Anda di halaman 1dari 37

ratnasari601

Education and multimedia

file:///D:/biologi%20umum/Genetika%20Dasar%20_%20ratnasari601.htm

 Home
 About

Penyimpangan Semu Hukum Mendel


02 Oct 2012 Leave a comment

by ratnasari601 in Genetika Dasar

Pada tahun 1906, W. Bateson dan R.C Punnet menemukan bahwa pada persilangan F2 dapat
menghasilkan rasio fenotipe 14 : 1 : 1 : 3. Merekamenyilangkan kacang kapri berbunga ungu
yang serbuk sarinya lonjong dengan bunga merah yang serbuk sarinya bulat. Rasio fenotipe dari
keturunan ini menyimpang dari hukum Mendel yang seharusnya pada keturunan kedua(F2)
perbandingan rasionya 9 : 3 : 3 : 1.

Tahun 1910 T.H. Morgan, seorang sarjana Amerika dapat memecahkan misteri tersebut. Morgan
menemukan bahwa kromosom mengandung banyak gen dan mekanisme pewarisannya
menyimpang dari Hukum II Mendel. Pada lalat buah, sampai saat ini telah diketahui kira-kira
ada 5.000 gen, sedangkan lalat buah hanya memiliki 4 pasang kromosom saja.

Berarti, pada sebuah kromosom tidak terdapat sebuah gen saja, melainkan puluhan bahkan
ratusan gen. Pada umumnya, gen memiliki pekerjaan sendiri-sendiri untuk menumbuhkan sifat,
tetapi ada beberapa gen yang berinteraksi atau dipengaruhi oleh gen lain untuk menumbuhkan
sifat. Gen tersebut mungkin terdapat pada kromosom yang sama atau pada kromosom yang
berbeda.

Interaksi antargen akan menimbulkan perbandingan fenotipe yang keturunannya menyimpang


dari hukum Mendel, keadaan ini disebut penyimpangan semu hukum Mendel. Jika pada
persilangan dihibrid, menurut Mendel perbandingan fenotipe F2 adalah 9 : 3 : 3 : 1, pada
penyimpangan semu perbandingan tersebut dapat menjadi (9 : 3 : 4), (9 : 7), atau (12 : 3 : 1).

Perbandingan tersebut merupakan modifikasi dari 9 : 3 : 3 : 1. Interaksi gen yang menyebabkan


terjadinya penyimpangan hukum Mendel terdapat 4 bentuk, yaitu atavisme, kriptomeri,
polimeri, epistasis, hipostasis, dan komplementer.
a. Atavisme (Interaksi Gen)

Atavisme atau interaksi bentuk pada pial (jengger) ayam diungkap pertama kali oleh W. Bateson
dan R.C. Punnet. Karakter jengger tidak hanya diatur oleh satu gen, tetapi oleh dua gen yang
berinteraksi. Pada beberapa jenis ayam, gen R mengatur jengger untuk bentuk ros, gen P untuk
fenotipe pea, gen R dan gen P jika bertemu membentuk fenotipe walnut. Adapun gen r bertemu p
menimbulkan fenotipe singel.

Berdasarkan hasil persilangan tersebut, kita mendapatkan rasio fenotipe sebagai berikut:
9 Walnut : 3 Ros : 3 Pea : 1 Singel

Berbeda dengan persilangan yang dilakukan oleh Mendel dengan kacang ercisnya maka sifat dua
buah bentuk jengger dalam satu ayam sangatlah ganjil. Dengan adanya interaksi antara dua gen
dominan dan gen resesif seluruhnya akan menghasilkan variasi fenotipe baru, yakni ros dan pea.
Gen dominan R yang berinteraksi dengan gen resesif P akan menghasil- kan bentuk jengger ros
dan gen resesif r yang bertemu dengan gen dominan

P akan menghasilkan bentuk jengger pea. Perbedaan bentuk jengger ayam ini dinamakan dengan
atavisme.

Contoh:

Diadakan penyilangan antara ayam berpial pea dan ayam berpial ros. Anak ayam keturunan F1
ada yang berpial tunggal. Dari hasil penyilangan ini, bagaimanakah genotipe kedua parentalnya?
Jawab
Diketahui bahwa rrP = pial pea, Rpp = pial ros, RP = pial walnut, dan rrpp = pial singel.
Kita coba kemungkinan pertama bahwa kedua parentalnya bergenotip heterozigot.

Jadi, genotipe parental yang akan menghasilkan salah satu keturunan berpial tunggal adalah rrPp
× Rrpp.

b. Kriptomeri
Salah satu penyimpangan dari hukum Mendel adalah adanya kriptomeri, yaitu gen dengan sifat
dominan yang hanya akan muncul jika hadir bersama dengan gen dominan lainnya. Peristiwa ini
pertama kali diamati oleh Correns pada saat pertama kali mendapatkan hasil perbandingan
persilangan bunga Linaria maroccana dari galur alaminya yaitu warna merah dan putih. Hasil F1
dari persilangan tersebut ternyata menghasilkan bunga berwarna ungu seluruhnya.

Dari hasil persilangan antara generasi F1 berwarna ungu ini, dihasilkan


generasi Linaria maroccana dengan perbandingan F2 keseluruhan antara bunga warna ungu :
merah : putih adalah 9 : 3 : 4.

Setelah dilakukan penelitian, warna bunga merah ini disebabkan oleh antosianin, yakni suatu
pigmen yang berada dalam bunga. Bunga berwarna merah diidentifikasi sebagai bunga yang
tidak memiliki antosianin. Dari penelitian lebih jauh, ternyata warna merah disebabkan oleh
antosianin yang hadir dalam kondisi sel yang asam dan jika hadir dalam kondisi basa akan
dihasilkan bunga dengan warna ungu. Bunga tanpa antosianin akan tetap berwarna putih jika
hadir dalam kondisi asam ataupun basa. Bunga merah ini bersifat dominan terhadap bunga putih
yang tidak berantosianin.

Jika kita misalkan bunga dengan antosianin adalah A dan bunga tanpa antosianin adalah a,
sedangkan pengendali sifat sitoplasma basa adalah B dan pengendali sitoplasma bersuasana asam
adalah b, persilangan antara bunga putih dengan bunga merah hingga dihasilkan keturunan
kedua sebagai berikut.
AABB, 2 AABb
2 AaBB, 4 AaBb = 9 ungu
AAbb, 2 Aabb = 3 merah
aaBB, 2 aaBb, aabb = 4 putih

c. Polimeri
Salah satu tujuan dari persilangan adalah menghasilkan varietas yang diinginkan atau hadirnya
varietas baru. Dari persilangan yang dilakukan oleh Nelson Ehle pada gandum dengan warna biji
merah dengan putih, ia menemukan variasi warna merah yang dihasilkan pada keturunannya.
Peristiwa ini mirip dengan persilangan dihibrid tidak dominan sempurna yang menghasilkan
warna peralihan seperti merah muda. Hanya saja, warna yang dihasilkan ini tidak hanya
dikontrol oleh satu pasang gen saja, melainkan oleh dua gen yang berbeda lokus, namun masih
memengaruhi terhadap sifat yang sama. Peristiwa ini dinamakan dengan polimeri.

Pada contoh kasus persilangan antara biji gandum berwarna merah dengan
biji gandum berwarna putih dapat Anda perhatikan pada bagan berikut.

Hasil persilangan di atas menghasilkan perbandingan fenotipe 15 kulit biji berwarna merah dan
hanya satu kulit biji berwarna putih. Warna merah dihasilkan oleh gen dominan yang terkandung
di dalam gandum tersebut, baik M1 maupun M2.

Pada kenyataannya, warna merah yang dihasilkan sangat bervariasi, mulai dari warna merah tua,
merah sedang, merah muda, hingga merah pudar mendekati putih. Semakin banyak gen dominan
yang menyusunnya, semakin merah juga warna kulit gandum tersebut.
Peristiwa polimeri ini melibatkan beberapa gen yang berada di dalam lokus berbeda namun
memengaruhi satu sifat yang sama. Pada kasus warna kulit biji gandum ini, efek dari hadirnya
gen dominan bersifat akumulatif terhadap penampakan warna merah. Jadi, semakin banyak gen
dominan pada organisme, akan semakin merah juga dihasilkan warna kulit biji gandumnya.

d. Epistasis dan Hipostasis

Dalam interaksi beberapa gen ini, kadang salah satu gen bersifat menutupi baik terhadap alelnya
dan alel lainnya. Sifat ini dikenal dengan nama epistasis dan hipostatis. Epistasis adalah sifat
yang menutupi, sedangkan hipostasis adalah sifat yang ditutupi.

Pasangan gen yang menutup sifat lain tersebut dapat berupa gen resesif atau gen dominan.
Apabila pasangan gen dominan yang menyebabkan epistasis, prosesnya dinamakan dengan
epistasis dominan, sedangkan jika penyebabnya adalah pasangan gen resesif, prosesnya
dinamakan dengan epistasis resesif.

Peristiwa epistasis ini dapat ditemukan pada pembentukan warna biji tanaman sejenis gandum
dan pembentukan warna kulit labu (Cucurbita pepo). Pada pembentukan warna kulit biji
gandum, Nelson Ehle menyilangkan dua varietas gandum warna kulit biji hitam dengan warna
kulit biji kuning.

Nelson Ehle adalah seorang peneliti yang pertama kali mengamati pengaruh epistasis dan
hipostatis pada pembentukan warna kulit biji gandum. Hasil pengamatannya menunjukkan
bahwa 100% warna kulit biji yang dihasilkan adalah hitam.
Dari diagram tersebut dapat kita peroleh perbandingan fenotipenya, yaitu 12 hitam : 3 kuning : 1
putih.

Dapat dilihat pada persilangan ini, setiap kemunculan gen H dominan maka fenotipe yang
dihasilkannya adalah langsung warna biji hitam. Warna biji kuning hanya akan hadir apabila gen
dominan K bertemu dengan gen resesif h, sedangkan warna putih disebabkan oleh interaksi
sesama gen resesif. Dengan demikian, gen dominan H bersifat epistasis terhadap gen K sehingga
peristiwa ini dinamakan dengan epistasis dominan.

Peristiwa epistasis lainnya dapat ditemukan pada pembentukan warna rambut tikus. Warna hitam
pada rambut tikus disebabkan oleh adanya gen R dan C bersama, sedangkan warna krem
disebabkan oleh rr dan C. Apabila terdapat gen cc, akan dihasilkan warna albino. Perhatikan
diagram berikut.
Persilangan antartikus berwarna hitam homozigot dengan tikus berwarna albino menghasilkan
generasi pertama F1 tikus berwarna hitam semua.

Berdasarkan hasil persilangan kedua, ternyata dihasilkan rasio fenotipe 9 hitam : 3 krem : 4
albino

Kita dapat melihat, adanya gen resesif cc menyebabkan semua warna rambut tikus albino.
Adapun kombinansi gen dominan menyebabkan warna hitam. Hadirnya gen dominan C
menyebabkan warna rambut tikus krem.

e. Komplementer

Salah satu tipe interaksi gen-gen pada organisme adalah saling men- dukung munculnya suatu
fenotipe atau sifat. W. Bateson dan R.C. Punnet yang bekerja pada bunga Lathyrus adoratus
menemukan kenyataan ini.

Mereka melakukan persilangan sesama bunga putih dan menghasilkan keturunan F2 bunga
berwana ungu seluruhnya. Pada persilangan bunga-bunga berwarna ungu F2, ternyata dihasilkan
bunga dengan warna putih dalam jumlah yang banyak dan berbeda dengan perkiraan
sebelumnya, baik hukum Mendel atau sifat kriptomeri.

Penelitian lebih lanjut yang dilakukan oleh keduanya mengungkapkan ada dua gen yang
berinteraksi memengaruhi warna bunga, yakni gen yang mengontrol munculnya bahan pigmen
(C) dan gen yang mengaktifkan bahan tersebut (P). Jika keduanya tidak hadir bersamaan, tentu
tidak saling melengkapi antara sifat satu dengan yang lainnya dan menghasilkan bunga dengan
warna putih (tidak berpigmen). Apabila tidak ada bahan pigmen, tentu tidak akan muncul warna,
meskipun ada bahan pengaktif pigmennya.

Begitupun sebaliknya, apabila tidak ada pengaktif pigmen maka pigmen yang telah ada tidak
akan dimunculkan dan tetap menghasilkan bunga tanpa pigmen (berwarna putih). Persilangan
yang dilakukan oleh Bateson dan Punnet dapat diamati pada diagram berikut ini.

Sifat yang dihasilkan oleh interaksi gen yang saling melengkapi dan bekerja sama ini dinamakan
dengan komplementer. Ketidakhadiran sifat dominan pada suatu pasangan gen tidak akan
memunculkan sifat fenotipe dan hanya akan muncul apabila hadir bersama-sama dalam pasangan
gen dominannya.

Genetika Populasi
02 Oct 2012 Leave a comment

by ratnasari601 in Genetika Dasar

BAB XV
GENETIKA POPULASI

• Populasi Mendelian
• Frekuensi Genotipe dan Frekuensi Alel
• Polimorfisme Lokus sebagai Indeks Keanekaragaman Genetik
• Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg
• Perubahan Frekuensi Alel

BAB XV. GENETIKA POPULASI

Pola pewarisan suatu sifat tidak selalu dapat dipelajari melalui percobaan persilangan buatan.
Pada tanaman keras atau hewan-hewan dengan daur hidup panjang seperti gajah, misalnya, suatu
persilangan baru akan memberikan hasil yang dapat dianalisis setelah kurun waktu yang sangat
lama. Demikian pula, untuk mempelajari pola pewarisan sifat tertentu pada manusia jelas tidak
mungkin dilakukan percobaan persilangan. Pola pewarisan sifat pada organisme-organisme
semacam itu harus dianalisis menggunakan data hasil pengamatan langsung pada populasi yang
ada.
Seluk-beluk pewarisan sifat pada tingkat populasi dipelajari pada cabang genetika yang disebut
genetika populasi. Ruang lingkup genetika populasi secara garis besar oleh beberapa penulis
dikatakan terdiri atas dua bagian, yaitu (1) deduksi prinsip-prinsip Mendel pada tingkat populasi,
dan (2) mekanisme pewarisan sifat kuantitatif. Bagian yang kedua ini berkaitan dengan
penjelasan pada Bab XIV bahwa analisis genetik sifat-sifat kuantitatif hanya dapat dilakukan
pada tingkat populasi karena individu tidak informatif. Namun, beberapa penulis lainnya, seperti
halnya Bab XV ini, menyebutkan bahwa materi yang dibahas dalam genetika populasi hanya
meliputi deduksi prinsip-prinsip Mendel pada tingkat populasi.
Populasi dalam arti Genetika
Untuk mempelajari pola pewarisan sifat pada tingkat populasi terlebih dahulu perlu difahami
pengertian populasi dalam arti genetika atau lazim disebut juga populasi Mendelian. Populasi
mendelian ialah sekelompok individu suatu spesies yang bereproduksi secara seksual, hidup di
tempat tertentu pada saat yang sama, dan di antara mereka terjadi perkawinan (interbreeding)
sehingga masing-masing akan memberikan kontribusi genetik ke dalam lungkang gen (gene
pool), yaitu sekumpulan informasi genetik yang dibawa oleh semua individu di dalam populasi.
Deskripsi susunan genetik suatu populasi mendelian dapat diperoleh apabila kita mengetahui
macam genotipe yang ada dan juga banyaknya masing-masing genotipe tersebut. Sebagai
contoh, di dalam populasi tertentu terdapat tiga macam genotipe, yaitu AA, Aa, dan aa. Maka,
proporsi atau persentase genotipe AA, Aa, dan aa akan menggambarkan susunan genetik
populasi tempat mereka berada. Adapun nilai proporsi atau persentase genotipe tersebut dikenal
dengan istilah frekuensi genotipe. Jadi, frekuensi genotipe dapat dikatakan sebagai proporsi atau
persentase genotipe tertentu di dalam suatu populasi. Dengan perkataan lain, dapat juga
didefinisikan bahwa frekuensi genotipe adalah proporsi atau persentase individu di dalam suatu
populasi yang tergolong ke dalam genotipe tertentu. Pada contoh di atas jika banyaknya genotipe
AA, Aa, dan aa masing-masing 30, 50, dan 20 individu, maka frekuensi genotipe AA = 0,30
(30%), Aa = 0,50 (50%), dan aa = 0,20 (20%).
Di samping dengan melihat macam dan jumlah genotipenya, susunan genetik suatu populasi
dapat juga dideskripsi atas dasar keberadaan gennya. Hal ini karena populasi dalam arti genetika,
seperti telah dikatakan di atas, bukan sekedar kumpulan individu, melainkan kumpulan individu
yang dapat melangsungkan perkawinan sehingga terjadi transmisi gen dari generasi ke generasi.
Dalam proses transmisi ini, genotipe tetua (parental) akan dibongkar dan dirakit kembali menjadi
genotipe keturunannya melalui segregasi dan rekombinasi gen-gen yang dibawa oleh tiap gamet
yang terbentuk, sementara gen-gen itu sendiri akan mengalami kesinambungan (kontinyuitas).
Dengan demikian, deskripsi susunan genetik populasi dilihat dari gen-gen yang terdapat di
dalamnya sebenarnya justru lebih bermakna bila dibandingkan dengan tinjauan dari genotipenya.
Susunan genetik suatu populasi ditinjau dari gen-gen yang ada dinyatakan sebagai frekuensi gen,
atau disebut juga frekuensi alel, yaitu proporsi atau persentase alel tertentu pada suatu lokus. Jika
kita gunakan contoh perhitungan frekuensi genotipe tersebut di atas, maka frekuensi alelnya
dapat dihitung sebagai berikut.
AA Aa aa Total
Banyaknya individu 30 50 20 100
Banyaknya alel A
60 50 – 110
Banyaknya alel a – 50 40 90
Karena di dalam tiap individu AA terdapat dua buah alel A, maka di dalam populasi yang
mempunyai 30 individu AA terdapat 60 alel A. Demikian juga, karena tiap individu Aa
membawa sebuah alel A, maka populasi yang mempunyai 50 individu Aa akan membawa 50 alel
A. Sementara itu, pada individu aa dengan sendirinya tidak terdapat alel A, sehingga secara
keseluruhan banyaknya alel A di dalam populasi tersebut adalah 60 + 50 + 0 = 110. Dengan cara
yang sama dapat dihitung banyaknya alel a di dalam populasi, yaitu 0 + 50 + 40 = 90. Oleh
karena itu, frekuensi alel A = 110/200 = 0,55 (55%), sedang frekuensi a = 90/200 = 0,45 (45%).
Frekuensi alel berkisar dari 0 hingga 1. Suatu populasi yang mempunyai alel dengan frekuensi =
1 dikatakan mengalami fiksasi untuk alel tersebut.
Hubungan matematika antara frekuensi genotipe dan frekuensi alel
Seandainya di dalam suatu populasi terdapat genotipe AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan
frekuensi sebesar P, H, dan Q, sementara diketahui bahwa frekuensi alel A dan a masing-masing
adalah p dan q, maka antara frekuensi genotipe dan frekuensi alel terdapat hubungan matematika
sebagai berikut.
p = P + ½ H dan q = Q + ½ H
Dalam hal ini P + H + Q = 1 dan p + q = 1. Agar diperoleh gambaran yang lebih jelas mengenai
hubungan tersebut, kita perhatikan contoh perhitungan berikut ini.
Data frekuensi golongan darah sistem MN pada orang Eskimo di Greenland menurut Mourant
(1954) menunjukkan bahwa frekuensi golongan darah M, MN, dan N masing-masing sebesar
83,5 %, 15,6%, dan 0,9% dari 569 sampel individu. Kita telah mengetahui pada Bab II bagian
alel ganda bahwa genotipe golongan darah M, MN, dan N masing-masing adalah IMIM, IMIN,
dan ININ. Maka, dari data frekuensi genotipe tersebut dapat dihitung besarnya frekuensi alel IM
dan IN. Frekuensi alel IM = 83,5% + ½ (15,6%) = 91,3%, sedang frekuensi alel IN = 0,9% + ½
(15,6%) = 8,7%.
Hasil perhitungan frekuensi alel dapat digunakan untuk menentukan sifat lokus tempat alel
tersebut berada. Suatu lokus dikatakan bersifat polimorfik jika frekuensi alelnya yang terbesar
sama atau kurang dari 0,95. Sebaliknya, suatu lokus dikatakan bersifat monomorfik jika
frekuensi alelnya yang terbesar melebihi 0,95. Jadi, pada contoh golongan darah sistem MN
tersebut lokus yang ditempati oleh alel IM dan IN adalah lokus polimorfik karena frekuensi alel
terbesarnya ( IM = 91,3%), masih lebih kecil dari 0,95.
Proporsi lokus polimorfik pada suatu populasi sering kali digunakan sebagai salah satu indeks
keanekaragaman genetik. Nilai lainnya yang juga sering digunakan sebagai indeks
keanekaragaman genetik suatu populasi adalah heterozigositas rata-rata atau frekuensi
heterozigot (H) rata-rata. Pada contoh di atas besarnya nilai H untuk lokus MN adalah 15,6%.
Seandainya dapat diperoleh nilai H untuk lokus-lokus yang lain, maka dapat dihitung nilai
heterozigositas rata-rata pada populasi tersebut.
Perhitungan frekuensi alel menggunakan data elektroforesis
Frekuensi alel pada suatu populasi spesies organisme dapat dihitung atas dasar data
elektroforesis protein/enzim atau zimogram yang menampilkan pita-pita sebagai gambaran
mobililitas masing-masing polipeptida penyusun protein (Gambar 15.1). Elektroforesis
merupakan teknik pemisahan molekul yang berbeda-beda ukuran dan muatan listriknya. Oleh
karena itu, molekul-molekul yang akan dipisahkan tersebut harus bermuatan listrik seperti halnya
protein dan DNA.
Jarak
migrasi (cm)
4
3
2
1
Individu 1 2 3 4 5 6 7 8 9 10 11 12 13 14 15
Genotipe CL LL LL CL CL CL LL CL CL CL LL CL LL LL CL
Gambar 15.1. Zimogram esterase dari ikan sidat (Anguilla sp)
di kawasan Segara Anakan, Cilacap
(Sumber : Susanto, 2003)

Prinsip kerja elektroforesis secara garis besar dapat dijelaskan sebagai berikut. Sampel
ditempatkan pada salah satu ujung media berupa gel, kemudian kedua ujung gel tersebut diberi
aliran listrik selama beberapa jam sehingga komponen-komponen penyusun sampel akan
bergerak menuju kutub yang muatan listriknya berlawanan dengannya. Kecepatan gerakan
(mobilitas) tiap komponen ini akan berbeda-beda sesuai dengan ukuran molekulnya. Makin besar
ukuran molekul, makin lambat gerakannya. Akibatnya, dalam satuan waktu yang sama molekul
berukuran besar akan menempuh jarak migrasi yang lebih pendek daripada jarak migrasi
molekul berukuran kecil.
Pola pita seperti pada zimogram esterase di atas sebenarnya merupakan gambaran fenotipe,
bukan genotipe. Namun, analisis variasi fenotipe terhadap kebanyakan enzim pada berbagai
macam organisme sering kali dapat memberikan dasar genetik secara sederhana. Seperti
diketahui, tiap enzim dapat mengandung sebuah polipeptida atau lebih dengan susunan asam
amino yang berbeda sehingga menghasilkan fenotipe berupa pita-pita dengan mobilitas yang
berbeda. Variasi fenotipe ini disebabkan oleh perbedaan alel yang menyusun genotipe.
Jika alel-alel yang menyebabkan perbedaan polipeptida pada enzim tertentu terletak pada suatu
lokus, maka bentuk alternatif enzim yang diekspresikannya dikenal sebagai alozim. Alel yang
mengatur alozim biasanya bersifat kodominan, yang berarti dalam keadaan heterozigot kedua-
duanya akan diekspresikan. Dengan demikian, individu pada Gambar 15.1 yang menampilkan
pita lambat dan pita cepat (nomor 1, 4, 5, 6, 8, 9, 10, 12, dan 15) memiliki genotipe heterozigot,
yaitu CL (C=cepat; L=lambat). Sementara itu, individu yang hanya menampilkan pita lambat
(nomor 2, 3, 7, 11, 13, dan 14) adalah homozigot LL. Begitu pula individu dengan hanya satu
pita cepat (kebetulan pada zimogram tersebut tidak ada) dikatakan mempunyai genotipe
homozigot CC.
Dari data genotipe yang diturunkan dari data variasi fenotipe tersebut, kita dengan mudah dapat
menghitung baik frekuensi genotipe maupun frekuensi alelnya. Frekuensi genotipe CC, CL, dan
LL masing-masing adalah 0, 9/15, dan 6/15. Frekuensi alel C = 0 + ½ (9/15) = 9/30, sedang
frekuensi alel L = 6/15 + ½ (9/15) = 21/30.
Hukum Keseimbangan Hardy-Weinberg
Populasi mendelian yang berukuran besar sangat memungkinkan terjadinya kawin acak
(panmiksia) di antara individu-individu anggotanya. Artinya, tiap individu memiliki peluang
yang sama untuk bertemu dengan individu lain, baik dengan genotipe yang sama maupun
berbeda dengannya. Dengan adanya sistem kawin acak ini, frekuensi alel akan senantiasa
konstan dari generasi ke generasi. Prinsip ini dirumuskan oleh G.H. Hardy, ahli matematika dari
Inggris, dan W.Weinberg, dokter dari Jerman,. sehingga selanjutnya dikenal sebagai hukum
keseimbangan Hardy-Weinberg.
Di samping kawin acak, ada persyaratan lain yang harus dipenuhi bagi berlakunya hukum
keseimbangan Hardy-Weinberg, yaitu tidak terjadi migrasi, mutasi, dan seleksi. Dengan perkatan
lain, terjadinya peristiwa-peristiwa ini serta sistem kawin yang tidak acak akan mengakibatkan
perubahan frekuensi alel.
Deduksi terhadap hukum keseimbangan Hardy-Weinberg meliputi tiga langkah, yaitu (1) dari
tetua kepada gamet-gamet yang dihasilkannya, (2) dari penggabungan gamet-gamet kepada
genotipe zigot yang dibentuk, dan (3) dari genotipe zigot kepada frekuensi alel pada generasi
keturunan. Secara lebih rinci ketiga langkah ini dapat dijelaskan sebagai berikut.
Kembali kita misalkan bahwa pada generasi tetua terdapat genotipe AA, Aa, dan aa, masing-
masing dengan frekuensi P, H, dan Q. Sementara itu, frekuensi alel A adalah p, sedang frekuensi
alel a adalah q. Dari populasi generasi tetua ini akan dihasilkan dua macam gamet, yaitu A dan a.
Frekuensi gamet A sama dengan frekuensi alel A (p). Begitu juga, frekuensi gamet a sama
dengan frekuensi alel a (q).
Dengan berlangsungnya kawin acak, maka terjadi penggabungan gamet A dan a secara acak
pula. Oleh karena itu, zigot-zigot yang terbentuk akan memilki frekuensi genotipe sebagai hasil
kali frekuensi gamet yang bergabung. Pada Tabel 15.1 terlihat bahwa tiga macam genotipe zigot
akan terbentuk, yakni AA, Aa, dan aa, masing-masing dengan frekuensi p2, 2pq, dan q2.
Tabel 15.1. Pembentukan zigot pada kawin acak

Gamet-gamet 
dan frekuensinya
A
(p) a
(q)

Gamet-gamet 
dan frekuensinya A (p)
AA
(p2) Aa
(pq)
a (q) Aa
(pq) aa
(q2)

Oleh karena frekuensi genotipe zigot telah didapatkan, maka frekuensi alel pada populasi zigot
atau populasi generasi keturunan dapat dihitung. Fekuensi alel A = p2 + ½ (2pq) = p2 + pq = p (p
+ q) = p. Frekuensi alel a = q2 + ½ (2pq) = q2 + pq = q (p + q) = q. Dengan demikian, dapat
dilihat bahwa frekuensi alel pada generasi keturunan sama dengan frekuensi alel pada generasi
tetua.
Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel autosomal
Kemampuan sesesorang untuk merasakan zat kimia feniltiokarbamid (PTC) disebabkan oleh alel
autosomal dominan T. Individu dengan genotipe TT dan Tt dapat merasakan PTC, sedang
individu tt tidak. Pada suatu pengujian terhadap 228 orang diperoleh bahwa hanya 160 di
antaranya yang dapat merasakan PTC. Dari 160 orang ini dapat dihitung individu yang
bergenotipe TT dan Tt sebagai berikut.
Individu yang tidak dapat merasakan PTC (genotipe tt) jumlahnya 228 – 160 = 68 sehingga
frekuensi genotipe tt = 68/228 = 0,30. Dengan mudah dapat diperoleh frekuensi alel t = √ 0,30 =
0,55 dan frekuensi alel T = 1 – 0,55 = 0,45. Selanjutnya, frekuensi genotipe TT = (0,45)2 = 0,20,
sedang frekuensi genotipe Tt = 2(0,45)(0,55) = 0,50. Banyaknya individu yang bergenotipe TT =
0,20 x 228 =46, sedang individu yang bergenotipe Tt = 0,50 x 228 = 114. Jika TT dijumlahkan
dengan Tt, maka diperoleh individu sebanyak 160 orang, yang semuanya dapat merasakan PTC.
Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel ganda
Salah satu contoh alel ganda yang sering dikemukakan adalah alel pengatur golongan darah
sistem ABO pada manusia. Seperti telah kita bicarakan pada Bab II, sistem ini diatur oleh tiga
buah alel, yaitu IA, IB, dan I0. Jika frekuensi ketiga alel tersebut masing-masing adalah p, q, dan
r, maka sebaran frekuensi genotipenya = (p + q + r)2 = p2 + 2pq + 2pr + q2 + 2qr + q2.
Frekuensi golongan darah A adalah penjumlahan frekuensi genotipe IA IA dan IA I0 , yakni p2
+ 2pr. Demikian pula, frekuensi golongan darah B, AB, dan O pada suatu populasi dapat dicari
dari sebaran frekuensi tersebut. Sebaliknya, dari data frekuensi golongan darah (fenotipe) dapat
dihitung besarnya frekuensi alel.
Misalnya, dari 500 mahasiswa Fakultas Biologi Unsoed diketahui 196 orang bergolongan darah
A, 73 golongan B, 205 O, dan 26 AB. Alel yang langsung dapat dihitung frekuensinya adalah I0
, yang merupakan akar kuadrat frekuensi O. Jadi, frekuensi I0 = √ 205/500 = 0,64. Selanjutnya,
jumlah frekuensi A dan O = p2 + 2pr + r2 = (p + r)2 = (1 – q) 2 sehingga akar kuadrat frekuensi
A + O = 1 – q. Dengan demikian, frekuensi IB (q) = 1 – akar kuadrat frekuensi A + O = 1 –
√(196 + 205)/500 = 0,11. Dengan cara yang sama dapat diperoleh frekuensi alel IA (p) = 1 –
√(73 + 205)/500 = 0,25.
Aplikasi hukum Hardy-Weinberg untuk perhitungan frekuensi alel rangkai X
Telah kita ketahui bahwa pada manusia dan beberapa spesies organisme lainnya dikenal adanya
jenis kelamin homogametik (XX) dan heterogametik (XY). Pada jenis kelamin homogametik
hubungan matematika antara frekuensi alel yang terdapat pada kromosom X (rangkai X) dan
frekuensi genotipenya mengikuti formula seperti pada autosom. Namun, pada jenis kelamin
heterogametik formula tersebut tidak berlaku karena frekuensi alel rangkai X benar-benar sama
dengan frekuensi genotipe. Pada jenis kelamin ini tiap individu hanya membawa sebuah alel
untuk masing-masing lokus pada kromosom X-nya. Agar lebih jelas dapat dilihat Tabel 15.2
berikut ini.
Tabel 15.2. Hubungan matematika antara fekuensi alel rangkai X
dan frekuensi genotipe
Homogametik Heterogametik
Genotipe AA Aa aa A a
Frekuensi genotipe P H Q R S
Alel A a A a
Frekuensi alel pm = P + ½H qm = Q + ½H pt = R qt = S
pm = frekuensi alel A pada individu homogametik
qm = frekuensi alel a pada individu homogametik
pt = frekuensi alel A pada individu heterogametik
qt = frekuensi alel a pada individu heterogametik
Untuk seluruh populasi frekuensi alel A dapat dihitung, yaitu p = 2/3 pm + 1/3 pt = 1/3 (2 pm +
pt) = 1/3 (2P + H + R). Dengan cara yang sama dapat dihitung pula frekuensi alel a pada seluruh
populasi, yaitu q = 2/3 qm + 1/3 qt = 1/3 (2 qm + qt) = 1/3 (2Q + H + S). Kontribusi alel
sebanyak 2/3 bagian oleh individu homogametik disebabkan oleh keberadaan dua buah
kromosom X pada individu tersebut, sementara individu heterogametik memberikan kontribusi
alel 1/3 bagian karena hanya mempunyai sebuah kromosom X.
Sebagai contoh perhitungan frekuensi alel rangkai X dapat dikemukakan alel rangkai X yang
mengatur warna tortoise shell pada kucing. Misalnya, dalam suatu populasi terdapat 277 ekor
kucing betina berwarna hitam (BB), 311 kucing jantan hitam (B), 54 betina tortoise shell (Bb), 7
betina kuning (bb), dan 42 jantan kuning (b). Dari data ini dapat dihitung frekuensi genotipe BB
pada populasi kucing betina, yaitu P = 277 / (277+54+7) = 0.82. Sementara itu, frekuensi
genotipe Bb (H) = 54 / (277+54+7) = 0,16 dan frekuensi genotipe bb (Q) = 7 / (277+54+7) =
0,02. Di antara populasi kucing jantan frekuensi genotipe B, yaitu R = 311 / (311+42) = 0,88,
sedang frekuensi genotipe b, yaitu S = 42 / (311+42) = 0,12. Sekarang kita dapat menghitung
frekuensi alel B pada seluruh populasi, yaitu p = 1/3 (2.0,82 + 0,16 + 0,88) = 0,89, dan frekuensi
alel b pada seluruh populasi, yaitu q = 1/3 (2.0,02 + 0,16 + 0,12) = 0,11.
Migrasi
Di atas telah disebutkan bahwa migrasi merupakan salah satu syarat yang harus dipenuhi bagi
berlakunya hukum keseimbangan Hardy-Weinberg. Hal ini berarti bahwa peristiwa migrasi akan
menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Lebih jauh, kuantifikasi migrasi dalam bentuk
laju migrasi (lazim dilambangkan sebagai m), sering kali digunakan untuk menjelaskan adanya
perbedaan frekuensi alel tertentu di antara berbagai populasi, misalnya perbedaan frekuensi
golongan darah sistem ABO yang terlihat sangat nyata antara ras yang satu dan lainnya.
Laju migrasi dapat didefinisikan sebagai proporsi atau persentase alel tertentu di dalam suatu
populasi yang digantikan oleh alel migran pada tiap generasi. Sebagai contoh, jika pada tiap
generasi sebanyak 80 dari 1000 ekor ikan normal digantikan oleh ikan albino, maka dikatakan
bahwa laju migrasinya 0,08 atau 8%.
Secara matematika, hubungan antara perubahan frekuensi alel dan laju migrasi dapat dilihat
sebagai persamaan berikut ini.
pn – P = (po – P)(1 – m)n
pn = frekuensi alel pada populasi yang diamati setelah n generasi migrasi
P = frekuensi alel pada populasi migran
po = frekuensi alel pada populasi awal (sebelum terjadi migrasi)
m = laju migrasi
n = jumlah generasi
Mutasi
Faktor lain yang dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel adalah mutasi. Namun,
peristiwa yang sangat mendasari proses evolusi ini sebenarnya tidak begitu nyata pengaruhnya
dalam perubahan frekuensi alel. Hal ini terutama karena laju mutasi yang umumnya terlalu
rendah untuk dapat menyebabkan terjadinya perubahan frekuensi alel. Selain itu, individu-
individu mutan biasanya mempunyai daya hidup (viabilitas), dan juga tingkat kesuburan
(fertilitas), yang rendah.
Dari kenyataan tersebut di atas dapat dimengerti bahwa mutasi hanya akan memberikan
pengaruh nyata terhadap perubahan frekuensi alel jika mutasi berlangsung berulang kali
(recurrent mutation) dan mutan yang dihasilkan memiliki kemampuan untuk beradaptasi dengan
lingkungan yang ada.
Hubungan matematika antara laju mutasi dan perubahan frekuensi alel dapat dirumuskan seperti
pada contoh berikut ini. Misalnya, di dalam suatu populasi terdapat alel A dan a, masing-masing
dengan frekuensi awal po dan qo. Mutasi berlangsung dari A ke a dengan laju mutasi sebesar u.
Sebaliknya, laju mutasi alel a menjadi A adalah v. Dengan demikian, perubahan frekuensi alel A
akibat mutasi adalah ∆p = vqo – upo, sedang perubahan frekuensi alel a akibat mutasi adalah ∆q
= upo – vqo.
Ketika dicapai keseimbangan di antara kedua arah mutasi tersebut nilai ∆p dan ∆q adalah 0. Oleh
karena itu, vqo = upo, atau secara umum vq = up. Jika persamaan ini dielaborasi, maka akan
didapatkan p = v/(u + v) dan q = u/(u + v).
Seleksi
Sebegitu jauh kita mengasumsikan bahwa semua individu di dalam populasi akan memberikan
kontribusi jumlah keturunan yang sama kepada generasi berikutnya. Namun, kenyataan yang
sebenarnya sering dijumpai tidaklah demikian. Individu-individu dapat memberikan kontribusi
genetik yang berbeda karena mereka mempunyai daya hidup dan tingkat kesuburan yang
berbeda.
Proporsi atau persentase kontribusi genetik suatu individu kepada generasi berikutnya dikenal
sebagai fitnes relatif atau nilai seleksi individu tersebut. Nilai fitnes relatif berkisar antara 0 dan
1. Genotipe superior di dalam suatu populasi, atau disebut juga genotipe baku, dikatakan
memiliki nilai fitnes relatif sama dengan 1, sementara untuk genotipe-genotipe lainnya nilai
fitnes relatif besarnya kurang dari 1. Proporsi pengurangan kontribusi genetik suatu genotipe bila
dibandingkan dengan kontribusi genetik genotipe baku disebut koefisien seleksi (s) genotipe
tersebut. Dengan perkataan lain, nilai fitnes relatif genotipe ini adalah 1 – s.
Kembali kita misalkan bahwa di dalam suatu populasi terdapat genotipe AA, Aa, dan aa. Kondisi
dominansi ketiga genotipe ini berdasarkan atas nilai fitnes relatifnya dapat dilihat pada Gambar
15.2 berikut ini.

aa Aa AA
(1-s) (1-½s) 1
a)

aa Aa AA
(1-s) (1-½s) 1
b)

aa AA/Aa
(1-s) 1
c)

aa AA Aa
(1-s2) (1-s1) 1
d)
Fitnes relatif
Gambar 15.2. Berbagai kondisi dominansi dilihat dari nilai fitnes relatifnya
a) Semi dominansi
b) Dominansi parsial
c) Dominansi penuh
d) Overdominansi
Pada kondisi semi dominansi dan dominansi parsial (Gambar 15.2 a dan b) genotipe Aa
memberikan kontribusi genetik yang lebih kecil bila dibandingkan dengan kontribusi genotipe
baku (AA), sedang pada kondisi dominansi penuh (Gambar 15.2 c) genotipe ini memberikan
kontribusi genetik sama besar dengan kontribusi genotipe AA. Bahkan pada kondisi
overdominansi, genotipe Aa menjadi genotipe baku dan kontribusi genetiknya justru lebih besar
daripada kontribusi genotipe AA. Dominansi heterozigot (kondisi overdominansi) ini dapat
dijumpai misalnya pada kasus resistensi individu karier anemia bulan sabit (sickle cell anemia)
terhadap penyakit malaria. Individu dengan genotipe homozigot HbSHbS akan mengalami
pengkristalan molekul hemoglobin, dan eritrositnya berbentuk seperti bulan sabit, sehingga
individu ini akan menderita anemia berat dan biasanya meninggal pada usia muda. Namun,
individu heterozigot HbSHbA justru memiliki ketahanan yang lebih tinggi terhadap infeksi
parasit penyebab malaria bila dibandingkan dengan individu normal (HbAHbA). Di tempat-
tempat yang menjadi endemi penyakit malaria, genotipe HbSHbA merupakan genotipe baku
(fitnes relatif = 1), sedang individu normal HbAHbA mempunyai nilai fitnes relatif kurang dari
1.
Perubahan frekuensi alel akibat seleksi berlangsung sesuai dengan kondisi dominansi yang ada.
Pada kondisi dominansi penuh, misalnya, perubahan frekuensi alel dapat dihitung sebagai
berikut.
Genotipe AA Aa aa Total
Frekuensi awal p2 2pq q2 1
Fitnes relatif 1 1 1 – s
Kontribusi genetik p2 2pq q2(1 – s ) 1 – sq2
Terlihat bahwa kontribusi genetik total mejadi lebih kecil dari 1 karena genotipe aa mempunyai
nilai fitnes relatif 1 – s. Dari rumus hubungan matematika antara frekuensi alel dan frekuensi
genotipe dapat dihitung besarnya frekuensi alel a setelah seleksi, yaitu q1 = q2(1 – s ) + pq / 1-
sq2. Jika perubahan frekuensi alel a dilambangkan dengan ∆q, maka ∆q = q1 – q = q2(1 – s ) +
pq / 1-sq2 – q. Setelah persamaan ini kita elaborasi akan didapatkan ∆q = – sq2( 1 – q) / 1 – sq2.
Untuk kondisi dominansi yang lain besarnya perubahan frekuensi alel akibat seleksi dapat
dirumuskan dengan cara seperti di atas.
Sistem Kawin Tidak Acak
Faktor lain yang meyebabkan gangguan keseimbangan Hardy-Weinberg adalah sistem kawin
tidak acak (non random mating). Jika dilihat dari segi fenotipe, ada sistem kawin tidak acak yang
dikenal sebagai perkawinan asortatif. Dengan perkataan lain, perkawinan asortatif adalah sistem
kawin tidak acak yang didasarkan atas fenotipe.
Perkawinan asortatif dapat berupa perkawinan asortatif positif atau asortatif negatif (disasortatif).
Pada perkawinan asortatif positif individu-individu yang mempunyai fenotipe sama cenderung
untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu dengan fenotipe berbeda.
Sebaliknya, pada perkawinan asortatif negatif individu-individu yang mempunyai fenotipe
berbeda cenderung untuk lebih sering bertemu bila dibandingkan dengan individu-individu
dengan fenotipe yang sama.
Di samping perkawinan asortatif ada pula sistem kawin tidak acak yang tidak memandang
fenotipe individu tetapi dilihat dari hubungan genetiknya. Sistem kawin semacam ini dapat
dibedakan menjadi dua macam, yaitu silang dalam (inbreeding) dan silang luar (outbreeding).
Silang dalam adalah perkawinan di antara individu-individu yang secara genetik memiliki
hubungan kekerabatan, sedang silang luar adalah perkawinan di antara individu-individu yang
secara genetik tidak memiliki hubungan kekerabatan. Perkawinan asortatif positif dan silang
dalam akan meningkatkan frekuensi genotipe homozigot. Sebaliknya, perkawinan asortatif
negatif dan silang luar akan meningkatkan frekuensi genotipe heterozigot.
Silang dalam
Contoh silang dalam yang paling ekstrim dapat dilihat pada tanaman yang melakukan
penyerbukan sendiri. Katakanlah generasi pertama suatu populasi tanaman menyerbuk sendiri
hanya terdiri atas individu-individu dengan genotipe Aa. Oleh karena terjadi penyerbukan sendiri
di antara genotipe Aa, maka pada generasi kedua dari seluruh populasi akan terdapat genotipe
AA, Aa, dan aa masing-masing sebanyak 1/4, 1/2, dan 1/4 bagian. Pada generasi ketiga genotipe
AA dan aa akan bertambah 1/8 bagian yang berasal dari segregasi genotipe Aa pada generasi
kedua. Sebaliknya, genotipe Aa akan berkurang menjadi 1/4 bagian sehingga populasi generasi
ketiga akan terdiri atas (1/4+1/8) AA, 1/4 Aa, dan (1/4+1/8) aa atau 3/8 AA, 1/4 Aa, 3/8 aa.
Dengan demikian, sampai dengan generasi ketiga saja sudah terlihat bahwa frekuensi genotipe
homozigot, baik AA maupun aa, mengalami peningkatan, sedang frekuensi heterozigot Aa
berkurang.
Genotipe homozigot untuk suatu lokus tertentu – jika kita berbicara individu normal diploid –
mempunyai dua buah alel yang sama pada lokus tersebut. Persamaan di antara dua alel pada
genotipe homozigot dapat terjadi dengan dua kemungkinan. Pertama, mereka secara fungsional
sama sehingga menghasilkan fenotipe yang sama pula. Dua alel semacam ini dikatakan sebagai
alel serupa (alike in state). Kemungkinan kedua, mereka berasal dari hasil replikasi sebuah alel
pada generasi sebelumnya. Jika hal ini yang terjadi, maka kedua alel tersebut dikatakan seasal
atau identik (identical by descent).
Untuk menggambarkan besarnya peluang bahwa dua buah alel yang sama pada individu
homozigot merupakan alel identik digunakan suatu nilai yang disebut sebagai koefisien silang
dalam (inbreeding coefficient). Nilai ini besarnya berkisar dari 0 hingga 1, dan biasanya
dilambangkan dengan F. Nilai F sama dengan 0 apabila kedua alel pada individu homozigot
tidak mempunyai asal- usul yang sama atau merupakan hasil kawin acak. Sebaliknya, nilai F
sama dengan 1 apabila kedua alel sepenuhnya merupakan alel identik atau berasal dari leluhur
bersama (common ancestor) yang sangat dekat.
Besarnya nilai F dapat dihitung dari diagram silsilah seperti contoh pada Gambar 15.3. Misalnya,
individu A kawin dengan B menghasilkan dua anak, yaitu C dan D. Selanjutnya, kakak beradik
C dan D kawin, mempunyai anak X. Koefisien silang dalam individu X dapat dihitung sebagai
berikut.
A B * Hitung jumlah loop. Loop adalah jalan yang menghubungkan kedua orang tua
C D X (C dan D) melewati leluhur bersama (A dan B). Pada soal ini terdapat dua
X loop, yaitu CAD dan CBD.
Gambar 15.3.Contoh diagram silsilah *Hitung jumlah individu yang terdapat pada tiap loop
sebagai nilai n.
* Hitung nilai F dengan rumus :
F = Σ (½)n(1 + FA)
n = jumlah individu yang terdapat pada tiap loop (pada soal ini terdapat 3 individu, baik pada
loop CAD maupun CBD)
FA = koefisien silang dalam leluhur bersama (pada soal ini FA dan FB masing-masing sama
dengan 0 karena dianggap sebagai individu hasil kawin acak)
Dengan demikian, nilai F individu X (FX) pada contoh soal tersebut di atas adalah (½)3(1 + 0) +
(½)3(1 + 0) = ¼. Hal ini berarti bahwa peluang bertemunya alel-alel identik yang berasal dari
leluhur bersama, baik A maupun B, pada individu X besarnya ¼.
Makin besar nilai F, makin cepat diperoleh tingkat homozigositas yang tinggi. Sebagai
gambaran, pembuahan sendiri dapat mencapai homozigositas 100% pada generasi keenam,
sementara perkawinan antara saudara kandung baru mencapainya pada generasi keenam belas.
Peningkatan homozigositas akibat silang dalam dapat menimbulkan tekanan silang dalam
(inbreeding depression) apabila di antara alel-alel identik yang bertemu terdapat sejumlah alel
resesif yang kurang menguntungkan.
Perubahan frekuensi alel yang disebabkan oleh terjadinya silang dalam dapat dihitung dari
perubahan frekuensi genotipe seperti pada Tabel 15.3.
Tabel 15.3. Frekuensi genotipe hasil kawin acak
dan silang dalam
Genotipe Frekuensi
Kawin acak Silang dalam
AA p2 p2 (1 – F) + pF
Aa 2 pq 2 pq (1 – F)
aa q2 q2 (1 – F) + qF
Jika nilai F = 0, maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing adalah p2, 2 pq, dan q2
. Frekuensi tersebut ternyata sama dengan frekuensi genotipe hasil kawin acak. Jika nilai F = 1,
maka frekuensi genotipe AA, Aa, dan aa masing-masing menjadi p, 0, dan q. Hal ini berarti di
dalam populasi hanya tinggal individu homozigot, sedang individu heterozigot tidak dijumpai
lagi.
Silang luar
Berkebalikan dengan silang dalam, silang luar akan meningkatkan frekuensi heterozigot. Di
samping itu, jika silang dalam dapat menyebabkan terjadinya tekanan silang dalam yang
berpengaruh buruk terhadap individu yang dihasilkan, silang luar justru dapat memunculkan
individu hibrid dengan sifat-sifat yang lebih baik daripada kedua tetuanya yang homozigot.
Fenomena keunggulan yang diperlihatkan oleh individu hibrid hasil persilangan dua tetua galur
murni (homozigot) disebut sebagai vigor hibrida atau heterosis.
Ada beberapa teori mengenai mekanisme genetik yang menjelaskan terjadinya heterosis. Salah
satu di antaranya adalah teori dominansi, yang pada prinsipnya menyebutkan bahwa alel-alel
reseif merugikan yang dibawa oleh masing-masing galur murni akan tertutupi oleh alel dominan
pada individu hibrid yang heterozigot. Misalnya, ada alel A yang menyebabkan akar tanaman
tumbuh kuat sementara alel a menjadikan akar tanaman lemah. Sementara itu, alel B
menyebabkan batang menjadi kokoh, sedang alel b menyebabkan batang lemah. Persilangan
antara galur murni AAbb (akar kuat, batang lemah) dan aaBB (akar lemah, batang kuat) akan
menghasilkan hibrid AaBb yang mempunyai akar dan batang kuat.
Fenomena heterosis sudah sering sekali dimanfaatkan pada bidang pemuliaan tanaman, antara
lain untuk merakit varietas jagung hibrida. Galur murni A disilangkan dengan galur murni B,
mendapatkan hibrid H. Namun, karena biji hibrid H ini dibawa oleh tongkol tetuanya (A atau B)
yang kecil, maka jumlah bijinya menjadi sedikit dan tidak cukup untuk dijual kepada petani.
Oleh karena itu, jagung hibrida yang dipasarkan biasanya bukan hasil silang tunggal (single
cross) seperti itu, melainkan hasil silang tiga arah (three-way cross) atau silang ganda (double
cross). Pada silang tiga arah hibrid H digunakan sebagai tetua betina untuk disilangkan lagi
dengan galur murni lain sehingga biji hibrid yang dihasilkan akan dibawa oleh tongkol hibrid H
yang ukurannya besar. Agak berbeda dengan silang tiga arah, pada silang ganda hibrid H
disilangkan dengan hibrid I hasil silang tunggal antara galur murni C dan D. Dalam silang ganda
ini, sebagai tetua betina dapat digunakan baik hibrid H maupun hibrid I karena kedua-duanya
mempunyai tongkol yang besar.

Dikutip dari : http://zaifbio.wordpress.com/category/genetika-dasar/

Gen Unik Manusia


02 Oct 2012 Leave a comment

by ratnasari601 in Genetika Dasar

Gen adalah pembawa sifat manusia yang terdapat di dalam kromosom DNA .
Informasimengenai wujud manusia tersimpan dengan sangat rinci dan detail di dalam gen.
Berikut adalah gen-gen unik yang ditemukan oleh para ilmuwan genetika.

Sumber gambar: www.2010fall.blog.ntu.edu.tw

Gen Umur Panjang

Kini, para ilmuwan telah menemukan 86 orangtua dan anak-anak yang memiliki tingkat
telomerase lebih tinggi dibandingkan orang pada umumnya. Telomerase tersebut berfungsi
melindungi DNA.

Telomerase ini merupakan bagian khusus dari DNA yang berada di ujung kromosom, seperti
layaknya selubung plastik di ujung tali sepatu untuk mencegah serabut anyaman tali sepatu
terurai. Setiap kali sebuah sel terbagi, telomerase akan memendek dan menjadi lebih rentan
untuk mengalami kematian.

Dari penelitian tersebut menunjukkan bahwa orang-orang yang berusia di atas 90 tahun beserta
keturunannya memiliki telomerase yang lebih tinggi dibandingkan orang kebanyakan. Secara
signifikan kondisi tersebut membuat mereka mempunyai umur lebih panjang dibanding dengan
orang-orang kebanyakan.

Gen Penyebab Penuaan

Setiap orang tentu mendambakan dirinya awet muda. Dalam sebuah penelitian menunjukkan
bahwa penuaan ternyata dipengaruhi oleh satu bagian dari DNA, yang berkelompok di dekat gen
manusia bernama TERC. Dalam penelitian di Inggris yang dipublikasikan di jurnal Genetics
menyebutkan bahwa seseorang dengan gen ini memiliki proses penuaan sekitar tiga hingga
empat tahun lebih cepat dibandingkan dengan orang-orang yang tidak memiliki gen ini.

Penelitian lain oleh Harvard Medical School dan dimuat Nature, berhasil mengaktifkan gen tua
pada tikus. Hasilnya, proses penuaan berhasil dibalikkan sehingga organ pada tikus itu
mengalami regenerasi dan tingkat kesuburan mereka berhasil pulih. Kesimpulannya secara teori,
memanipulasi gen TERC tersebut dapat memperlambat penuaan.

Dikutip dari: http://biosejati.wordpress.com/category/genetika-2/

PEMBELAHAN SEL
02 Oct 2012 Leave a comment

by ratnasari601 in Genetika Dasar

A. Reproduksi Sel
Pernahkah kalian memikirkan proses tumbuhnya badan bayi hing-ga dewasa? Dari bayi, kita
dapat tumbuh menjadi bentuk sekarang ini disebabkan sel-sel di dalam tubuh kita terus-menerus
memperbanyak diri melalui pembelahan sel. Oleh karena itu, pembelahan sel meru-pakan faktor
penting dalam hidup kita. Sel merupakan bagian terkecil yang menyusun tubuh kita. Setiap sel
dapat memperbanyak diri dengan membentuk sel-sel baru melalui proses yang disebut
pembelahan sel atau reproduksi sel . Pada organ-isme bersel satu ( uniseluler ), seperti bakteri
dan protozoa, proses pem-belahan sel merupakan salah satu cara untuk berkembang biak. Proto-
zoa melakukan pembelahan sel dari satu sel menjadi dua, dari dua sel menjadi empat, dan dari
empat sel menjadi delapan, dan seterusnya.
Pada makhluk hidup bersel banyak (multiseluler), pembelahan sel mengakibatkan bertambahnya
sel-sel tubuh. Oleh karena itu, terjadi-lah proses pertumbuhan pada makhluk hidup. Pembelahan
sel juga berlangsung pada sel kelamin atau sel gamet yang bertanggung jawab dalam proses
perkawinan antar individu. Setelah dewasa, sel kelenjar kelamin pada tubuh manusia membelah
membentuk sel-sel kelamin.
Seorang laki-laki menghasilkan sperma di dalam testis, sedangkan wanita menghasilkan sel telur
atau ovum di dalam ovarium.
Pada dasarnya, pembelahan sel dibedakan menjadi dua, yaitu pembelahan secara langsung
(amitosis) dan pembelahan secara tidak langsung (mitosis dan meiosis). Apa yang dimaksud
dengan pembe-lahan sel secara langsung maupun tidak langsung tersebut? Kalian akan
mengetahuinya dengan menyimak penjelasan berikut.

1. Pembelahan Sel secara Langsung


Proses pembelahan secara langsung disebut juga pembelahan ami-tosis atau pembelahan biner.
Pembelahan biner merupakan proses pembelahan dari 1 sel menjadi 2 sel tanpa melalui fase-fase
atau tahap-tahap pembelahan sel. Pembelahan biner banyak dilakukan organisme uniseluler
(bersel satu), seperti bakteri, protozoa, dan mikroalga (alga bersel satu yang bersifat
mikroskopis). Setiap terjadi pembelahan biner, satu sel akan membelah menjadi dua sel yang
identik (sama satu sama lain). Dua sel ini akan membelah lagi menjadi empat, begitu seterus-
nya. Pembelahan biner dimulai dengan pembelahan inti sel menjadi dua, kemudian diikuti
pembelahan sitoplasma. Akhirnya, sel terbelah menjadi dua sel anakan. Pembelahan biner dapat
terjadi pada organisme prokariotik atau eukariotik tertentu. Perbedaan antara organisme
prokariotik dan eukariotik, terutama berdasarkan pada ada tidaknya membran inti selnya.
Membran inti sel tersebut membatasi cairan pada inti sel ( nukleoplasma) dengan cairan di luar
inti sel, tempat terdapatnya organel sel ( sitoplasma). Organisme prokariotik tidak mempunyai
membran inti sel, sedangkan organisme eukariotik mempunyai membran inti sel. Oleh karena
itu, eukariotik dikatakan mempunyai inti sel (nukleus) sejati.
Pembelahan biner pada organisme prokariotik terjadi pada bakteri. DNA bakteri terdapat pada
daerah yang disebut nukleoid .
DNA pada bakteri relatif lebih kecil dibandingkan dengan DNA pada sel eukariotik. DNA pada
bakteri berbentuk tunggal, panjang dan sirkuler sehingga tidak perlu dikemas menjadi kromosom
sebelum pembelahan.

Contoh organisme eukariotik yang mengalami pembelahan biner adalah Amoeba. Proses
pembelahan sel pada Amoeba dapat kalian pe-lajari pada Gambar 4.2.

2. Pembelahan Sel secara Tidak Langsung (Mitosis dan Meiosis)


Pembelahan sel secara tidak langsung adalah pembelahan yang melalui tahapan-tahapan tertentu.
Setiap tahapan pembelahan ditandai dengan penampakan kromosom yang berbeda-beda. Kalian
telah mengetahui bahwa di dalam inti sel terdapat benang-benang kromatin . Ketika sel akan
membelah, benang-benang kromatin ini menebal dan memendek, yang kemudian disebut
kromosom. Kromosom dapat berikatan dengan warna tertentu, sehingga mudah diamati dengan
mikroskop. Hasil penelitian menunjukkan bahwa kromosom merupakan benang pembawa sifat.
Di dalam kromosom terdapat gen sebagai faktor pembawa sifat keturunan.
Pada waktu sel sedang membelah, terjadi proses pembagian kromosom di dalamnya. Tingkah
laku kromosom selama sel membelah dibedakan menjadi fase-fase atau tahap-tahap pembelahan
sel. Pembelahan sel yang terjadi melalui fase-fase itulah yang disebut pembelahan secara tidak
langsung. Mengenai fase-fase pembelahan mitosis akan dibahas pada subab tersendiri.
Pembelahan sel secara tidak langsung dibedakan menjadi dua, yaitu pembelahan mitosis dan
meiosis . Sebelum kalian mempelajari lebih jauh tentang pembelahan sel secara tidak langsung,
ada baiknya kalian lakukan rubrik Diskusi beri-kut ini.

Proses pertumbuhan dan perkembangan jaringan atau organ tu-buh organisme terjadi melalui
proses pembelahan sel secara mitosis. Pembelahan mitosis adalah pembelahan sel yang
menghasilkan sel anakan dengan jumlah kromosom sama dengan jumlah kromosom induknya.
Proses pembelahan mitosis terjadi pada semua sel tubuh makhluk hidup, kecuali pada jaringan
yang menghasilkan gamet (sel kelamin).
Pada pembelahan mitosis, satu sel induk membelah diri menjadi dua sel anakan. Sel anakan ini
mewarisi sifat sel induknya dan memiliki jumlah kromosom yang sama dengan induknya. Jika
sel induk memi-liki 2n kromosom, maka setiap sel anakan juga emiliki 2n kromo-som. Jumlah
2n ini disebut juga kromosom diploid .
Pembelahan mitosis terjadi selama pertumbuhan dan reproduksi secara aseksual. Pada manusia
dan hewan, pembelahan mitosis terjadi pada sel meristem somatik (sel tubuh) muda yang
mengalami pertum-buhan dan perkembangan. Sebagai contoh, sel telur yang telah dibuahi
sperma akan membelah beberapa kali secara mitosis untuk membentuk embrio. Sel-sel pada
embrio ini terus-menerus membelah secara mitosis dan akhirnya terbentuk bayi. Pertumbuhan
manusia dari bayi hingga dewasa juga melalui mekanisme pembelahan sel secara mitosis. Inilah
salah satu bentuk kekuasaan tuhan yang harus kita syukuri.
Pembelahan meiosis yang disebut juga sebagai pembelahan reduksi merupakan pembelahan sel
induk dengan jumlah kromosom diploid (2n) menghasilkan empat sel anakan. Setiap sel anakan
mengandung separuh kromosom sel induk atau disebut haploid ( n). Pembelahan meiosis terjadi
pada proses pembentukan sel gamet (sel kelamin) pada organ reproduksi (testis atau ovarium).
Pada manusia atau hewan, sperma yang haploid dihasilkan di dalam testis dan sel telur yang juga
haploid dihasilkan di dalam ovarium. Pada tumbuhan berbunga, sel gamet dihasilkan di dalam
putik dan benang sari. Pembentukan gamet jantan dan gamet betina terjadi melalui tahapan
gametogenensis (dibahas pada subbab tersendiri). Penyatuan kedua gamet akan menghasilkan
zigot dengan variasi genetik. Ini disebabkan karena sel anakan merupakan hasil penyatuan dua
sel yang berbeda materi genetiknya. Perpaduan ini menyebabkan adanya variasi genetik.
B. Tahapan Pembelahan Mitosis
Pembelahan sel secara mitosis meliputi sejumlah tahapan tertentu. Sebenarnya, pembelahan
mitosis hanyalah sebagian kecil dari siklus sel. Siklus sel terdiri dari fase pembelahan mitosis
(M) dan periode pertumbuhan yang disebut interfase. Interfase merupakan bagian ter-besar dari
siklus sel. Interfase terdiri dari tiga sub fase, yaitu fase G1 (pertumbuhan primer), fase S
(sintesis) , dan fase G2 (pertumbuhan sekunder ).
Pembelahan mitosis merupakan pembelahan yang menghasil-kan sel-sel tubuh (sel somatik).
Secara garis besar, pembelahan sel
secara mitosis terdiri dari fase istirahat (interfase ), fase pembelahaninti sel ( kariokinesis ), dan
fase pembelahan sitoplasma (sitokinesis). Bagaimanakah ciri-ciri setiap fase pembelahan
tersebut? Untuk menge-tahuinya, simaklah penjelasan berikut.
1. Interfase (Fase Istirahat)
Pada tahap ini, sel dianggap sedang istirahat dan tidak melaku-kan pembelahan. Namun,
interfase merupakan tahap yang penting untuk mempersiapkan pembelahan atau melakukan
metabolisme sel. Pada interfase, tingkah laku kromosom tidak tampak karena berbentuk benang-
benang kromatin yang halus. Walaupun begitu, sel anak yang baru terbentuk sudah melakukan
metabolisme. Sel perlu tumbuh dan melakukan berbagai sintesis sebelum memasuki proses
pembelahan berikutnya.Apa saja kegiatan sel pada saat interfase? Pada saat interfase, sel
mengalami subfase berikut.
a. Fase Pertumbuhan Primer ( Growth 1 disingkat G1 )

Sel yang baru terbentuk mengalami pertumbuhan tahap pertama. Pada subfase ini, sel-sel belum
mengadakan replikasi DNA yang masih bersifat 2n (diploid). Sementara organel-organel yang
ada di dalam sel, seperti mitokondria, retikulum endoplasma, kompleks golgi, dan or-ganel
lainnya memperbanyak diri guna menunjang kehidupan sel.
b. Fase Sintesis (S)
Pada subfase ini, sel melakukan sintesis materi genetik. Materi ge-netik adalah bahan-bahan
yang akan diwariskan kepada keturunannya, yaitu DNA. DNA dalam inti sel mengalami
replikasi (penggandaan jumlah salinan). Jadi, subfase sintesis (penyusunan) menghasilkan 2
salinan DNA.
c. Fase Pertumbuhan Sekunder ( Growth 2 disingkat G2 )
Setelah DNA mengalami replikasi, subfase berikutnya adalah per-tumbuhan sekunder (G2). Pada
subfase ini, sel memperbanyak organel-organel yang dimilikinya. Ini bertujuan agar organel-
organel tersebut dapat diwariskan kepada setiap sel turunannya. Pada subfase ini, rep-likasi DNA
telah selesai dan sel bersiap-siap mengadakan pembelahan secara mitosis. Selain itu, inti sel
(nukleus) telah terbentuk dengan jelas dan terbungkus membran inti.

Pada subfase ini, inti sel mempunyai satu atau lebih nukleolus (membran inti sel). Di luar inti
terdapat dua sentrosom yang terbentuk oleh replikasi sentrosom pada tahap sebelumnya.
Sentrosom mengala-mi perpanjangan menyebar secara radial yang isebut aster (bintang). Pada
sentrosom terdapat sepasang sentriol yang berfungsi menentukan orientasi pembelahan sel.
Walaupun kromosom telah diduplikasi pada fase S, namun pada fase G2, kromosom belum dapat
dibedakan secara individual karena masih berupa benang-benang kromatin.

Setelah ketiga tahapan interfase dilalui, sel telah siap menjalani pembelahan secara mitosis.
Seperti fase interfase, pembelahan mitosis juga terdiri dari beberapa fase. Untuk mengetahui
lebih jauh tentang fase-fase pada pembelahan mitosis, simaklah penjelasan berikut.
2. Pembelahan Mitosis
Kalian telah mengetahui bahwa pembelahan mitosis menghasil-kan sel anakan yang identik
dengan induknya. Secara garis besar, fase pembelahan mitosis terbagi menjadi dua fase, yaitu
fase pembelahan inti ( kariokinesis ) dan fase pembelahan sitoplasma ( sitokinesis).Kariokinesis
adalah fase pembelahan inti sel. Secara rinci, fase kariokinesis dibagi menjadi empat subfase,
yaitu profase, metafase, anafase, dan telofase. Sekarang, marilah kita bahas keempat subfase
tersebut.
a Profase
Pada permulaan profase, di dalam nukleus mulai terbentuk kro-mosom , yaitu benang-benang
rapat dan padat yang terbentuk akibat menggulungnya kromatin. Pada fase ini, kromosom dapat
dilihat menggunakan mikroskop. Selanjutnya, nukleolus menghilang dan terjadi duplikasi
kromosom (kromosom membelah dan memanjang) menghasilkan 2 kromosom anakan yang
disebut kromatid .
Pada akhir profase, di dalam sitoplasma mulai terbentuk gelendong pembelahan ( spindel ) yang
berasal dari mikrotubulus. Mikrotubulus tersebut memanjang, seolah-olah mendorong dua
sentrosom di sepanjang permukaan inti sel (nukleus). Akibatnya, sentrosom sa ling menjauh.
Proses ini kemudian berlanjut ke fase berikutnya, yaitu metafase.
b Metafase
Tahap awal metafase (prometafase) ditandai dengan semakin memadatnya kromosom
(kromosom ini terdiri dari 2 kromatid) dan
terpecahnya membran inti (membran nukleus). Hal ini menyebab-kan mikrotubulus dapat
menembus inti sel dan melekat pada struktur khusus di daerah sentromer setiap kromatid, disebut
kinetokor . Oleh karena itu, kinetokor ini berfungsi sebagai tempat bergantung bagi kromosom.
Sebagian mikrotubulus yang melekat pada kinetokor disebut mikro-tubulus kinetokor, sedangkan
mikrotubulus yang tidak memperoleh kinetokor disebut mikrotubulus non kinetokor. Sementara
itu, mikrotubulus non kinetokor berinteraksi dengan mikrotubulus lain dari kutub sel yang
berlawanan. Pada metafase, kromosom tampak
jelas.

Pada tahap metafase sesungguhnya, sentrosom telah berada pada kutub sel. Dinding inti sel
menghilang. Sementara itu, kromosom me-nempatkan diri pada bidang pembelahan yang disebut
bidang metafase. Bidang ini merupakan bidang khayal yang terletak tepat di tengah sel, seperti
garis katulistiwa bumi sehingga disebut juga bidang ekuator. Pada bidang ini, sentromer dari
seluruh kromosom terletak pada satu baris yang tegak lurus dengan gelendong pembelahan.
Kinetokor pada setiap kromatid menghadap pada kutub yang berlainan (perhatikan Gambar 4.7).
Dengan letak kromosom berada di bidang pembelahan, maka pembagian jumlah informasi DNA
yang akan diberikan kepada sel anakan yang baru, benar-benar rata dan sama jumlahnya.
Tahapan ini merupakan akhir dari metafase.
c Anafase
Setelah berakhirnya tahap metafase, pembelahan sel berlanjut pada tahap anafase. Tahap anafase
ditandai dengan berpisahnya
kromatid saudara pada bagian sentromer kromosom. Gerak kromatid ini disebabkan tarikan
benang mikrotubulus yang berasal dari sentriol pada kutub sel. Kalian telah mengetahui bahwa
mikrotubulus melekat pada sentromer. Hal ini menyebabkan sentromer tertarik terlebih dahulu.
Akibatnya, sentromer berada di depan dan bagian lengan kromatid berada di belakang. Struktur
ini seperti huruf V. Gerakan ini menempuh jarak sekitar 1μm (10-6 meter) tiap menit. Pada saat
bersamaan, mikrotubulus non kinetokor semakin memanjang sehingga jarak kedua kutub sel
semakin jauh. Selanjutnya, masing-masing kromatid bergerak ke arah kutub yang berlawanan
dan berfungsi sebagai kromosom lengkap, dengan sifat keturunan yang sama (identik). Untuk
menjalankan tugasnya ini, mikrotubulus telah mengalami peruraian pada bagian kinetokornya.
Lalu bagaimanakah bidang pembelahan sel pada hewan dan tumbuhan?
Salah satu perbedaan sel tumbuhan dan sel hewan adalah ada ti-daknya sentriol. Pada sel
tumbuhan, peran sentriol digantikan oleh kromosom sehingga arah pembelahan tetap menuju ke
kutub sel. Pada sel hewan, sentriol pada kutub sel merupakan arah yang dituju oleh gerakan
kromatid saat pembelahan.

d Telofase
Pada tahap telofase ini, inti sel anakan terbentuk kembali dari fragmen-fragmen nukleus. Bentuk
selnya memanjang akibat peran
mikrotubulus non kinetokor. Benang-benang kromatin mulai longgar. Dengan demikian, fase
kariokinesis yang menghasilkan dua inti sel anak yang identik secara genetik telah berakhir,
namun dua inti sel masih berada dalam satu sel. Perhatikan Gambar 4.9.
Agar kedua inti terpisah menjadi sel baru, perlu adanya pembelahan sitoplasma yang disebut
sitokinesis. Sitokinesis terjadi,
segera setelah telofase selesai. Pada fase sitokinesis terjadi pembelahan sitoplasma diikuti
pembentukan sekat sel baru, sehingga terbentuk dua sel anakan.
Pada sel hewan, sitokinesis ditandai dengan pembentukan alur pembelahan melalui pelekukan
permukaan sel di sekitar bekas bidang ekuator. Di sepanjang alur melingkar, terdapat mikrofi
lamen yang terdiri dari protein aktin dan miosin. Protein tersebut berperan dalam kontraksi otot
atau pergerakan sel yang lain. Kontraksi ini semakin ke dalam sehingga menjepit sel dan
membagi isi sel menjadi 2 bagian yang sama.

Berbeda dengan sel hewan, sel tumbuhan mempunyai dinding sel yang keras. Oleh karena itu,
pada sitokinensis tidak terbentuk
alur pembelahan. Sitokinesis terjadi dengan pembentukan pelat sel (cell plate ) yang terbentuk
oleh vesikula di sekitar bidang ekuator. Vesikula-vesikula yang dibentuk oleh badan golgi
tersebut saling bergabung. Penggabungan juga terjadi dengan membran plasma diikuti
terbentuknya dinding sel yang baru oleh materi dinding sel yang dibawa oleh vesikula.

C. Pembelahan Meiosis
Pernahkah kalian berpikir mengapa seekor kambing hanya mela-hirkan kambing, manusia
melahirkan manusia, atau sapi melahirkan sapi? Secara kodrati, makhluk hidup tertentu hanya
melahirkan makh-luk yang sejenis. Ini dikarenakan adanya ekanisme tertentu pada saat awal
perkembangbiakan. Bahkan, sebelum terbentuk calon anak di dalam rahim, mekanisme ini sudah
dimulai. Mekanisme ini dimulai pada sel-sel kelamin (sel reproduksi) calon bapak dan calon ibu.
Me-kanisme tersebut adalah pembelahan sel secara meiosis . Makhluk hidup yang sejenis
mempunyai jumlah kromosom yang sama pada setiap sel. Misalnya, manusia mempunyai 46
kromosom, ke-cuali pada sel reproduksi atau sel kelaminnya. Sel kelamin pada manusia hanya
mempunyai setengah jumlah kromosom sel tubuh lainnya, yaitu 23 kromosom. Jumlah setengah
kromosom (haploid) ini diperlukan untuk menjaga agar jumlah kromosom anak tetap 46. Kalian
telah mengetahui bahwa anak terbentuk dari perpaduan antara sel kelamin betina (sel telur) dan
sel kelamin jantan (sperma). Perpadu an kedua sel kelamin yang ma-sing-masing memiliki 23
kromosom ini akan menghasilkan sel anak (calon janin) yang mempunyai 46 kromosom. Oleh
sebab itu, pembelahan meio-sis sangat berpengaruh dalam perkembang an makhluk hidup.

Pembelahan meiosis disebut juga pembelahan reduksi , yaitu pe-ngurangan jumlah kromosom
pada sel-sel kelamin (sel gamet jantan dan sel gamet betina). Sel gamet jantan pada hewan
(mamalia) diben-tuk di dalam testis dan gamet betinanya dibentuk di dalam ovarium. Gamet
jantan pada tumbuhan dibentuk di dalam organ reproduktif berupa benang sari, sedangkan gamet
betinanya dibentuk di dalam pu-tik. Sel kelamin betina pada hewan berupa sel telur, sedangkan
pada tumbuhan berupa putik. Pada dasarnya, tahap pembelahan meiosis serupa dengan
pembelahan mitosis. Hanya saja, pada meiosis terjadi dua kali pembelahan, yaitu meiosis I dan
meiosis II. Masing-masing pembelahan meiosis terdiri dari tahap-tahap yang sama, yaitu profase,
metafase, anafase, dan telofase. Bagaimanakah ciri-ciri setiap tahap pembelahan meiosis
tersebut? Kalian akan mengetahuinya setelah mempelajari uraian berikut.
1. Tahap Meiosis I
Seperti halnya pembelahan mitosis, sebelum mengalami pembe-lahan meiosis, sel kelamin perlu
mempersiapkan diri. Fase persiapan ini disebut tahap interfase . Pada tahap ini, sel melakukan
persiapan berupa penggandaan DNA dari satu salinan menjadi dua salinan (seperti interfase pada
mitosis). Tingkah laku kromosom masih belum jelas terlihat karena masih berbentuk benang-
benang halus (kro-matin) sebagaimana interfase pada mitosis. Selain itu, sentrosom juga
bereplikasi menjadi dua (masing-masing dengan 2 sentriol), seperti tampak pada gambar di
samping. Sentriol berperan dalam menentu-kan arah pembelahan sel.

Setelah terbentuk salinan DNA, barulah sel mengalami tahap pembelahan meiosis I yang diikuti
tahap meiosis II. Tahap meiosis I ter-diri atas profase I, metafase I, anafase I, dan telofase I, serta
sitokinesis I. Bagaimanakah ciri-ciri setiap fase pembelahan tersebut? Berikut akan dibahas fase-
fase meiosis I pada sel hewan dengan 4 kromosom diploid (2n = 2). Untuk lebih jelasnya,
simaklah penjelasan di bawah ini.
a. Profase I
Pada tahap meiosis I, profase I merupakan fase terpanjang atau terlama dibandingkan fase
lainnya bahkan lebih lama daripada tahap profase pada pembelahan mitosis. Profase I dapat
berlangsung dalam beberapa hari. Biasanya, profase I membutuhkan waktu sekitar 90% dari
keseluruhan waktu yang dibutuhkan dalam pembelahan meiosis. Tahapan ini terdiri dari lima
subfase, yaitu leptoten, zigoten, pakiten, iploten, dan diakinesis.
1) Leptoten
Subfase leptoten ditandai adanya benang-benang kromatin yang memendek dan menebal. Pada
subfase ini mulai terbentuk sebagai kromosom homolog. Kalian perlu membedakan kromosom
homolog dengan kromatid saudara. Gambar 4.13 memperlihatkan perbedaan pasangan
kromosom homolog dengan kromatid saudara.

2) Zigoten
Kromosom homolog saling berdekatan atau berpasangan menurut panjangnya. Peristiwa ini
disebut sinapsis. Kromosom
homolog yang berpasangan ini disebut bivalen (terdiri dari 2 kro-mosom homolog). Amati
kembali Gambar 4.13.
3) Pakiten
Kromatid antara kromosom homolog satu dengan kromosom homolog yang lain disebut sebagai
kromatid bukan saudara ( non
sister chromatids ). Dengan demikian, pada setiap kelompok sinap-sis terdapat 4 kromatid (1
pasang kromatid saudara dan 1 pasang kromatid bukan saudara). Empat kromatid yang
membentuk pa-sangan sinapsis ini disebut tetrad (Gambar 4.14).
4) Diploten
Setiap bivalen me ngandung empat kromatid yang tetap berkaitan atau berpasangan di suatu titik
yang disebut kiasma
(tunggal). Apabila titik-titik perlekatan tersebut lebih dari satu disebut kiasmata. Proses
perlekatan atau persilangan kromatid-kromatid disebut pindah silang ( crossing over ). Pada
proses pin-dah silang, dimungkinkan terjadinya pertukaran materi genetik
(DNA) dari homolog satu ke homolog lainnya. Pindah silang ini-lah yang memengaruhi variasi
genetik sel anakan.

5) Diakinesis
Pada subfase ini terbentuk benang-benang spindel pembela-han (gelendong mikrotubulus).
Sementara itu, membran inti sel
atau karioteka dan nukleolus mulai lenyap.Profase I diakhiri dengan terbentuknya tetrad yang
mem-bentuk dua pasang kromosom homolog. Perhatikan lagi Setelah profase I berakhir,
kromosom mulai bergerak ke bi-dang metafase.

b. Metafase I
Pada metafase I, kromatid hasil duplikasi kromosom homolog berjajar berhadap-hadapan di
sepanjang daerah ekuatorial inti (bidang metafase I). Membran inti mulai menghilang.
Mikrotubulus kinetokor dari salah satu kutub melekat pada satu kromosom di setiap pasangan.
Sementara mikrotubulus dari kutub berlawanan melekat pada pasang-an homolognya. Dalam hal
ini, kromosom masih bersifat diploid.

c. Anafase I
Setelah tahap metafase I selesai, gelendong mikrotubulus mulai menarik kromosom homolog
sehingga pasangan kromosom homolog terpisah dan masing-masing menuju ke kutub yang
berlawanan Gambar 4.16). Peristiwa ini mengawali tahap anafase I. Namun, kromatid saudara
masih terikat pada sentromernya dan bergerak sebagai satu unit tunggal. Inilah perbedaan antara
anafase pada mitosis dan meiosis. Pada mitosis, mikrotubulus memisahkan kromatid yang
bergerak ke arah berlawanan. Coba pelajari lagi tahap anafase pada mitosis.
d. Telofase I
Pada telofase, setiap kromosom homolog telah mencapai kutub-kutub yang berlawanan. Ini
berarti setiap kutub mempunyai satu set kromosom haploid. Akan tetapi, setiap kromosom tetap
mempunyai dua kromatid kembar. Pada fase ini, membran inti muncul kembali. Peristiwa ini
kemudian diikuti tahap selanjutnya, yaitu sitokinesis.
e. Sitokinesis
Kalian masih ingat pengertian sitokinesis pada sel hewan mau-pun tumbuhan bukan? Ya,
sitokinesis merupakan proses pembelahan sitoplasma. Tahap sitokinesis terjadi secara simultan
dengan telofase. Artinya, terjadi secara bersama-sama. Tahap ini merupakan tahap di antara dua
pembelahan meiosis. Alur pembelahan atau pelat sel mulai terbentuk (Gambar 4.17). Pada tahap
ini tidak terjadi perbanyakan (replikasi) DNA. Hasil pembelahan meiosis I menghasilkan dua sel
haploid yang
mengandung setengah jumlah kromosom homolog. Meskipun demiki-an, kromosom tersebut
masih berupa kromatid saudara (kandungan DNA-nya masih rangkap). Untuk menghasilkan sel
anakan yang mem-punyai kromosom haploid diperlukan proses pembelahan selanjutnya, yaitu
meiosis II. Jarak waktu antara meiosis I dengan meiosis II disebut
dengan interkinesis .

Jadi, tujuan meiosis II adalah membagi kedua salinan DNA pada sel anakan yang baru hasil dari
meiosis I. Meiosis II terjadi pada ta-hap-tahap yang serupa seperti meiosis I. Nah, untuk
mengetahui lebih lanjut tentang tahap meiosis II, perhatikan uraian selanjutnya.
2. Tahap Meiosis II
Tahap meiosis II juga terdiri dari profase, metafase, anafase, dan telo-fase. Tahap ini merupakan
kelanjutan dari tahap meiosis I. Masing-masing sel anakan hasil pembelahan meiosis I akan
membelah lagi menjadi dua. Sehingga, ketika pembelahan meiosis telah sempurna, dihasilkan
empat sel anakan. Hal yang perlu diingat adalah bahwa jumlah kromo-som keempat sel anakan
ini tidak lagi diploid (2n) tetapi sudah haploid
(n). Proses pengurangan jumlah kromosom ini terjadi pada tahap meio-sis II. Bagaimanakah
proses pengurangan jumlah kromosom ini terjadi? Kalian akan mengetahuinya setelah
mempelajari uraian di bawah ini.
a. Profase II
Fase pertama pada tahap pembelahan meiosis II adalah profase II (Gambar 4.18a). Pada fase ini,
kromatid saudara pada setiap sel anakan masih melekat pada sentromer kromosom. Sementara
itu, benang mi-krotubulus mulai terbentuk dan kromosom mulai bergerak ke arah bidang
metafase. Tahap ini terjadi dalam waktu yang singkat karena diikuti tahap berikutnya.
b. Metafase II
Pada metafase II, setiap kromosom yang berisi dua kromatid, me-rentang atau berjajar pada
bidang metafase II (Gambar 4.18b). Pada tahap ini, benang-benang spindel (benang
mikrotubulus) melekat pada kinetokor masing-masing kromatid.
c. Anafase II
Fase ini mudah dikenali karena benang spindel mulai menarik kromatid menuju ke kutub
pembelahan yang berlawanan. Akibatnya, kromosom memisahkan kedua kromatidnya untuk
bergerak menuju kutub yang berbeda (Gambar 4.18c). Kromatid yang terpisah ini se-lanjutnya
berfungsi sebagai kromosom individual.
d. Telofase II
Pada telofase II, kromatid yang telah menjadi kromosom menca-pai kutub pembelahan. Hasil
akhir telofase II adalah terbentuknya 4 sel haploid, lengkap dengan satu salinan DNA pada inti
selnya (nuklei).
e. Sitokinesis II
Selama telofase II, terjadi pula sitokinesis II, ditandai adanya sekat sel yang memisahkan tiap inti
sel. Akhirnya terbentuk 4 sel kembar yang haploid. Berdasarkan uraian di depan, sel-sel anakan
sebagai hasil pembelahan meiosis mempunyai sifat genetis yang bervariasi satu sama lain.
Variasi genetis yang dibawa sel kelamin orang tua menyebabkan munculnya keturunan yang
bervariasi juga.

D. Gametogenesis dan Pewarisan Sifat


Sebelum menjadi individu baru, baik pada tumbuhan maupun hewan, tentunya diperlukan bahan
baku atau cikal bakal pembentuk in-dividu baru tersebut. Pada proses perkembangbiakan
generatif (seksu-al) hewan maupun tumbuhan, bahan baku tersebut berupa sel kelamin yang
disebut gamet. Gamet jantan dan betina diperlukan untuk mem-bentuk zigot, embrio, kemudian
individu baru. Nah, pada materi beri-kut ini akan dibahas tentang proses pembentukan gamet,
baik jantan maupun betina yang disebut gametogenesis ( genesis = pembentukan).Gametogenesis
melibatkan pembelahan meiosis dan terjadi pada organ reproduktif. Pada hewan dan manusia,
gametogenesis terjadi pada testis dan ovarium, sedangkan pada tumbuhan terjadi pada pu-tik dan
benang sari. Hasil gametogenesis adalah sel-sel kelamin, yaitu gamet jantan (sperma) dan gamet
betina (ovum atau sel telur). Seka-rang, marilah kita mempelajari proses terjadinya gametoge
nesis pada hewan dan tumbuhan.

1. Gametogenesis pada Hewan

Gametogenesis memegang peranan yang sangat penting dalam perkembangbiakan hewan.


Gametogenesis pada hewan yang akan kita pelajari dibagi menjadi dua, yaitu spermatogenesis
dan oogenesis. Spermatogenesis merupakan proses pembentukan gamet jantan
(sperma).Sementara oogenesis adalah proses pembentuk an gamet betina (ovum
atau sel telur).
a. Spermatogenesis
Sperma berbentuk kecil, lonjong, berfl agela, dan secara keselu-ruhan bentuknya menyerupai
kecebong (berudu). Flagela pada sperma digunakan sebagai alat gerak di dalam medium cair.
Sperma dihasilkan pada testis. Pada mamalia, testis terdapat pada hewan jantan sebagai buah
pelir atau buah zakar. Buah pelir pada manusia berjumlah sepasang.
Di dalam testis terdapat saluran-saluran kecil yang disebut tubulus seminiferus . Pada dinding
sebelah dalam saluran inilah, terjadi proses spermatogenesis. Di bagian tersebut terdapat sel-sel
induk sperma yang bersifat diploid (2n) yang disebut spermatogonium .Pembentukan sperma
terjadi ketika spermatogonium mengalami pembelahan mitosis menjadi spermatosit primer (sel
sperma primer). Selanjutnya, sel spermatosit primer mengalami meiosis I menjadi dua
spermatosit sekunder yang sama besar dan bersifat haploid. Setiap sel spermatosit sekunder
mengalami meiosis II, sehingga terbentuk 4 sel spermatid yang sama besar dan bersifat haploid.

Mula-mula, spermatid berbentuk bulat, lalu sitoplasmanya se-makin banyak berkurang dan
tumbuh menjadi sel spermatozoa yang berfl agela dan dapat bergerak aktif. Berarti, satu
spermatosit primer menghasilkan dua spermatosit sekunder dan akhirnya terbentuk 4 sel
spermatozoa (jamak = spermatozoon ) yang masing-masing bersifat haploid dan fungsional
(dapat hidup).
b. Oogenesis
Oogenesis merupakan proses pembentukan sel kelamin betina atau gamet betina yang disebut sel
telur atau ovum. Oogenesis terjadi di dalam ovarium. Di dalam ovarium, sel induk telur yang
disebut oogonium tumbuh besar sebagai oosit primer sebelum membelah secara meiosis.
Berbeda dengan meiosis I pada spermatogenesis yang menghasilkan 2 spermatosit sekunder
yang sama besar. Meiosis I pada oosit primer menghasilkan 2 sel dengan komponen sitoplasmik
yang berbeda, yaitu 1 sel besar dan 1 sel kecil. Sel yang besar disebut oosit sekunder , sedangkan
sel yang kecil disebut badan kutub primer ( polar body ).
Oosit sekunder dan badan kutub primer mengalami pembelahan meiosis tahap II. Oosit sekunder
menghasilkan dua sel yang berbeda. Satu sel yang besar disebut ootid yang akan berkembang
menjadi ovum. Sedangkan sel yang kecil disebut badan kutub.Sementara itu, badan kutub hasil
meiosis I juga membelah menjadi dua badan kutub sekunder. Jadi, hasil akhir oogenesis adalah
satu ovum (sel telur) yang fungsional dan tiga badan kutub yang me ngalami degenerasi (mati).

Selain pada hewan, gametogenesis juga terjadi pada tumbuhan. Berikut ini akan diuraikan
tentang gametogenesis pada tumbuhan
tingkat tinggi.
2. Gametogenesis pada Tumbuhan Tingkat Tinggi
Sebelum menjadi gamet, hasil akhir meiosis pada gametogenesis mengalami perkembangan
terlebih dahulu melalui proses yang dise-but maturasi. Berikut ini kalian akan membahas proses
gametogenesis pada tumbuhan berbunga (Angiospermae) saja. Pada tumbuhan berbunga,
gametogenesis diperlukan dalam pem-bentukan gamet jantan dan pembentukan gamet betina.
Pembentukan gamet jantan disebut mikrosporogenesis, sedangkan pembentukan gamet betina
disebut megasporogenesis. Mari kita pelajari pengertian kedua macam gametogenesis tersebut.
a. Mikrosporogenesis
Mikrosporogenesis berlangsung di dalam benang sari, yaitu pada bagian kepala sari atau anthera
. Kepala sari ini meng-hasilkan serbuk sari, yang mengandung sel sperma. Pembentukan sel
sperma dimulai dari sebuah sel in-duk mikrospora diploid yang disebut mikros porosit di dalam
anthera. Mikrosporosit ini mengalami meiosis I menghasilkan sepasang sel haploid. Selanjutnya,
sel ini mengalami meiosis II dan menghasilkan 4 mikrospora yang haploid. Keempat mikrospora
ini berkelompok
menjadi satu sehingga disebut sebagai tetrad .
Setiap mikrospora mengalami pembelahan mi-tosis. Pembelahan ini menghasilkan dua sel, yaitu
sel generatif dan sel vegetatif. Sel vege tatif ini mempu-nyai ukuran yang lebih besar daripada sel
generatif. Struktur bersel dua ini terbungkus dalam dinding sel yang tebal. Kedua sel dan dinding
sel ini ber-sama-sama membentuk sebuah butiran serbuk sari yang belum dewasa.
Setelah terbentuk serbuk sari, inti generatif membelah secara mitosis tanpa disertai sitokinesis,
sehingga terbentuklah dua inti sel sperma. Sementara itu, inti vegetatifnya tidak membelah.
Pembentukan sel sperma ini dapat terjadi sebelum serbuk sari keluardari anthera atau pada saat
serbuk sari sampai di kepala putik (stigma). Pada saat inilah, tangkai serbuk sari mulai tumbuh.
Pada umumnya, pembe-lahan mitosis sel generatif terjadi setelah buluh serbuk sari menembus
stigma atau mencapai kantung embrio di dalam bakal biji (ovulum).
b. Megasporogenesis
Megasporogenesis merupakan proses pembentukan gamet betina (Gambar 4.24). Proses ini
terjadi di dalam bagian betina bunga,
yaitu bakal biji (ovulum) yang dibungkus oleh bakal buah ( ovarium) pada pangkal putik. Di
dalam bakal biji terdapat sporangium yang mengandung megasporofi t yang bersifat diploid.
Selanjutnya, megasporofi t mengalami meiosis menghasilkan 4 megaspora haploid yang letaknya
berderet. Tiga buah megaspora mengalami degenerasi dan mati, tinggal sebuah megaspora yang
masih hidup.Megaspora yang hidup ini mengalami pembelahan kromosom secara mitosis 3 kali
berturut-turut, tanpa diikuti pembelahan sitoplasma. Hasilnya berupa sebuah sel besar yang
disebut kandung lembaga muda yang mengan dung delapan inti haploid. Kandung lembaga ini
dikelilingi kulit ( integumen). Di ujungnya terdapat sebuah lubang (mikropil) sebagai tempat
masuknya saluran serbuk sari ke dalam kandung lembaga.

Selanjutnya, tiga dari delapan inti tadi menempatkan diri di dekat mikropil. Dua di antara tiga
inti yang merupakan sel sinergid meng-alami degenerasi. Sementara itu, inti yang ketiga
berkembang menjadi sel telur. Tiga buah inti lainnya bergerak ke arah kutub kalaza , tetapi
kemudian mengalami degenerasi pula. Ketiga inti ini dinamakan inti antipoda . Sisanya, dua inti
yang disebut inti kutub, bersatu di tengah kandung lembaga dan terjadilah sebuah inti diploid
(2n). Inti ini disebut inti kandung lembaga sekunder . Ini berarti kandung lembaga telah masak,
yang disebut megagametofi t dan siap untuk dibuahi.
3. Pewarisan Sifat dan Variasi Genetis
Secara garis besar, ada tiga mekanisme yang menyebabkan ter-jadinya variasi genetik pada suatu
populasi. Ketiga mekanisme ini
dapat dijelaskan sebagai berikut.
a. Pindah silang
Telah dijelaskan di depan bahwa sel kelamin membelah secara meiosis. Pada profase I,
kromosom homolog muncul pertama kali se bagai pasangan. Kromosom-kromosom homolog ini
saling bersilangan pada kiasmata. Pada kiasmata inilah terjadi pindah silang ( crossing over )
materi genetik dari kromosom satu ke kromosom lainnya. Pindah silang ini terjadi ketika dua
kromatid dari kromosom yang berbeda bertukar tempat. Kromatid yang sudah tidak identik lagi
dengan kromatid saudaranya karena terjadi pindah silang disebut dyad . Terjadinya pindah
silang ini dapat kalian lihat pada Gambar 4.24. Pada manusia, dua atau tiga kasus kejadian
pindah silang dapat terjadi untuk setiap pasangan kromosom.

b. Pemilahan kromosom secara bebas


Kalian telah mengetahui bahwa pembelahan sel selalu diikuti pembagian kromosom pada sel
anakan yang dihasilkan. Begitu pula
dengan pembelahan meiosis. Pada metafase I, pasangan kromosom homolog terletak pada
bidang metafase. Orientasi pasangan homolog yang menghadap kutub-kutub sel bersifat acak.
Setiap pasangan mempunyai dua kemungkinan dalam penyusunan ini. Kita ambil contoh
organis-me yang mempunyai empat kromosom diploid (2n = 4). Organisme ini mempunyai 2
kromosom dalam sel gametnya. Dua kromosom ini dapat menghasilkan empat kemungkinan sel
anakan dengan kombinasi kromosom berbeda satu sama lain Bagaimanakah dengan manusia?
Manusia mempunyai 46 kromosom diploid. Ini berarti pada sperma atau sel telur terdapat 23
kromosom haploid. Dari 23 kromosom ini mempunyai sekitar 8 juta kemungkinan penyusunan
homolog pada metafase. Kandungan kromosom pada sel sperma atau sel telur ini akan
diwariskan pada anak keturunannya. Jadi, setiap manusia sebenarnya merupakan 1 dari 8 juta
kemungkinan pemilahan kromosom yang diwariskan oleh bapak atau ibu kandungnya.
c. Fertilisasi random
Di dalam sebuah keluarga, seorang anak mempunyai sifat yang berbeda dengan saudara-
saudaranya. Seorang anak tidak ada yang memiliki sifat yang sama persis dengan ibu atau
bapaknya. Akan tetapi, sifatnya kemungkinan besar merupakan perpaduan sifat kedua orang
tuanya. Ini jelas sangat masuk akal, sebab seorang anak dihasilkan dari pembuahan 1 sel telur ibu
oleh 1 sel sperma bapak. Sel telur yang dibuahi sperma akan menjadi zigot sebagai cikal bakal
manusia. Jadi, genetik seorang anak sangat dipengaruhi kromosom yang terkandung dalam sel
telur atau sperma tersebut. Kalian mengetahui bahwa setiap sel kelamin (sperma dan sel telur)
yang menentukan kromosom anak merupakan 1 dari 8 juta kemungkinan. Hal ini berarti, seorang
manusia merupakan salah satu dari 64 trilyun (8 juta × 8 juta) kombinasi kromosom diploid.
Dengan kata lain, kita telah memenangkan pertandingan melawan 64 trilyun calon anak yang
mungkin dilahirkan. Inilah tanda kebesaran Tuhan Yang Maha Esa.

Anda mungkin juga menyukai