Anda di halaman 1dari 3

Irfan Rakha Widyadhana

165020307111046
Akuntansi Forensik dan Eks. Fraud-CA
Review Buku
“Dealing With Fraud”
Buku ini berjudul “Dealing With Fraud” yang ditulis oleh bapak Gugus Irianto dan
ibu Nurlita Novianti dan buku ini diterbitkan pada bulan Desember tahun 2018 oleh penerbit
UB Press. Buku ini memang terlihat sederhana yang terdiri dari 7 bab dan setiap bab nya
mengupas masalah tentang Fraud.
Buku ini menceritakan tentang kebangkrutan perusahaan raksasa Endron pada tahun
2001 yang lalu, seakan menjadi momentum awal runtuhnya keperkasaan perusahaan-
perusahaan raksasa seperti WorldComp, GlobalLtd., Adelphia Communications, Kmart Corp.
Dan NTL Inc. Beberapa faktor yang menjadi pemicu permasalahan perusahaan yang dapat
berujung ke kebangkrutan diantaranya adalah manipulasi pembukuan, penggelapan pajak,
penipuan sekuritas dan insider trading. Walaupun terdapat beragam faktor, namun tampak
bahwa sebagian besar pemicu timbulnya berbagai permasalahan di perusahaan tersebut
adalah adanya manipulasi pembukuan. Mau tidak mau wajah profesi akuntan secara umum
ikut tercoreng, lebih-lebih dalam kasus Enron, Arthur Andersen, salah satu dari the big five
public accounting firms, terkena imbasnya. Ada yang berpandangan bahwa manipulasi
pembukuan merupakan mega kolusi dari berbagai pihak sehingga semua masalah tidak bisa
dibebankan sepenuhnya ke salah satu “pemeran” seperti akuntan. Pandangan seperti ini sah-
sah saja, meskipun dapat dianggap sebagai sikap apolojetik dalam membela kepentingan
tertentu. Keterlibatan akuntan dalam berbagai kasus mutakhir atau yang terjadi pada dekade
sebelumnya, baik yang sudah terbukti maupun masih dalam dugaan, memiliki implikasi pada
integritas akuntan. Integritas akuntan akan diragukan dan akan terus menjadi sorotan publik.
Oleh karena itu organisasi profesi akuntan, akuntan secara individual, dan pendidikan
akuntansi perlu untuk memberikan respon yang konstruktif. Organisasi profesi akuntan
berfungsi untuk menetapkan rambu-rambu bagi perencanaan dan pelaksanaan tugas
profesional akuntan. Akuntan yang baik dan terpercaya (good accountants) hanyalah salah
satu pilar dari tiga pilar utama dalam praktik bisnis yang sehat dan baik, dua pilar lainnya
adalah para pelaku bisnis (good merchants) dan tata kelola manajemen yang baik (good
governance).
Fraud memiliki sejarah panjang. Berbagai sumber referensi menyatakan bahwa kasus
fraud pertama ditemukan pada tahun 300 sebelum masehi dan terjadi di yunani. Pada masa
silam, fraud cenderung bersifat tradisional, artinya pelaku dan korban fraud masih bertemu
secara fisik dan kebanyakan dilakukan pada sektor perdagangan. Teknologi berperan penting
dalam suburnya tindakan fraud, karena selain membuat fraud bervariasi, teknologi juga
membantu pelaku fraud untuk melakukan tindakan fraud tanpa batasan negara. Association of
certified fraud examiners (ACFE) mengklasifikasikan tindakan fraud menjadi tiga, masing-
masing penyalahgunaan asset, korupsi, dan manipulasi laporan keuangan. Dalam fraud
penyalahgunaan aset ini dilakukan dengan menyalahgunakan aset perusahaan baik secara
langsung ataupun tidak langsung untuk mendapatkan keuntungan. Menurut ACFE,
penyalahgunaan asset meliputi penyalahgunaan kas dan penyalahgunaan persediaan serta aset
lainnya. Lalu dalam fraud korupsi, secara etimologis korupsi diberi makna “penyelewengan
atau penyalahgunaan uang negara untuk keuntungan pribadi atau orang lain. Dan untuk fraud
manipulasi laporan keuangan salah satu contoh praktik yang paling sederhana adalah melalui
penyajian pos-pos laporan keuangan yang lebih tinggi (overstated) atau lebih rendah
(understated) dari yang semestinya. Manipulasi laporan keuangan ini pada umumnya
dilakukan oleh pihak manajemen organisasi/perusahaan.
Berita yang disampaikan di awal bab buku ini menunjukkan bahwa pelaku fraud bisa
saja orang per orang atau sekelompok orang, dan dapat terjadi di sektor publik maupun
swasta, bahkan juga bisa terjadi di oraganisasi nir-laba. Pelaku fraud tidak memiliki
karakteristik atau ciri-ciri fisik maupun psikologis tertentu. Pada umumnya, pelaku fraud
tidaklah berbeda dengan individu-individu lain, atau bahkan bisa tampak tidak berbeda
dengan individu-individu yang dipandang baik dan jujur. Pada dasarnya setiap tindakan
dilakukan dengan alasan atau rasionalisasi tertentu. Fraud juga dilakukan dengan alasan atau
rasionaliasasi tertentu, yang pada umumnya untuk pembenaran atas tindakan fraud.
Fenomena ini menarik perhatian peneliti untuk menungkap alasan suatu individu untuk
melakukan fraud yang kemudian berkembang berbagai macam teori fraud, dari teori segitiga
fraud, fraud diamond, fraud star, sampai kepada fraud pentagon. Dari teori segitiga fraud
(Fraud Triangle) yang di ungkapkan oleh Donald R. Cressey pada tahun 1950 yang hasil
penelitiannya menunjukkan bahwa terdapat 3 (tiga) alasan utama seseorang melakukan fraud
antara lain, tekanan (pressure), kesempatan (opportunity), rasionalisasi (rationalisation). Lalu
ada Fraud Diamond yang merupakan teori pengembangan dari teori segitiga fraud yang
dikemukakan oleh Wolfe dan hermanson tahun 2004. Ia menyatakan ada empat hal yang
menyebabkan terjadinya fraud yaitu insentif, peluang, rasionalisasi, dan
kemampuan/kapabilitas. Menurut Wolfe dan Hermanson, sekalipun ada tekanan atau insentif
yang didukung dengan kesempatan untuk melakukan fraud, jika pelaku tidak memiliki
kapabilitas/kuasa yang cukup, maka fraud akan sangat kecil untuk dilakukan. Teori
memberikan pemahaman baru tentang peran kapabilitas dalam kejadian dan atau penilaian
atas risiko terjadinya fraud. Lalu pada teori Fraud Star yang dilakukan oleh Irianto dkk.
(2009) untuk melaksanakan riset untuk melakukan pengujian terhadap determinan yang
menjadi pemicu fraud. Dalam riset ini, Irianto dkk. Menemukan bahwa integritas merupakan
determinan pemicu fraud, yang kemudian dirumuskan menjadi fraud star, sebagai
pengembangan dari Fraud Diamond Theory. Dan yang terakhir ada teori Fraud Pentagon,
Horwarth (2010) menyempurnakan teori segitiga fraud Cressey dengan menambahkan unsur
kompetensi dan unsur arogansi.
Terdapat sekurang-kurangnya dua orientasi, fokus dan penekanan dalam menghadapi
fraud, masing-masing orientasi pencegahan (preventive orientation), dadn orientasi
penindakan (curative orientation). Aktivitas pencegahan fraud secara umum merupakan cara
yang paling efektif unutk mengurangi kerugian akibat fraud.pencegahan merupakan aktivitas
yang memerlukan biaya, namun manfaat yang diperoleh dari aktivitas tersebut relatif
signifikan. Studi Irianto dkk. (2015) menemukan bahwa integritas merupakan determinan
perilaku tidak etis dan tendensi fraud. Oleh karena itu ikhtiar “habis-habisan” yang perlu kita
lakukan adalah membangun integritas manusia Indonesia sebagai bagian dari penyadaran
akan bahaya dari fraud. Pada konteks organisasi, karyawan yang jujur dan berbudi pekerti
luhur menjadi modal utama dalam kerangka pencegahan fraud. Yang perlu menjadi perhatian
dalam kerangka pencegahan salah satunya adalah aspek kepemimpinan. Beberapa sumber
menyebutkan bahwa keteladanan pimpinan (tone at the top) memegang peran strategis dalam
pencegahan fraud.
Deteksi dini pada fraud dapat diketahui dari gejala fraud yang terjadi. Gejala yang
terjadi biasanya berasal dari lemahnya sistem pengendalian internal, anomali dalam catatan
akuntansi, “keanehan” aspek keperilakuan dari pelaku fraud, serta adanya tip (pengaduan).
Sebagai contoh dari aspek keperilakuan, fraud dapat dideteksi karena ada beberapa rincian
terkait aspek keperilakuan tersebut, contohnya yaitu gaya hidup yang mewah, perilaku yang
tidak biasa seperti perubahan emosi yang tidak seperti biasanya.
Hooker (2009) telah melakukan eksplorasi relatif luas tentang korupsi dengan
memperhatikan konteks budaya. Hooker membuat klasifikasi budaya menjadi dua, masing-
masing budaya barat yang diidentikkan dengan budaya yang lebih dilandasi pada aturan
(ruled-based culture) dan budaya timur yang diasosiasikan dengan budaya yang lebih
dilandasi pada relasi/hubungan antar sesama manusia (human relationship) yang disebutnya
sebagai relationships-based culture. Riset yang dilakukan oleh Syahrina (2017) menemukan
“budaya cari aman” sebagai salah satu pemicu fraud. Budaya ini diartikan sebagai kebiasaan-
kebiasaan yang dilakukan dalam rangka untuk menjaga agar organisasi maupun seluruh
personil dari atas sampai bawah sampai di level yang aman saat di audit. Dinata (2018)
melakukan kajian, ia menemukan dua “budaya” pemicu fraud di situs yang diteliti, masing-
masing “semua bisa diatur” dan “prosedur hanya formalitas”. Temuan yang pertama
merupakan contoh dari kebiasaan menolong orang yang tida pada tempatnya, kebiasaan
mengandalkan bantuan orang dalam, kebiasaan untuk memanfaatkan adanya celah prosedur,
dan kebiasaan untuk menyiasati praktik birokrasi tertentu. Sedangkan yang kedua, ‘prosedur
hanya formalitas”, lazim ditemukan karena adanya praktik dan persepsi bahwa “yang butuh
(adalah) instansi” dan adanya pandangan “semua (adalah) keluarga”. Riset lain yang
dilaksanakan oleh Irianto dkk. (2017) menemukan adanya praktik “kamuflase” untuk
menutupi beragam kecenderungan fraud di beberapa situs sektor publik di Indonesia.
Buku ini menurut saya sudah mendeskripsikan fraud dengan baik, mulai dari
pengertian hingga cara mencegah fraud itu sendiri, namun menurut saya, dalam buku ini
terdapat kata-kata yang sulit di mengerti untuk pembaca awam yang benar-benar belum
mengetahui apa itu fraud sebelumnya. Alangkah lebih baiknya jika kata-kata yang mungkin
sulit di mengerti ini diberi penjelasan terlebih dahulu sebelum masuk ke pembahasan yang
lebih lanjut.

Anda mungkin juga menyukai