PENDAHULUAN
1.2 Epidemiologi
Insiden dan prevalensi untuk seumur hidup gangguan mood berkisar antara
2-25%. Khususnya untuk gangguan Bipolar II sekitar 0.5 %. Dari suatu observasi yang
hampir universal, tanpa melihat negara atau kebudayaan, prevalensi gangguan depresif
berat dua kali lebih besar pada perempuan daripada laki-laki. Alasan perbedaan ini telah
dihipotesiskan antara lain perbedaan hormonal, pengaruh kelahiran anak, stressor
psikososial yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, serta model perilaku
ketergantungan yang dipelajari.
Perempuan juga memiliki angka yang lebih tinggi untuk terjadinya gangguan
bipolar dua dan siklus cepat yaitu empat atau lebih episode manik dalam waktu 1 tahun.
Dengan usia rata- rata terjadinya gangguan bipolar 17 sampai 25 tahun dan rentang usia
15 sampai 50 tahun. Usia puncak terjadinya gangguan bipolar pada laki-laki 15 sampai
19 tahun dan perempuan 20 sampai 21 tahun.
Sedangkan untuk episode depresif sendiri mempunyai usia awitan 40 tahun
dengan 50% pasien memliki awitan antara 20 sampai 50 tahun. Data epidemiologis
terkini mengesankan bahwa insiden gangguan depresif mayor mungkin meningkat
diantara orang berusia di bawah 20 tahun yan mungkin berkaitan dengan meningkatnya
penggunaan alkohol serta penyalahgunaan obat dalam usia ini.
Untuk faktor status pernikahan gangguan bipolar lebih lazimterjadi pada orang
lajang dan orang bercerai dari pada yang menikah. Sedangkan untuk faktor sosioekonomi
dan kebudayaan, insiden gangguan bipolar ditemukan pada kelompok sosioekonomi yang
lebih tinggi , tetapi hal ini dapat disebabkan praktik diagnosis yang bias karena diagnosis
gangguan bipolar didiagnosis secara berlebihan. Gangguan bipolar juga lebih lazijm pada
orang yang tidak lulus akademi, suatu bukti yang dapat juga menunjukkan awitan usia
yang relatif dini. Prevalensi gangguan mood tidak berbeda antara-ras. Meskipun
demikian, terdapat kecenderungan pemeriksa kurang mendiagnosis gangguan mood serta
mendiagnosis skizofrenia berlebihan pada pasien yang memiliki ras atau latar belakang
budaya yang berbeda dengan pemeriksa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Defenisi
Faktor Biologis
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenik-seperti asam 5-
hidroksiindolasetat (5-HIIA), asam homovanilat (HVA), dan 3-metoksi-4-
hidroksifenilglikol (MHPG)-didalam darah, urin, dan cairan serebrospinalis pasien
dengan gangguan mood. Laporan data ini paling konsisten dengan hipotesis bahwa
gangguan mood disebabkan oleh disregulasi heterogen amin biogenik.
Dengan pengaruh besar yang dihasilkan inhibitor uptake serotonin selektif (SSRI,
selective serotonin reuptake inhibitor) pada terapi depresi maka serotonin juga telah
menjadi neurotransmitter amin biogenik yang lazim dikaitkan dengan depresi. Data lain
yang menunjukkan bahwa serotonin terlibat dalam patofisiologi depresi bahwa
kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien dengan impuls
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah didalam cairan
serebrospinal serta konsemtrasi tempat uptake serotonin yang rendah pada trombosit.
Walaupun norepineprin dan serotonin adalah amin biogenik yang paling sering dikaitkan
dengan patofisiologi depresi, dopamin juga pernah diteorikan memiliki peranan. Data
yang mendukung dopamin berkurang pada depresi dan meningkat pada mania. Penemuan
subtipe baru reseptor dopamin serta meningkatnya pemahaman mengenai regulasi
presinaps dan pascasinaps pada fungsi dopamin lebih lanjut memperjelas riset mengenai
hubungan dopamin dengan gangguan mood. Dua teori terkini mengenai dopamin dan
deperesi adalah bahwa jaras dopamin mensimbolik mungkin mengalami disfungsi atau
hipoaktif pada reseptor dopamin D1 pada depresif.
Hubungan antara hiperskresi kortisol dan depresi merupakan salah satu penelitian terlama
dibidang psikiatri biologis. Riset dasar dan klinis mengasilkan pemahaman tentang
bagaimana pelepasan kortisol diatur pada seseorang dengan atau tanpa depresi. Sekitar
50% pasien yang depresi memiliki tingkat kortikal yang meningkat. Banyak peneliti
mencatat, mungkin 50% pasien depresi tidak memiliki respon supresi kortisol yang
normal terhadap dosis tunggal dexamethasone. Tetapi uji deksametasone ini juga positif
pada pasien psikiatri lainnya sehingga tidak seluruhnya valid untuk gangguan mood.
Namun data terbaru menunjukkan bahwa uji supresi deksametasone ini berhbungan
dengan kemungkinan relaps. Pasien depresi dengan uji supresi deksametasone tidak
normal pada respon klinis terhadap terapi lebih cenderung relaps.
Pada sekitar 5-10% orang dengan depresi ditemukan gangguan tiroid. Merupakan
implikasi klinis langsung yang penting semua pasien yang mengalami gangguan mood
untuk menentokan status tiroidnya. Sekitar sepertiga pasien dengan gangguan depresif
berat yang tidak memiliki aksis tiroid normal ditemukan memiliki respon tirotropin dan
hormon TSH (Thyroid stimulating hormone) yang tumpul.
Beberapa studi juga menunjukkan adanya perbedaan statistik antara pasien depresi dan
pasien lain dalam regulasi pelepasan hormon pertumbuhan. Pasien depresi memiliki
respon stimulasi pelepasan hormon pertumbuhan oleh tidur yang tumpul. Oleh karena itu
kelainan tidur merupakan gejala depresi yang lazim. Studi juga menemukan bahwa
pasien depresi mmiliki respons yang tumpul terhadap peningkatan sekresi hormon
pertumbuhan yang diinduksi klonidin.
Selain inhibisi hormon pertumbuhan, kadar somatostatin dalam cairan serebrospinal lebih
rendah pada orang dengan depresi dibandingkan dengan skizofrenia atau normal, serta
kadarnya meningkat pada mania. Sedangkan sebagian studi besar tidak menemukan
kelainan bermakna pada sekresi prolaktin basal pada depresi.
Masalah tidur-insomnia inisial dan terminal, sering terbangun adalah gejala yang lazim
dan klasik pada depresi, dan penurunan kebutuhan untuk tidur merupakan gejala klasik
mania. Para peneliti menemukan kelainan dari Elektroensefalogram tidur pada orang
dengan depresi dan gangguan mood.
Kelainan struktur tidur pada depresi dan perbaikan klinis sementara oleh karena
kekurangan tidur menghasilkan teori bahwa pada depresi terdapat pengaturan irama
sirkadian yang abnormal.
Kindling adalah proses elektrofisiologis saat stimulasi berulang neuron dibawah ambang
yang akhirnya menghasilkan aksi potensial. Pada tingkat organ stimulasi berulang
dibawah ambang disuatu daerah otak menyebabkan kejang. Observasi klinis bahwa
antikonvulsan berguna dalam terapi gangguan mood memunculkan teori bahwa
patofisiologi gangguan mood dapat melibatkan kindling di lobus temporalis. Efek
antikonvulsan pada gangguan bipolar dapat terjadi akibat perubahan elektrokimia yang
tidak terkait dengan epilepsi.
Para peneliti juga telah melaorkan kelainan imunologis pada orang depresif. Disregulasi
aksis kortisol dapat mempengaruhi status imun, mungkin terdapat pengaturan
hipotalamus yang abnormal pada sistem imun. Kemungkinan kecil yang lain adalah
proses patofisiologi primer yang melibatkan sistem imun menyebabkan gejala psikiatri
gangguan mood.
Studi pencitraan otak dengan CT (computed tomography) dan MRI (magnetic resonance
imaging) juga menhasilkan data. Pada pasien gangguan bipolar I terutama laki-laki
memiliki ventrikel serebri yang membesar, pembesaran ini lebih jarang pada gangguan
depresif berat kecuali pada pasien dengan depresif berat dengan ciri psikotik. MRI juga
menunjukkan pasien dengan depresif berat memiliki nukleus kaudatus dan lobus frontalis
yang lebih kecil, waktu relaksasi T1 hipokampus yang abnormal dibandingkan dengan
kontrol. Pada satu studi MRI ditemukan pasien dengan gangguan bipolar 1 memiliki lesi
substantia alba profunda yang meningkat signifikan dari kontrol. Mayoritas studi
menunjukkanberkurangnya aliran darah umumnya terjadi pada korteks serebri dan
khususnya area korteks frontal. Sedangkan teknik pencitraan MRS (magnetic resonance
spectroscopy) menghasilkan data konsisten bahwa patofisiologi gangguan bipolar 1
mungkin melibatkan pengaturan abnormal metabolisme posfolipid membran.
Baik gejala gangguan mood maupun riset biologis menyokong hipotesis bahwa gangguan
mood melibatkan patologi sistem limbik, ganglia basalis, dan hipotalamus. Orang dengan
gangguan neurologis ganglia basalis dan sistem limbik cenderung menunjukkan gejala
depresif serta berhubungan erat dengan menghasilkan emosi. Perubahan tidur, nafsu
makan, dan prilaku seksual, serta perubahan biologis menurut pengukuran endokrin,
imunologis, dan kronobiologis mengesankan adanya disfungsi hipotalamus.
Faktor genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang signifikan terlibat
dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola pewarisan genetik terjadi melalui
mekanisme yang kompeks. Komponen gemetik memainkan peranan yang lebih bermakna
dalam menurunkan gangguan bipolar 1 daripada gangguan depresif berat.
Studi keluarga berulang kali menemukan bahwa keluarga derajat pertama proban (orang
didalam keluarga yang pertama kali diidentifikasi sakit) gangguan bipolar 1 lebih
cenderung mengalami gangguan yang sama besar 8 sampai 18 kali dari keluarga derajat
pertama kontrol, dan 2 sampai 10 kali cenderung mengalami gangguan depresif berat.
Studi keluarga juga menemukan bahwa keluarga derajat pertama proban dengan
gangguan depresif berat lebih cenderung mengalami gangguan bipolar 1 sebesar 1.5
sampai 2.5 kali dari keluarga derajat pertama subjek kontrol atau normal, dan 2 sampai 3
kali lebih cenderung mengalami gangguan depresif berat. Pewarisa gangguan bipolar 1
juga tampak bahwa 50% pasien gangguan bipolar 1 setidaknya memiliki satu orang tua
dengan ganggan mood, paling sering depresif berat. Jika salah satu orang tua memiliki
gangguan bipolar I maka 25% anaknya juga memiliki gangguan mood. Sedangkan jika
kedua orang tua memiliki gangguan bipolar I maka 50-75% kemungkinan anaknya
memiliki gangguan mood.
Dua dari tiga studi adopsi menemukan satu komponen genetik yang kuat pewarisan
gangguan depresif berat. Studi adiopsi ini menunjukkan bahwa anak biologis dari orang
tua yang mengalami gangguan akan tetap memiliki paningkatan risiko terkena gangguan
mood bahkan walaupun mereka diasuh di keluarga adopsi yang tidak memiliki gangguan
ini. Prevalensi gangguan mood pada orang tua adopsi serupa dengan prevalensi dasar
pada populasi umum.
Studi anak kembar menunjukkan bahwa konkordansi untuk gangguan bipolar I pada
kembar monozigot 33 sampai 90% dan sekitar 50% pada depresif berat. Sebaliknya untuk
kembar dizigot sekitar 5 sampai 25% untuk gangguan bipolar I dan 10 sampai 25% untuk
gangguan depresif berat.
Faktor psikososial
Terdapat pengamatan klinis yang bertahan lama bahwa peristiwa hidup yang penuh
tekanan lebih sering timbul mendahului episode gangguan mood yang mengikuti. Sebuah
teori yang diajukan adalah bahwa stres yang menyertai episode pertama mengakibatkan
perubahan yang bertahan lama didalam biologi otak. Perubahan yang bertahan lama ini
menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmiter dan sistem
pemberian sinyal intraneuron, bahkan mencakup hilangnya neuron dan berkurangnya
kontak sinaps yang berlebihan. Akibatnya, seseorang memiliki resiko tinggi mengalami
gangguan mood bahkan tanpa stresor eksternal.
Faktor kepribadian
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas merupakan
predisposisi seseorang mngalami depresi. Orang dengan gangguan kepribadian tertentu
seperti obsesif kompulsif, histrionik, dan borderline mungkin memiliki risiko yang lebih
besar untuk mengalami depresi daripada orang dengan gangguan kepribadian antisosial
atau paranoid. Gangguan kepribadian paranoid dapat menggunakan mekanisme defensi
proyeksi dan mekalnisme eksternalisasi lainnya untuk melindungi diri mereka dari
kemarahan di dalam dirinya. Orang dengan gangguan distimik dan siklotimik memiliki
risiko mengalami gangguan depresif berat atau gangguan bipolar I di kemudian harinya.
Gejala Klinis
Gejala klinis gangguan bipolar II adalah gambaran klinis pada gangguan depresif berat
ditambah dengan gambaran kliinis episode hipomanik. Sejumlah kecil studi menunjukkan
bahwa gangguan bipolar II dikaitkan dengan gangguan perkawinan serta dengan awitan
yang lebih dini daripada gangguan bipolar I. bukti juga menunjukkan bahwa pasien
dengan gangguan bipolar II memiliki resiko lebih tinggi untuk berusaha bunuh diri
daripada pasien dengan gangguan bipolar satu dan gangguan depresif berat.
Tanda dan gejala dari fase manik atau hipomanik dari ganggua bipolar meliputi :
euphoria, optimism yang berlebihan, harga diri yang meningkat, pertimbangan yang
buruk, berbicara dengan cepat, gagasan kebesaran, tingkah laku agresif, agitasi atau
iritasi, peningkatan aktivitas fisik, bersenang-senang dengan cara berlebihan,
membahayakan diri dengan tindakan yang beresiko, peningkatan aktivitas seksual,
penurunan kebutuhan tidur, sulit berkonsentrasi, keinginan mencoba obat-obatan dan
alcohol, waham atau tidak mengenal realita, sering ditandai dengan gangguan aktivitas
sekolah, kerja, dan social yang terganggu.
Tanda dan gejala dari fase depresif pada gangguan bipolar meliputi : sedih yang
mendalam, kehilangan energy dan minat dengan kegiatan sehari-hari, pikiran kematian
dan usaha bunuh diri, rasa bersalah, cemas, ititabel, kehilangan nafsu makan, penurunan
aktivitas seksual, sulit tidur, sakit kronik tanpa sebab yang diketahui, dan sering juga
ditandai gangguan dengan aktivitas sekolah, kerja, dan social.
Berdasarkan episode
(A) Hypomania/Mania/Depresif campuran
ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder), gangguan kompulsif, gangguan
control impuls, gangguan skizoafektif, skizoprenia, depresi agitasi, gangguan
kepribadian, intoksikasi zat
(B) Gangguan psikiatri
Distimik, gangguan berhubungan dengan stress, gangguan bipolar, gangguan
cemas, gangguan skizoafektif, skizoprenia, gangguan kepribadian, ketergantungan
obat,
(D) Infeksi
Sipilis tersier, influenza, AIDS, pneumonia virus, hepatitis virus, TB, infeksi
mononucleosis, sklerosis multiple, trauma kapitis, tumor otak, epilepsy,
ensefalopati, neurosifilis
(G) Obat-obatan
Kortikosteroid, kontrasepsi, antihipertensi, alpa metildopa, antipsikotik,
antidepresan, stimulant psikotik, antibiotic
2.5 Terapi
Terapi pasien dengan gangguan mood harus ditujukan pada beberapa tujuan. Pertama
keamanan pasein harus terjamin. Kedua, evaluasi diagnostic lengkap pada pasien harus
dilakukan. Ketiga rencana terapi yang ditujukan tidak hanya pada gejala saat itu tetapi
kesejahteraan pasien di massa mendatang juga harus dimulai.
Rawat inap
Keputusan pertama yang paling penting adalah memutuskan pasien dirawat. Indikasi
yang jelas untuk rawat inap adalah kebutuhan prosedur diagnosis, risiko bunuh diri atau
membunuh, dan kemampuan pasien yang menurun drastis untuk mendapatkan makanan
makanan dan tempat tinggal.
Terapi Psikososial
Walaupun sebagian besar studi menunjukkan kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi
adalah terapi yang paling efektif untuk gangguan depresif berat, sejumlah data
mengesankan pandangan berbeda bahwa salah satu terapi saja sudah efektif. Selain tidak
menambahkan biaya pengobatan juga mengurangi pajanan efek samping yang tidak
perlu. Ada tiga jenis psikoterapi jangka pendek yaitu terapi kognitif, terapi interpersonal,
dan terapi perilaku.
Terapi Kognitif.
Awalnya dikembangkan Aeron Beck, memfokuskan pada distorsi kognitif, diperkirakan
ada pada gangguan depresif berat. Distorsi tersebut mencakup perhatian selektif terhadap
aspek negative keadaan dan kesimpulan patologis yang tidak realistis mengenai
konsekuensi.
Terapi Interpersonal
Dikembangkan Gerald Klerman, memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal
saat ini. Terapi ini didasarkan pada dua asumsi. Pertama, masalah interpersonal saat ini
cenderung memiliki akar pada hubungan yang mengalami disfungsi sejak awal. Kedua,
masalah interpersonal saat ini cenderung terlibat didalam mencetuskan atau melanjutkan
gejala depresif saat ini. Program terapi interpersonal terdiri atas 12 sampai 16 sesi dan
ditandai dengan pendekatan terapeutik yang aktif.
Terapi Perilaku
Didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku maladaptive mengakibatkan seseorang
menerima sedikit umpan balik positif dan mungkin sekaligus penolakan dari masyarakat.
Dengan memusatkan perhatian pada perilaku maladaptive di dalam terapi, pasien belajar
berfungsi di dalam dunia sedemikian rupa sehingga mereka memperoleh dorongan
positif.
Terapi Keluarga
Bukan terrapin primer gangguan depresif berat, tetapi membantu mengurangi dan
menghadapi stress yang dapat megurangi kemungkinan kambuh. Diindikasikan jika
merusak perkawinan pasien atau fungsi keluarga. Terapi keluarga memeriksa peranan
anggota keluarga yang mengalami gangguan mood, juga memeriksa peranan keluarga
didalam mempertahankan gejala pasien.
Farmakoterapi
Metode fermakoterapi pada gangguan mood mengubah terapi dan secara dramatis
mempengaruhi perjalanan gangguan mood. Edukasi pasien yang adekuat mengenai
antidepresan sama pentingnya dengan memilih obat serta dosis yang paling tepat untuk
keberhasilan terapi. Obat antidepresan tidak akan menyebabkan ketergantungan pada
pasien, karena tidak member kepuasan dengan segera. Terlebih lagi obat mungkin
membutuhkan 3 hingga 4 minggu sebelum efek antidpresannya dapat dirasakan.
Penjelasan tentang efek samping obat antidepresa dan pertimbangkan dosis letal jika
diminum dalam jumlah banyak. Sehingga pengawasan pemberian obat sangatlah penting.
Terapi lini pertama pada mania akut: litium merupakan terapi utama untuk mania akut
dengan respon rata-tara sekitar 50% pasien. Lebih dari dua minggu dibutuhkan untuk
memaksimalkan efek pengobatan pada efek mania. Keterlambatan efek berkaitan dengan
benzodiazepine. Selain itu juga berguna benzodiazepine seperti lorazepam berguna untuk
terapi kombinasi yang efektif.
Terapi ECT (Electro Convulsive Therapy) juga lebih efektif dipilih untuk mania berat.
Juga apabila penggunaan obet tidak memungkinkan. Selain itu juga bisa digunakan
antikonvulsif, seperti valproate dapat digunakan selama fase akut. Walaupun penggunaan
jangka panjang juga tidak memberikan banyak kemajuan. Tetapi dapat digunakan pada
pasien yang tidak respon pada lithium. Carbamazepine dan derivatnya juga dapat efektif
digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan lithium atau anti psikotik.
Terapi untuk episode depresi hanya satu anti depresan yang menjadi pilihan fluoxetine
dikombinasi dengan olanzapine. Sebagai alternative dapat digunakan beberapa
antipsikotik. Sebagian klinisi memilih SSRI atau bupropion karena aman.sedangkan TCA
lebih beresiko efek samping. Tetapi jika tidak berhasil dapat dilakukan ECT. Sebagai
tambahan juga dapat digunakan mood stabilizer seperti lamotiginr, valproate, atau
carbamazepine). Dan sebagai alternaif dapat diberikan tambahan triodotironin (T3).
Untuk pengobatan yang stabil untuk mencegah rekuren digunakan lithium dan dengan
lini kedua valproate, carbamazepine, lamotrigine, antikonvulsan lainnya, dan antipsikotik
atipikal. Sebagai alternatifnya kalsium channel antagonis seprti verapamil, nifedipine,
nimodipine, dan hormone tiroid.
Pertahankan terapi
Tukar dengan Dapat diganti kea gen setidaknya untuk 4
agen alternative alternative atau sampai 6 bulan
(TCA-SSRI) diupayakan penambahan dalam kasus
pertama; labih
lama pada kasus
penyakit
kambuhan
Percobaan gagal
Remisi penuh
Pertahankan seperti
yang dijelaskan Percobaan agen lini kedua dengan bukti
diatas aktivitas pada orang yang tidak
memberikan respon terhadap TCA.
Alternatif terapi dengan ECT
TCA : trisiclic antidepressan, SSRI : selective reuptake serotonin inhibitor
Terapi Alternatif obat
Dua terapi organik yang merupakan alternative farmakoterapi adalah terapi
elektrokonvulsif, dan fototerapi. Terapi elektokonvulsif umumnya digunakan ketika
pasien tidak memberikan respon terhadap farmakoterapi atau tidak dapat mentoleransi
farmakoterapi batau situasi klinis sedemikian beratnya sehingga diperlukan perbaikan
cepat melalui terapi ini. Fototerpi merupakan terapi baru yang telah digunakan pada
pasien dengan pola musiman untuk gangguan mood mereka. Fototerapi bisa digunakan
secara tersendiri pada kasus gangguan mood ringan dengan pola musiman.
Terapi gangguan bipolar II harus dilakukan dengan pendekatan hati-hati. Terapi episode
depresif dengan antidepresan sering dapat mencetuskan episode manic. Mengenai
efektifitas strategi pengobatan gangguan bipolar I pada pasien dengan gangguan bipolar
masih diselidiki.
2.6 Komplikasi
Beberapa akibat ataupun gangguan yang dapat timbul bersamaan antara lain:
Ansietas
Gejala ansietas yang signifikan dapat dan sering timbul bersama dengan gejala depresi
yang signifikan. Gejala ansietas dan depresi yang timbul akibat dua proses penyakit atau
satu proses penyakit masih belum diketahui. Kedua jenis pasien tersebut dapat
merupakan kelompok pasien dengan gangguan campuran ansietas dan depresi
Ketergantungan Alkohol
Ketergantungan alcohol sering timbul bersama dengan gangguan mood. Pasien dengan
gangguan depresif berat dan pasien dengan gangguan bipolar I cenderung memenuhi
kriteria diagnostic gangguan penggunaan alcohol. Data yang tersedia menunjukkan
bahwa ketergantungan alcohol pada perempuan lebih terkait dengan gangguan depresi
yang ada disbanding laki-laki.
2.7 Prognosis
Perjalanan penyakit dan prognosis gangguan bipolar II masih dipelajari. Tetapi data
menunjukkan bahwa diagnosanya stabil, seperti yang di tunjukkan tinggi kemungkinan
pasien yang didiagnosis dengan gangguan bipolar II akan memiliki diagnosis yang sama
lima tahun kemudian. Dengan demikian gangguan bipolar II adalah penyakit kronik yang
memerlukan strategi terapi jangka panjang.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis. Faktor prognosis buruk antara lain:
penyalahgunaan obat atau alkohol, gjala psikotik, ketidakpatuhan, riwayat pekerjaan yang
buruk, jenis kelamin laki-laki, gejala residual antara episode, lamanya durasi episodik.
Faktor prognosis baik antara lain: terjadi di umur tua, beberapa masalah kesehatan
komorbid, respon pengobatan dan kepatuhan yang baik, penyembuhan yang sempurna
antara episodik, durasi pendek episode manik.
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
Gangguan mood meliputi sekelompok besar gangguan, dengan mood patologis
serta gangguan terkait mood yang mendominasi gambaran klinisnya. Gangguan mood
lebih baik dianggap sebagai sindrom yang terdiri atas sekelompok tanda dan gejala yang
bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, yang menunjukkan
penyimpangan nyata fungsi habitual seseorang serta kecenderungan untuk kambuh dalam
bentuk periodik atau siklik.
Pasien yang memiliki episode manik maupun depresif dikatakan memiliki
gangguan bipolar. Gangguan bipolar dua adalah suatu varian gangguan bipolar ditandai
dengan episode hipomania dan bukannya mania. Atau satu atau lebih episode depresif
ditambah satu atau lebih episode hipomanik tanpa episode manik atau episode campuran.
Laporan data ini paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan mood
disebabkan oleh disregulasi heterogen amin biogenik. Selain aminbiogenik, norepineprin
dan serotonin adalah dua neurotransmitter yang paling terkait dengan gangguan mood.
Gejala klinis gangguan bipolar II adalah gambaran klinis pada gangguan depresif
berat ditambah dengan gambaran kliinis episode hipomanik. Tanda dan gejala dari fase
manik atau hipomanik dari ganggua bipolar meliputi : euphoria, optimism yang
berlebihan, harga diri yang meningkat, pertimbangan yang buruk, berbicara dengan cepat,
peningkatan aktivitas seksual, penurunan kebutuhan tidur, sulit berkonsentrasi, keinginan
mencoba obat-obatan dan alcohol.
Tanda dan gejala dari fase depresif pada gangguan bipolar meliputi : sedih yang
mendalam, kehilangan energy dan minat dengan kegiatan sehari-hari, , kehilangan nafsu
makan, penurunan aktivitas seksual, sulit tidur
Kriteria Diagnostik :
A. Adanya (riwayat) satu atau lebih episode depresif berat
B. Adanya (riwayat) setidaknya episode hipomanik
C. Sebelumnya ada satu episode manik atau campuran
D. Gejala mood kriteria A dan B sebaiknya tidak dimasukkan kedalam gangguan
skizoafektif dan tidak tumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan
skizofreniform, gangguan waham atau gangguan psikotik yang tidak
tergolongkan.
E. Gejala secara klinis menimbulkan penderitaan yang bermakna atau hendaya
fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting fungsi lain.
Terapi lini pertama pada mania akut: litium merupakan terapi utama untuk mania akut
dengan respon rata-tara sekitar 50% pasien. Lebih dari dua minggu dibutuhkan untuk
memaksimalkan efek pengobatan pada efek mania. Keterlambatan efek berkaitan dengan
benzodiazepine. Selain itu juga berguna benzodiazepine seperti lorazepam berguna untuk
terapi kombinasi yang efektif.
Terapi untuk episode depresi hanya satu anti depresan yang menjadi pilihan
fluoxetine dikombinasi dengan olanzapine. Sebagai alternative dapat digunakan beberapa
antipsikotik. Sebagian klinisi memilih SSRI atau bupropion karena aman.sedangkan TCA
lebih beresiko efek samping. Tetapi jika tidak berhasil dapat dilakukan ECT.
Prognosis
Perjalanan penyakit dan prognosis gangguan bipolar II masih dipelajari. Tetapi data
menunjukkan bahwa diagnosanya stabil, seperti yang di tunjukkan tinggi kemungkinan
pasien yang didiagnosis dengan gangguan bipolar II akan memiliki diagnosis yang sama
lima tahun kemudian.
\
Komplikasi
Ansietas
ketergantungan alkohol
Penggunaan zat
Beberapa keadaan medis
DAFTAR PUSTAKA