Anda di halaman 1dari 25

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar belakang

Gangguan mood meliputi sekelompok besar gangguan, dengan mood patologis


serta gangguan terkait mood yang mendominasi gambaran klinisnya. Istilahnya gangguan
mood, yang dalam edisi Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders (DSM)
sebelumnya dikenal sebagai gangguan afektif saat ini lebih sering disebut dengan
gangguan mood karena mengacu pada keadaan emosi yang menetap bukan hanya
ekspresi eksternal (afektif) pada keadaan emosional sementara.
Gangguan mood lebih baik dianggap sebagai sindrom yang terdiri atas
sekelompok tanda dan gejala yang bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-
bulan, yang menunjukkan penyimpangan nyata fungsi habitual seseorang serta
kecenderungan untuk kambuh dalam bentuk periodik atau siklik.
Mood dapat normal, meningkat, atau menurun. Orang normal mengalami
berbagai variasi mood yang luas dan memiliki berbagai ekspresi afektif yang sama
besarnya. Mereka kurang lebih dapat mengendalikan mood dan afek. Pada gangguan
mood, pengendalian mood hilang dan terdapat pengalaman subjektif akan adanya
penderitaan yang berat.
Selama 20 tahu terakhir bidang psikiatri memisahkan depresif berat dan gangguan
bipolar sebagai gangguan yang berbeda. Meskipun pertimbangan bahwa gangguan
bipolar sebenarnya adalah ekspresi depresi berat yang lebih parah. Banyak pasien yang
memiliki gangguan depresif berat setelah pemeriksaan yang teliti menunjukkan adanya
episode manik atau perilaku hipomanik di massa lampau yang hilang tanpa terdeteksi.
Pasien yang memiliki episode manik maupun depresif dikatakan memiliki
gangguan bipolar. Hipomania merupakan episode gejala manik yang tidak memenuhi
keseluruhan kriteria revisi teks DSM edisi keempat. Episode manik adalah suatu periode
khas mood abnormal terus meningkat, ekspansif, atau iritabel setidaknya 1 minggu atau
kurang jika pasien dirawat inap. Episode hipomanik memiliki durasi setidaknya 4 hari
dengan gejala menyerupai episode manik atau gangguan tidak cukup berat untuk
menimbulkan hendaya fungsi sosial atau pekerjaan serta tidak ada ciri psikotik. Baik
manik maupun hipomanik dihubungkan dengan meningkatnya harga diri, berkurangnya
keinginan tidur, perhatian mudah teralih, aktivitas fisik dan mental yang hebat, serta
perilaku bersenang-senang yang berlebihan.

1.2 Epidemiologi

Insiden dan prevalensi untuk seumur hidup gangguan mood berkisar antara
2-25%. Khususnya untuk gangguan Bipolar II sekitar 0.5 %. Dari suatu observasi yang
hampir universal, tanpa melihat negara atau kebudayaan, prevalensi gangguan depresif
berat dua kali lebih besar pada perempuan daripada laki-laki. Alasan perbedaan ini telah
dihipotesiskan antara lain perbedaan hormonal, pengaruh kelahiran anak, stressor
psikososial yang berbeda antara perempuan dan laki-laki, serta model perilaku
ketergantungan yang dipelajari.
Perempuan juga memiliki angka yang lebih tinggi untuk terjadinya gangguan
bipolar dua dan siklus cepat yaitu empat atau lebih episode manik dalam waktu 1 tahun.
Dengan usia rata- rata terjadinya gangguan bipolar 17 sampai 25 tahun dan rentang usia
15 sampai 50 tahun. Usia puncak terjadinya gangguan bipolar pada laki-laki 15 sampai
19 tahun dan perempuan 20 sampai 21 tahun.
Sedangkan untuk episode depresif sendiri mempunyai usia awitan 40 tahun
dengan 50% pasien memliki awitan antara 20 sampai 50 tahun. Data epidemiologis
terkini mengesankan bahwa insiden gangguan depresif mayor mungkin meningkat
diantara orang berusia di bawah 20 tahun yan mungkin berkaitan dengan meningkatnya
penggunaan alkohol serta penyalahgunaan obat dalam usia ini.
Untuk faktor status pernikahan gangguan bipolar lebih lazimterjadi pada orang
lajang dan orang bercerai dari pada yang menikah. Sedangkan untuk faktor sosioekonomi
dan kebudayaan, insiden gangguan bipolar ditemukan pada kelompok sosioekonomi yang
lebih tinggi , tetapi hal ini dapat disebabkan praktik diagnosis yang bias karena diagnosis
gangguan bipolar didiagnosis secara berlebihan. Gangguan bipolar juga lebih lazijm pada
orang yang tidak lulus akademi, suatu bukti yang dapat juga menunjukkan awitan usia
yang relatif dini. Prevalensi gangguan mood tidak berbeda antara-ras. Meskipun
demikian, terdapat kecenderungan pemeriksa kurang mendiagnosis gangguan mood serta
mendiagnosis skizofrenia berlebihan pada pasien yang memiliki ras atau latar belakang
budaya yang berbeda dengan pemeriksa.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Defenisi

Gangguan bipolar sering disebut dengan gangguan manik-depresif karena


terjadinya perubahan mood rentang menurun yaitu depresi dan meningkat yaitu manik.
Gangguan bipolar dua adalah suatu varian gangguan bipolar ditandai dengan episode
hipomania dan bukannya mania. Atau satu atau lebih episode depresif ditambah satu atau
lebih episode hipomanik tanpa episode manik atau episode campuran.

2.2 Etiologi dan Patofisiologi

Faktor Biologis
Banyak penelitian melaporkan abnormalitas metabolit amin biogenik-seperti asam 5-
hidroksiindolasetat (5-HIIA), asam homovanilat (HVA), dan 3-metoksi-4-
hidroksifenilglikol (MHPG)-didalam darah, urin, dan cairan serebrospinalis pasien
dengan gangguan mood. Laporan data ini paling konsisten dengan hipotesis bahwa
gangguan mood disebabkan oleh disregulasi heterogen amin biogenik.

Selain aminbiogenik, norepineprin dan serotonin adalah dua neurotransmitter yang


paling terkait dengan gangguan mood. Hubungan yang diajukan oleh penelitian ilmu
pengetahuan dasar antara downregulation reseptror β-adrenergik dan respon antidepresan
klinis mungkin adalah satu potongan data yang paling menunjukkan peranan langsung
terhadap sistem noradrenergik pada depresi.

Dengan pengaruh besar yang dihasilkan inhibitor uptake serotonin selektif (SSRI,
selective serotonin reuptake inhibitor) pada terapi depresi maka serotonin juga telah
menjadi neurotransmitter amin biogenik yang lazim dikaitkan dengan depresi. Data lain
yang menunjukkan bahwa serotonin terlibat dalam patofisiologi depresi bahwa
kekurangan serotonin dapat mencetuskan depresi dan beberapa pasien dengan impuls
bunuh diri memiliki konsentrasi metabolit serotonin yang rendah didalam cairan
serebrospinal serta konsemtrasi tempat uptake serotonin yang rendah pada trombosit.

Walaupun norepineprin dan serotonin adalah amin biogenik yang paling sering dikaitkan
dengan patofisiologi depresi, dopamin juga pernah diteorikan memiliki peranan. Data
yang mendukung dopamin berkurang pada depresi dan meningkat pada mania. Penemuan
subtipe baru reseptor dopamin serta meningkatnya pemahaman mengenai regulasi
presinaps dan pascasinaps pada fungsi dopamin lebih lanjut memperjelas riset mengenai
hubungan dopamin dengan gangguan mood. Dua teori terkini mengenai dopamin dan
deperesi adalah bahwa jaras dopamin mensimbolik mungkin mengalami disfungsi atau
hipoaktif pada reseptor dopamin D1 pada depresif.

Neurotransmiter asam amino terutama asam γ-aminobutirat dan peptida neuroaktif


terutama vasopresin dan opiat endogen telah dilibatkan didalam patofisiologi gangguan
mood. Sejumlah peneliti telah mengajukan bahwa sistem massengger kedua adenilat
siklase dapat enjadi penyebab. Asam amino glutamat dan glisin tampaknya merupakan
neurotransmitter eksitasi utama pada saraf pusat. Terdapat bukti baru bahwa antagonis
reseptor NMDA (N-metil-D-aspartat) mempunyai efek anti depresan.

Hipotalamus merupakan pusat pengaturan aksis neuroendokrin dan juga menerima


berbagai input saraf melalui neurotransmiter amin biogenik. Berbagai disregulasi
neuroendokrin dilaporkan terjadi pada pasien-pasein gangguan mood sehingga regulasi
aksis neuroendokrin yang abnormal akibat fungsi neuron yang mengandung amin
biogenik yang abnormal juga. Walaupun secara teoritis disregulasi aksis neuroendokrin
secara khusus mungkin menyebabkan gangguan mood, disregulasi cenderung merupakan
cerminan adanya gangguan otak fundamental yang mendasari. Aksis beuroendokrin
utama yang dimaksud adalah aksis adrenal, tiroid, serta hormon pertumbuhan. Kelainan
neuroendokrin yang telah digambarkan pada pasien dengan gangguan mood mencakup
berkurangnya sekresi melatonin nokturnal, pelepasan prolaktin pada pemberian triptofan,
kadar basal FSH (follicle stimulating hormone), LH (luteinizing hormone), serta kadar
testosteron pada laki-laki.

Hubungan antara hiperskresi kortisol dan depresi merupakan salah satu penelitian terlama
dibidang psikiatri biologis. Riset dasar dan klinis mengasilkan pemahaman tentang
bagaimana pelepasan kortisol diatur pada seseorang dengan atau tanpa depresi. Sekitar
50% pasien yang depresi memiliki tingkat kortikal yang meningkat. Banyak peneliti
mencatat, mungkin 50% pasien depresi tidak memiliki respon supresi kortisol yang
normal terhadap dosis tunggal dexamethasone. Tetapi uji deksametasone ini juga positif
pada pasien psikiatri lainnya sehingga tidak seluruhnya valid untuk gangguan mood.
Namun data terbaru menunjukkan bahwa uji supresi deksametasone ini berhbungan
dengan kemungkinan relaps. Pasien depresi dengan uji supresi deksametasone tidak
normal pada respon klinis terhadap terapi lebih cenderung relaps.

Pada sekitar 5-10% orang dengan depresi ditemukan gangguan tiroid. Merupakan
implikasi klinis langsung yang penting semua pasien yang mengalami gangguan mood
untuk menentokan status tiroidnya. Sekitar sepertiga pasien dengan gangguan depresif
berat yang tidak memiliki aksis tiroid normal ditemukan memiliki respon tirotropin dan
hormon TSH (Thyroid stimulating hormone) yang tumpul.

Beberapa studi juga menunjukkan adanya perbedaan statistik antara pasien depresi dan
pasien lain dalam regulasi pelepasan hormon pertumbuhan. Pasien depresi memiliki
respon stimulasi pelepasan hormon pertumbuhan oleh tidur yang tumpul. Oleh karena itu
kelainan tidur merupakan gejala depresi yang lazim. Studi juga menemukan bahwa
pasien depresi mmiliki respons yang tumpul terhadap peningkatan sekresi hormon
pertumbuhan yang diinduksi klonidin.

Selain inhibisi hormon pertumbuhan, kadar somatostatin dalam cairan serebrospinal lebih
rendah pada orang dengan depresi dibandingkan dengan skizofrenia atau normal, serta
kadarnya meningkat pada mania. Sedangkan sebagian studi besar tidak menemukan
kelainan bermakna pada sekresi prolaktin basal pada depresi.
Masalah tidur-insomnia inisial dan terminal, sering terbangun adalah gejala yang lazim
dan klasik pada depresi, dan penurunan kebutuhan untuk tidur merupakan gejala klasik
mania. Para peneliti menemukan kelainan dari Elektroensefalogram tidur pada orang
dengan depresi dan gangguan mood.

Kelainan struktur tidur pada depresi dan perbaikan klinis sementara oleh karena
kekurangan tidur menghasilkan teori bahwa pada depresi terdapat pengaturan irama
sirkadian yang abnormal.

Kindling adalah proses elektrofisiologis saat stimulasi berulang neuron dibawah ambang
yang akhirnya menghasilkan aksi potensial. Pada tingkat organ stimulasi berulang
dibawah ambang disuatu daerah otak menyebabkan kejang. Observasi klinis bahwa
antikonvulsan berguna dalam terapi gangguan mood memunculkan teori bahwa
patofisiologi gangguan mood dapat melibatkan kindling di lobus temporalis. Efek
antikonvulsan pada gangguan bipolar dapat terjadi akibat perubahan elektrokimia yang
tidak terkait dengan epilepsi.

Para peneliti juga telah melaorkan kelainan imunologis pada orang depresif. Disregulasi
aksis kortisol dapat mempengaruhi status imun, mungkin terdapat pengaturan
hipotalamus yang abnormal pada sistem imun. Kemungkinan kecil yang lain adalah
proses patofisiologi primer yang melibatkan sistem imun menyebabkan gejala psikiatri
gangguan mood.

Studi pencitraan otak dengan CT (computed tomography) dan MRI (magnetic resonance
imaging) juga menhasilkan data. Pada pasien gangguan bipolar I terutama laki-laki
memiliki ventrikel serebri yang membesar, pembesaran ini lebih jarang pada gangguan
depresif berat kecuali pada pasien dengan depresif berat dengan ciri psikotik. MRI juga
menunjukkan pasien dengan depresif berat memiliki nukleus kaudatus dan lobus frontalis
yang lebih kecil, waktu relaksasi T1 hipokampus yang abnormal dibandingkan dengan
kontrol. Pada satu studi MRI ditemukan pasien dengan gangguan bipolar 1 memiliki lesi
substantia alba profunda yang meningkat signifikan dari kontrol. Mayoritas studi
menunjukkanberkurangnya aliran darah umumnya terjadi pada korteks serebri dan
khususnya area korteks frontal. Sedangkan teknik pencitraan MRS (magnetic resonance
spectroscopy) menghasilkan data konsisten bahwa patofisiologi gangguan bipolar 1
mungkin melibatkan pengaturan abnormal metabolisme posfolipid membran.

Baik gejala gangguan mood maupun riset biologis menyokong hipotesis bahwa gangguan
mood melibatkan patologi sistem limbik, ganglia basalis, dan hipotalamus. Orang dengan
gangguan neurologis ganglia basalis dan sistem limbik cenderung menunjukkan gejala
depresif serta berhubungan erat dengan menghasilkan emosi. Perubahan tidur, nafsu
makan, dan prilaku seksual, serta perubahan biologis menurut pengukuran endokrin,
imunologis, dan kronobiologis mengesankan adanya disfungsi hipotalamus.

Faktor genetik
Data genetik dengan kuat menunjukkan bahwa faktor genetik yang signifikan terlibat
dalam timbulnya gangguan mood tetapi pola pewarisan genetik terjadi melalui
mekanisme yang kompeks. Komponen gemetik memainkan peranan yang lebih bermakna
dalam menurunkan gangguan bipolar 1 daripada gangguan depresif berat.

Studi keluarga berulang kali menemukan bahwa keluarga derajat pertama proban (orang
didalam keluarga yang pertama kali diidentifikasi sakit) gangguan bipolar 1 lebih
cenderung mengalami gangguan yang sama besar 8 sampai 18 kali dari keluarga derajat
pertama kontrol, dan 2 sampai 10 kali cenderung mengalami gangguan depresif berat.
Studi keluarga juga menemukan bahwa keluarga derajat pertama proban dengan
gangguan depresif berat lebih cenderung mengalami gangguan bipolar 1 sebesar 1.5
sampai 2.5 kali dari keluarga derajat pertama subjek kontrol atau normal, dan 2 sampai 3
kali lebih cenderung mengalami gangguan depresif berat. Pewarisa gangguan bipolar 1
juga tampak bahwa 50% pasien gangguan bipolar 1 setidaknya memiliki satu orang tua
dengan ganggan mood, paling sering depresif berat. Jika salah satu orang tua memiliki
gangguan bipolar I maka 25% anaknya juga memiliki gangguan mood. Sedangkan jika
kedua orang tua memiliki gangguan bipolar I maka 50-75% kemungkinan anaknya
memiliki gangguan mood.
Dua dari tiga studi adopsi menemukan satu komponen genetik yang kuat pewarisan
gangguan depresif berat. Studi adiopsi ini menunjukkan bahwa anak biologis dari orang
tua yang mengalami gangguan akan tetap memiliki paningkatan risiko terkena gangguan
mood bahkan walaupun mereka diasuh di keluarga adopsi yang tidak memiliki gangguan
ini. Prevalensi gangguan mood pada orang tua adopsi serupa dengan prevalensi dasar
pada populasi umum.

Studi anak kembar menunjukkan bahwa konkordansi untuk gangguan bipolar I pada
kembar monozigot 33 sampai 90% dan sekitar 50% pada depresif berat. Sebaliknya untuk
kembar dizigot sekitar 5 sampai 25% untuk gangguan bipolar I dan 10 sampai 25% untuk
gangguan depresif berat.

Ketersediaan teknik modern biologi molekular, termasuk polimorfisme panjang fragmen


restriksi,, telah menghasilkan banyak studi. Hubungan antara gangguan mood, terutama
gangguan bipolar I dan penanda genatik telah dilaporkan untuk kromosom 5,11,18, dan
X. Gen reseptor D2 terletak pada kromosom 5. Gen untuk tirosin hidroksilase, yaitu enzim
yang membatasi laju sintesis katekolamin terletak pada kromosom 11. Pada suatu studi
penanda kromosom 18 ditemukan di 18 keluarga inti dengan gangguan bipolar.

Faktor psikososial
Terdapat pengamatan klinis yang bertahan lama bahwa peristiwa hidup yang penuh
tekanan lebih sering timbul mendahului episode gangguan mood yang mengikuti. Sebuah
teori yang diajukan adalah bahwa stres yang menyertai episode pertama mengakibatkan
perubahan yang bertahan lama didalam biologi otak. Perubahan yang bertahan lama ini
menghasilkan perubahan keadaan fungsional berbagai neurotransmiter dan sistem
pemberian sinyal intraneuron, bahkan mencakup hilangnya neuron dan berkurangnya
kontak sinaps yang berlebihan. Akibatnya, seseorang memiliki resiko tinggi mengalami
gangguan mood bahkan tanpa stresor eksternal.
Faktor kepribadian
Tidak ada satupun ciri bawaan atau jenis kepribadian yang secara khas merupakan
predisposisi seseorang mngalami depresi. Orang dengan gangguan kepribadian tertentu
seperti obsesif kompulsif, histrionik, dan borderline mungkin memiliki risiko yang lebih
besar untuk mengalami depresi daripada orang dengan gangguan kepribadian antisosial
atau paranoid. Gangguan kepribadian paranoid dapat menggunakan mekanisme defensi
proyeksi dan mekalnisme eksternalisasi lainnya untuk melindungi diri mereka dari
kemarahan di dalam dirinya. Orang dengan gangguan distimik dan siklotimik memiliki
risiko mengalami gangguan depresif berat atau gangguan bipolar I di kemudian harinya.

Faktor psikodinamik depresi


Pemahaman psikodinamik depresi yang dijelaskan Sigmund Freud dan dikembangkan
Karl Abraham dikenal sebagai pandangan klasik mengenai depresi. Teori ini meliputi 4
poin penting : (1) gangguan hubungan ibu-bayi selama fase oral (10 sampai 18 bulan
pertama kehidupan) menjadi predisposisi kerentanan selanjutnya terhadap depresi (2)
depresi dapat terkait dengan kehilangan obyek yang nyata atau khayalan (3) introyeksi
objek yang meninggal adalah mekanisme pertahanan yang dilakukan untuk menghadapi
penderitaan akibat kehilangan objek (4) kehilangan objek dianggap sebagai campuran
cinta dan benci sehingga rasa marah diarahkan ke dalam diri sendiri.

Faktor psikodnamika Mania


Sebagian besar teori mania memandang episode manik sebagai pertahanan terhadap
depresi yang mendasarinya.Karl Abraham meyakini bahwa episode manik dapat
mencerminkan ketidakmampuan mentoleransi suatu tragedi perkembangan. Keadaan
manik juga dapat terjadi akibat superego yang bersifat tirani, yang menghasilkan kritik
diri yang tidak dapat ditoleransi yang kemudian digantikan kepuasan diri yang bersifat
euphoria.

Formulasi lain depresi


Menurut teori kognitif, depresi terjadi akibat distorsi kognitif spesifik yang terdapat pada
seseorang yang rentan terhadap depresi. Beck memberikan postulat trias kognitif depresi :
(1) pandangan mengenai diri-aturan-diri yang negativ, (2) mengenai lingkungan-
kecendrungan mengalami dunia sebagai sesuatu yang memusuhi dan menuntut, dan (3)
mengenai masa depan- harapan mengenai penderitaan dan kegagalan. Teori
ketidakberdayaan yang dipelajari pada depresi menghubungkan fenomena depresi dengan
pengalaman peristiwa yang tidak dapat dikendalikan. Ahli prilaku menekankan bahwa
perbaikan depresi bergantung pada pembelajaran pasien mengenai rasa kendali dan
penguasaan lingkungan.

2.3 Gejala klinis dan kriteria diagnosis

Gejala Klinis
Gejala klinis gangguan bipolar II adalah gambaran klinis pada gangguan depresif berat
ditambah dengan gambaran kliinis episode hipomanik. Sejumlah kecil studi menunjukkan
bahwa gangguan bipolar II dikaitkan dengan gangguan perkawinan serta dengan awitan
yang lebih dini daripada gangguan bipolar I. bukti juga menunjukkan bahwa pasien
dengan gangguan bipolar II memiliki resiko lebih tinggi untuk berusaha bunuh diri
daripada pasien dengan gangguan bipolar satu dan gangguan depresif berat.

Tanda dan gejala dari fase manik atau hipomanik dari ganggua bipolar meliputi :
euphoria, optimism yang berlebihan, harga diri yang meningkat, pertimbangan yang
buruk, berbicara dengan cepat, gagasan kebesaran, tingkah laku agresif, agitasi atau
iritasi, peningkatan aktivitas fisik, bersenang-senang dengan cara berlebihan,
membahayakan diri dengan tindakan yang beresiko, peningkatan aktivitas seksual,
penurunan kebutuhan tidur, sulit berkonsentrasi, keinginan mencoba obat-obatan dan
alcohol, waham atau tidak mengenal realita, sering ditandai dengan gangguan aktivitas
sekolah, kerja, dan social yang terganggu.

Tanda dan gejala dari fase depresif pada gangguan bipolar meliputi : sedih yang
mendalam, kehilangan energy dan minat dengan kegiatan sehari-hari, pikiran kematian
dan usaha bunuh diri, rasa bersalah, cemas, ititabel, kehilangan nafsu makan, penurunan
aktivitas seksual, sulit tidur, sakit kronik tanpa sebab yang diketahui, dan sering juga
ditandai gangguan dengan aktivitas sekolah, kerja, dan social.

Kriteria Diagnostik DSM-IV-TR Gangguan Bipolar II

A. Adanya (riwayat) satu atau lebih episode depresif berat


B. Adanya (riwayat) setidaknya episode hipomanik
C. Sebelumnya ada satu episode manik atau campuran
D. Gejala mood kriteria A dan B sebaiknya tidak dimasukkan kedalam gangguan
skizoafektif dan tidak tumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan
skizofreniform, gangguan waham atau gangguan psikotik yang tidak
tergolongkan.
E. Gejala secara klinis menimbulkan penderitaan yang bermakna atau hendaya
fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting fungsi lain.
Tentukan episode terkini :
Hipomanik : jika kini (terkini) berupa episode hipomanik
Depresi : jika kini (terkini) berupa episode depresif berat
Jika seliruh kriteria saat ini memenuhi episode depresif berat, tentukan status dan/atau
ciri klinis saat ini:
Ringan, sedang, berat tanpa ciri psikotik/berat dengan ciri psikotik. Catatan:
kode lima digit tidak dapat digunakan disini karena kode gangguan bipolar II sudah
menggunakan digit kelima.
Kronik
Dengan ciri katatonik
Dengan ciri melankolik
Dengan ciri atipikal
Dengan awitan pasca melahirkan
Jika seluruh kriteria saat ini tidak memenuhi episode hipomanik atau episode depresif
berat, tentukan status klinis gangguan bipolar II dan/atau ciri episode depresif berat
terkini (hanya jika merupakan tipe episode mood terkini);
Dalam remisi parsial, dalam remisi penuh. Catatan: kode lima digit tidak dapat
digunakan disini katena kode gangguan bipolar II sudah menggunakan digit kelima.
Kronik
Dengan ciri katatonik
Dengan ciri melankolik
Dengan ciri atipikal
Dengan awitan pasca melahirkan
Tentukan:
Poin penentu perjalanan lonitudinal (dengan atau tanpa pemulihan antara
episode)
Dengan pola musiman (hanya berlaku untuk pola episode depresif berat)
Dengan siklus cepat

2.4 Diagnosa banding


Diagnosis banding pasien yang sedang dievaluasi untuk gangguan mood harus mencakup
gangguan mood lain, gangguan psikotik, dan gangguan ambang. Pembedaan antar
gangguan depresif berat dengan gangguan bipolar I dan pada sisi lain gangguan bipolar II
bertumpu pada evaluasi klinis episode hipomania. Klinisi tidak boleh keliru antara
eutimia pada pasien depresi kronis dengan episode hipomanik atau manic. Pasien
gangguan kepribadian ambang sering mengalami gangguan hidup yang berat, serupa
dengan gangguan bipolar II, karena episode yang multiple gejala gangguan mood yang
bermakna.

Berdasarkan episode
(A) Hypomania/Mania/Depresif campuran
ADHD (Attention Deficit Hiperactivity Disorder), gangguan kompulsif, gangguan
control impuls, gangguan skizoafektif, skizoprenia, depresi agitasi, gangguan
kepribadian, intoksikasi zat
(B) Gangguan psikiatri
Distimik, gangguan berhubungan dengan stress, gangguan bipolar, gangguan
cemas, gangguan skizoafektif, skizoprenia, gangguan kepribadian, ketergantungan
obat,

(C) Mania/Depresi Sekunder


Sipilis tersier, influenza, AIDS, pneumonia virus, hepatitis virus, TB, infeksi
mononucleosis

(D) Infeksi
Sipilis tersier, influenza, AIDS, pneumonia virus, hepatitis virus, TB, infeksi
mononucleosis, sklerosis multiple, trauma kapitis, tumor otak, epilepsy,
ensefalopati, neurosifilis

(E) Gangguan neurologis


Dementia, Parkinson, penyakit Huntington, trauma kapitis, tumor otak, epilepsy,
ensefalopati, neurosifilis, hipo.hipertiroidisme, sindrom cushing

(F) Gangguan endokrin


Hipotiroidisme, diabetes, hiperparatiroidisme, fase luteal disforia, sindrom
cushing, insufisiensi adrenal, , hipopituitarisme

(G) Obat-obatan
Kortikosteroid, kontrasepsi, antihipertensi, alpa metildopa, antipsikotik,
antidepresan, stimulant psikotik, antibiotic

2.5 Terapi
Terapi pasien dengan gangguan mood harus ditujukan pada beberapa tujuan. Pertama
keamanan pasein harus terjamin. Kedua, evaluasi diagnostic lengkap pada pasien harus
dilakukan. Ketiga rencana terapi yang ditujukan tidak hanya pada gejala saat itu tetapi
kesejahteraan pasien di massa mendatang juga harus dimulai.

Rawat inap
Keputusan pertama yang paling penting adalah memutuskan pasien dirawat. Indikasi
yang jelas untuk rawat inap adalah kebutuhan prosedur diagnosis, risiko bunuh diri atau
membunuh, dan kemampuan pasien yang menurun drastis untuk mendapatkan makanan
makanan dan tempat tinggal.

Terapi Psikososial
Walaupun sebagian besar studi menunjukkan kombinasi psikoterapi dan farmakoterapi
adalah terapi yang paling efektif untuk gangguan depresif berat, sejumlah data
mengesankan pandangan berbeda bahwa salah satu terapi saja sudah efektif. Selain tidak
menambahkan biaya pengobatan juga mengurangi pajanan efek samping yang tidak
perlu. Ada tiga jenis psikoterapi jangka pendek yaitu terapi kognitif, terapi interpersonal,
dan terapi perilaku.

Terapi Kognitif.
Awalnya dikembangkan Aeron Beck, memfokuskan pada distorsi kognitif, diperkirakan
ada pada gangguan depresif berat. Distorsi tersebut mencakup perhatian selektif terhadap
aspek negative keadaan dan kesimpulan patologis yang tidak realistis mengenai
konsekuensi.

Terapi Interpersonal
Dikembangkan Gerald Klerman, memfokuskan pada satu atau dua masalah interpersonal
saat ini. Terapi ini didasarkan pada dua asumsi. Pertama, masalah interpersonal saat ini
cenderung memiliki akar pada hubungan yang mengalami disfungsi sejak awal. Kedua,
masalah interpersonal saat ini cenderung terlibat didalam mencetuskan atau melanjutkan
gejala depresif saat ini. Program terapi interpersonal terdiri atas 12 sampai 16 sesi dan
ditandai dengan pendekatan terapeutik yang aktif.

Terapi Perilaku
Didasarkan pada hipotesis bahwa pola perilaku maladaptive mengakibatkan seseorang
menerima sedikit umpan balik positif dan mungkin sekaligus penolakan dari masyarakat.
Dengan memusatkan perhatian pada perilaku maladaptive di dalam terapi, pasien belajar
berfungsi di dalam dunia sedemikian rupa sehingga mereka memperoleh dorongan
positif.

Terapi Berorientasi Psikoanalitik


Didasari teori psikoanalitik mengenai depresi dan mania bertujuan member pengaruh
pada perubahan struktur atau karakter kepribadian seseorang, bukan hanya untuk
meredakan gejala. Perbaikan kepercayaan interpersonal, keintiman, mekanisme koping,
kapasitas berduka, serta kemampuan mengalami luas emosi adalh sejumlah tujuan terapi
psikoanalitik.

Terapi Keluarga
Bukan terrapin primer gangguan depresif berat, tetapi membantu mengurangi dan
menghadapi stress yang dapat megurangi kemungkinan kambuh. Diindikasikan jika
merusak perkawinan pasien atau fungsi keluarga. Terapi keluarga memeriksa peranan
anggota keluarga yang mengalami gangguan mood, juga memeriksa peranan keluarga
didalam mempertahankan gejala pasien.

Farmakoterapi
Metode fermakoterapi pada gangguan mood mengubah terapi dan secara dramatis
mempengaruhi perjalanan gangguan mood. Edukasi pasien yang adekuat mengenai
antidepresan sama pentingnya dengan memilih obat serta dosis yang paling tepat untuk
keberhasilan terapi. Obat antidepresan tidak akan menyebabkan ketergantungan pada
pasien, karena tidak member kepuasan dengan segera. Terlebih lagi obat mungkin
membutuhkan 3 hingga 4 minggu sebelum efek antidpresannya dapat dirasakan.
Penjelasan tentang efek samping obat antidepresa dan pertimbangkan dosis letal jika
diminum dalam jumlah banyak. Sehingga pengawasan pemberian obat sangatlah penting.

Obat yang tersedia


SSRI adalah obat antidepresan yang paling luas digunakan. Merupakan agen pilihan
karena efektif, murah digunakan, efek samping yang relaif lebih sedikit bahkan pada
dosis tinggi. Karena ditoleransi dengan baik maka digunakan dalam segala bidang.
Penggunaan obat SSRI lebih aman dibandingkan obat trisiklik dan tetrasiklik atau
MAO1, selain itu masing-masing obat ini terlihat sama efektif terhadap depresi. Obat
trisiklik dan tetrasiklik dapat menimbulkan sedasi. Sedangkan MAO1 membutuhkan
restriksi diet. Obat-obat ini lebih sedikit digunakan karena efek sampingnya. Obat
simpatomimetik dapat menghasilkan perbaikan mood yang cepat (dalam 1 minggu) dan
diindikasikan dalam pengawasan ketat.

Terapi lini pertama pada mania akut: litium merupakan terapi utama untuk mania akut
dengan respon rata-tara sekitar 50% pasien. Lebih dari dua minggu dibutuhkan untuk
memaksimalkan efek pengobatan pada efek mania. Keterlambatan efek berkaitan dengan
benzodiazepine. Selain itu juga berguna benzodiazepine seperti lorazepam berguna untuk
terapi kombinasi yang efektif.

Terapi ECT (Electro Convulsive Therapy) juga lebih efektif dipilih untuk mania berat.
Juga apabila penggunaan obet tidak memungkinkan. Selain itu juga bisa digunakan
antikonvulsif, seperti valproate dapat digunakan selama fase akut. Walaupun penggunaan
jangka panjang juga tidak memberikan banyak kemajuan. Tetapi dapat digunakan pada
pasien yang tidak respon pada lithium. Carbamazepine dan derivatnya juga dapat efektif
digunakan sendiri atau dikombinasikan dengan lithium atau anti psikotik.

Terapi untuk episode depresi hanya satu anti depresan yang menjadi pilihan fluoxetine
dikombinasi dengan olanzapine. Sebagai alternative dapat digunakan beberapa
antipsikotik. Sebagian klinisi memilih SSRI atau bupropion karena aman.sedangkan TCA
lebih beresiko efek samping. Tetapi jika tidak berhasil dapat dilakukan ECT. Sebagai
tambahan juga dapat digunakan mood stabilizer seperti lamotiginr, valproate, atau
carbamazepine). Dan sebagai alternaif dapat diberikan tambahan triodotironin (T3).

Untuk pengobatan yang stabil untuk mencegah rekuren digunakan lithium dan dengan
lini kedua valproate, carbamazepine, lamotrigine, antikonvulsan lainnya, dan antipsikotik
atipikal. Sebagai alternatifnya kalsium channel antagonis seprti verapamil, nifedipine,
nimodipine, dan hormone tiroid.

Pasien rawat jalan tanpa penyulit dengan fisik sehat tanpa


kontraindikasi untuk golongan antidepresan tertentu

TCA atau SSRI


Bergantung pilihan dokter
Percobaan gagal
akibat respon atau Respon parsial Respon penuh
efek samping yang
menbatasi

Pertahankan terapi
Tukar dengan Dapat diganti kea gen setidaknya untuk 4
agen alternative alternative atau sampai 6 bulan
(TCA-SSRI) diupayakan penambahan dalam kasus
pertama; labih
lama pada kasus
penyakit
kambuhan

Percobaan gagal
Remisi penuh

Pertahankan seperti
yang dijelaskan Percobaan agen lini kedua dengan bukti
diatas aktivitas pada orang yang tidak
memberikan respon terhadap TCA.
Alternatif terapi dengan ECT
TCA : trisiclic antidepressan, SSRI : selective reuptake serotonin inhibitor
Terapi Alternatif obat
Dua terapi organik yang merupakan alternative farmakoterapi adalah terapi
elektrokonvulsif, dan fototerapi. Terapi elektokonvulsif umumnya digunakan ketika
pasien tidak memberikan respon terhadap farmakoterapi atau tidak dapat mentoleransi
farmakoterapi batau situasi klinis sedemikian beratnya sehingga diperlukan perbaikan
cepat melalui terapi ini. Fototerpi merupakan terapi baru yang telah digunakan pada
pasien dengan pola musiman untuk gangguan mood mereka. Fototerapi bisa digunakan
secara tersendiri pada kasus gangguan mood ringan dengan pola musiman.

Terapi gangguan bipolar II harus dilakukan dengan pendekatan hati-hati. Terapi episode
depresif dengan antidepresan sering dapat mencetuskan episode manic. Mengenai
efektifitas strategi pengobatan gangguan bipolar I pada pasien dengan gangguan bipolar
masih diselidiki.

2.6 Komplikasi
Beberapa akibat ataupun gangguan yang dapat timbul bersamaan antara lain:

Ansietas
Gejala ansietas yang signifikan dapat dan sering timbul bersama dengan gejala depresi
yang signifikan. Gejala ansietas dan depresi yang timbul akibat dua proses penyakit atau
satu proses penyakit masih belum diketahui. Kedua jenis pasien tersebut dapat
merupakan kelompok pasien dengan gangguan campuran ansietas dan depresi

Ketergantungan Alkohol
Ketergantungan alcohol sering timbul bersama dengan gangguan mood. Pasien dengan
gangguan depresif berat dan pasien dengan gangguan bipolar I cenderung memenuhi
kriteria diagnostic gangguan penggunaan alcohol. Data yang tersedia menunjukkan
bahwa ketergantungan alcohol pada perempuan lebih terkait dengan gangguan depresi
yang ada disbanding laki-laki.

Gangguan Terkait Zat Lain


Gangguan terkait zat selain alcohol juga sering dikaitkan dengan gangguan mood.
Penyalahgunaan zat mungkin terlibat dalam mencetuskan suatu episode panyakit atau
sebaliknya dapat menunjukkan upaya penderita mengobati sendiri penyakit mereka.
Keadaan Medis
Depresi lazim timbul bersamaan dengan keadaan medis terutama pada lanjut usia.
Banyak studi menunjukkan bahwa terapi gangguan depresif berat yang timbul bersamaan
dapat memperbaiki perjalanan gangguan medis yang mendasarinya.

2.7 Prognosis
Perjalanan penyakit dan prognosis gangguan bipolar II masih dipelajari. Tetapi data
menunjukkan bahwa diagnosanya stabil, seperti yang di tunjukkan tinggi kemungkinan
pasien yang didiagnosis dengan gangguan bipolar II akan memiliki diagnosis yang sama
lima tahun kemudian. Dengan demikian gangguan bipolar II adalah penyakit kronik yang
memerlukan strategi terapi jangka panjang.

Ada beberapa faktor yang mempengaruhi prognosis. Faktor prognosis buruk antara lain:
penyalahgunaan obat atau alkohol, gjala psikotik, ketidakpatuhan, riwayat pekerjaan yang
buruk, jenis kelamin laki-laki, gejala residual antara episode, lamanya durasi episodik.
Faktor prognosis baik antara lain: terjadi di umur tua, beberapa masalah kesehatan
komorbid, respon pengobatan dan kepatuhan yang baik, penyembuhan yang sempurna
antara episodik, durasi pendek episode manik.

BAB III
PENUTUP

3.1 Kesimpulan
Gangguan mood meliputi sekelompok besar gangguan, dengan mood patologis
serta gangguan terkait mood yang mendominasi gambaran klinisnya. Gangguan mood
lebih baik dianggap sebagai sindrom yang terdiri atas sekelompok tanda dan gejala yang
bertahan selama berminggu-minggu hingga berbulan-bulan, yang menunjukkan
penyimpangan nyata fungsi habitual seseorang serta kecenderungan untuk kambuh dalam
bentuk periodik atau siklik.
Pasien yang memiliki episode manik maupun depresif dikatakan memiliki
gangguan bipolar. Gangguan bipolar dua adalah suatu varian gangguan bipolar ditandai
dengan episode hipomania dan bukannya mania. Atau satu atau lebih episode depresif
ditambah satu atau lebih episode hipomanik tanpa episode manik atau episode campuran.

Laporan data ini paling konsisten dengan hipotesis bahwa gangguan mood
disebabkan oleh disregulasi heterogen amin biogenik. Selain aminbiogenik, norepineprin
dan serotonin adalah dua neurotransmitter yang paling terkait dengan gangguan mood.
Gejala klinis gangguan bipolar II adalah gambaran klinis pada gangguan depresif
berat ditambah dengan gambaran kliinis episode hipomanik. Tanda dan gejala dari fase
manik atau hipomanik dari ganggua bipolar meliputi : euphoria, optimism yang
berlebihan, harga diri yang meningkat, pertimbangan yang buruk, berbicara dengan cepat,
peningkatan aktivitas seksual, penurunan kebutuhan tidur, sulit berkonsentrasi, keinginan
mencoba obat-obatan dan alcohol.
Tanda dan gejala dari fase depresif pada gangguan bipolar meliputi : sedih yang
mendalam, kehilangan energy dan minat dengan kegiatan sehari-hari, , kehilangan nafsu
makan, penurunan aktivitas seksual, sulit tidur

Kriteria Diagnostik :
A. Adanya (riwayat) satu atau lebih episode depresif berat
B. Adanya (riwayat) setidaknya episode hipomanik
C. Sebelumnya ada satu episode manik atau campuran
D. Gejala mood kriteria A dan B sebaiknya tidak dimasukkan kedalam gangguan
skizoafektif dan tidak tumpang tindih dengan skizofrenia, gangguan
skizofreniform, gangguan waham atau gangguan psikotik yang tidak
tergolongkan.
E. Gejala secara klinis menimbulkan penderitaan yang bermakna atau hendaya
fungsi sosial, pekerjaan, atau area penting fungsi lain.

Diagnosis banding ganguan bipolar :


- Gangguan mood yang lainnya
- ADHD
- Gangguan cemas
- Gangguan konduksi
- Demensia
- Gangguan skizoafektif
- Gangguan kontrol impuls
- Ketergangtungn zat
- Gangguan kepribadian

Terapi lini pertama pada mania akut: litium merupakan terapi utama untuk mania akut
dengan respon rata-tara sekitar 50% pasien. Lebih dari dua minggu dibutuhkan untuk
memaksimalkan efek pengobatan pada efek mania. Keterlambatan efek berkaitan dengan
benzodiazepine. Selain itu juga berguna benzodiazepine seperti lorazepam berguna untuk
terapi kombinasi yang efektif.

Terapi untuk episode depresi hanya satu anti depresan yang menjadi pilihan
fluoxetine dikombinasi dengan olanzapine. Sebagai alternative dapat digunakan beberapa
antipsikotik. Sebagian klinisi memilih SSRI atau bupropion karena aman.sedangkan TCA
lebih beresiko efek samping. Tetapi jika tidak berhasil dapat dilakukan ECT.

Prognosis
Perjalanan penyakit dan prognosis gangguan bipolar II masih dipelajari. Tetapi data
menunjukkan bahwa diagnosanya stabil, seperti yang di tunjukkan tinggi kemungkinan
pasien yang didiagnosis dengan gangguan bipolar II akan memiliki diagnosis yang sama
lima tahun kemudian.
\
Komplikasi
 Ansietas
 ketergantungan alkohol
 Penggunaan zat
 Beberapa keadaan medis

DAFTAR PUSTAKA

1. Kupfer, D. Horner, M. And Brent, D. 2008. Bipolar Disorder. In: Oxford


American Handbook of Psychiatry. 1st Ed. Oxford University Press; 342-394
2. Sadock, James, B. Alcott, V. 2007. Depression and Bipolar Disorder. In: Kaplas
& Sadock’s Synopsis of Psychiatry: Behavioral Science/Clinical Pssychiatry. 10th
Ed. Lippincott Williams & Wilkins; 527-562
3. Sadock, B. Sadock, V. 2004. Mood Disorder. In : Kaplan & Sadock Concise
Textbook Clinical Psychiatry. 2nd Ed. Lippincott & Wilkins; 173-199
4. Sagar, R. Shukla, N. 2010. Mania and Bipolar Affective Disorder. In: Jiloha and
Bhatia Psychiatry for General Practitioner. New Age Internasional Limited
Publisher; 40-52
5. Kay, J. Tasman, A. Mood disorder. 2006. Bipolar (Manic-Depressive) Disorders.
In: Essential of Psychiatry. John Willey & Sons Ltd; 556-571
6. Mayo clinic staff. 2009. Bipolar Disorder. From :
http://www.mayoclinic.com/health/bipolar-disorder/DS00356
7. Neumaier, J. Dunner, D. 2007. Toward a Patophysiology of Bipolar Disorder. In:
Bipolar Disorder Basic Mechanisms and Therapeutic Implications. 2nd Edition.
Informa Health Care. New York; 401-408
8. Dunner, D.2002. Toward an Expansion od Bipolar Disorder in DSM-V. In:
Bipolar Disorder WPA Series and Experience In Psychiatry Volume 5. Wiley.
Canada; 53-54

Anda mungkin juga menyukai