Anda di halaman 1dari 26

BAB I

PENDAHULUAN

1.1. LATAR BELAKANG4,9


Depresi seringkali disebut sebagai gangguan kejiwaan yang paling umum terjadi karena
memiliki tingkat prevalensi yang sangat tinggi. Menurut WHO tahun 2012 setidaknya
sekitar 350 juta orang di dunia mengalami depresi dalam hidupnya, di antaranya hanya
17% pasien yang memeriksakan dirinya ke psikiater, sementara masih sangat banyak
penderita depresi yang tidak tertangani akibat kurangnya kesadaran akan hal ini. Hasil
Riset Kesehatan Dasar juga menunjukkan bahwa pada tahun 2013 terdapat 11,6% populasi
orang dewasa di Indonesia mengalami gangguan mental emosional seperti kecemasan dan
depresi, yang mana penduduk perkotaan memiliki prevalensi lebih tinggi daripada
penduduk pedesaan. Data dari berbagai epidemiologi psikiatri di Indonesia juga
menyebutkan bahwa sekitar 25% penduduk Indonesia pernah mengalami depresi semasa
hidupnya. Hal ini membuktikan bahwa depresi merupakan salah satu gangguan yang dapat
mengancam siapa saja.
Persebaran jangkauan umur dan strata sosial penderita depresi sangat luas. Depresi
dapat terjadi pada berbagai rentang usia, mulai dari anak-anak hingga lanjut usia. Menurut
Neiger (1988), salah satu rentang usia yang sangat rentan terhadap depresi ialah individu
yang berusia 15-24 tahun. Padahal, usia ini merupakan usia produktif di mana individu
sedang menempuh pendidikan atau bekerja. Global Burden of Disease (GBD) of theWorld
Health Organitation (WHO) telah menunjukkan terjadinya masalah yang sama di seluruh
dunia bahwa salah satu jenis depresi yaitu gangguan depresi mayor, meningkatkan risiko
terjadinya percobaan bunuh diri yang jika tidak ditangani dengan benar akan menyebabkan
tindakan bunuh diri (complete suicide) yang memakan banyak korban jiwa yang sia-sia.
Orang yang sudah melakukan percobaan bunuh diri, akan berisiko 100 kali lipat lebih besar
untuk terjadinya tindakan bunuh diri jika dibandingkan dengan pupolasi normal.
Katatonia, adalah sebuah sindrom perilaku motorik yang berubah yang menyertai
banyak gangguan umum dan neurologis, yang mempengaruhi 9,8% orang dewasa yang
dirawat di rumah sakit jiwa. Namun, katatonia sering kali tidak dikenali, yang mengarah
pada kesimpulan yang salah bahwa itu jarang terjadi. Sebuah studi Belanda menemukan

1
bahwa dokter mengidentifikasi katatonia hanya dalam 2% dari 139 pasien, sedangkan tim
peneliti mengidentifikasi katatonia pada 18% . Dalam studi epidemiologi, prevalensi
katatonia pada pasien psikiatris bervariasi dari 7% sampai 31%. Epidemiologi katatonia di
AS, setiap tahun, 90.000 individu dirawat di rumah sakit untuk gejala katatonia. Gejala-
gejala yang paling sering adalah mutanisme (68% kasus), dan negativisme atau penahanan
psikomotorik (62% kasus). Ketidakpastian tentang sifat dan relevansi diagnostik katatonia
tentu tidak memudahkan pengakuan dan interpretasi yang benar dari gejala katatonik.
Menurut Max Fink, MD, katatonia dapat diobati, tetapi hal yang menyedihkan adalah fakta
bahwa diagnosis yang sebenarnya sering tidak dibuat dan perawatan yang tepat tidak
disediakan.

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 DEFINISI 1,4,9,10


Gangguan depresi dalam spektrum luas yang ditandai dengan adanya suasana hati
yang sedih, kosong, atau mudah tersinggung dan berbagai perubahan somatik dan kognitif
lainnya. Gangguan depresi mayor adalah salah satu gangguan depresi yang menyebabkan
morbiditas dan mortalitas yang signifikan pada individu di semua usia dan ras. Global
Burden of Disease (GBD) of the World Health Organitation (WHO) telah menunjukkan
terjadinya masalah yang sama di seluruh dunia bahwa gangguan depresi mayor,
meningkatkan risiko terjadinya percobaan bunuh diri yang jika tidak ditangani dengan
benar akan menyebabkan tindakan bunuh diri (complete suicide) yang memakan banyak
korban jiwa yang sia-sia. Orang yang sudah melakukan percobaan bunuh diri, akan
berisiko 100 kali lipat lebih besar untuk terjadinya tindakan bunuh diri jika dibandingkan
dengan pupolasi normal.
Katatonia adalah suatu sindrom yang ditandai oleh gangguan motorik dan gejala
kejiwaan termasuk imobilitas, kekakuan, mutisme, negativisme, dan penolakan untuk
makan atau minum. Gejala lain yang jarang terjadi yaitu stereotip, impulsif, kegembiraan,
fleksibilitas lilin, echolalia, dan echopraxia. Karl Ludwig Kahlbaum adalah yang pertama
kali membuat hubungan antara gejala psikomotor dan gangguan kejiwaan pada tahun 1874.
Kahlbaum menciptakan istilah Die Katatonie dan mengelompokkan 17 kelainan motorik
menjadi sindrom tunggal pada pasien dengan berbagai kelainan, termasuk suasana hati,
psikosis, neurosifilis, tuberkulosis. , dan epilepsi.
Dr Fink menjelaskan. Fink dan Taylor berpendapat bahwa katatonia tidak boleh
secara eksklusif dikaitkan dengan skizofrenia, yang mengarah ke perubahan yang
mengakui katatonia sebagai gangguan yang disebabkan oleh kondisi medis dan fitur
penentu dalam gangguan mood, pada DSM-IV. Perkembangan skala penilaian dan
prosedur pemeriksaan yang lebih efektif mengarah pada penemuan bahwa antara 9% dan
17% pasien di fasilitas psikiatrik dan unit gawat darurat memenuhi kriteria untuk katatonia
- bahkan lebih banyak di antara mereka dengan gangguan mood atau keadaan toksik
daripada di antara pasien dengan skizofrenia. 1 Dalam DSM-5, kriteria katatonia tetap

3
sama di seluruh manual, tetapi terlepas dari diagnosis awal (misalnya, psikotik, bipolar,
depresi, gangguan medis, atau kondisi medis yang tidak teridentifikasi). Itu didefinisikan
oleh kehadiran setidaknya 3 gejala dari daftar 12 dan tidak lagi disebut "subtipe"
skizofrenia tetapi lebih sebagai "penentu" untuk skizofrenia serta untuk gangguan mood
utama dan 4 gangguan psikotik tambahan. Menurut DSM-5 Katatonia didefinisikan oleh
kehadiran 3 atau lebih gejala dari berikut 10 katalepsi, fleksibilitas lilin,stupor, agitasi,
mutisme, negativism, postur, mannerism, stereotip, meringis, echolalia, echopraxia.

2.2 EPIDEMIOLOGI6,11
Dalam NCS-A, prevalensi gangguan depresi mayor meningkat secara signifikan di
seluruh remaja, dengan peningkatan yang sangat mencolok di antara wanita daripada di
antara pria. Sebagian besar kasus gangguan depresi utama dikaitkan dengan komorbiditas
psikiatri dan minoritas substansial melaporkan bunuh diri. Perawatan dalam beberapa
bentuk diterima oleh mayoritas remaja dengan depresi mayor sesuai DSM-IV periode 12
bulan (60,4 persen), tetapi hanya sebagian kecil yang menerima perawatan yang khusus
gangguan mental. Gangguan depresi berat, paling sering terjadi, dengan prevalensi seumur
hidup sekitar 15 persen. Perempuan dapat mencapai 25%. Sekitar 10% perawatan primer
dan 15% dirawat di rumah sakit. Pada anak sekolah didapatkan prevalensi sekitar 2%. Pada
usia remaja didapatkan prevalensi 5% dari komunitas memiliki gangguan depresif berat.
Pada kasus psikiatri terjadinya gejala katatonia memiliki prevalensi yang
dilaporkan mulai dari 7,6 % hingga setinggi 38% pada pasien psikiatri dan terjadi paling
umum pada gangguan mood. Dalam tiga penelitian yang dilakukan secara berbeda, 28%
hingga 31% dari subyek katatonik ditemukan dengan episode manik atau episode
campuran. Meskipun demikian, diperkirakan bahwa hingga setengah dari pasien katatonik
mungkin memiliki gangguan suasana hati. Taylor dan Abrams menemukan bahwa 34
pasien (28%) dari 120 pasien yang dirawat inap dengan diagnosis gangguan afektif,
menunjukkan dua atau lebih gejala katatonik. Kemudian menurut laporan dari Ries dkk,
menjelaskan dua pertiga (enam dari sembilan) pasien gangguan afektif yang resisten
terhadap obat merespons terhadap terapi ECT, menunjukkan tanda gejala motorik
katatonik selama dirawat di rumah sakit. Banyak penulis menghubungkan katatonia
dengan manik depresif penyakit. Braunig dan Kruiger dalam studi mereka tentang episode

4
manik dan campuran manik melaporkan tanda gejala katatonik sebanyak 31% dan 27%
pada masing-masing pasien. Menurut Editorial American Journal of Psychiatry dengan
jelas menyatakan bahwa “Katatonia lebih sering dikaitkan dengan mania, melancholia dan
depresi psikotik daripada dengan skizofrenia ”.

2.3 ETIOLOGI
a. Depresi2,4,6
Etiologi dari depresi adalah gangguan multifaktorial, dengan berbagai faktor risiko yang
berinteraksi. Genetika, pola asuh awal dan kepribadian dapat meningkatkan kerentanan
terhadap depresi, dengan episode yang timbul tergantung pada tingkat stres akut dan kronis
yang dialami. Berikut etiologi dari depresi :
1. Faktor genetik
Dari penelitian keluarga didapatkan gangguan depresi mayor dan gangguan
bipolar terkait erat dengan hubungan saudara; juga pada anak kembar, suatu bukti
adanya kerentanan biologik, pada genetik keluarga tersebut. Bukan saja tidak mungkin
untuk menyingkirkan efek psikososial, tetapi faktor non genetik kemungkinan
memainkan peranan kausatif dalam perkembangan gangguan mood pada sekurangnya
beberapa orang. Penelitian keluarga menemukan bahwa sanak saudara derajat pertama
dari penderita gangguan depresif berat berkemungkinan 2 sampai 3 kali lebih besar
daripada sanak saudara derajat pertama.

2. Faktor Biokmia
Ada dua hipotesis terjadinya depresi secara biokimia, yaitu:
a. Hipotesis Katekolamin
Beberapa penyakit depresi berhubungan dengan defisiensi katekolamin
pada reseptor otak. Reserpin yang menekan amina otak diketahui kadang-kadang
menimbulkan depresi lambat. Disamping itu, MHPG (Metabolit primer
noradrenalin otak) menurun dalam urin pasien depresi sewaktu mereka mengalami
episode depresi dan meningkat di saat mereka gembira.

5
b. Hipotesis Indolamin
Hipotesis indolamin membuat pernyataan serupa untuk 5-hidroxitriptamin
(5 HT). Metabolit utamanya asam 5-hidroksi indolasetat (5HIAA) menurun dalam
LCS pasien depresi, dan 5 HIAA rendah pada otak pasien yang bunuh diri. L-
Triptofan, yang mempunyai efek antidepresi meningkatkan 5HT otak.

3. Faktor Hormon
Kelainan depresi mayor dihubungkan dengan hipersekresi kortisol dan kegagalan
menekan sekresi kortisol meskipun sudah diberikan dexametason. Pasien depresi
resisten terhadap penekanan dengan dexametason dan hasil abnormal ini didapatkan
pada sekitar 50% pasien, terutama pada pasien dengan depresi bipolar, waham dan ada
riwayat penyakit ini dalam keluarga.
Wanita dua kali lebih sering dihubungkan dengan pruerperium atau menopause.
Bunuh diri dan saat masuk rumah sakit biasanya sebelum menstruasi. Selama penyakit
afektif berlangsung sering timbul amenore. Hal ini menggambarkan bahwa gangguan
endokrin mungkin merupakan faktor penting dalam menentukan etiologi.

4. Faktor Kepribadian Premorbid


Kepribadian depresi ditunjukkan dengan perilaku murung, pesimis dan kurang
bersemangat. Mereka dengan rasa percaya diri rendah, senantiasa melihat dirinya dan
dunia luar dengan penilaian pesimistik. Jika mereka mengalami stres besar, mereka
cenderung akan mengalami depresi. Para psikolog menyatakan bahwa mereka yang
mengalami gangguan depresif mempunyai riwayat pembelajaran depresi dalam
pertumbuhan perkembangan dirinya. Mereka belajar seperti model yang mereka tiru
dalam keluarga, ketika menghadapi masalah psikologik maka respon mereka meniru
perasaan, pikiran dan perilaku gangguan depresif.

5. Faktor Lingkungan
Enam bulan sebelum depresi, pasien depresi mengalami lebih banyak peristiwa
dalam hidupnya. Mereka merasa kejadian ini tidak memuaskan dan mereka keluar dari
lingkungan sosial. 80% serangan pertama depresi didahului oleh stress, tetapi angka ini

6
akan jatuh menjadi hanya 50% pada serangan berikutnya. Pasien depresi diketahui juga
lebih sering pada anak yang kehilangan orang tua di masa kanak-kanak dibandingkan
dengan populasi lainnya.
Menurut Freud, kehilangan obyek cinta, seperti orang yang dicintai, pekerjaan
tempatnya berdedikasi, hubungan relasi, harta, sakit terminal, sakit kronis dan krisis
dalam keluarga merupakan pemicu episode gangguan depresif. Seringkali kombinasi
faktor biologik, psikologik dan lingkungan merupakan campuran yang membuat
gangguan depresif muncul.

b. Katatonik9
Etiologi terjadinya katatonia masih belum jelas, beberapa teori hipotesis telah
diajukan berdasarkan data yang tersedia. Salah satu kemungkinan interpretasi terjadinya
katatonia adalah bahwa sindrom tersebut merupakan manifestasi dari timbulnya
kecemasan yang hebat. Moskowitz menganggap gejala katatonia sebagai sisa evolusi dari
strategi pertahanan yang terkait dengan adanya ketakutan yang intens. Manusia memiliki
perilaku pertahanan, jika didepannya tampak predator, beberapa perilaku bertahan akan
dikembangkan. Di antara mereka, yang paling dikenal adalah strategi "pertarungan atau
lari". Dalam beberapa kasus di mana tidak terjadi dari dua pilihan ini mungkin terjadi
strategi ketiga yang disebut "imobilitas tonik" dimana terjadi suspense tonik dari aktivitas
motorik. Strategi pertahanan ini didasarkan pada kenyataan bahwa banyak predator tertarik
dengan gerakan mangsanya.
Hipotesis ini tampaknya dikonfirmasi oleh pengalaman subjektif pasien katatonik.
Sebelum terjadi gejala katatonia, pasien melaporkan telah merasa mengalami kecemasan
yang hebat dan tak terkendali. Sebaliknya, mereka sepertinya tidak menyadari motorik
mereka. Mayoritas pasien yang mengalami katatonik, telah melaporkan merasa sangat
cemas sebelum dan selama episode katatonik mereka terjadi. Beberapa orang yang
mengalami kecemasan yang hebat percaya bahwa mereka akan mati, atau mereka harus
tetap bergerak untuk menghindari ancaman dari orang lain.

7
2.4 KLASIFIKASI6,11

F32 Episode Depresif


Gejala Utama (pada derajat ringan, sedang, dan berat) :
 Afek depresif
 Kehilangan minat dan kegembiraan
 Berkurangnya energi yang menuju meningkatnya keadaan mudah Lelah (rasa Lelah yang
nyata sesudah kerja sedikit saja) dan menurunnya aktivitas
Gejala lainnya :
a) Konsentrasi dan perhatian berkurang
b) Harga diri dan kepercayaan diri berkurang
c) Gagasan tentang rasa bersalah dan tidak berguna
d) Pandangan masa depan yang suram dan pesimistis
e) Gagasan atau perbuatan membahayakan diri atau bunuh diri
f) Tidur terganggu
g) Nafsu makan berkurang
Untuk episode depresif dari ketiga tingkat keparahan tersebut diperlukan masa sekurang-
kurangnya 2 minggu untuk penegakan diagnosis, akan tetapi periode lebih pendek dapat
dibenarkan jika gejala luar biasa beratnya dan berlangsung cepat.

F32.0 Episode Depresif Ringan


 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut
diatas;
 Ditambah sekurang-kurangnya 2 dari gejala lainnya
 Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2 minggu
 Hanya sedikit kesulitan dalam pekerjaan dan kegiatan social yang biasa
dilakukannya

8
F32.1 Episode Depresif Sedang
 Sekurang-kurangnya harus ada 2 dari 3 gejala utama depresi seperti tersebut
diatas;
 Ditambah sekurang-kurangnya 3 (dan sebaiknya 4) dari gejala lainnya
 Tidak boleh ada gejala berat diantaranya
 Lamanya seluruh episode berlangsung sekurang-kurangnya sekitar 2
minggu
 Menghadapi kesulitan nyata untuk meneruskan kegiatan sosial, pekerjaan
dan urusan rumah tangga.

F32.2 Episode Depresif Berat tanpa Gejala Psikotik


 Semua 3 gejala utama depresi harus ada
 Ditambah sekurang-kurangnya 4 dari gejala lainnya, dan beberapa
diantaranya harus berintensitas berat
 Bila ada gejala penting (misalnya agitasi atau retradasi psikomotor) yang
mencolok, maka pasien mungkin tidak mau atau tidak mampu untuk
melaporkan banyak gejalanya secara rinci.
Dalam hal demikian, penilaian secara menyeluruh terhadap episode depresif
berat masih dapat dibenarkan.
 Episode depresif biasanya harus berlangsung sekurang-kurangnya 2 minguu,
akan tetapi jika gejala amat berat dan beronset sangat cepat, maka masih
dibenarkan untuk menegakkan diagnosis dalam kurun waktu kurang dari 2
minggu
 Sangat tidak mungkin pasien akan mampu meneruskan kegiatan sosial,
pekerjaan atau urusan rumah tangga, kecuali pada taraf yang sangat terbatas.

9
F32.3 Episode Depresif Berat dengan Gejala Psikotik
 Episode depresi berat yang memenuhi kriteria menurut F32.2 tersebut
diatas;
 Disertai waham, halusinasi atau stupor depresif. Waham biasanya
melibatkan ide tentang dosa, kemiskinan atau malapetaka yang mengancam,
dan pasien merasa bertanggung jawab atas hal itu. Halusinasi auditorik atau
olfaktorik biasanya berupa suara yang menghina, atau menuduh, atau bau
kotoran, atau daging membusuk. Retardasi psikomotor yang berat dapat
menuju pada stupor.
Jika diperlukan, waham atau halusinasi dapat ditentukan sebagai serasi atau
tidak serasi dengan afek (mood congruent).

F32.8 Episode Depresif lainnya


Episode yang termasuk di sini adalah yang tidak sesuai dengan gambaran
yang diberikan untuk episode depresif pada F32.0-F32.3, meskipun kesan diagnostik
menyeluruh menunjukkan sifatnya sebagai depresi.

F32.9 Episode Depresif YTT

DSM-IV menuliskan kriteria diagnostik untuk gangguan depresif berat secara


terpisah dari kriteria diagnostik untuk diagnosis berhubungan dengan depresi, dan juga
menuliskan deskriptor keparahan untuk episode depresif berat sebagai berikut :
a. Depresif Berat dengan Ciri Psikotik
Adanya ciri psikotik pada gangguan depresif berat mencerminkan penyakit yang
parah dan merupakan indikator prognostik yang buruk, dengan memiliki gejala psikotik
(waham maupun halusinasi).

b. Depresif Berat dengan Ciri Melankolik


Kepentingan yang potensial untuk mengenali ciri melankolik dari gangguan
depresif berat adalah untuk mengidentifikasi suatu kelompok pasien yang dinyatakan

10
oleh beberapa data adalah lebih responsive terhadap terapi farmakologi daripada pasien
nonmelankolik.

c. Depresif Berat dengan Ciri Atipikal


Diperkenalkannya tipe depresi dengan ciri atipikal yang didefinisikan secara resmi.
Ciri atipikal klasik adalah makan berlebihan dan tidur berlebihan.

d. Depresi Berat dengan Ciri Katatonik


Deperesi berat dengan ciri katatonik yaitu ditemukan gejala tambahan;

Kriteria diagnostik DSM-IV-TR untuk Poin Penentu Ciri Katatonik


Tentukan :
Dengan ciri katatonik (dapat diterapkan pada kini episode depresif berat, episode
manik, atau episode campuran dalam gangguan depresif berat, gangguan bipolar I
atau gangguan bipolar II)
Gambaran klinis didominasi setidaknya dua hal di bawah ini :
1. Imobilitas motorik yang terlihat dari katalepsi (termasuk fleksibilitas cerea)
atau stupor.
2. Aktivitas motorik yang berlebihan (yang tampaknya tidak bertujuan dan
tidak dipengaruhi stimulus eksternal).
3. Negativisme berat (resistensi tanpa tujuan yang jelas terhadap semua
perintah atau mempertahankan postur kaku untuk melawan upaya untuk
digerakkan) atau mutisme.
4. Keganjilan gerakan voluntar yang terlihat dari postur (secara voluntary
membuat postur yang aneh atau tidak pantas), gerakan stereotipik,
manerisme yang menonjol, atau menyeringai yang menonjol.
5. Ekolalia atau ekopraksia

Katatonia penyebabnya dibagi 2 primer yaitu gangguan kejiwaan seperti skizofrenia,


mayor depresi, gangguan bipolar, dan gangguan somatoform, dan paling sering terjadi pada
pasien dengan gangguan mood. Kedua yaitu sekunder yang disebabkan berbagai gangguan
otak organik, termasuk trauma kepala, lesi sistem saraf pusat, dan infeksi. Katatonik sendiri
memiliki beberapa jenis/bentuk yang berbeda menurut Fink, dibagi menjadi berikut :

11
a) Katatonia Stupor adalah yang paling umum terjadi, terdiri dari gerakan yang dihambat oleh
postur, kekakuan, mutisme, dan tindakan berulang, serta kegagalan untuk merespon
rangsangan yang menyakitkan. Keadaan ini termasuk tidak adanya aktivitas motorik
sehingga, pasien mungkin memerlukan pemberian makanan parenteral dan memperluas
asuhan keperawatan
b) Mania/mengigau (delirious catatonia) adalah bentuk katatoni yang ditandai oleh gerakan
gelisah, banyak bicara, agitasi, kegilaan, disorientasi, dan kebingungan.
c) Katatonia maligna (sindrom maligna neuroleptik; sindrom serotonin toksik) adalah suatu
sindrom onset yang bersifat akut, dengan gejala demam pada semua orang kecuali pada
orang tua, dan tekanan darah abnormal, takikardia, serta takipnea yang dapat mengancam
jiwa. Mirip dengan NMS dan katatonia yang diinduksi oleh neuroleptik. Sindrom serotonin
toksik dapat dilihat sebagai katatonia ganas yang terkait dengan overdosis obat
serotonergic
d) Katatonia periodik (keadaan afektif campuran), dilaporkan di antara pasien dengan
gangguan bipolar, di mana pasien berfluktuasi antara stupor dan mania. Kemungkinan
besar terjadi selama keadaan mood campuran.
e) Katatonia agitasi sering dikaitkan dengan perilaku melukai diri sendiri, biasanya terlihat
pada autisme.

2.5 Patofisiologi
a) Depresi1
Hipotesis tingkat neurotropik menyatakan bahwa depresi dapat disebabkan
oleh turunnya sintesis protein yang terlibat dalam neurogenesis dan plastisitas
sinaptik. Salah satu mekanisme yang telah di temukan yaitu kemungkinan
terjadinya cacat dalam transduksi sinyal dari reseptor monoamina dalam depresi.
Biasanya, BDNF menopang kelangsungan hidup neuron otak, tetapi di bawah
tekanan, gen untuk BDNF dapat ditekan. Stres dapat menurunkan level 5HT dan
dapat meningkat lagi secara akut, kemudian secara kronis berkurang lagi, baik NE
dan DA. Perubahan neurotransmiter monoamine bersama dengan jumlah BDNF
yang berkurang dapat menyebabkan atrofi dan kemungkinan apoptosis pada neuron
yang rentan terjadi di hippocampus dan area otak lainnya seperti prefrontal kortex.

12
Konsep tentang atrofi pada hippocampus telah dilaporkan berkaitan dengan stres
kronis, depresi mayor dan berbagai gangguan kecemasan lainnya, terutama PTSD.
Untungnya, beberapa kehilangan neuronal ini bersifat reversible dimana dapat
terjadi pemulihan sinyal transduksi yang berhubungan dengan monoamine oleh
antidepresan yang dapat meningkatkan BDNF dan faktor trofik lainnya dan
berpotensi mengembalikan sinapsis yang hilang. Di beberapa area otak seperti
hippocampus, tidak hanya dapat sinaps berpotensi dipulihkan, tetapi ada
kemungkinan bahwa beberapa neuron yang hilang bahkan mungkin digantikan oleh
neurogenesis.
Neuron dari daerah hipokampus dan amygdala biasanya menekan aksis
hipotalamus-hipofisis-adrenal. Stress dapat menyebabkan neuron hippokampus
dan amigdala menjadi atrofi, dengan hilangnya input penghambatan ke
hipotalamus, ini dapat menyebabkan terjadinya overaktivitas pada sumbu HPA.
Pada depresi, kelainan pada aksis HPA telah lama dilaporkan, termasuk
peningkatan kadar glukokortikoid dan ketidakpekaan sumbu HPA terhadap
penghambatan umpan balik. Beberapa bukti menunjukkan bahwa glukokortikoid
pada tingkat tinggi bahkan bisa bersifat toksik bagi neuron dan berkontribusi pada
terjadinya atrofi neuron. Bukti peningkatan aktivitas HPA terlihat pada 20 hingga
40 persen pasien rawat jalan yang depresi dan 40 hingga 60 persen pasien rawat
inap yang depresi. Pasien yang lebih tua, terutama mereka dengan gangguan depresi
yang sangat berulang atau psikotik, adalah yang paling mungkin untuk
menunjukkan peningkatan aktivitas HPA.

b) Katatonik9
Menurut Fink dan Taylor bahwa patogenesis terjadinya katatonia dikaitkan
juga dengan adanya disfungsi pada system di otak bagian frontal, termasuk korteks
prefrontal, ganglia basal, dan talamus. Pada beberapa hipotesis katatonia dikaitkan
dengan aktivitas asam gamma-aminobutyric (GABA) yang rendah di korteks
frontal, aktivitas dopamin yang rendah di ganglia basal, dan aktivitas glutaminergic
yang tinggi pada koteks parietal. Adanya ganguan fungsi pada neurotransmiter ini
yang dianggap mempengaruhi banyak kegiatan diarea otak, termasuk talamus,

13
globus pallidus, nukleus kaudat, girus lateral, lobus orbital frontal, dan lobus
parietal posterior, yang nantinya akan menghasilkan gejala klasik pada katatonia.
Khususnya, parietal posterior,dimana disfungsi pada lobus ini yang menyebabkan
adanya disfungsi seperti bradikinesia dan disfungsi sikap tubuh. Keterlibatan
Amigdala dan korteks cingulate anterior dapat menyebabkan mutisme dan
ketakutan.

2.6 Diagnosis7
DSM-IV mendefinisikan sejumlah gangguan psikiatrik yang dapat diidentifikasi
(meskipun ada kemungkinan tumpang tindih) dan berisi kriteria diagnostik yang spesifik
untuk setiap diagnosis. Diagnosis dibuat berdasarkan kenyataan dari riwayat pasien yang
khas dan tampilan klinis yang cocok dan memenuhi sejumlah kriteria diagnostik yang
ditentukan (suatu diagnostik politetik, tidak perlu seluruh kriteria dipenuhi untuk
membuat diagnosa).
DSM-IV telah memperbaiki reabilitas diagnosis (kemungkinan orang yang berbeda
akan membuat diagnosis yang sama pada pasien yang sama), tetapi hanya mempunyai
dampak yang sederhana terhadap validitas. Hal ini boleh jadi karena DSM-IV telah
memecah kondisi psikiatrik menjadi terlalu banyak bagian-bagian dan setiap bagian tidak
mewakili suatu kondisi yang sah. Walaupun DSM-IV dapat dipergunakan lintas kultural,
penggunaannya pada situasi tertentu memerlukan kehati-hatian dalam
menginterpretasikan gejala-gejala.
Di samping kriteria yang ditentukan secara operasional, DSM-IV juga menggunakan
sistem klasifikasi multiaksial untuk menangkap informasi penting lainnya, yaitu:
1. Aksis I : Gangguan-gangguan klinis yang digambarkan di atas.
2. Aksis II : Gangguan-gangguan kepribadian atau retardasi mental
3. Aksis III : Gangguan-gangguan fisik yang berhubungan dengan
gangguan mental
4. Aksis IV : Daftar masalah psikososial dan lingkungan, bisaanya
selama setahun sebelumnya, tetapi tidak selalu demikian, seperti tidak punya
pekerjaan, perceraian, problem keuangan, korban penelantaran anak dan lain-lain.

14
DSM-IV telah menyusun gangguan mood tambahan baik di dalam badan teks dan
didalam appendiks. Gangguan-gangguan tersebut adalah sindrom yang berhubungan dengan
depresi, berupa gangguan depresif ringan (minor depressive diorder), gangguan depresif
singkat rekuren, dan gangguan disforik pramenstruasi. Pada gangguan depresif ringan
keparahan gejala tidak mencapai keparahan yang diperlukan untuk diagnosis gangguan
depresif berat. Pada gangguan depresif singkat rekuren gejala episode depresif memang
mencapai keparahan gejala yang diperlukan untuk diagnosis gangguan depresif berat tetapi
hanya untuk waktu singkat, dengan lama waktu yang tidak memenuhi kriteria diagnostik
untuk gangguan depresif berat.

1. Pemeriksaan5,9
Untuk menilai adanya depresi dapat digunakan beberapa instrumen skrining depresi, yaitu:
a. Beck’s Depression Inventory
Beck Depression Inventory (BDI) adalah tes depresi untuk mengukur keparahan dan
kedalaman dari gejala – gejala depresi. BDI dapat digunakan untuk dewasa ataupun
remaja yang berumur 13 tahun ke atas dan merupakan sebuah ukuran standar dari
depresi yang terutama digunakan dalam penelitian dan untuk mengevaluasi dari
efekttivitas pengobatan dan terapi. BDI tidak dapat digunakan sebagai instrumen
untuk mendiagnosis, tetapi lebih kepada identifikasi dari adanya depresi.

b. Hamilton Depression Scale


Skala Penilaian Depresi Hamilton (HAM-D) telah terbukti bermanfaat selama
bertahun-tahun sebagai cara menentukan tingkat depresi pasien sebelum, selama, dan
setelah perawatan. Meskipun formulir HAM-D mencantumkan 21 item, penilaian
didasarkan pada 17 item pertama. Biasanya membutuhkan waktu 15-20 menit untuk
menyelesaikan wawancara dan skor hasilnya. Delapan item diberi skor pada skala 5
poin, mulai dari 0 = tidak ada hingga 4 = parah. Sembilan skor dari 0-2. Skala HAM-
D memiliki sensitivitas 86,4% dan spesifitas 92,2%.

c. The Zung Self-Rating Depression Scale

15
Zung Self-Rating Depression Scale adalah kuesioner sebagai alat skrining, yang
mencakup gejala afektif, psikologis dan somatik yang terkait dengan depresi. Skor
total berkisar antara 20 hingga 80. Sebagian besar orang dengan skor depresi antara
50 dan 69, sedangkan skor 70 ke atas menunjukkan depresi berat. Skor tersebut
memberikan rentang indikatif untuk keparahan depresi yang dapat berguna untuk
tujuan klinis dan penelitian, tetapi skala Zung tidak dapat menggantikan wawancara
klinis komprehensif untuk mengkonfirmasi diagnosis depresi.

Untuk menilai adanya gejala dari katatonia penilaian yang paling sering digunakan adalah :
a. Skala Penilaian Bush-Francis Catatonia (BFCRS)
adalah yang alat skrining yang paling luas yang digunakan untuk mengevaluasi
katatonia dalam studi penelitian dan laporan kasus. Skala Penilaian Bush-Francis
Catatonia (BFCRS) digunakan untuk mengenali dan menilai tanda dan gejala katatonik.
Ini mengukur tingkat keparahan 23 tanda gejala katatonik. Jika dua atau lebih dari
tanda-tanda BFCRS hadir, kehadiran katatonia dapat dipertimbangkan. Skala Penilaian
Catatonia (BFCRS) 41, terdiri dari 23 item, mendefinisikan setiap tanda katatonik,
menggambarkan tingkat keparahan (dengan skor 1 hingga 3) dan menguraikan skema
standar untuk pemeriksaan objektif. Selain tanda-tanda yang dijelaskan dalam DSM-
IV, BFCRS mengusulkan tanda-tanda katatonik lainnya / gejala termasuk: pandangan
tetap, verbigeration, penghambatan, impulsif, kepatuhan otomatis, , menggenggam,
perubahan neurovegetatif, agresivitas dan ambivalensi. Dalam laporan kasus hingga
2004, Scarciglia et al. 48 menggambarkan penggunaan Skala Penilaian Catatonia untuk
evaluasi longitudinal pada pasien katatonik, menggarisbawahi validitasnya tidak hanya
untuk deskripsi gejala, tetapi juga sebagai diagnostic alat untuk memantau kondisi
klinis dari waktu ke waktu.

2.7 Diagnosis Banding11


Berdasarkan kepustakaan, ada beberapa kondisi yang harus benar-benar
diperhatikan sebagai diagnosa banding diantaranya adalah:
Tabel 1. Diagnosis Banding

16
2.8 Terapi5,6,11,12
Pengobatan pada pasien dengan depresi katatonik dapat diberikan terapi
menggunakan antidepresan dan terapi untuk katatonik. Berikut terapi untuk depresi dan
katatonik :

1. Terapi Farmakologis
a) Antidepresan
Pembedaan yang paling dasar diantara antidepresan adalah pada proses farmakologis
yang terjadi, dimana ada antidepresan yang memiliki efek farmakodinamika jangka
pendek utamanya pada tempat ambilan kembali (reuptake sites) atau pada tingkat
inhibisi enzim monoamine oksidasi. bekerja untuk menormalkan neurotransmitter yang
abnormal di otak khususnya epinefrin dan norepinefrin. Antidepresan lain bekerja pada
dopamin. Hal ini sesuai dengan etiologi dari depresi yang kemungkinan diakibatkan
dari abnormalitas dari sistem neurotransmitter di otak. Obat antidepresan yang akan
dibahas adalah antidepresi generasi pertama (Trisiklik dan MAOIs), antidepresi
golongan kedua (SSRIs) dan antidepresi golongan ketiga (SRNIs).

17
1. Trisiklik
Trisiklik merupakan antidepresan yang paling umum digunakan sebagai
pengobatan lini pertama untuk gangguan depresif berat. Paling sering digunakan
adalah tetrasiklik amin sekunder karena mempunyai efek samping yang lebih
minimal. Obat golongan tetrasiklik sering dipilih karena tingkat kepuasan klinisi
dikarenakan harganya yang murah karena sebagian besar golongan dari obat ini
tersedia dalam formulasi generik.
Golongan obat trisiklik bekerja dengan menghambat reuptake
neurotransmitter di otak. Secara biokimia, obat amin sekunder diduga bekerja
sebagai penghambat reuptake norepinefrin, sedangkan amin tersier menghambat
reuptake serotonin pada sinaps neuron.hal ini mempunyai implikasi bahwa depresi
akibat kekurangan norepinefrin lebih responsive terhadap amin sekunder, sedangkan
depresi akibat kekurangan serotonin akan lebih responsive terhadap amin tersier.

2. MAOIs (Monoamine Oxidase Inhibitors)


Golongan ini bekerja dalam proses penghambatan deaminasi oksidatif
katekolamin di mitokondria, akibatnya kadar einefrin, noreprinefrin dan 5-HT
dalam otak naik. Obat ini sekarang jarang digunakan sebagai lini pertama dalam
pengobatan depresi karena bersifat sangat toksik bagi tubuh. Selain karena dapat
menyebabkan krisis hipertensif akibat interaksi dengan tiramin yang berasal dari
makanan-makanan tertentu seperti keju, anggur dan acar, MAOIs juga dapat
menghambat enzim-enzim di hati terutama sitokrom P450 yang akhirnya akan
mengganggu metabolisme obat di hati.

3. SSRIs (Selective Serotonin Reuptake Inhibitors)


SSRIs adalah jenis pengobatan yang juga menjadi pilihan lini pertama pada
gangguan depresif berat selain golongan trisiklik. Obat golongan ini mencakup
fluoxetine, citalopram dan setraline. SSRIs sering dipilih oleh klinisi yang
pengalamannya mendukung data penelitian bahwa SSRIs sama manjurnya dengan
trisiklik dan jauh lebih baik ditoleransi oleh tubuh karena mempunyai efek samping
yang cukup minimal karena kurang memperlihatkan pengaruh terhadap sistem

18
kolinergik, adrenergik dan histaminergik. Interaksi farmakodinamik yang
berbahaya akan terjadi bila SSRIs dikombinasikan dengan MAOIs, karena akan
terjadi peningkatan efek serotonin secara berlebihan yang disebut sindrom
serotonin dengan gejala hipertermia, kejang, kolaps kardiovaskular dan gangguan
tanda vital.

4. SNRIs (Serotonin and Norepinephrine Inhibitors )


Golongan antidepresan SNRIs bekerja dengan mekanisme yang hampir
sama dengan golongan SSRIs, hanya saja pada SNRIs juga menghambat dari
reuptake norepinefrin.

Tabel 2. Terapi Medikamentosa pada Pasien Depresi


No. Golongan Obat Sediaan Dosis Anjuran
1. Trisiklik Amitriptilin Tab 25 mg 75-150 mg/hari
(TCA)
Imipramin Tab 25 mg 75-150 mg/hari

2. SSRI Sentralin Tab 50 mg 50-150 mg/hari


Fluvoxamin Tab 50 mg 50-100 mg/hari
Fluoxetin Kapsul 20 mg, 20-40 mg/hari
Kaplet 20 mg
Paroxetin Tab 20 mg 20-40 mg/hari
3. MAOI Moclobemide Tab 150 mg 300-600 mg/hari
4. Atypical Mianserin Tab 10, 30mg 30-60 mg/hari
Trazodon Tab 50,100 mg 75-150 mg/hari dosis terbagi

Maprotilin Tab 10, 25, 50, 75 mg 75-150 mg/haridosis terbagi

b) Terapi pada Katatonik


Pengobatan yang dianjurkan pada gejala katatonik yaitu penggunaan golongan
benzodiazepine; lorazepam (IV), dengan tingkat remisi manifestasi katatonik yang
dilaporkan sekitar 70%; ECT efektif sampai 85%. Dalam literatur, kasus-kasus

19
katatonia itu sudah terbukti efektif diobati dengan terapi lain yang termasuk, antagonis
reseptor NMDA, zolpidem, antiepilepsi dan antipsikotik atipikal.
2. Agonis GABA:
Pada 1980-an, beberapa laporan kasus dan seri kasus mulai dilaporkan
pengobatan katatonia berhasil dengan benzodiazepin. Pada 1990-an, beberapa uji
coba prospektif terbuka dan satu tinjauan literatur retrospektif menunjukkan 60-
100% tingkat respons katatonia akut terhadap benzodiazepine. Tinjauan literatur
retrospektif oleh Hawkins et al. (1995) mengumpulkan 70 publikasi yang terdiri
dari total 178 pasien. Benzodiazepin efektif pada 70% kasus yang diobati, ECT
efektif pada 85% kasus yang diobati, dan antipsikotik menunjukkan kemanjuran
yang buruk.
Benzodiazepine (BDZ) merupakan agonis terhadap GABA-A, dapat
memperbaiki defisit di GABAergic transmisi neuron di korteks orbitofrontal, yang
dikaitkan dengan perbaikan motorik dan gejala katatonik afektif. Lorazepam
adalah BDZ yang paling umum digunakan dalam pengobatan katatonia, meskipun
pemberian yang lain seperti diazepam, oxazepam dan clonazepam telah digunakan
dan menunjukan juga keberhasilan. Pada literatur banyak merekomendasikan dosis
awal 1-2 mg (IV) setiap 4-10 jam, lalu ditingkatkan di hari berikutnya sampai
terdapat perubahan gejala katatonik. Dosis lorazepam dapat ditingkatkan hingga
24 mg / hari. Tes Lorazepam bisa sangat berguna, dalam hal ini diberikan intravena
lorazepam (1 mg): jika ada tidak ada perubahan gejala setelah 5 menit, intravena
dosis 1 mg diberikan lagi. Jika ditemukan hasil negatif, maka terapi diganti
menjadi terapi ECT. Dalam beberapa kasus, untuk mendapatkan remisi lengkap
dari manifestasi katatonik, mungkin perlu mengaitkan siklus ECT, sebagai aefek
sinergis antara kedua terapi telah dilaporkan.

3. Antagonis Reseptor NMDA


Mekanisme pemberian NMDA masih belum diketahui pasti. Dikatakan
antagonis NMDA dapat meningkatkan kadar dopamin dikorteks frontal dan
striatum, yang dapat menjelaskan sifat antikatatonik pada kemampuan antagonis
reseptor NMDA tertentu seperti memantine dan amantadine. Memantine adalah

20
antagonis reseptor NMDA nonkompetitif rendah hingga sedang, dengan potensi
yang sama pada reseptor 5HT-3 (sebagai antagonis) dan pada reseptor D-2
dopamin (sebagai agonis) . Memantine mencapai puncak pada konsentrasi serum
dalam waktu 6 jam. Pada beberapa laporan kasus, respons ditunjukkan dalam
beberapa jam-hari pada pemberian yang dimulai dari 5 mg/hari dengan
peningkatan berkelanjutan sampai dosis 5-20 mg/hari dalam dosis terbagi. Efek
samping dari pemberian memantine yaitu pada sistem jantung; perpanjangan
interval QT dapat berpotensi merugikan.
Amantadine adalah antagonis reseptor NMDA moderat dan reversibel yang
juga memfasilitasi pelepasan dan pengambilan kembali dopamin. Peningkatan
yang berhasil dalam fitur katatonik telah dilaporkan dalam laporan kasus, sebagian
besar pada pasien dengan skizofrenia tetapi juga pada pasien dengan depresi,
gangguan bipolar, demensia, reaksi penyesuaian, dan pada katatonia dalam
pengaturan medis yang sakit. Amantadine biasanya diberikan 100-400 mg PO
dalam dosis terbagi, disesuaikan lebih rendah pada pasien dengan penurunan
fungsi ginjal.
Carroll et al. mengkaji secara retrospektif 25 kasus katatonia yang diobati
secara efektif dengan amantadine atau memantine. Sebagian besar pasien
menderita skizofrenia, 1 memiliki kelainan schizoafektif, 4 menderita demensia, 1
mengalami depresi bipolar, 2 mengalami depresi mayor, 1 memiliki gangguan
autistik, dan 1 memiliki gangguan kepribadian borderline. Perbaikan umumnya
terjadi 1-7 hari setelah pemberian salah satu obat.

4. Antipsikotik
Ada kekhawatiran bahwa pasien dengan katatonia dapat berkembang
menjadi katatonia / NMS ganas ketika diobati dengan antipsikotik. Fenomena
katatonia yang diinduksi neuroleptik dan katatonia / NMS ganas telah dijelaskan,
bahkan dengan antipsikotik atipikal (generasi kedua), termasuk clozapine. Namun,
neuroleptik telah berhasil digunakan untuk mengobati kasus katatonia. Olanzapine
khususnya, sebagai agen utama atau dalam hubungannya dengan pengobatan yang
lebih standar (benzodiazepin, ECT, atau amantadine), telah berhasil dalam

21
mengobati katatonia dalam banyak laporan kasus, termasuk katatonia kronik /
refraktori, dan catatonia pediatrik. Belum ada uji coba terkontrol secara acak atau
uji perbandingan benzodiazepine versus antipsikotik untuk pengobatan katatonia.
Hanya satu uji coba terkontrol secara acak dengan antipsikotik untuk pengobatan
katatonia telah dilaporkan, di mana risperidone plus ECT dibandingkan dengan
ECT plus plasebo pada katatonia non-afektif yang tidak responsif terhadap
lorazepam. Pasien menyelesaikan percobaan, yang menunjukkan bahwa ECT (
rata-rata 8,87 perawatan) lebih unggul daripada risperidone (4-6mg / hari) dalam
mengurangi gejala katatonia setelah 3 minggu. Skor BFCRS menurun sekitar 90%
pada kelompok ECT dibandingkan dengan 50% pada kelompok risperidon.

5. Non- Benzodiazepine
Zolpidem, agonis non-benzodiazepine dari GABAA reseptor, telah
digunakan sebagai alternatif untuk lorazepam. Administrasi zolpidem, ditandai
dengan onset aksi yang cepat (15-30 menit), juga telah terjadi diusulkan sebagai
tes diagnostik (Tes Tantangan Zolpidem) mirip dengan lorazepam; Namun,
penggunaannya dalam pengobatan katatonia terbatas pada durasi pendek, mulai 3-
4 jam, dan karenanya membutuhkan administrasi yang sering.

Terapi Non Farmakologis

1. Terapi Kognitif
Pada awalnya, terapi ini dikembangkan oleh Aaron Beck yang memusatkan pada
distorsi kognitif yang didalilkan ada pada gangguan depresi berat. Tujuan terapi ini
untuk menghilangkan episode depresif dan mencegah rekurennya dengan membantu
pasien mengidentifikasi dan uji kognitif negatif.

2. Terapi interpersonal
dikembangkan oleh Gerald Klerman, memusatkan pada satu atau dua masalah
interpersonal pasien yang sedang dialami sekarang, dengan menggunakan dua
anggapan: pertama, masalah interpersonal sekarang kemungkinan memiliki akar pada

22
hubungan awal yang disfungsional. Kedua, masalah interpersonal sekarang
kemungkinan terlibat di dalam mencetuskan atau memperberat gejala depresif sekarang

3. Terapi elektrokonsulsive
Terapi elektrokonsulsive (ECT) adalah pengobatan yang sangat efektif untuk
depresi maupun katatonik. Onset kerja mungkin lebih cepat daripada perawatan obat,
dengan manfaat sering terlihat dalam waktu 1 minggu dari mulai masa pengobatan.
Sebuah terapi ECT (biasanya dilakukan sampai 12 sesi) adalah pengobatan pilihan
untuk pasien yang tidak menanggapi terapi obat, yang psikotik, atau bunuh diri atau
berbahaya untuk diri mereka sendiri dan direkomendasikan juga untuk depresi dengan
ciri katatonik.

Indikasi untuk penggunaan ECT meliputi berikut ini:


 Butuhkan untuk respon antidepresan yang cepat
 Kegagalan terapi obat
 Sejarah respon yang baik untuk ECT
 Keinginan pasien
 Risiko tinggi bunuh diri
 Resiko tinggi morbiditas dan mortalitas medis

2.9 Prognosis11
Depresi cenderung memiliki perjalanan penyakit yang panjang dan pasien
cenderung mengalami kekambuhan. Episode depresif yang tidak diobati berlangsung 6
sampai 13 bulan, sementara sebagian besar episode yang diobati berlangsung kira-kira 3
bulan. Menghentikan antidepresan sebelum 3 bulan hampir selalu menyebabkan
kembalinya gejala. Pasien yang dirawat di rumah sakit untuk episode pertama gangguan
depresif berat memiliki kemungkinan 50% untuk pulih dalam tahun pertama. Prognosis
buruk dapat meningkat oleh adanya penyerta gangguan distimik, penyalahgunaan alkohol
dan zat lain, gejala gangguan kecemasan, dan riwayat lebih dari satu episode sebelumnya.
Sedangkan pada katatonia tampak memiliki dua jenis hasil, tergantung pada komorbiditas

23
afektif atau psikotiknya. Beberapa literatur melaporkan prognosis dikaitkan dengan adanya
gangguan suasana hati yang terjadi episodik akan memerlukan jangka waktu yang lama
untuk pemulihan penuh. Di sisi lain, ia mencatat bahwa katatonia berhubungan dengan
skizofrenia biasanya mempunyai prognosis lebih buruk dibandingkan katatonia pada
gangguan mood.

24
BAB III
KESIMPULAN

Katatonia merupakan sindrom yang meliputi berbagai kelainan psikomotorik, yang tidak
selalu ada pada semua pasien psikiatri. Imobilitas dan mutisme adalah gejala yang sering muncul.
Mekanisme yang tepat yang mendasari patofisiologi katatonia masih tetap menjadi misteri.
Memang, sebagian besar studi sepakat tentang keberadaan penanda sifat, khususnya adanya
disregulasi kortikal GABAergik. Ketika perubahan emosional yang intens yang dihasilkan oleh
gangguan kejiwaan (depresi, mania, dan skizofrenia) ditambahkan ke kecenderungan ini akan
memicu keadaan katatonia. Untuk menegakan diagnosis katatonik membutuhkan evaluasi yang
cermat untuk mengidentifikasi adanya tanda katatonik. Katatonia lebih sering dikaitkan dengan
mania, melankolia dan depresi psikotik dibandingkan dengan skizofrenia. Pada DSM IV, diagnosis
katatonik masih menjadi bagian dari beberapa gangguan jiwa, salah satunya skizofrenia katatonik
atau depresi berat dengan ciri katatonik.

Sebagian besar pasien katatonik cepat merespon lorazepam dosis rendah. Beberapa pasien,
terutama mereka dengan katatonia atau skizofrenia lama, mungkin merespons lebih lambat atau
tidak sama sekali terhadap lorazepam, dan mungkin memerlukan ECT atau perawatan
farmakologis lainnya. Intervensi waktu yang tepat pada katatonia menjadi hal penting untuk
mencegah morbiditas jangka panjang.

25
DAFTAR PUSTAKA

1. Friedman, Edward S.; Anderson, Ian M, 2014. Handbook of Depression, second Edition.
London : Springer Healthcare, a part of Springer Science+Business Media.pp:1-29
2. Ellenbroek, Bart; Youn, Jiun, 2016. Affective Disorders in Gene-Environment Interactions
in Psychiatry, Nature, Nurture, Neuroscience. London : Elsevier Inc. pp:173-183
3. Isometsa, Erkki. 2014. Suicidal Behaviour in Mood Disorders-Who, When, and Why?
CanJPsychiatry. 59(3). pp:120–130
4. Marwick,K; Birrel,M., 2013. The Mood (Affective) Disorders in Crash Course Psychiatry,
4th Edition. Edinburgh : Elsevier Ltd. Pp:133-137
5. Stahl, Stephen M.; Muntner, Nancy, 2013. Mood Disorders in Stahl‘s Essential
Psychopharmacology, Neuroscientific Basis and Practical Application, 4th edition. New
York : Cambridge University Press. Pp:237-282
6. Sadock, Benjamin J.; Sadock, Virginia A.; et al, 2017. Mood Disorders in Comprehensive
Textbook of Psychiatry, Volume I/II, 10th edition. Philadelphia : Wolters Kluwer. pp:
4099-4403
7. APA, 2013. Diagnostic and Statistical Manual of Mental Disorders, 5th edition.
Washington DC : American Psychiatric Association. pp: 160-161
8. B.Mansur, Rodrigo; Brietzke, Elisa; McIntyre, Roger S., 2015. ―Is there Metabolic-Mood
Syndrome? A review of the Relationship between obesity and mood disorders.
Neuroscience and Biobehavioral Reviews. J.neubiorev.12.017. pp:5

9. Luchini F, Bartolommei N, Benvenuti A, Mauri M, Lattanzi L. Catatonia from the first


descriptions to DSM 5. J Psychopathol. 2015;21:145-151.
10. American Psychiatric Association. Diagnostic and Statistical Manual of Mental
Disorders, 5th edition(DSM-5). Washington, DC: American Psychiatric Association;
2013.
11. Shorter E, Fink M. The Madness of Fear: A History of Catatonia. New York, NY:
Oxford University Press; 2018.
12. Wachtel LE, Shorter E, Fink M. Electroconvulsive therapy for self-injurious behaviour in
autism spectrum disorders: recognizing catatonia is key. Curr Opin Psychiatry.
2018;31(2):116-122.

26

Anda mungkin juga menyukai