I. PENDAHULUAN
Diabetes mellitus (DM) didefinisikan sebagai suatu penyakit atau gangguan metabolisme kronis dengan multi etiologi yang ditandai
dengan tingginya kadar gula darah disertai dengan gangguan metabolisme karbohidrat,lipid dan protein sebagai akibat insufisiensi fungsi insulin.
Insufisiensi fungsi insulin dapat disebabkan oleh gangguan atau defisiensi produksi insulin oleh sel-sel beta Langerhans kelenjar pankreas, atau
disebabkan oleh kurang responsifnya sel-sel tubuh terhadap insulin. Jika kekurangan produksi insulin atau terdapat resistensi insulin maka kadar
glukosa dalam darah akan meninggi (melebihi nilai normal).
Insulin adalah suatu zat yang dihasilkan oleh sel beta pankreas. Insulin diperlukan agar glukosa dapat memasuki sel tubuh, di mana
gula tersebut kemudian dipergunakan sebagai sumber energi. Jika tidak ada insulin, atau jumlah insulin tidak memadai, atau jika insulin tersebut
cacat , maka glukosa tidak dapat memasuki sel dan tetap berada di darah dalam jumlah besar.
Penyakit diabetes melitus atau kencing manis disebabkan oleh multifaktor, keturunan merupakan salah satu faktor penyebab. Selain
keturunan masih diperlukan faktor-faktor lain yang disebut faktor pencetus, misalnya adanya infeksi virus tertentu, pola makan yang tidak sehat,
stres, makan obat-obatan yang dapat meningkatkan kadar gula darah dan sebagainya.
Gejala penyakit kencing manis sangat bervariasi, dapat timbul secara perlahan-lahan hingga penderita tidak menyadari terdapatnya
perubahan dan baru dapat ditemukan pada saat pemeriksaan penyaring atau pemeriksaan untuk penyakit lain. Tetapi gejala-gejala diabetes
dapat juga timbul mendadak secara dramatis sekali. Gejala-gejala umum yang dapat ditemukan pada penderita kencing manis adalah sebagai
berikut:rasa haus yang berlebihan, sering kencing terutama pada malam hari, berat badan turun dengan cepat, cepat merasa lapar,timbul
kelemahan tubuh, kesemutan pada jari tangan dan kaki, gatal-gatal, penglihatan jadi kabur, luka atau bisul yang sukar sembuh dan keputihan.
Klasifikasi diabetes melitus mengalami perkembangan dan perubahan dari waktu ke waktu. Dahulu diabetes diklasifikasikan
berdasarkan waktu munculnya (time of onset). Diabetes yang muncul sejak masa kanak-kanak disebut “juvenile diabetes”, sedangkan yang baru
muncul setelah seseorang berumur di atas 45 tahun disebut sebagai “adult diabetes”. Namun klasifikasi ini sudah tidak layak dipertahankan lagi,
sebab banyak sekali kasus-kasus diabetes yang muncul pada usia 20-39 tahun, yang menimbulkan kebingungan untuk mengklasifikasikannya.
Pada tahun 1968, ADA (American Diabetes Association) mengajukan rekomendasi mengenai standarisasi uji toleransi glukosa dan mengajukan
istilah-istilah Pre-diabetes, Suspected Diabetes, Chemical atau Latent Diabetes dan Overt Diabetes untuk pengklasifikasiannya. British Diabetes
Association (BDA) mengajukan istilah yang berbeda, yaitu Potential Diabetes, Latent Diabetes, Asymptomatic atau Sub-clinical Diabetes, dan
Clinical Diabetes. WHO pun telah beberapa kali mengajukan klasifikasi diabetes melitus.
Pada tahun 1965 WHO mengajukan beberapa istilah dalam pengklasifikasian diabetes, antara lain Childhood Diabetics, Young Diabetics,
Adult Diabetics dan Elderly Diabetics. Pada tahun 1980 WHO mengemukakan klasifikasi baru diabetes melitus memperkuat rekomendasi National
Diabetes Data Group pada tahun 1979 yang mengajukan 2 tipe utama diabetes melitus, yaitu "Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM)
disebut juga Diabetes Melitus Tipe 1 dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM) yang disebut juga Diabetes Melitus Tipe 2. Pada
tahun 1985 WHO mengajukan revisi klasifikasi dan tidak lagi menggunakan terminologi DM Tipe 1 dan 2, namun tetap mempertahankan istilah
"Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (IDDM) dan "Non-Insulin-Dependent Diabetes Mellitus" (NIDDM), walaupun ternyata dalam publikasi-
publikasi WHO selanjutnya istilah DM Tipe 1 dan 2 tetap muncul.
Disamping dua tipe utama diabetes melitus tersebut, pada klasifikasi tahun 1980 dan 1985 ini WHO juga menyebutkan 3 kelompok
diabetes lain yaitu Diabetes Tipe Lain, Toleransi Glukosa Terganggu atau Impaired Glucose Tolerance (IGT) dan Diabetes Melitus Gestasional atau
Gestational Diabetes Melitus (GDM). Pada revisi klasifikasi tahun 1985 WHO juga mengintroduksikan satu tipe diabetes yang disebut Diabetes
Melitus terkait Malnutrisi atau Malnutrition-related Diabetes Mellitus (MRDM).
Klasifkasi ini akhirnya juga dianggap kurang tepat dan membingungkan sebab banyak kasus NIDDM (Non-Insulin-Dependent Diabetes
Mellitus) yang ternyata juga memerlukan terapi insulin. Saat ini terdapat kecenderungan untuk melakukan pengklasifikasian lebih berdasarkan
etiologi penyakitnya.
D. Pra-diabetes
Pra-diabetes adalah kondisi dimana kadar gula darah seseorang berada diantara kadar normal dan diabetes, lebih tinggi dari pada
normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam diabetes tipe 2. Penderita pradiabetes diperkirakan cukup banyak, di Amerika
diperkirakan ada sekitar 41 juta orang yang tergolong pra-diabetes, disamping 18,2 orang penderita diabetes (perkiraan untuk tahun 2000).
Di Indonesia, angkanya belum pernah dilaporkan, namun diperkirakan cukup tinggi, jauh lebih tinggi dari pada penderita diabetes. Kondisi
pra-diabetes merupakan faktor risiko untuk diabetes, serangan jantung dan stroke. Apabila tidak dikontrol dengan baik, kondisi pra-diabetes
dapat meningkat menjadi diabetes tipe 2 dalam kurun waktu 5-10 tahun. Namun pengaturan diet dan olahraga yang baik dapat mencegah
atau menunda timbulnya diabetes.
Impaired Glucose Tolerance (IGT) atau Toleransi Glukosa Terganggu (TGT), yaitu keadaan dimana kadar glukosa darah seseorang pada uji
toleransi glukosa berada di atas normal tetapi tidak cukup tinggi untuk dikatagorikan ke dalam kondisi diabetes.
4. Golongan Thiazolidindion
Bekerja dengan cara meningkatkan sensitivitas jaringan perifer terhadap insulin. Berikatan dengan PPARγ (peroxisome proliferators
activated receptor-gamma) di otot, jaringan lemak, dan hati untuk menurunkan resistensi insulin. Golongan ini merupakan golongan baru dari
ADO. Termasuk kedalam golongan ini adalah Pioglitazone, Rosiglitazone.
Interaksi obat
Interaksi obat yang mungkin timbul dari pemakaian insulin dengan obat antidiabetik oral atau dengan obat yang lain dapat dilihat pada referensi
yang lebih detil, misalnya BNF terbaru, Stokley's Drug Interactions dan lain sebagainya. Obat-obat tersebut di bawah ini merupakan contoh obat-
obat yang dapat meningkatkan kadar glukosa darah sehingga memungkinkan adanya kebutuhan peningkatan dosis insulin maupun obat
antidiabetik oral yang diberikan.
Obat atau senyawa-senyawa yang dapat meningkatkan risiko hipoglikemia sewaktu pemberian obat antidiabetik oral golongan
sulfonilurea antara lain: insulin, alkohol, fenformin, sulfonamida, salisilat dosis besar, fenilbutazon, oksifenbutazon, dikumarol, kloramfenikol,
senyawa-senyawa penghambat MAO (Mono Amin Oksigenase), guanetidin, steroida anabolik, fenfluramin, dan klofibrat. Hormon pertumbuhan,
hormon adrenal, tiroksin, estrogen, progestin dan glukagon bekerja berlawanan dengan efek hipoglikemik insulin. Disamping itu,beberapa jenis
obat seperti guanetidin, kloramfenikol, tetrasiklin, salisilat,fenilbutazon, dan lain-lain juga memiliki interaksi dengan insulin, sehingga sebaiknya
tidak diberikan bersamaan dengan pemberian insulin, paling tidak perlu diperhatikan dan diatur saat dan dosis pemberiannya apabila terpaksa
diberikan pada periode yang sama.
17. Pioglitazon vs kontrasepsi oral mengurangi komponen hormon sampai 30%, berpotensi mengurangi efektivitas kontrasepsi.
MK: pioglitazon menginduksi Sistem sitokrom P450 isoform CYP3A4 yang merupakan bagian yang bertanggung jawab terhadap metabolisme
kontrasepsi, oleh karena itu obat-obat yang lainnya yang dipengaruhi oleh sitokrom P450 juga dapat berinteraksi.
20. Glibenklamid vs ocreotide ocreotide memiliki efek hipoglikemia, sehingga dosis glibenklamid yang digunakan dapat dikurangi dosisnya.
MK: ocreotide menginhibisi aksi dari glukagon.
DAFTAR PUSTAKA
1. InfoPOM BADAN PENGAWASAN OBAT DAN MAKANAN REPUBLIK INDONESIA.Volume : IV Edisi 5: Mei 2003
2. Pharmaceutical care untuk penyakit Diabetes Mellitus Direktorat Bina Farmasi Komunitas dan Klinik DIRJEN Bina Kefarmasian dan Alat
Kesehatan DEPKES RI 2005
3. Oral Antidiabetic Agents [Developed - April 1994; September 1995 revised; June 1996; June 1997; June 1998; July 1999; June 2000;
June 2001; September 2001; July 2002; June 2003; October 2007revised; November 2007, February 2008] MEDICAID DRUG USE
REVIEW CRITERIA FOR OUTPATIENT USE
4. Anonim., InfoPOM Antidiabetik Oral, Volume : IV Edisi 5: Mei 2003, Badan Pengawasan Makanan dan Obat.
5. Stockley. I.H., Stockley’s Drug Interactions, 2005, University of Nottingham Medical School, Nottingham, UK, Pharmaceutical Press.
Obat-obat yang kita konsumsi dapat saling mempengaruhi yang dampaknya bisa negatif dan bisa juga positif bagi kesehatan. Saling
pengaruh yang terjadi bila kita menggunakan lebih dari 1 macam obat disebut juga interaksi obat. Dalam praktek sehari-hari, interaksi obat jarang
dikatakan sebagai akibat kegagalan pengobatan. Sesungguhnya pemberian obat kepada pasien yang terlampau banyak jenisnya, misalnya lebih
dari 4 macam, sangat potensial menimbulkan efek yang tidak diinginkan akibat interaksi obat.
Interaksi obat adalah peristiwa di mana aksi suatu obat diubah atau dipengaruhi oleh obat lain yang diberikan bersamaan.
Kemungkinan terjadinya peristiwa interksi harus selalu dipertimbangkan dalam klinik, manakala dua obat atau lebih diberikan secara bersamaan
atau hampior bersamaan. Tidak semua interaksi obat membawa pengaruh yang merugikan, beberapa interaksi justru diambil manfaatnya dalam
praktek pengobatan.
Jenis interaksi ada 4 macam, yaitu interaksi obat – obat, Interaksi Obat – makanan, Interaksi Obat – penyakit, Interaksi Obat – Hasil lab.
Disini akan dibahas lebih lanjut interaksi obat dengan makanan. Tipe interaksi ini kemungkinan besar dapat mengubah parameter farmakokinetik
dari obat terutama pada proses absorpsi dan eliminasi, ataupun efikasi dari obat.
Pengaruh makanan atau minuman terhadap obat dapat sangat signifikan atau hampir tidak berarti, bergantung pada jenis obat dan
makanan/minuman yang kita konsumsi. Selain itu harus pula dipahami bahwa sangat banyak faktor lain yang mempengaruhi interaksi ini, antara
lain dosis obat yang diberikan, cara pemberian, umur, jenis kelamin, dan tingkat kesehatan pasien. Pengurangan penyerapan obat oleh tubuh
dapat juga terjadi bila obat-obat ditelan bersama obat dan makanan yang mengandung kalsium, magnesium, aluminium dan zat besi.
Obat yang diberikan secara oral akan melalui saluran pencernaan terlebih dahulu. Oleh karena itu hasil kerja obat di dalam tubuh
manusia sangat mungkin dipengaruhi oleh makanan atau minuman yang dikonsumsinya. Mekanismenya bisa terjadi melalui penghambatan
penyerapan obat atau dengan mempengaruhi aktivitas enzim di saluran cerna ataupun enzim di hati.
Ada 2 kemungkinan hasil interaksi obat dan makanan. Yang pertama interaksi obat dan makanan dapat mengurangi atau bahkan
menghilangkan khasiat atau manfaat obat dan yang kedua dapat meningkatkan efek samping atau efek dari obat itu sendiri.
Hal-hal yang harus diingat tentang interaksi obat dan makanan antara lain:(1)(2)
1. Bacalah aturan pakai pada kemasan obat
2. Baca semua aturan, peringatan dan pencegahan interaksi yang ditulis pada label obat dan kemasan. Bahkan obat bebas pun dapat
menyebabkan masalah.
3. Gunakan obat dengan segelas air putih, kecuali dokter menyarankan cara pakai yang berbeda.
4. Jangan mencampur obat ke dalam makanan/ minuman atau menmbuka cangkang kapsul karena dapat mempengaruhi khasiat obat.
5. Jangan mencampur obat dengan minuman panas karena panas dapat mempengaruhi kerja obat.
6. Jangan pernah minum obat dengan minuman beralkohol.
Berikut akan dibahas beberapa golongan obat yang akan berinteraksi dengan adanya makanan atau minuman. Golongan obat-obatan yang akan
dibahas antara lain:
Monoamin oksidase inhibitor (MAOI)
Antihipertensi
phenelzine (Nardil®)
tranylcypromine (Parnate®)
selegiline (Eldepryl®)
isocarboxazid (Marplan®)
moclebemice (Manerix®)
ANTIPARKINSON
Mekanisme Kerja :
1. Dopaminergik Sentral
Pengisian kembali kekurangan DA (Dopamin) korpus stratium
2. Antikolinergik Sentral
Mengurangi aktivitas kolinergik yang berlebihan di ganglia basal
3. Penghambat MAO-B
Menghambat deaminase dopamin sehingga kadardopamin di ujung saraf dopaminergik lebih tinggi.
ANTIHIPERTENSI
Mekanisme Kerja :
1. Penghambat ACE
Penghambat ACE mengurangi pembentukan AII sehingga terjadi vasodilatasi dan penurunan sekresi aldosteron.
2. Diuretik
Meningkatkan ekskresi natrium, klorida dan air sehingga mengurangi volume plasma dan cairan ekstra sel.
3. Vasodilator
Melepaskan nitrogen oksida yang mengaktifkan guanilat siklase dengan hasil akhir defosforilasi berbagai protein, termasuk protein
kontraktil, dalam sel otot polos.
Tabel 4. Interaksi yang terjadi antara obat Antikoagulan Oral dengan makanan(6)
Obat Makanan Mekanisme Interaksi
Warfarin Alkohol Peminum alkohol berat dapat menstimulasi enzim hepatik yang terkait dengan
metabolisme dari warfarin, menyebabkan warfarin cepat dieliminasi, sebagai
hasil dari t ½ yang pendek
Vitamin C dosis tinggi Mencegah absorspsi antikoagulan
cranberry juice Kemungkinan dari kompisisi cranberry juice (mungkin flavonoid, diketahui
bahwa menghambat kerja sitokrom P450) menghambat metabolisme
warfarinmenurunkan Cl, meningkatkan efek
Jahe Jahe menghambat agregasi platelet
Gingseng Penggunaan bersama dengan gingseng kadang-kadang terjadi perdarahan, hal
ini disebabkan karena gingseng mengandung komponen antiplatelet
Rokok Komponen dari roko menginduksi/menstimulasi enzim hati , yang mana
meningkatkan sedikit metabolisme warfarinmenurunkan kerja warfarin
Vitamin E Pemberian vitamin E sebesar 1200UI setiap hari selama 2 bulan
menyebabkan perdarahan
Pemberian 800UImenurunkan faktor pembekuan darah dan menyababkan
perdarahan
Dikumarol Vitamin E Pemberian vitamin E 42 UI setiap hari selam 1 bulanmenurunkan efek
dikumarol setelah 36 jam
Antikoagulan natto (makanan jepang yang pada proses pencernaan,aktivitas Bacillus natto di dalam natto pada usus
terbuat dari fermentasi kacang hewan yang menyebabkan peningkatan sintesis dan kemudian peningkatan
kedelai, dapat menurunkan efek absorbsi vitamin K
dari warfarin)
Acenocoumarol makanan dan minuman: - Makanan memperpanjang retensi dikumarol dengan makanan-makanan
Dicoumarol Makanan bagian usus
Warfarin Grapefruit juice - Protein dari kacang kedelai meningkatkan aktivitas vitamin K pada reseptor
Avocado, ice-cream, kacang dibagian hatimenurunkan efek dari warfarin
kedelai - Alpukat yang mengandung sedikit vitamin K (8µg/100g) mempengaruhi
warfarin dengan inhibisi kompetitif
- Grapefruit juice meningkatkan kelemahan efek inhibitor jus anggur pada
aktivitas sitokrom isoenzim P450 CYP3A4 dalam usus.
Antikoagulan Makanan mngandung Vitamin K menaikkan bekuan darah. Dengan adanya makanan ini, efek dari
vitaminK: Hati sapi; Kubis, kol; antikoagulan, pengencer darah menjadi menurun
Minyak; Kol cina ; Sayuran hijau ;
Bayam
IMMUNOSUPPRESSANT
Mekanisme kerja:
Kerja dari obat-obat golongan immunosuppressan adalah menghambat atau mencegah aktifitas sistem imun.
Biasanya digunakan dalam pengobatan immunosuppressive.
Mencegah penolakan transplantasi organ dan jaringan (sumsum tulang, jantung, ginjal,hati).
Mengobati penyakit autoimun ( rheumatoid arthritis, multiple sclerosis, myasthenia gravis, systemic lupus erythematosus, Crohn's
disease, pemphigus, and ulcerative colitis).
Pengobatan beberapa penyakit inflamatory non-autoimmune (long term allergic asthma control)
Tabel 5. Interaksi yang terjadi antara obat Immunosuppressan dengan makanan(6)
Obat Mekanisme kerja Makanan Efek yang dihasilkan
Ciclosporin Penghambatan selektif Makanan Makanan, susu dan grapefruit juice bisa meningkatkan
sel T, menurunkan Susu bioavaibilitas ciclosporin.
produksi dan pelepasan Grapefriut juice Red wine menurunkan bioavailabilitas ciclosporin
limfokin serta Red wine Menyebabkan penurunan kadar ciclosporin dalam serum
menghambat ekspresi St John’s wort dan terjadi penolakan organ jika digunakan dalam beberapa
interleukin 2. (Hypericum minggu pertama trnsplantasi.
perforatum) Meningkatkan absorbsi ciclosporin
Vitamin E
Aspirin atau derivat salisilat dengan makanan Hindari makanan bersamaan dengan analgesik karena menghambat absorpsi aspirin.
Asam asetilsalisilat (aspirin) sebagai prototip nonsteroidal anti-inflammatory drugs (NSAID) merupakan analgetika nonsteroid,
non-narkotik (Reynolds, 1982). Kerja utama asam asetilsaIisilat dan kebanyakan obat antiradang nonsteroid lainnya sebagai penghambat
enzim siklooksigenase yang mengakibatkan penghambatan sintesis senyawa endoperoksida siklik PGG2 dan PGH2. Kedua senyawa ini
Dekstropropoksifen (propoksifen) dengan makanan Makanan dapat menghambat absorpsi dekstropropoksifen, tapi secara total
absorpsi justru meningkat.
Bukti klinis, mekanisme dan penanganan
Sebuah studi pada subjek sehat dalam keadaan puasa, kadar plasma puncak dekstropropoksifen telah dicapai dalam 2 jam, lemak kadar
tinggi dan karbohidrat kadar tinggi menghambat level serum puncak menjadi 3 jam dan protein tinggi menjadi 4 jam. Pada kedua protein
dan karbohidrat (makanan kecil) menyebabkan sedikit peningkatan total dari jumlah propoksifen yang diabsorpsi. Kemungkinan alasan
keterlambatan penyerapan adalah makanan menghambat pengosongan lambung dan kemungkinan juga secara fisik mencegah
dekstropropoksifen kontak dengan permukaan usus. Hindari makanan, jika diperlukan efek anlgesik yang cepat.
ANTIBIOTIKA
Antibiotik merupakan substansi kimia yang diproduksi oleh berbagai spesies mikroorganisme (bakteri, fungi, aktinomisetes), mampu
menekan pertumbuhan mikroba lain dan mungkin membinasakan.
DAFTAR PUSTAKA
1. http://www.hsc.virginia.edu/uvahealth/adult_nontrauma/fooddrug.cfm diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 11:00 WIB.
2. www.pom.go.id Pusat Informasi Obat Nasional diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 11:14 WIB.
3. http://health.howstuffworks.com/health-illness/treatment/medicine/medications/antidepressant4.htm diunduh pada tanggal 4 mei
2009 pukul 13:06 WIB.
4. http://www.mayoclinic.com/health/maois/MH00072/NSECTIONGROUP=2 diunduh pada tanggal 4 mei 2009 pukul 15:43 WIB.
5. Anonim. Farmakologi Dan Terapi, edisi 4.1995. Jakarta : Bagian Farmakologi Fakultas Kedokteran – Universitas Indonesia.
6. Ivan H. Stockley. Stockley’s Drug Interactions. UK, Nottingham: University of Nottingham Medical School.
7. Mansoer, Soewarni. 2003. Mekanisme Kerja Obat Antiradang. Bagian farmasi FK UNSU.
8. Suwandi, Usman. 1992. Mekanisme Kerja Antibiotik. Jakarta: Pusat Penelitian dan Pengembangan P.T. Kalbe Farma.
Sebagian besar pasien merupakan Parkinsonisme idiopatik. Didapat inclusion neural yang disebut : Lewy bodies. Lesi patologiknya luas
tapi hampir selalu melibatkan substansia nigra dan g nglia basal.
Gejala pokok penyakit Parkinson ialah: tremor, rigiditas dan hipokinesia. Gambaran klinis dari penyakit Parkinson termasuk adanya
kelainan ekspresi fasial, postur, cara melangkah (gait), attitude dan gerakan serta rigiditas dan tremor (Walton,1982).
Tahapan Penyakit Parkinson (Herzberg)
Tahapan 1 : gejala begitu ringan sehingga pasientidak merasa terganggu.
Tahapan 2 : gejala ringan dan mulai sedikit mengganggu.
Tahapan 3 : gejala bertambah berat.
Tahapan 4 : tidak mampu lagi berdiri tegak, kepala, leher dan bahu jatuh kedepan.
Memburuknya gejala, menimbulkan keputusasaan.
2. Levodopa + Antikolinergik
Antikolinergik sangat luas penggunaannya dengan levodopa. Antikolinergik dapat mengurangi penyerapan levodopa sehingga dapat
mengurangi efek sampai tingkat tertentu.
Mekanisme :
Usus halus merupakan tempat absorpsi yang utama untuk levodopa, antikolinergik dapat menyebabkan penundaan pengosongan lambung
sehingga dapat menyebabkan rendahnya kadar levodopa dalam plasma karena metabolism di mukosa lambung menjadi lebih lambat.
6. Levodopa + Benzodiazepin
Menyebabkan efek terapeutik levodopa berkurang karena penggunaan bersama dengan chlordiazepoxid, diazepam atau nitrazepam
Mekanisme
Studi metabolisme pada pasien mengindikasikan bahwa isoniazid menghambat dopa-dekarboksilase (walaupun mungkin dapat disebabkan
oleh mekanisme lainnya). Kasus mengenai hipertensi dan takikardi belum diketahui, meskipun demikian diasumsikan bahwa hal tersebut
disebabkan oleh efek inhibisi monoamine oksidase yang lemah oleh metabolit isoniazid.
Bukti klinis
a. Efek pada respon levodopa
Studi silang acak-ganda (double-blind crossover study) pada 10 pasien dengan penyakit Parkinson yang telah menggunakan levodopa
selama 12 sampai 40 tahun menunjukkan bahwa dosis harian optimum levodopa diturunkan menjadi 68% apabila digunakan
metildopa dengan dosis tertinggi pada penelitian ini (1920 mg per hari), dan menjadi 50% dengan metildopa 800 mg per hari.
Laporan lain menjelaskan penurunan dosis levodopa terjadi sampai lebih dari 30% dan 70% selama pengobatan bersama metildopa.
Laporan lain menyatakan bahwa terapi penyakit Parkinson pada beberapa pasien meningkat selama penggunaan bersama metildopa,
akan tetapi di sisi lain dapat memperburuk diskinesia. Metildopa itu sendiri dapat menyebabkan sindrome mirip-parkinson reversibel.
Mekanisme
(a) Satu teori menyatakan bahwa levodopa menghambat enzim pendestruksi levodopa di luar otak sehingga lebih banyak levodopa
bebas yang dapat memberikan efek terapi.
(b) Peningkatan hipotensi dapat disebabkan oleh efek aditif kedua obat.
19. Levodopa atau Whole broad beans + Monoamin oksidase inhibitor (MAOI)
Reaksi hipertensi yang cepat, serius dan mengancam jiwa dapat terjadi pada pasien pengguna MAOI non selektif ireversibel apabila
diberikan levodopa atau apabila mereka memakan whole broad beans yang mengandung dopa pada cangkang atau kulitnya. Diragukan
adanya interaksi yang terjadi antara sediaan levodopa yang mengandung carbidopa atau benserazide (Sinemet, Madopar). Tidak terjadi
reaksi hipertensi serius yang dilaporkan telah terjadi pada penggunaan MAO-A inhibitor selektif seperti moclobemide, dan interaksi akut
yang serius pada penggunaan selegiline, MAO-B inhibitor selektif.
Mekanisme
Keseluruhan levodopa dikonversi secara enzimatis di dalam tubuh, pertama menjadi dopamine, dan kemudian menjadi noradrenalin
(norepinefrin), keduanya akan dirusak oleh monoamine oksidase. Akan tetapi dengan adanya MAOI efek penghancuran tersebut dapat
terhambat, sehingga kadar plasma dopamine dan noradreanalin akan meningkat. Bagaimana tepatnya hal tersebut dapat
meningkatkan tekanan darah secara tajam belum jelas, akan tetapi baik dopamine maupun noradrenalin akan secara langsung
menstimulus reseptor alfa pada sistem kardiovaskular
Mekanisme
Papaverin memblok reseptor dopamine pada otak, sehingga menghambat efek levodopa. Selain itu papaverim memiliki aktivitas mirip-
reserpin pada vesikel di neuron adrenergik (yang dapat menurunkan simpanan katekolamin).
Bukti Klinis
(a) Levodopa
Suatu studi pada 25 pasien yang diobati dengan levodopa menunjukkan bahwa jika mereka diberikan piridoksin dosis tinggi (750
hingga 1000 mg per hari),efek levodopa benar-benar hilang dalam 3 sampai 4 hari, dan beberapa penurunan efek dalam 24 jam. Dosis
harian 50 hingga 100 mg piridoksin juga mengurangi atau menghilangkan efek dari levodopa, dan peningkatkan tanda dan gejala
parkinson terjadi 8 dari 10 pasien yang menggunakan 5 sampai 10
(b) Levodopa/carbidopa
Studi pada 15 pasien kronik Parkinson dengan levodopa ditemukan bahwa jika diberikan
dosis tunggal 250-mg dosis levodopasecara oral, pemberian piridoksin 50 mg
menyebabkan puncal level oplasma menurun hingga mencapai 70%. Pemberian 50 mg
Mekanisme
Konversi levodopa menjadi dopamine di dalam tubuh membutuhkan adanya pyridoxal-5-phosphate (berasal dari pyridoxine) seagai
kofaktor.jika konsumsi piridoksin tinggi, maka metabolisme perifer levodopa di luar otak meningkat sehingga hanya sedikit yang dapat
masuk ke dalam susunan saraf pusat. Pyridoksin juga dapat menyebabkan metabolisme levodopa dengan Schiff-base formation.
Adanya inhibitor dopa-decarboxylase seperti carbidopa atau benserazide, metabolisme perifer levodopa diturunkan dan levodopa
dapat masuk ke susunan saraf pusat dalam jumlah yang lebih besar.
Bukti Klinis
Observasi pada pasien Parkinson yang menggunakan levodopa/carbidopa (Sinemet) menjadi sedikit tidak terkontrol jika diberikan bersama
dengan spiramisin. Studi dilanjutkan pada 7 orang sehat yang diberikan 250 mg levodopa dengan 25 mg carbidopa. Setelah menggunakan
spiramisin 1 g dua kali sehari selama 3 hari, AUC dari levodopa turun 57%, sementara level maksimum plasma turun dari 2162 menjadi
1680 nanograms/ml (tidak signifikan). Kerelativan ioavailabilitas levodopa hanya 43%.
Mekanisme
Spiramycin menurunkan absorpsi carbidopa, dengan membentuk kompleks yang tidak dapat diabsorpsi di dalam usus atau dengan
meningkatkan transit di dalam usus. Sehingga carbidopa yang diabsorpsi tidak mencukupi, sehingga efek levodopa turun.
Bukti Klinis
Parkinson ringan pada wanita tua yang juga menderita Alzheimer semakin memburuk, terjadi tremor yang parah, stiffness dan disfungsi gait
(cara berjalan) dalam waktu 2 minggu saat meningkatkan dosis takrin dari 10 mg menjadi 20 mg empat kali sehari.
Mekanisme
Parkinsson disebabkan karena ketidakseimbangan antara dua neurotransmiter (dopamine and acetylcholine) di dalam basal ganglia otak.
Tacrine (antikolinesterase sentral) meningkatkan jumlah asetilkolin di dalam otak, yang dapat menyebabkan eksaserbasi gejala parkinson.
Bukti Klinis
Adanya hipertensi (tekanan darah 210/110 mmHg) yang berhubungan dengan agitasi, tremor dan rigidity terjadi pada wanita uang
menggunakan 6 tablet of Sinemet (levodopa 100 mg + 10 mg carbidopa) per hari, kemudian hari berikutnya pasien tersebut menggunakan
imipramin 25 mg tiga kali sehari. Saat penggunakan imipramin dihentikan, pasien tersebut kembali pada keadaan nornal setelah 24 jam.
Reaksi serupa terjadi lagi saat pasien tersebut meminum 25 mg amitriptyline tiga kali sehari. Reaksi hipertensif yang mirip (meningkat dari
190/110 menjadi 270/140 mmHg) terjadi dalam waktu 34 jam pada pasien lain yang mengkonsumsi amitriptyline 20 mg pada malam ketika
diberikan setengah tablet Sinemet dan 10 mg metoclopramide tiga kali sehari.
Mekanisme
Tidak diketahui. Usus halus merupakan tempat absorpsi utama dari levodopa. Menunda efek pengosongan lambung yang dapat disebabkan
oleh antikolinergik, nampak adanya penurunan lebel plasma levodopa, karena mukosa lambung memetabolisme levodopa.
Bukti Klinis
Terhadap 12 orang sehat, lisuride dengan dosis 200 mcg secara oral atau 50 mcg secara iv diberikan 30 menit setelah penggunaan
eritromisin (dosis tidak diketahui) sehari 2 kali selama empat hari. Lalu pada 30 orang sehat lainnya diberikan 200 mcg lisuride secara oral
dalam keadaaan puasa atau terdapat makanan. Maka dapat terlihat eritromisin dan makanan dapat merubah farmakokinetik dan
farmakokinetik dari lisuride.
Lisuride merupakan agonis dopamine, maka obat-obat antagonis dopamine seperti haloperidol, sulpirirde dan metoklopramid dapat
melemahkan efek obat-obat psikotropik.
Berdasarkan pengamatan pada 5 pasien yang mengkonsumsi piribedil bersamaan dengan clonidine (1,5 mg perhari untuk 10-24 hari) dapat
memperburuk proses Parkinson. Maka, penggunaan obat antikolinergik dapat mengurangi dengan efek dari interaksi tersebut.
Berdasarkan pengamatan terhadap 12 orang sehat, ditemukan cimetidine (multiple dose) mengurangi clearance dari pramipexole dengan
dosis 250 mcg (single dose) sebesar 35 % dan meningkatkan waktu paruh sebesar 40 %. Amantadine dan cimetidine, keduanya dieliminasi
oleh rute tersebut ( contoh melalui renal kationik sistem transport sekresi), maka tingkat ekskresi kedua obat tersebut berkurang.
Probenecid (multiple dose) diberikan kepada 12 orang sehat dapat mengurangi clearance pramipexole sebesar 10, 3%. Dapat disimpulkan
bahwa hendaknya pengurangan dosis pramipexole dipertimbangkan ketika amantadin atau cimetidine diberikan secara bersamaan dengan
pramipexole.
Meskipun tidak ada interaksi farmakokinetik diantara pramipexole dan levodopa, pramipexole merubah aksi levodopa , maka penurunan
dosis levodopa seiring dengan penaikan dosis pramipexole. Penggunaan secara bersamaan dengan obat-obat antipsikoti, harus dapat
dihindari, sebab sebagian besar aksi antagonis dopamine akan mengantagonis efek pramipexole, agonis dopamine.
Antidepresan Tetrasiklik
Pada seseorang yang sedang menggunakan selegiline, levodopa/carbidopa, lisuride, maprotiline, teofilin, efedrin menyebabkan
hipertensi (tekanan darah 300/150 mg), vasokonstriksi, bingung, nyeri perut, berkeringat dan takikardi (110 bpm) meningkatkan dosis
teofilin dan efedrin. Semua obat tersebut diberhentikan penggunaannya, dan pasien diberikan nicardipin secara iv. Orang tersebut
sembuh dalam waktu yang singkat. Dapat diperkirakan hal tersebut adalah ‘pseudophaeochromocytoma’ yang disebabkan oleh
selegiline/maprotilen/interaksi efedrin.
Antidepresan Trisiklik
Pada tahun 1989 dan 1994 FDA menerima 16 laporan mengenai interaksi selegiline dan antidepresan trisiklik, yang berhubungan dengan
adanya sindrom serotonin. Oleh karena ini pihak Amerika menetapkan bahwa penggunaan bersama selegiline dengan antidepresan
trisiklik harus dihindari.
Salah satu penelitian menyatakan pada 4568 pasien yang menggunakan selegiline dan antidpresan (termasuk trisiklik) hanya ditemukan
11 orang (0,24%) yang mengalami sindrom serotonin dan 2 orang (0,04%) yang mengalami gejala yang serius.
Penelitian lainnya yang dirancang untuk mengevaluasi toleransi dan efikasi dari kombinasi selegiline dan antidepresan trisiklik yang
diidentifikasi dari 28 pasien yang menggunakan kedua obat tersebut. Berdasarkan pengamatan, 17 pasien sudah pasti menerima
kebaikan/manfaat dan 6 pasien lainnya kemungkian menerima kebaikan/manfaat dari kombinasi kedua obat tersebut.
Sedangkan pada penelitian lainnya yaitu pada 25 angka kejadian pada penggunaan kombinasi selegiline-trisiklik tidak ditemukan adanya
kasus serotonin sindrom.
Dalam makalah ini akan dibahas hal yang dapat mempengaruhi pemeriksaan laboratorium adalah penggunaan obat oleh pasien
sebelum dilakukan pemeriksaan. Penggunaan obat dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hematologi misalnya : asam folat, Fe, vitamin
B12 dll. Pada pemberian kortikosteroid akan menurunkan jumlah eosinofil, sedang adrenalin akan meningkatkan jumlah leukosit dan
trombosit. Pemberian transfusi darah akan mempengaruhi komposisi darah sehingga menyulitkan pembacaan morfologi sediaan apus darah
tepi maupun penilaian hemostasis. Antikoagulan oral atau heparin dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan hemostasis.
PENDAHULUAN
Kesehatan merupakan hal yang penting dalam kehidupan, bila kita sakit kita tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari seperti biasa
apalagi bagi orang-orang yang memang memiliki aktivitas yang banyak atau jadual yang padat, mereka akan merasa merugi karena terganggu dan
terhambat aktivitasnya. Belum lagi bagi mereka yang teryata terkena penyakit yang parah maka akan membutuhkan biaya yang mahal untuk
memulihkan kesehatannya. Adapun pepatah mengatakan “kesehatan itu mahal harganya” oleh krena itu kita harus selalu menjaga dan
memelihara kesehatan tubuh kita dengan salah satunya pola hidup sehat mengkonsumsi makan-makanan yang bergizi (sayur, buah, susu),
mengkonsumsi multivitamin bila perlu, olahraga yang teratur, istirahat yang cukup, menghindari atau memiimalkan stress dengan refreshing di
akhir pekan dan kegiatan positif lainnya.
Agar dapat memantau keadaan kesehatan, perlu dilakukan tes laboratorium secara berkala, dengan panel pemeriksaan laboratorium,
sehingga kita tahu bagaimana keadaan tubuh kita sebenarnya. Tes laboratorium bisa dilakukan setahun sekali sebagai bagian dari pemeriksaan
Panel Check Up Kesehatan, bertujuan untuk mengetahui kualitas kesehatan secara umum, baik yang menyangkut fungsi organ
maupun keadaan metabolisme tubuh.
Panel Premarital, untuk mendeteksi adanya penyakit menular, menahun atau diturunkan, yang dapat mempengaruhi kesuburan
pasangan maupun kesehatan rutin.
Panel Awal Kehamilan, untuk mengetahui adanya penyakit yang dapat mempengaruhi kesehatan ibu hamil maupun janinnya.
Panel Torch, untuk mengetahui adanya infeksi dan status kekebalan terhadap parasit tosoplasma, virus rubella, cytomegalovirus dan
virus herpes tipe 2 yang dapat mempengaruhi janin.
Panel Pengelolaan Diabetes Mellitus, untuk memantau hasil pengobatan dan mendeteksi factor resiko komplikasi Diabetes Mellitus.
Panel Lemak, untuk mengetahui kadar berbagai jenis lemak yang penting dalam proses terjadinya penyumbatan pembuluh darah
(Aterosklerosis).
Setiap laboratorium menentukan nilai 'normal', yang ditunjukkan pada kolum 'Nilai Rujukan' atau 'Nilai Normal' pada laporan
laboratorium. Nilai ini tergantung pada alat yang dipakai dan cara pemakaiannya. Tubuh manusia tidak seperti mesin, dengan unsur yang dapat
diukur secara persis dengan hasil yang selalu sama. Hasil laboratorium dapat berubah-ubah tergantung pada berbagai faktor, diantaranya : jam
berapa contoh darah atau cairan lain diambil; infeksi aktif; tahap infeksi HIV; dan makanan (untuk tes tertentu, contoh cairan harus diambil
dengan perut kosong tidak ada yang dimakan selama beberapa jam). Kehamilan juga dapat mempengaruhi beberapa nilai. Oleh karena faktor ini,
hasil lab yang di luar normal mungkin tidak menjadi masalah.
Tidak ada standar nilai rujukan; angka ini diambil terutama dari laboratorium RSCM, Jakarta; nilai laboratorium lain dapat berbeda. Jadi
angka pada laporan kita harus dibandingkan dengan nilai rujukan pada laporan, bukan dengan nilai rujukan pada lembaran ini. Bahaslah hasil
yang tidak normal dengan dokter.
Untuk informasi lebih lanjut mengenai jenis tes dan range angka normal, dapat di lihat pada Lembaran Informasi beberapa pemeriksaan
yang umum dilakukan di laboratorium hitung darah lengkap, tes kimia darah, gula, lemak darah, fungsi organ ginjal, fungsi hati. Pada tabel ini, bila
ada beda tergantung pada jenis kelamin, angka ditunjukkan sebagai ‘P’ untuk perempuan dan ‘L’ untuk laki-laki.
Darah
Ukuran Satuan Nilai Rujukan
Eritrosit (sel darah merah) juta/µl 4,0 – 5,0 (P)
4,5 – 5,5 (L)
Hemoglobin (Hb) g/dL 12,0 – 14,0 (P)
13,0 – 16,0 (L)
Hematokrit % 40 – 50 (P)
45 – 55 (L)
Hitung Jenis
Basofil % 0,0 – 1,0
Eosinofil % 1,0 – 3,0
Batang1 % 2,0 – 6,0
Segmen1 % 50,0 – 70,0
Limfosit % 20,0 – 40,0
Monosit % 2,0 – 8,0
Laju endap darah (LED) mm/jam < 15 (P)
< 10 (L)
Leukosit (sel darah putih) 103/µl 5,0 – 10,0
MCH/HER Pg 27 – 31
MCHC/KHER g/dL 32 – 36
MCV/VER Fl 80 – 96
Trombosit 103/µl 150 – 400
Catatan:
1. Batang dan segmen adalah jenis neutrofil. Kadang kala dilaporkan persentase neutrofil saja,
dengan nilai rujukan 50,0–75,0 persen
Fungsi Hati
Ukuran Satuan Nilai Rujukan
ALT (SGPT) U/L < 23 (P)
< 30 (L)
AST (SGOT) U/L < 21 (P)
< 25 (L)
Alkalin fosfatase U/L 15 – 69
GGT (Gamma GT) U/L 5 – 38
Bilirubin total mg/dL 0,25 – 1,0
Bilirubin langsung mg/dL 0,0 – 0,25
Protein total g/L 61 – 82
Albumin g/L 37 – 52
Profil Lipid
Lain-lain
Bilirubin
Bilirubin (pigmen empedu) merupakan hasil akhir metabolisme dan secara fisiologis tidak penting, namun merupakan petunjuk
adanya penyakit hati dan saluran empedu.
Pembuangan sel darah merah yang sudah tua atau rusak dari aliran darah dilakukan oleh empedu. Selama proses tersebut
berlangsung, hemoglobin (bagian dari sel darah merah yang mengangkut oksigen) akan dipecah menjadi bilirubin. Bilirubin kemudian
dibawa ke dalam hati dan dibuang ke dalam usus sebagai bagian dari empedu.
Transaminase
untuk mendeteksi adanya kerusakan hati, pemeriksaannya dengan pengukuran SGOT dan SGPT. Keduanya terdapat dalam sel hati dalam
jumlah yang besar dan ditemukan dalam serum dalam jumlah yang kecil. Kadarnya dalam serum akan meningkat ketika sel rusak atau membran
sel terganggu
SGOT (Serum Glutamat Oksaloasetat trans)
Penurunan kadar SGOT terjadi pada saat kehamilan, diabetik ketoasidosis dan beri-beri, sedangkan peningkatan kadar SGOT pada
kondisi infark miokard akut (IMA), ensefalitis, nekrosis, hepar, penyakit dan trauma muskuloskeletal, pankreatiis akut, eklampsia, dan gagal
jantung kongestif.
Obat yang dapat meningkatkan nilai SGOT : Antibiotik, narkotik, vitamin (asam folat, piridoksin, vitamin A), antihipertensi (metildopa,
guanetidin), teofilin, golongan digitalis, kortison, flurazepam, indometasin, isoniasid, rifampisisn, kontrasepsi oral, salisislat, injeksi
intramuskular.
1. Isoniazid
Isoniazid dapat menimbulkan ikterus dan kerusakan hati yang fatal akibat terjadinya nekrosis multilobular. Sehingga hal ini
menyebabkan peningkatan aktivitas enzim transaminase
Kolesterol
Obat-obat yang dapat menurunkan nilai kolesterol : Tiroksin, estrogen, aspirin, antibiotik (tetrasiklin dan neomisin), asam nikotinik, heparin,
kolkisin.
Obat-obat yang dapat meningkatkan nilai kolesterol : Pil KB, epinefrin, fenotiazin, vitamin A dan D, sulfonamid, fenitoin (Dilantin).
1. Vitamin C dosis tinggi menurunkan kadar kolestesterol melalui mekanisme:
Memperlebar arteri sehingga memperkecil deposit kolesterol pada dinding arteri
Meningkatkan aktifitas fibrinolisis, yang bertanggungjawab untuk memindahkan penumpukan kolesterol dari arteri
Mengeliminasi kelebihan kolesterol dalam aliran darah dengan membawa ke empedu
Trigliserida
Penurunan kadar : β-lipoproteinemia kongenital, hipertiroidisme, malnutrisi protein, latihan
Obat-obat yang dapat menurunkan nilai trigliserida : Asam askorbat, kofibrat (Atromid-S), fenformin, metformin.
Peningkatan Kadar : Hiperlipoproteinemia, IMA, hipertensi, hipotiroidisme, sindrom nefrotik, trombosis serebral, sirosis alkoholik, DM yang
tidak terkontrol, sindrom Down’s, stress, diet tinggi karbohidrat, kehamilan.
Metformin
Mekanisme : Metformin dapat menurunkan absorbsi glukosa dari saluran lambung-usus . Metformin hanya mengurangi kadar glukosa
darah dalam keadaan hiperglikemia serta tidak menyebabkan hipoglikemia bila diberikan sebagai obat tunggal.
Kreatinin Serum
Kreatinin adalah produk sampingan dari hasil pemecahan fosfokreatin (kreatin) di otot yang dibuang melalui ginjal. Normalnya kadar
kreatinin dalam darah 0,6 – 1,2 mg/dl. Bila fungsi ginjal menurun, kadar kreatinin darah bisa meningkat.
DAFTAR PUSTAKA
Ganiswara, G.S., 1995. Farmakologi dan Terapi, Ed. IV. Bagian farmakologi Fakultas kedokteran Universitas Indonesia. Jakarta: Gaya Baru
www.dokter.indo.net.id. Di download tanggal 9 Mei 2009 Pukul 12:00.
Yulinah Elin, dkk. 2008.ISO Farmakoterapi. Jakarta : PT ISFI Penerbitan.
Beberapa wanita yang menggunakan kontrasepsi oral kombinasi dalam dosis rendah mempunyai risiko hamil bila pada saat
yang sama, dia juga menggunakan antibiotik berspektrum luas (misalnya amoksisilin, tetrasiklin). Mekanismenya adalahgangguan
siklus enterohepatik komponen estrogen akibat hilangnya bakteri usus yang berperan dalam dekonjugasi estrogen.
Obat-obat lain dapat mempengaruhi waktu pengosongan lambung, sebagai contoh metoklorpropamid mempercepat waktu
pengosongan lambung, sedangkan opiat memperlambat waktu pengosongan lambung. Bioavailabilitas levodopa berkurang bila
digunakan bersama dengan obat antikolinergik. Hal ini terjadi karena perlambatan waktu pengosongan lambungakan meningkatkan
paparan levodopa dengan metabolisme lokal pada mukosa usus. Interaksi ini pada umumnya lebih mempengaruhi kecepatan absorbsi
obat daripada jumlah obat yang diabsorbsi. Bagaimanapun, penundaan waktu pengosongan lambungda]] dapaat meningkatkan
absorbsi zat-zat yang bersifat asam dan obat-obat yang sukar larut. Sebagian besar interaksi yang berkaitan dengan absorbsi, tidak
bermakna secarak klinis dan dapat diatur dengan memisahkan waktu pemberian obat, biasanya dengan selang waktu meminum 2 jam.
b. Distribusi
Interaksi pendesakan obat terjadi bila dua obat berkompetisi pada tempat ikatan dengan protein plasma yang sama dan
satu atau lebih obat didesak dari ikatannya dengan protein tersebut. Hal ini akan mengakibatkan peningkatan sementara konsentrasi
obat bebas (aktif), biasanya peningkatan tersebut diikuti dengan peningkatan metabolisme atau ekskresi. Konsentrasi total obat turun
menyesuaikan dengan peningkatan dengan peningkatan fraksi obat bebas. Interaksi ini melibatkan obat-obat yang ikatannya dengan
protein tinggi, misalnya fenitoin, warfarin dan tolbutamid. Bagaimanapun, efek farmakologi keseluruhan minimal kecuali bila
pendesakan tersebut diikuti dengan inhibisi metabolik.
c. Metabolisme hepatik
Banyak obat dimetabolisme di hati, terutama oleh sistem enzim sitokrom P 450 monooksigenase. Induksi enzimoleh suatu
obat dapat meningkatkan kecepatan metabolisme obat lain dan mengakibatkan pengurangan efek. Induksi enzim melibatkan sintesa
protein, jadi efek maksimum terjadi setelah dua atau tiga minggu. Sebaliknya, inhibisi enzim dapat mengakibatkan akumulasi dan
peningkatan toksisitas obat lain. Waktu terjadinya reaksi akibat inhibisi enzim merupakan efek langsung, biasanya lebih cepat daripada
induksi enzim.
Banyak enzim yang terlibat dalam metabolisme hepatik diantaranya adalah sitokrom P450. Sebagai contoh, warfarin
dibersihkan dari tubuh memalui metabolisme hepatik (dimetabolisme oleh sistem oksidase P450 hepatik-the hepatic mixed function
oxidase P450 system) sehingga penghambat enzim seperti simetidin dan antibiotik golongan makrolida (eritromisin, klaritomisin)
memperkuat efek warfarin.
Sebaliknya, penginduksi enzim seperti karbamazepin, barbiturat, fenitoin (dilaporkan dapat meningkatkan atau
menurunkan efek) dan rifampisin, dapat menyebabkan kegagalan terapeutik warfarin. Eritromisin dapat menyebabkan peningkatan
kadar lofastatin dalam darah karena eritromisin menghambat aktifitas enzim CYP 3A4 hati.
Yang menarik, makanan kaya protein dianggap menstimulasi enzim hati, sedangkan makanan yang kaya karbohidrat
mempunyai efek yang berlawanan. Zat kimia lain, seperti asap rokok dan etanol dapat meningkatkan aktifitas enzim hati. Faktor-faktor
ini dapat mempengaruhi eliminasi dan akhirnya juga mempengaruhi keefektifan obat-obat tertentu.
d. Eliminasi
Obat dieliminasi melalui ginjal denga filtrasi glomerulus dan sekresi tubuler aktif. Jadi, obat yang mempengaruhi ekskresi
obat melalui ginjal dapat mempengaruhi konsentrasi obat lain dalam plasma. Hanya sejumlah kecil obat yang cukup larut dalam air
yang mendasarkan ekskresinya melalui ginjal sebagai eliminasi utamanya, yaitu obat yang tanpa lebih dulu dimetabolisme di hati.
Gangguan pada proses ini terutama digambarkan dalam interaksi yang mempengaruhi digoksin dan Litium.
Kuinidin, verapamil, dan amiodaron dapat meningkatkan konsentrasi digoksin dalam serum hingga dua kali lipat dengan
menghambat klirens ginjal (dan non-ginjal) digoksin. Diuretik thiazida, serta furosemid dan bumetanid dengan efek yang lebih lemah,
menguangi ekskresi Litium dengan meningkatkan reabsorbsi Litium dari tubulus proksimal. Interaksi ini dapat menyebabkan keracunan
Litium yang serius.
2. Interaksi Farmakodinamik
a. Sinergisme
Interaksi farmakodinamik yang palng umum adalah sinergisme antara dua obat yang bekerja pada sistem, organ, sel atau
inti yang sama dengan efek farmakologi yang sama. Semua obat yang mempunyai fungsi depresi pada susunan saraf pusat
contohnya Etanol, antihistamin, benzodiazepine (diazepam, lorazepam, prazepam, estazolan, bromazepam, alprazolam),
fenotiazin (klorpromazin, tioridazin, lufenazin, perfenazin, proklorperazin, trifluoperazin), metildopa. Klonidin dapat
meningkatkan efek sedasi.
Semua obat inflamasi nonsteroid dapat mengurangi daya lekat platelet, dan meningkatkan efek antikoagulan warfarin.
Suplemen kalium dapat menyebabkan hiperkalema yang sangat berbahaya bagi pasien yang memperoleh pengobatan dengan
diuretic hemat kalium (contoh amilorida, triamteren) dan penghambat enzim pengkonversi angiotensin (contoh captopril,
enalapril) dan antagonis reseptor angiotensin-II (contoh losartan, valsartan). Dengan cara yang sama verapamil dan propranolol
(dan pengeblok beta yang lain), keduanya memiliki efek inotropik negative, dapat menimbulkan gagal jantung pada pasien yang
retan.
b. Antagonisme
Sebaliknya, antagonisme terjadi bila obat yang berinteraksi memilki efek farmakologi yang berlawanan. Hal ini
mengakibatkan pengurangan hasil yang diinginkan dari satu atau lebih obat. Sebagai contoh, penggunaan secara bersamaan obat
yang bersifat beta-agonis dengan obat yang bersifat pengeblok beta (salbutamol untuk pengobatan asma dengn propanolol
untuk pengobatan hipertensi, dapat menyebabkan bronkospasme); vitamin K dan warfarin; diuretik tiazida dan obat anti diabet.
Beberapa antibiotika tertentu berinteraksi dengan mekanisme yang antagonis. Sebagai contoh, bakterisida, seperti penisilin,
yang menghambat sintesa dinding sel bakteri, memerlukan sel yang terus bertumbuh dan membelah diri agar berkhasiat
maksimal. Situasi ini tidak akan terjadi dengan adanya antibiotika yang bersifat bakteriostatik, seperti tetrasiklin, yang
menghambat sintesa protein dan juga pertumbuhan bakteri.
2. Sesuaikan dosis obat saat memulai atatu menghentikan penggunaan obat yang menyebabkan interaksi yaitu dengan cara
pengurangan dosis ( jika terjadi toksik), peningkatan dosis (jika terjadi pengurangan khasiat)
Jika hasil interaksi obat meningkatkan atau mengurangi efek obat, maka perlu dilakukan modifikasi dosis salah satu atau kedua
obat untuk mengimbangi kenaikan atau penurunan efek obat tersebut. Penyesuain obat dilakukan apada saat mulai atau
menghentikan penggunaan bat yang menyebabkan interaks.
Penurunan dosis
Penggunaan atropine dengan CTM menyebabkan efek yang sinergis, dapat menimbulkan efek mulut kering lebih
hebat. Dikarenakan CTM juga memiliki efek antikolinergik yang kuat, penggunaan obat ini secara bersamaan dapat
menyebabkan respons reseptor obat dan target organ berubah sehingga menimbulkan sensitivitas terhadap efek obat
menjadi lain, untuk menghindarinya dosis harus dikurangi.
Dosis pemiliharaan glikosida jantung digoksin harus dikurangi menjadi setengahnya pada saat kita mulai
memberikan Amiodaron (Antiaritmia).
3. Lakukan pemantauan kondisi klinis pasien dan jika perlu ukur kadar obat dalam darah
Pemantauan diperlukan untuk pasien yang menggunakan obat pada penykit-penyakit tertentu, obat yang indeks terapi
sempit, yang respon segaranya sulit diperkirakan, dan bila kadar obat dalam darah dan efek terapi diperkirakan saling
berhubungan.
Contoh : hipoglikemia agent dengan fenilbutazon
Mekanisme ;
Fenilbutazon dapat menghambat ekskresi renal dari Glibenklamid, Tolbutamid dan metabolit aktif dari acetoheksamid sehingga
obat itu tertahan dalam tubuh lebih lama dan efek dari hipoglikemik meningkat dan diperpanjang. Fenilbutazon ini dapat
menhambat metabolism dari sulfonamide. Cara pencegahannya penggunaan obat (fenilbutazon dengan hipoglikemia agent)
secara bersama-sama harus dipantau.
5. Lanjutkan pengobatan seperti sebelumnya bila kombinasi obat yang berinteraksi tersebut merupakan pengobatan yang optimal
atau bila interaksi yang terjadi tidak bermakna secara klinis.