tidak langsung menimbulkan
pengaruh yang cukup besar bagi dunia sastra. Salah satunya adalah munculnya kritik oleh
Mary Woolstonecraft (Wikipedia), seorang filosof perempuan. Woolstonecraft
menyatakan bahwa wanita tidak seharusnya direndahkan di hadapan laki-laki,
menurutnya, mereka terlihat rendah karena kurangnya pendidikan yang didapat oleh kaum
wanita saat itu. Seiring berkembangnya waktu, semakin banyak muncul
pengarangpengarang perempuan seperti Andre Gidé, Virginia Woolf, Mary
Woolstonecraft, Christine de Pizzane, Betty Friedan, Simone de Beauvoir, dan lain lain

Simone de Beauvoir adalah salah satu pengarang karya sastra yang lahir pada 9 Januari
1908 dan meninggal pada 14 April 1986 di Paris. Dia terlahir dari kalangan keluarga kaya
dan mendapatkan pendidikan bourgeoise dan katolik secara eksklusif. Pada umur 14 tahun,
de Beauvoir merubah keyakinannya menjadi Atheis karena kebangkrutan yang dialami
keluarganya dan memutuskan untuk menjadi seorang sastrawan. Setelah menyelesaikan
sekolah menengahnya, de Beauvoir mempelajari matematika, sastra, dan filsafat. Dia
bertemu dengan kekasihnya, Jean-Paul Sartre, yang juga adalah seorang filsuf di
universitas yang sama. Pada tahun 1929, Simone de Beauvoir mendapat peringat kedua
dalam ajang penghargaan agegrasi filosofi satu peringkat tepat di belakang kekasihnya.

Setelah kelulusannya dari universitas, Simone de Beauvoir ditugaskan untuk mengajar


di Marseille, sedangkan Sartre ditugaskan untuk mengajar di Havre. Mereka kembali ke
Paris sesaat sebelum Perang Dunia II untuk membangun sebuah perusahaan majalah ‘‘Les
Temps Modernes’’ bersama dengan beberapa rekannya. Pada tahun 1954, de Beauvoir
mendapatkan penghargaan Goncourt atas bukunya yang berjudul Les Mandarins yang
menceritakan sudut padang masyarakat Prancis terhadap Perang Dunia II.
Penghargaan Goncourt adalah penghargaan sastra Prancis paling tua untuk pengarang
berbahasa Prancis dan merupakan salah satu yang paling bergengsi di dunia sastra (La
Toupie).

Roman yang akan dikaji dalam penelitian ini berjudul La Femme Rompue karya Simone
de Beauvoir. Roman ini di tulis pada tahun 1967 dan diterbitkan oleh Gallimard. Roman
ini telah diterjemahkan ke dalam beberapa bahasa, yaitu: bahasa inggris sebagai The
woman Destroyed dan bahasa indonesia sebagai Perempuan yang Dihancurkan. Roman
ini terdapat tiga kisah panjang yang menyeret kita dalam kehidupan tiga perempuan,
melewati masa-masa muda, menghadapi krisis yang tak terduga-duga. Ada perempuan
tercabik-cabik perselingkuhan suaminya, ada yang lambat laun tertekan karena perilaku
sang anak, dan ada yang frustasi serta gusar dalarn kesendiriannya. Apakah menjadi
perempuan berarti menjadi masalah itu sendiri? Bahkan jika sang perempuan meraih
sukses dalam karier, keuangan, dan kehidupan intelektual? Sebagai fiksi, kisah-kisah ini
memikat, menggelar wawasan yang luar biasa dari de Beauvoir untuk perempuan. Inilah
persembahan terbaik penulis legendaris tentang perempuan.

Karya lain de Beauvoir antara lain ; L’invitée (1943), Le Sang Des Autres (1945), Tous
Les Hommes Sont Mortels (1946), Le Deuxième sexe (1949), dan Les Mandarins (1954).
B. Identifikasi Masalah

Dari latar belakang yang telah diuraikan, dapat diidentifikasi permasalahan sebagai
berikut.

1. Wujud unsur-unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema dalam
membangun roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir.
2. Keterkaitan antarunsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema
dalam roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir.
3. Kondisi sosial, politik, budaya yang melatarbelakangi roman La Femme Rompue
karya Simone de Beauvoir.
4. Pandangan dunia pengarang dalam roman La Femme Rompue karya Simone de
Beauvoir.
5. Feminisme dalam roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir.

C. Batasan Masalah

Guna memfokuskan permasalahan yang dikaji, dilakukan pembatasan permasalahan.


Adapun permasalahan yang dikaji dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Wujud unsur-unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema dalam
membangun roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir.
2. Keterkaitan antarunsur intrinsik dalam roman La Femme Rompue karya Simone de
Beauvoir.
3. Kondisi sosial, politik, budaya yang melatarbelakangi roman La Femme Rompue
karya Simone de Beauvoir.
4. Wujud feminisme dalam roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir.

D. Rumusan Masalah

Berdasarkan batasan masalah yang telah diuraikan, maka dirumuskan masalah sebagai
berikut.

1. Bagaimanakah wujud unsur-unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar, dan
tema dalam membangun roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir?
2. Bagaimanakah keterkaitan antarunsur intrinsik dalam roman La Femme Rompue
karya Simone de Beauvoir?
3. Bagaimanakah wujud feminisme dalam roman La Femme Rompue karya Simone
de Beauvoir?

E. Tujuan Penelitian

Tujuan penelitian dalam penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Mendeskripsikan wujud unsur-unsur intrinsik yang berupa alur, penokohan, latar,


dan tema dalam membangun roman La Femme Rompue karya Simone de Beauvoir.
2. Mendeskripsikan keterkaitan antarunsur intrinsik dalam roman La Femme Rompue
karya Simone de Beauvoir.
3. Mendeskripsikan wujud feminisme yang terkandung dalam roman La Femme
Rompue karya Simone de Beauvoir.

F. Manfaat Penelitian

Manfaat penelitian ini adalah sebagai berikut.

1. Manfaat teoretis

Secara teoretis, penelitian ini dapat mengembangkan teori struktural dan


feminisme. Penelitian ini juga dapat menambah khasanah penelitian sastra asing
terutama sastra Prancis.

2. Manfaat praktis

Secara praktis, diharapkan dapat menambah wawasan dan pengetahuan pembaca


khususnya mahasiswa bahasa prancis tentang Simone de Beauvoir dan karyanya
sehingga akan timbul keinginan untuk mengadakan penelitian lebih lanjut terhadap
roman La Femme Rompue.
BAB II

KAJIAN TEORI

A. Pengertian Roman

Sastra merupakan sarana yang digunakan untuk menyampaikan informasi, pikiran,


pendapat, atau gagasan pengarang kepada orang lain. Dalam sastra, genre sastra dibagi
menjadi tiga yaitu prosa, puisi, dan drama. Roman merupakan karya sastra yang
bergenre prosa dan bersifat imaginatif. Dalam Le Petit Robert 1 (1986 : 1726)
dijelaskan bahwa ;

„‟ Oeuvre d‟imagination en prose, assez longue, qui présente et fait vivre dans un
milieu des personnages donnés comme réels, nous fait connaître leur psychologie,
leur destin, leurs aventures‟‟.

„‟Roman adalah karya imaginasi bergenre prosa yang cukup panjang, yang
menghadirkan dan menghidupkan tokoh-tokoh tertentu seperti di dunia nyata,
memperkenalkan kepada pembaca tentang psikologi, tujuan, dan petualangan-
petualangan tokoh-tokoh tersebut‟‟.

Roman pertama kali ditulis dalam bahasa Prancis pada abad pertengahan

(Moyen Age). Schmitt (1982 : 215) juga mendefinisikan roman sebagai berikut ;

„‟ Roman est genre narratif long, en prose. Au Moyen Age, „roman‟ renvoie à la
langue employée : le roman, par opposition au latin. Cette forme peu contraignante
n‟a cessé de se développer, et est aujourd‟hui le genre le plus productive‟‟.

„‟Roman adalah jenis narasi panjang berbentuk prosa. Pada abad pertengahan,
roman menggunakan bahasa roma sebagai oposisi dari bahasa Latin. Bentuk roman
sendiri sedikit terikat namun terus berkembang, dan saat ini roman merupakan
bentuk prosa paling produktif‟‟.

Schmitt (1982 : 215) juga menjelaskan bahwa roman merupakan karya sastra yang bisa
menceritakan semua jenis subjek penceritaan berupa cerita cinta, petualangan, horor,
fiksi, ilmiah, dan lain lain.
Berdasarkan pengertian-pengertian roman menurut para ahli di atas, maka dapat
disimpulkan bahwa roman merupakan karya sastra berbentuk narasi panjang bergenre
prosa, yang memunculkan tokoh-tokoh sesuai dengan yang ada di dalam kehidupan
nyata. Roman dapat berisi cerita tentang percintaan, petualangan, horor, fiksi, maupun
ilmiah yang diceritakan kepada pembaca dengan menyertakan psikologi, tujuan dan
petualangan daripada tokoh-tokoh di dalam cerita roman tersebut.

B. Analisis Struktural Roman

Struktur karya sastra merupakan susunan unsur-unsur di dalam karya sastra


yang membentuk satu kesatuan yang utuh dan memiliki makna dan tujuan tertentu.
Pada umumnya, untuk dapat memahami isi karya sastra yang berbentuk roman,
pembaca harus mengetahui unsur-unsur intrinsik roman tersebut melalui pengkajian
struktural. Kajian struktural ini menjadi dasar untuk melanjutkan ke analisis
selanjutnya.

Adapun unsur-unsur intrinsik roman antara lain alur, penokohan, latar, dan tema.
Berikut penjelasan dari alur, penokohan, latar, dan tema.

1. Alur
Menurut Stanton, (2012 : 28) sebuah cerita memiliki alur atau jalan cerita.
Rangkaian-rangkaian peristiwa ini memiliki bagian awal, bagian tengah, dan bagian
akhir yang nyata, meyakinkan pembaca, dan logis, serta mampu memunculkan dan
mengakhiri ketegangan-ketegangan. Alur memiliki peran penting dalam suatu
cerita karena setiap persitiwa memiliki hubungan sebab akibat, tidak hanya yang
berupa hal-hal fisik seperti ujaran dan tingkah laku, tetapi juga sifat dan
perkembangan sikap karakter, keputusan-keputusan, dan variable pengubah sifat
tokohnya seperti pada kutipan di bawah ini.
Schmitt (1982 : 62) juga mengemukakan bahwa :
“L‟action est l‟ensemble des faits relatés dans un récit constitue son action.
Cette action comprend: des actes, des états (qui affectent ces participants), des
situations, des événements (naturels ou sociaux, qui surviennent indépendamment
de la volonté des participants).”

Alur merupakan keseluruhan kejadian atau peristiwa yang saling berkaitan


dalam sebuah cerita. Alur ini dapat berupa: interaksi dari aksi-aksi, suasana yang
dirasakan para tokoh, situasi-situasi dan peristiwa- peristiwa alamiah atau sosial
yang menjadi latarbelakang kehidupan para tokoh.
Berdasarkan kriteria waktu terjadinya peristiwa-peristiwa yang diceritakan dalam teks
fiksi, alur dibagi menjadi tiga yakni alur maju atau progresif, alur sorot balik atau
flashback, dan alur campuran.

a. Alur Maju atau Progresif

Alur maju atau progresif ditandai dengan peristiwa-peristiwa yang diceritakan


bersifat kronologis atau runtut. Cerita dimulai dari tahap awal (penyituasian,
pengenalan dan permunculan konflik), tahap tengah (konflik meningkat,klimaks), dan
tahap akhir (penyelesaian).

b. Alur Sorot Balik atau Regresif

Alur sorot balik memiliki urutan peristiwa yang tidak bersifat kronologis. Cerita
tidak dimulai dari tahap awal, namun dari tahap tengah ataupun akhir, baru kemudian
ke tahap awal cerita. Pada umumnya, cerita yang menggunakan alur jenis ini dimulai
dengan langsung memunculkan konflik.

c. Alur Campuran

Dalam suatu karya fiksi, bisa jadi tidak mutlak menggunakan alur progresif saja
atau alur regresif saja. Secara garis besar, bisa jadi alur progresif, namun terdapat
beberapa peristiwa sorot balik. Hal ini memunculkan kemungkinan bahwa pengarang
menggunakan alur campuran, yakni perpaduan antara alur progresif dan alur regresif.

Menurut Wellek (1990 : 285), alur terbentuk dari struktur naratif yang lebih kecil
seperti episode dan kejadian. Dalam penentuan alur dari sebuah cerita, tidak melulu
sesuai dengan urutan peristiwa-peristiwa yang terjadi. Oleh karena itu, peneliti harus
menentukan sekuen atau satuan cerita terlebih dahulu.

Schmitt (1982 : 63), mengemukakan pengertian sekuen yaitu,

„‟ Une séquence est, d‟une façon générale, un segment de texte qui forme un tout
cohérent autour d‟un même centre d‟intérêt. Une séquence narrative correspond à
une série de faits représentant une étape dans l‟évolution de l‟action.”.
Sekuen, secara umum, merupakan bagian dari teks yang membentuk koherensi
(satu kesatuan) dalam suatu cerita. Sekuen terdiri dari urutan – urutan peristiwa yang
menunjukkan pengembangan suatu cerita.
Schmitt (1982 : 27), membatasi sekuen dengan kriteria – kriteria sebagai berikut :
a. Elles doivent correspondre à une même concentration de l‟intérêt (ou focalisation);
soit qu‟on y observe un seul et même objet (un même fait, un même personnage, une
même idée, un même champ de réflexion).
b. Elles doivent former un tout cohérent dans le temps ou dans l‟espace: se situer en
un même lieu ou un même moment, ou rassembler plusieurs lieux et moments en une
seule phase: une période de la vie d‟une personne, une série d‟exemples et de preuves
à l‟appui d‟une même idée.

a. Sekuen harus terpusat pada satu titik (fokalisasi) ; yang diamati adalah objek
tunggal yang memiliki kesamaan (peristiwa, tokoh, gagasan dan bidang pemikiran
yang sama).
b. Sekuen harus dalam satu kurun waktu dan ruang yang koheren; menggambarkan
sesuatu yang terjadi pada suatu tempat atau peristiwa yang sama, menyatukan
beberapa tempat dan kejadian pada satu fase : satu masa dalam kehidupan seorang
tokoh, pembuktian dalam suatu gagasan yang sama).

Berdasarkan hubungan antarsekuen, Barthes ( 1981 : 15) membagi fungsi sekuen


menjadi dua bagian, yaitu fonction cardinales (noyaux) atau fungsi utama dan fonction
catalyses (katalisator). Cerita yang memiliki fungsi utama (fonction cardinales)
dikaitkan dengan hubungan sebab-akibat sehingga satuan ini memiliki peranan penting
untuk mengarahkan jalan cerita. Satuan cerita yang berfungsi sebagai katalisator
(fonction catalyses) akan menghubungkan satuan-satuan cerita sehingga membentuk
kronologi yang merangsang pembentukan sebuah cerita.

Tabel 1 : Tahapan Alur


Situation Action proprement dire Situation
Initiale finale
1 2 3 4 5
L’action se L’action se L’action se
déclenche développe dénoue

Besson (1987:117) membagi alur menjadi lima tahapan seperti pada tabel di atas,
yakni:

1. Tahap Penyituasian (La situation initiale)

Tahap ini merupakan tahap pembuka cerita, pemberian informasi awal, dan
pengenalan situasi,latar dan tokoh yang terutama berfungsi sebagai pembuka dan
menjadi dasar untuk tahap berikutnya.

2. Tahap Pemunculan Konflik (L‟action se déclenche)


Tahap ini adalah tahap yang berisi peristiwa-peristiwa yang terjadi pada tokoh
memicu munculnya konflik dan pengembangan konflik menjadi konflikkonflik di tahap
berikutnya.

3. Tahap Peningkatan Konflik (L‟action se développe)

Tahap di mana konflik yang dialami tokoh yang telah dimunculkan pada tahapan
sebelumnya semakin berkembang dan dikembangkan kadar intensitasnya.

4. Tahap Klimaks (L‟action se dénou)

Tahap ketika konflik atau pertentangan-pertentangan yang terjadi mencapai titik


intensitas puncak.

5. Tahap Penyelesaian (La situation finale)

Tahap penyelesaian konflik yang telah mencapai klimaks dan jalan cerita berakhir.

Pada dasarnya, sebuah cerita memiliki kekuatan sebagai unsur penggerak dalam
membentuk cerita itu sendiri yang bisa digunakan untuk menemukan alur.

Schmitt (1982: 74) menggambarkan fungsi penggerak lakuan sebagai berikut.

Gambar 1 : Skema Aktan

Keterangan gambar :

a. Destinateur (D1) adalah seseorang atau sesuatu yang menjadi sumber ide dan
berfungsi sebagai pembawa atau penggerak cerita.
b. Destinataire (D2) adalah seseorang atau sesuatu yang menerima objekhasil tindakan
sujet.
c. Sujet (S) adalah seseorang yang mengincar sesuatu atau seseorang (objet).
d. Objet (O) adalah sesuatu atau seseorang yang diinginkan oleh sujet.
e. Adjuvant (Adj) adalah seseorang atau sesuatu yang membantu sujet untuk
mendapatkan objet.
f. Opposant (Op) adalah seseorang atau sesuatu yang menghalangi dan menggagalkan
usaha sujet untuk mendapatkan objet.

Peyroutet (2001: 8) mengkategorikan akhir sebuah cerita ke dalam 7 tipe yaitu sebagai
berikut.

a. Fin retour à la situation de départ

Cerita yang berakhir kembali ke situasi awal penceritaan.

b. Fin heurese

Cerita yang berakhir bahagia.

c. Fin comique

Cerita yang berakhir dengan lucu.

d. Fin tragique sans espoir

Cerita yang berakhir tragis tanpa ada harapan.

e. Fin tragique mais espoir

Cerita yang berakhir tragis tapi masih terdapat harapan.

f. Fin Suite possible

Cerita yang dimungkinkan mempunyai kelanjutan.

g. Fin réflexive

Cerita yang ditutup dengan pemetikan hikmah oleh narator.

Cerita dalam karya sastra digolongkan ke dalam beberapa kategori menurut


tujuan penulisan, tempat dan waktu terjadinya peristiwa, psikologi, dan tujuan dari
tokoh cerita (Peyroutet, 2001: 12).

Berdasarkan klasifikasi di atas maka cerita dapat dikategorikan sebagai berikut.

a. Le récit réaliste.
Cerita yang melukisan kejadian nyata. Pengarang harus memberikan keterangan secara
jelas mengenai tempat kejadian, waktu, dan lingkungan sosial tempat terjadinya sebuah
cerita.

b. Le récit historique.

Cerita yang melukiskan peristiwa sejarah atau tokoh kepahlawanan.

c. Le récit d’aventures.

Cerita yang melukiskan situasi dan aksi tak terduga serta luar biasa dari tokoh cerita.
Cerita ini biasanya terjadi di negara yang jauh dan terpencil yang dicoba diungkap oleh
sang tokoh cerita.

d. Le récit policier.

Cerita pahlawan, polisi, ataupun detektif dalam mengungkap suatu kasus. Pembaca
dituntut untuk jeli dalam memahami cerita yang disajikan.

e. Le récit fantastique.

Cerita yang melukiskan kejadian di luar batas-batas norma pada umumnya. Cerita
bersifat khayalan dan mengandung peristiwa yang aneh dan tidak masuk diakal.

f. Le récit de science-fiction.

Cerita yang melukiskan kemajuan ilmu pengetahuan dan teknologi. Cerita ini
berimajinasi mengenai dunia baru di luar yang sudah ada saat ini. Tema cerita
membahas mengenai kosmos, planet baru dan tak dikenal, objek-objek luar angkasa.

2. Penokohan

Penokohan merupakan unsur penting yang harus ada dalam suatu cerita. Tokoh
berperan dalam semua tindakan yang membentuk konflik dan membuat jalinan sebuah
cerita dalam karya fiksi. Penokohan adalah agen dari sebuah aksi yang berupa individu,
manusia, ataupun makhluk yang membawa sifat psikologis (Barthes: 1981).

Schmitt (1982: 69) mendefinisikan tokoh secara rinci yaitu ;

“Les participants de l‟action sont ordinairement les personnages du récit. Il


s‟agit très souvent d‟humains ; mais un chose, an animal ou une entité (la
Justice, la Mort, etc.) peuvent être personnifiés et considérés alors comme des
personnages.”
“Tokoh adalah pelaku dalam cerita. Tokoh ini biasanya diperankan oleh
manusia. Namun, sesuatu berwujud beda, binatang, atau bahkan sebuah entitas
(keadilan, kematian, dan lain-lain) juga bisa dianggap sebagai tokoh.”

Schmitt (1982: 69-70) juga menjelaskan karakteristik dan sifat khas tokoh guna
memudahkan dalam pengidentifikasian tokoh.

a. Le portrait

Tokoh selalu digambarkan secara fisik, moral, dan sosial. Gabungan ketiga hal itu
membentuk le portrait du personnage.

b. Les personnages en actes

Penggambaran karakter tokoh dengan cara yang tidak langsung melainkan dari
identifikasi karakter melalui apa yang dilakukan, dikatakan, dan dirasakan oleh tokoh
yang bersangkutan.

a. Tampilan fisik

Pengarang mengungkapkan karakter tokoh melalui gambaran fisik. Penentuan


karakter ini dapat dilihat dari sudut pandang aspek fisik seperti tinggi badan, bentuk
wajah, dahi, dagu, mulut, mata, tangan, kaki, dan lain-lain. Cara ini disebut juga sebagai
teknik ekspositori atau teknik analitis.

b. Pengarang tidak secara langsung mendeskripsikan karakter tokohnya.

Pengarang menggambarkan karakter melalui sikap tokoh dalam menghadapi


persoalan-persoalan hidup, bahasa yang digunakan, emosi, pola pemikiran tokoh, dan
lain-lain. Teknik ini biasa disebut dengan teknik dramatik.

Forster (via Nurgiyantoro, 2013: 264) membedakan tokoh menjadi tokoh


sederhana (simple atau flat character) dan tokoh kompleks atau bulat (complex atau
round character). Tokoh sederhana adalah tokoh yang hanya memiliki satu kualitas
pribadi tertentu, satu sifat atau watak tertentu. Tokoh ini tidak memiliki sifat dan
tingkah laku yang mengejutkan pembaca karena sifatnya yang datar dan monoton.
Kehadiran dari tokoh sederhana dalam sebuah cerita biasanya disengaja untuk
menambah tingkat kesulitan pembaca dalam memahami sikap dan watak tokoh bulat.
Bertolak belakang dengan tokoh sederhana yang monoton, tokoh bulat memiliki
watak dan perilaku yang beraneka ragam. Hal ini berdampak pada sulitnya
mendeskripsikan perwatakannya secara tepat. Perilaku atau tingkah laku tokoh bulat
cenderung melakukan hal-hal di luar dugaan dan memberikan unsur kejutan bagi
pembaca.

Untuk menentukan tokoh utama dapat dilihat dari jumlah kemunculan tokoh
yang bersangkutan di dalam sebuah cerita. Tokoh utama ini berperan sebagai tokoh
yang diutamakan penceritaannya dan mendominasi sebagian besar cerita. Di samping
itu juga, penentuan sebuah tokoh utama dilihat dari pengaruhnya terhadap
perkembangan alur secara keseluruhan dalam cerita.

Tokoh tambahan merupakan tokoh yang kedudukannya dalam cerita tidak


diutamakan. Namun, kehadiran tokoh tambahan ini diperlukan untuk mendukung
fungsi dan keberadaan dari tokoh utama. Pemunculan tokoh tambahan dalam
keseluruhan cerita lebih sedikit, tidak dipentingkan, dan kehadirannya hanya jika ada
keterkaitannya dengan tokoh utama, secara langsung atau tidak langsung
(Nurgiyantoro, 2013: 259).

3. Latar
Dalam sebuah karya fiksi, latar berfungsi untuk memberikan kesan realitas
kepada pembaca. Keberadaan elemen setting hakikatnya tidaklah hanya sekedar
menyatakan di mana, kapan, dan bagaimana situasi peristiwa berlangsung, melainkan
berkaitan juga dengan gambaran tradisi, karakter, perilaku sosial, dan pandangan
masyarakat pada waktu cerita ditulis (Fananie, 2002: 98).
Dari kajian latar secara mendalam, dapat diketahui kesesuaian serta hubungan
antara perilaku dan karakter tokoh dengan situasi dan kondisi masyarakat, norma, dan
pandangan hidup masyarakatnya. Oleh karena itu, latar juga bisa memberikan informasi
yang baru bagi pembaca sehingga memperkaya pengetahuan dan pengalaman hidup
bagi penikmat karya sastra.
Barthes (1981: 7) mengemukakan unsur-unsur latar dalam karya sastra, “...le
récit est présent dans tous les temps, dans tous les lieux, dans tous les sociétés...”.
“...sebuah karya hadir dalam keseluruhan waktu, tempat, dan sosial...”.
Sependapat dengan Barthes, Nurgiyantoro (2013 : 314) membedakan latar ke
dalam tiga unsur pokok, yaitu tempat, waktu, dan sosial. Ketiga unsur itu saling
berkaitan dan saling mempengaruhi satu dengan yang lainnya.
1) Latar tempat
Latar tempat mengacu pada deskripsi tempat terjadinya peristiwa dalam karya
fiksi. Peyroutet (2001: 6) menjelaskan bahwa lokasi cerita dapat berupa tempat-
tempat eksotis seperti gurun dan hutan belantara atau tempat-tempat lain seperti
pulau impian, planet-planet yang mampu memikat hati dan menambah
pengetahuan pembacanya. Dalam upaya meyakinkan pembaca, pengarang
haruslah benar-benar menguasai tempat atau lokasi dimana cerita terjadi, baik
sifat maupun keadaan geografisnya.
2) Latar waktu
Latar waktu adalah sesuatu yang menunjukkan kapan peristiwa dalam cerita
terjadi. Peyroutet (2001: 6) menjelaskan bahwa latar waktu memberikan
keterangan secara tepat mengenai masa, bulan, tahun terjadinya peristiwa yang
diceritakan. Latar waktu juga meliputi lamanya proses penceritaan.
3) Latar sosial
Latar sosial menunjuk pada hal-hal yang berhubungan dengan perilaku
kehidupan sosial masyarakat sesuai dengan tempat yang diceritakan dalam
karya fiksi. Perwujudan latar sosial ini bisa dilihat pada kemunculan masalah
dalam lingkup yang cukup kompleks seperti adat istiadat, kebiasaan hidup,
tradisi, keyakinan, pandangan hidup, cara berpikir, maupun cara bersikap.
Selain itu latar sosial juga berhubungan dengan status sosial tokoh yang
bersangkutan. Keberadaan latar sosial ini mendukung dan memperkuat
kekhususan dari latar tempat sebuah karya fiksi.
4. Tema
Karya sastra dibuat untuk menyampaikan pemikiran-pemikiran pengarang yang
berkaitan dengan situasi sosial yang sedang terjadi di dalam kehidupannya. Dalam
menciptakan sebuah karya, pengarang tidak pernah terlepas dari kondisi sosial dan
budaya di sekitarnya. Hal inilah yang membuat karya sastra beraneka ragam. Tema
merupakan unsur dasar yang berupa ide, gagasan, atau pandangan yang menjiwai
cerita. Stanton dan Kenny (via Nurgiyantoro, 2013: 114) mengatakan bahwa tema
merupakan makna yang terkandung di dalam cerita.
Tema sebuah cerita dapat diungkapkan melalui berbagai cara seperti konflik
antartokoh, dialog antartokoh atau melalui komentar-komentar tidak langsung.
Nurgiyantoro (2013 : 133) membagi tema menjadi dua yaitu tema utama dan
tema tambahan. Tema utama (tema mayor) adalah pokok cerita yang menjadi
landasan dasar umum sebuah karya. Tema tambahan (tema minor) adalah makna
yang hanya terdapat di bagian tertentu dalam sebuah cerita. Tema utama digunakan
pengarang sebagai gagasan dasar cerita, sedangkan tema tambahan bersifat
mendukung keberadaan tema utama.

C. Keterkaitan antarunsur Karya Sastra


Roman adalah salah satu bentuk karya sastra imajinatif yang di dalamnya
terdapat beberapa unsur intrinsik yang membangun sebuah karya sastra. Unsur intrinsik
yang berupa alur, penokohan, latar, dan tema tidak dapat dipisahkan dan berdiri sendiri.
Sebuah karya sastra yang baik adalah perwujudan dari sebuah kepaduan (unity) artinya
segala sesuatu yang diceritakan membentuk satu rangkaian cerita dan mendukung tema
utama (Nurgiyantoro, 2010: 14). Dengan kata lain dapat disimpulkan bahwa hubungan
antarunsur adalah kerangka dasar dalam pembuatan karya.
Alur sebagai salah satu aspek yang membangun sebuah cerita terbentuk melalui
berbagai macam peristiwa dan konflik yang saling berkaitan. Peristiwa dan konflik
tersebut merupakan bentukan dari interaksi antartokoh dalam cerita yang membentuk
sebuah jalinan cerita yang menarik. Oleh karena itu, hubungan antara penokohan dan
alur ini tidak dapat dipisahkan karena keberadaannya mendukung satu sama lain.
Adanya latar juga tidak terlepas dengan penokohan dalam suatu karya sastra.
Latar mengacu pada pengertian tempat, waktu, dan lingkungan social dimana sebuah
cerita diceritakan. Ketiga aspek dalam latar tersebut akan mempengaruhi perwatakan
dan cara berpikir tokoh dalam cerita. Kita dapat menentukan latar dalam sebuah cerita
melalui perwatakan dan cara berpikir tokoh dan sebaliknya.
Oleh karena itu, dapat disimpulkan bahwa terdapat relasi yang kuat antara
penokohan dan latar. Keterkaitan antarunsur akan menimbulkan kesatuan cerita yang
diikat oleh tema. Tema merupakan hal pokok yang dapat diketahui dan diungkap
berdasarkan alur cerita, konflik, dan kejadian yang dialami oleh para tokoh, serta latar
sebagai tempat landasan tempat cerita dilukiskan.
Dari uraian di atas dapat disimpulkan bahwa unsur intrinsik yang membangun
sebuah karya sastra mempunyai hubungan dan keterkaitan antarunsur. Keberadaan
unsur ini tidak dapat dipisahkan karena kehadirannya saling mendukung dalam
membentuk sebuah kesatuan cerita yang utuh.
D. Pengertian Feminisme
1. Hakikat Feminisme
Definisi feminisme sebenarnya cenderung bermacam-macam. Penyebabnya dibentuk
oleh ideologi, politik, agama, ras, dan budaya masingmasing perempuan, sedangkan dasar
pemikiran feminisme adalah pengalaman perempuan sendiri.

Menurut pendapat Moeliono (dalam Sugihastuti dan Suharto, 2002: 61), secara leksikal
feminisme adalah gerakan kaum perempuan yang menuntut persamaan hak sepenuhnya
antara kaum perempuan dan laki-laki. Sedangkan menurut Ratna (2004: 184), feminisme
adalah gerakan kaum wanita untuk menolak segala sesuatu yang dimarginalisasikan,
disubordinasikan, dan direndahkan oleh kebudayaan dominan, baik dalam bidang politik
dan ekonomi maupun kehidupan sosial pada umumnya.

Istilah feminisme tidak dapat diparalelkan begitu saja dengan istilah feminin sebab laki-
laki yang feminis pun ada dan tidak harus berperilaku kefeminisan (Sugihastuti dan
Suharto, 2002: 62). Akan tetapi, banyaknya feminis laki-laki juga dapat menimbulkan
masalah. Ketika ada laki-laki yang menjadi seorang feminis dan memperjuangkan hak-hak
perempuan, hal ini justru menjadi tanda bahwa perempuan memang masih merupakan
makhluk yang perlu ditolong orang lain untuk mengentaskannya. Perempuan seolah-olah
ketinggalan dari laki- laki. Hal tersebut menunjukkan semakin sulitnya untuk
menghentikan subordinasi perempuan.

Membahas feminisme berarti membahas tentang kondisi kedudukan laki-laki dan


perempuan dalam masyarakat, karena kondisi perempuan dalam suatu masyarakat
merupakan masalah martabat manusia. Fakih (2006: 79) mengatakan hakikat perjuangan
feminisme adalah kesamaan, martabat, dan kebebasan untuk mengontrol raga dan
kehidupan. Konsep awal dari gerakan feminisme adalah emansipasi (Sugihastuti dan
Suharto, 2002: 61). Namun emansipasi berbeda dengan feminisme. Apabila dilihat dari
keluasan maknanya, makna feminisme lebih luas daripada makna emansipasi.

Gerakan emansipasi perempuan merupakan proses pelepasan diri kaum perempuan dari
kedudukan sosial ekonomi yang rendah serta pengekangan hukum yang membatasi
kemungkinan-kemungkinan untuk berkembang dan untuk maju (Moeliono dalam
Sugihastuti dan Suharto, 2002: 62). Emansipasi merupakan suatu konsep gerakan yang
menyokong feminisme. Seseorang yang mengaku emansipatoris belum tentu menjadi
feminis. Akan tetapi, seorang feminis sudah pasti seorang emansipatoris. Hal tersebut
sesuai dengan pendapat Sofia dan Sugihastuti (2003: 24) yang menjelaskan bahwa
emansipasi lebih menekankan pada partisipasi perempuan dalam pembangunan tanpa
memperjuangkan hak serta kepentingan mereka yang tertindas dan mengalami
ketidakadilan. Dalam feminisme konsep gerakannya sudah memperjuangkan hak dan
kepentingan perempuan yang tertindas dan mengalami ketidakadilan.

Ketidakadilan yang dialami perempuan merugikan kaum perempuan dan sebaliknya


menguntungkan kaum laki-laki. Menurut Sugihastuti dan Suharto (2002: 63) perempuan
dinomorduakan karena adanya anggapan bahwa secara universal laki-laki berbeda dengan
perempuan. Hal itu disebabkan oleh pemahaman masyarakat yang salah terhadap
pemaknaan gender. Pemahaman yang salah itu ialah anggapan bahwa makna gender sama
dengan jenis kelamin. Padahal jenis kelamin dan gender merupakan dua konsep yang
berbeda (Fakih, 2006: 3). Pemahaman dan pembedaan antara konsep seks dan gender
sangatlah diperlukan dalam melakukan analisis untuk memahami persoalan-persoalan
ketidakadilan sosial yang menimpa kaum perempuan.

Fakih (2006: 7-8) berpendapat bahwa jenis kelamin merupakan kategori biologis,
sedangkan gender merupakan makna kultural yang dikait-kaitkan dengan identitas kelamin.
Dapat dipahami bahwa gender adalah suatu sifat yang dilekatkan pada kaum laki-laki
maupun perempuan yang dikonstruksikan secara sosial maupun budaya. Misalnya, bahwa
perempuan itu dikenal lemah lembut, cantik, emosional, atau keibuan. Sementara laki-laki
dianggap kuat, rasional, jantan, dan perkasa. Ciri dan sifat itu sendiri merupakan sifat-sifat
yang dapat dipertukarkan. Artinya ada laki-laki yang emosional, lemah lembut, keibuan,
sementara juga ada perempuan yang kuat, rasional, dan perkasa. Perubahan ciri dari sifat-
sifat itu dapat terjadi dari waktu ke waktu dan dari tempat ke tempat yang lain. Perubahan
juga bisa terjadi dari kelas ke kelas masyarakat yang berbeda. Fakih (2006: 9) juga
mengutarakan jika semua hal yang dapat dipertukarkan antara sifat perempuan dan laki-
laki, yang bisa berubah dari waktu ke waktu berbeda dari tempat ke tempat lainnya, maupun
berbeda dari suatu kelas ke kelas yang lain, itulah yang disebut konsep gender.

Jenis kelamin adalah pensifatan atau pembagian dua jenis kelamin manusia yang
ditentukan secara biologis yang melekat pada jenis kelamin tertentu (Fakih, 2006: 8).
Misalnya, bahwa manusia berjenis kelamin laki-laki adalah manusia yang memilki penis,
memiliki jakun, dan memproduksi sperma. Untuk manusia berjenis kelamin perempuan
memiliki alat reproduksi seperti rahim dan saluran untuk melahirkan, memproduksi ovum,
memiliki vagina, dan mempunyai alat menyusui. Alat-alat tersebut secara biologis melekat
pada manusia jenis perempuan dan laki-laki selamanya. Artinya secara biologis alat-alat
tersebut tidak bisa dipertukarkan antara laki-laki dan perempuan. Secara permanen tidak
berubah dan merupakan ketentuan biologis atau kodrati.

Senada dengan pendapat Sugihastuti dan Suharto (2002: 63), perbedaan jenis kelamin
mengacu pada perbedaan fisik, terutama fungsi reproduksi, sedangkan gender merupakan
interpretasi sosial dan kultural terhadap perbedaan jenis kelamin. Secara sederhana
perbedaan konsep jenis kelamin dan gender tercantum dalam tabel berikut

Tabel 1 : Perbedaan Jenis Kelamin dan Gender

Karakteristik Jenis Kelamin Gender


Sumber Pembeda Tuhan Manusia
Unsur Pembeda Biologis (alat reproduksi) Sosial dan Kultural
Sifat Kodrat Tidak dapat dipertukarkan Harkat, martabat Dapat
dipertukarkan
Keberlakuan Tidak dapat berubah Sepanjang Dapat berubah
masa dan dimana saja Tidak Musiman
mengenal perbedaan kelas Berbeda antar kelas

2. Pergerakan Feminisme

Sejarah pergerakan kaum perempuan sudah dimulai sejak abad 18 sampai awal abad
19, terpicu oleh Revolusi Amerika dan Perancis. Pergerakan ini adalah First Wave
Feminism atau Gelombang Pertama Feminisme. Munculnya gerakan ini dilatarbelakangi
oleh beberapa sebab, antara lain adanya tatanan feodalisme. Dalam tatanan feodalisme,
perempuan hanya menjadi korban secara fisik dan non fisik. Pada tahun 1785 terbentuk
perkumpulan masyarakat ilmiah untuk perempuan, didirikan pertama kali di kota
Middelburg, Belanda bagian selatan. Gerakan ini dipelopori oleh Lady Mary Worthly
Montagu dan Marquis de Concordet. Kemunculannya saat itu hanya bertujuan menuntut
kesamaan hak dalam bidang pendidikan dan kesamaan perlakuan di tempat kerja, misalnya
tentang jam kerja dan upah. Gerakan ini mampu menghasilkan terbentuknya organisasi
yang menuntut hak pilih bagi perempuan, seperti The National Women’s Suffrage
Association (Perhimpunan Nasional Perempuan untuk Hak Pilih) dan The American
Women’s Suffrage Association (Perhimpunan Perempuan Amerika untuk Hak Pilih).

Jika ada gelombang pertama tentunya ada gelombang kedua, Second Wave Feminism
benar terjadi di tahun 1960-an. Gelombang pergerakan yang berawal di Amerika ini masih
menuntut persamaan hak mendapat pekerjaan. Di Inggris juga terjadi pergerakan dengan
tujuan yang agak berbeda yaitu menentang patriarki, sedangkan di Italia dan Jerman
bertujuan menentang penindasan, eksploitasi seksual terhadap kaum perempuan, dan
aborsi. Di negara berkembang atau di negara jajahan juga ikut bergejolak. Nasib kaum
perempuan di negara berkembang maupun di negara jajahan masih sangat tertindas. Hal
tersebut membuktikan bahwa gerakan feminisme gelombang pertama hanya mampu
membebaskan sebagian kaum perempuan di negara maju. Masalah pendidikan dan
perbedaan perlakuan terhadap buruh perempuan, terutama dalam hal upah ternyata juga
menjadi penyebab munculnya gerakan feminisme gelombang kedua. Adapun organisasi-
organisasi yang terbentuk adalah NOW (National Organization for Women), National
Welfare Rights Organization yang didirikan oleh beberapa aktivis perempuan, dan MANA
(The Mexican-American Women’s National Association). Kelompok-kelompok diskusi
perempuan juga bermunculan, kelompok ini merupakan alat untuk menyuarakan ide-ide
kaum perempuan.

Pada dasarnya feminisme merupakan gerakan yang berangkat dari kesadaran bahwa
kaum perempuan selalu dalam posisi tertindas dan terdiskriminasi, sehingga diusahakan
untuk mengakhiri penindasan tersebut. Namun Fakih (2006: 78) mengatakan bahwa
feminisme bukan merupakan gerakan pemberontakan terhadap laki-laki, upaya melawan
pranata sosial seperti institusi rumah tangga dan perkawinan, maupun upaya perempuan
untuk mengingkari kodratnya. Menurut Fakih (2006: 79), hakikat dari perjuangan feminis
adalah kesamaan, martabat, dan kebebasan untuk mengontrol raga dan kehidupan baik di
dalam maupun di luar rumah.

3. Kritik Sastra Feminis

Dalam arti leksikal, feminisme ialah gerakan wanita yang menuntut persamaan hak
sepenuhnya antara kaum wanita dan pria. Sesuai dengan pendapat Goefe (dalam
Sugihastuti, 2009: 21) yang mengatakan bahwa feminisme adalah teori tentang persamaan
antara laki-laki dan wanita di bidang politik, ekonomi, dan sosial; atau kegiatan
terorganisasi yang memperjuangkan hak-hak serta kepentingan wanita. Dalam ilmu sastra,
feminisme ini berhubungan dengan konsep kritik sastra feminis, yaitu studi sastra yang
mengarahkan fokus analisis kepada wanita (Sugihastuti, 2009: 21). Jika selama ini
dianggap dengan sendirinya bahwa yang mewakili pembaca dan pencipta dalam sastra
Barat ialah laki-laki, kritik sastra feminis menunjukkan bahwa pembaca wanita membawa
persepsi dan harapan ke dalam pengalaman sastranya (Showalter dalam Sugihastuti, 2009:
21). Kehadiran pembaca wanita diharapkan akan menghadirkan pandangan baru dalam
karya sastra untuk dapat menyejajarkan kedudukan tokoh wanita dan laki-laki di dalam
suatu karya. Dilihat dari permasalahan tersebut, kritik sastra feminis merupakan salah satu
teori kritik sastra yang paling dekat untuk dipakai sebagai alat jawabnya.

Akhir-akhir ini dikenal konsep reading as a woman “membaca sebagai wanita” yang
diungkapkan Culler (via Sugihastuti, 2009: 21). Konsep ini adalah konsep yang sekiranya
pantas digunakan untuk membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki yang
androsentris atau patriarkal, yang sampai sekarang diasumsikan menguasai penulisan dan
pembacaan sastra.

Lebih jauh, konsep yang ditawarkan Culler itu pada dasarnya dapat dimasukkan ke
dalam kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis bukan berarti pengkritik wanita atau kritik
tentang pengarang wanita. Arti sederhana yang dikandungnya adalah pengkritik
memandang sastra dengan kesadaran khusus; kesadaran bahwa ada jenis kelamin lain yang
banyak berhubungan dengan budaya, sastra, dan kehidupan. Membaca sebagai wanita
berarti membaca dengan kesadaran membongkar praduga dan ideologi kekuasaan laki-laki
yang androsentris atau patriarkal, yang sampai sekarang masih menguasai penulisan dan
pembacaan sastra. Perbedaan jenis kelamin pada diri penyair, pembaca, karya, dan
kenyataan serta faktor luar itulah yang mempengaruhi situasi sistem komunikasi sastra.

Memaknai kekuasaan pria di mata wanita, misalnya, hal itu tidak cukup dipandang
dalam kedudukannya sebagai unsur dalam struktur karya, tetapi perlu juga dipandang
faktor pembacanya. Pembaca wanita yang membaca sebagai wanita mempengaruhi
kongkretisasi karya karena makna teks, seperti dikatakan oleh Iser (dalam Sugihastuti,
2009: 22), di antaranya ditentukan oleh peran pembaca. Sebuah teks hanya dapat bermakna
setelah teks tersebut dibaca.

Dalam konteks ini, pembaca wanita pun dianggap berpengaruh dalam pemahamannya
atas karya sastra. Jenis kelamin dipertimbangkan dalam hal ini. Pertimbangan jenis kelamin
yang melahirkan sikap “membaca sebagai wanita” dicakup dalam kritik sastra feminis.
Dapat dimengerti bahwa kritik sastra feminis, dengan demikian berkaitan dengan teori
resepsi sastra, yang mempertimbangkan peran pembaca dan proses pembacaan. “Membaca
sebagai wanita” berkaitan dengan faktor sosial budaya pembacanya. Dalam hal ini, sikap
baca menjadi penting. Peran pembaca dengan sendirinya tidak dapat dilepaskan dari sikap
bacanya. Di Barat, kritik sastra feminis sering dimetaforakan sebagai quilt ungkap Yoder
(melalui Sugihastuti, 2009: 22). Quilt adalah potongan-potongan kain berbentuk persegi
yang dijahit menjadi satu dan pada bagian dalam dilapisi dengan kain lembut. Metafora ini
dapat dikenakan sebagai metafora pengertian kritik sastra feminis. Kritik sastra feminis
diibaratkan sebagai alas yang kuat untuk menyatukan pendirian bahwa seorang wanita
dapat sadar membaca karya sastra sebagai wanita. Menurut Millet (dalam Sugihastuti,
2009: 23), paham kritik sastra feminis ini menyangkut soal politik dalam sistem komunikasi
sastra. Maksudnya adalah sebuah politik yang langsung mengubah hubungan kekuatan
kehidupan antara wanita dan pria dalam sistem komunikasi sastra.

Arti kritik sastra feminis secara sederhana adalah sebuah kritik yang memandang sastra
dengan kesadaran khusus akan adanya jenis kelamin yang banyak berhubungan dengan
budaya, sastra, dan kehidupan manusia. Jenis kelamin itu membuat banyak perbedaan, di
antara semuanya dalam sistem kehidupan manusia.
BAB III
METODE PENELITIAN

A. Subjek dan Objek Penelitian


Sumber data atau subjek dari penelitian ini adalah roman La femme rompue
karya Simone de Beauvoir. Roman ini di tulis pada tahun 1967 dan diterbitkan oleh
Gallimard.
Objek penelitian ini adalah unsur-unsur intrinsik yang ada dalam roman La
femme rompue berupa alur, penokohan, latar, dan tema serta keterkaitan antarunsur
intrinsik yang diikat oleh tema cerita. Peneliti juga melakukan analisis kajian feminisme
yang ada dalam roman La femme rompue karya Simone de Beauvoir.
B. Prosedur Penelitian
Untuk mengkaji roman dalam penelitian ini metode yang digunakan adalah
metode deskriptif kualitatif dengan pendekatan teknik analisis konten karena data
datanya merupakan data-data yang memerlukan penjelasan secara deskriptif. Menurut
Zuchdi (1993: 1-6) analisis konten ialah suatu teknik sistematis untuk menganalisis
makna pesan dan cara mengungkapkan pesan yang terdapat pada dokumen, lukisan,
tarian, lagu, karya sastra, artikel, dan lain sebagainya.
Adapun prosedur penelitian dengan teknik analisis konten ini meliputi beberapa
langkah sebagai berikut.
1. Pengadaan data
Langkah-langkah dalam pengadaan data dalam penelitian ini adalah penentuan
unit analisis dan pencatatan data.
a. Penentuan Unit Analisis
Penentuan unit analisis merupakan kegiatan memisahkan data menjadi bagian-
bagian yang selanjutnya dapat dianalisis (Zuchdi, 1993: 30). Penelitian unit
analisis mengacu pada semua bentuk sistem tanda yang ada dalam roman La
femme rompue kecuali bunyi. Penentuan unit analisis berdasarkan pada unit
sintaksis yang digunakan untuk menyampaikan informasi berupa kata, frasa,
kalimat, dan wacana (Zuchdi, 1993: 30).
b. Pengumpulan dan Pencatatan Data
Proses pengumpulan data dilakukan melalui proses pembacaan dan pencatatan.
Informasi-informasi penting yang berupa kata, frase, kalimat dicatat dalam
kartu data sebagai alat bantu. Tahap selanjutnya data yang telah diperoleh
diklasifikasikan berdasarkan unsur-unsur intrinsik, ikon, indeks, dan simbol.
2. Inferensi
Inferensi merupakan kegiatan memaknai data sesuai dengan konteksnya. Untuk
menganalisis isi komunikasi hanya diperlukan deskripsi, sedangkan untuk
menganalisis makna, maksud, atau akibat komunikasi diperlukan penggunaan
inferensi (Zuchdi, 1993: 22). Penarikan inferensi dalam penelitian ini menggunakan
pendekatan tampilan linguistik dan komunikasi serta didukung dengan teori
struktural-semiotik. Langkah pertama dilakukan pemahaman data secara
menyeluruh dengan membaca teks roman La femme rompue hingga diperoleh
abstraksi-abstraksi kesimpulan dari isi roman. Langkah selanjutnya, abstraksi-
abstraksi dipahami dalam konteksnya sehingga tidak mengalami penyimpangan dan
sesuai dengan tujuan penelitian.
3. Analisis Data
Teknik analisis yang digunakan dalam penelitian ini adalah teknik analisis konten
yang bersifat deksriptif kualitatif. Teknik ini digunakan karena data penelitian
berupa data yang bersifat kualitatif dan memerlukan penjelasan secara deskriptif.
Data yang diperoleh diidentifikasi dan dideskripsikan sesuai dengan tujuan
penelitian. Kemudian data tersebut dideskripsikan dengan menggunakan analisis
struktural dan pemaknaan cerita dilakukan melalui analisis semiotik dengan
memperhatikan gejala tanda yang berupa ikon, indeks, dan simbol yang terdapat
dalam roman La femme rompue.

C. Validitas dan Reliabilitas


Hasil penelitian dikatakan valid jika didukung oleh fakta, yaitu benar secara
empiris, akurat, dan konsisten dengan teori yang mapan (Zuchdi, 1993: 73). Untuk
menjaga kesahihan dan keabsahan hasil sebuah penelitian maka validitas dan
reliabilitas diperlukan. Hasil penelitian ini berdasarkan validitas semantis karena diukur
berdasarkan tingkat kesensitifan suatu teknik terhadap makna-makna simbolik yang
relevan dengan konteks yang dianalisis. Validitas yang tinggi dicapai jika makna
semantik berhubungan dengan sumber pesan, penerima pesan, atau konteks lain dari
data yang diteliti (Zuchdi, 1993: 75).
Validitas ini dilakukan dengan pembacaan secara teliti sehingga diperoleh interpretasi
yang tepat.
Reliabilitas berfungsi sebagai penyelamat utama dalam menghadapi
kontaminasi data ilmiah akibat penyimpangan tujuan pengamatan, pengukuran, dan
analisis (Zuchdi, 1993: 78). Reliabilitas dalam penelitian ini menggunakan reliabilitas
intra-rater yaitu peneliti membaca dan menganalisa data secara berulang-ulang dalam
waktu berbeda sehingga ditemukan data yang reliabel. Selain itu, untuk menghindari
subjektivitas, peneliti melakukan konsultasi dan diskusi dengan ahli (expert judgement)
agar tercapai reliabilitas yang akurat.
DAFTAR PUSTAKA

Endaswara, Suwardi. 2003. Metodologi Penelitian Sastra. Yogyakarta: Pustaka


Widyatama.

De Beauvoir, Simone. 1966. La Femme Rompue. Paris : Éditions Gallimard.

Fananie, Zainuddin 2002. Telaah Sastra. Surakarta: Muhammadiyah University Press.

Moeliono, (Peny.). 2003. Kamus Besar Bahasa Indonesia. Jakarta: Balai Pustaka.

Scmitt, M.P danViala,A. 1982. Savoir –Lire. Paris: Les Éditions Didier.

Tarigan. 1985. Pengajaran Gaya Bahasa. Bandung: Angkasa.

Tarigan. 1985. Pengajaran Semantik. Bandung: Angkasa.

Wellek, Rene dan Warren Austin. 1993. Teori Kesusastraan (terjemahan melalui
Budiyanto). Jakarta: Gramedia.

Akses internet melalui :

La Toupie. http://www.toupie.org/Biographies/Beauvoir.htm. Diakses pada 25


Februari 2019

https://atelier.leparisien.fr/sites/histoire/2015/10/22/un-amour-de-concours/ diakses
pada 25 Februari 2019

https://mises.org/library/mary-woolstonecraft-human-right-and-french-
revolutionroberta-modugno/ diakses pada 25 Februari 2019

https://lilleauxlivres.wordpress.com/2014/09/04/les-belles-images-de-simone-
debeauvoir/ diakses pada 25 Februari 2019

Http://eprints.uny.ac.id/22092/1/Ana%20Dewi%20Harsanti%2008204241013.pdf diakses
pada 13 Maret 2019

http://eprints.uny.ac.id/20021/1/Ega%20Noviana%20Ammin%20Putry%2009204241008.pdf

http://eprints.uny.ac.id/28550/1/SKRIPSI_Fera%20Friska%20Ayu%20Adityastuti_092042440
13.pdf diakses pada 13 Maret 2019

http://eprints.uny.ac.id/16354/1/Kurnia%20Chandra%20Rahaviana%2009204244035.pdf

http://eprints.uny.ac.id/28004/1/SKRIPSI.pdf diakses pada 13 Maret 2019

http://eprints.uny.ac.id/8228/3/1-07204241010.pdf diakses pada 13 Maret 2019

Anda mungkin juga menyukai