Anda di halaman 1dari 8

Manifestasi Klinis

Stroke menyebabakan berbagai deficit neurologic, bergantung pada lokasi lesi (pembuluh darah mana
yang tersumbat), ukuran area yang perfusinya tidak adekuat, dan jumlah aliran darah kolateral (skunder
atau aksesori). Fungsi otak yang rusak tidak dapat membaik sepenuhnya.

a. Kehilangan motorik.

Stroke adalah penyakit motor neuron atas dan mengakibatkan kehilangan control volunter terhadap
gerakan motorik. Karena neuron atas melintas, gangguan kontrol motor volunter pada salah satu sisi
tubuh dapat menunjukan kerusakan pada neuron motor atas pada sisi yang berlawanan dari otak.
Disfungsi motor paling umum adalah hemiplegia (paralisis pada salah satu sisi) karena lesi pada sisi otak
yang berlawanan. Hemiparesis, atau kelemahan salah satu sisi tubuh, adalah tanda yang lain.

Di awal tahapan stroke, gambaran klinis yang muncul biasanya adalah paralisis dan hilang atau
menurunnya refleks tendon dalam. Apabila refleks tendon dalam ini muncul kembali (biasanya dalam 48
jam), peningkatan tonus disertai dengan spastisitas (peningkatan tonus otot abnormal) pada ekstremitas
yang terken dapat dilihat.

b. Kehilangan Komunikasi.

Fungsi otak lain yang dipengaruhi oleh stroke adalah bahasa dan komunikasi. Stroke adalah penyebab
afasia paling umum. Disfungsi bahasa dan komunikasi dapat dimanifestasikan oleh hal berikut :

1) Disatria (kesulitan berbicara), ditunjukan dengan bicara yang sulit dimengerti yang disebabkan oleh
paralisis otot yang bertanggung jawab untuk menghasilkan bicara.

2) Disfasia atau afasia (bicara defektif atau kehilangan bicara), yang terutama ekspresif atau reseptif.

3) Apraksia (ketidakmampuan untuk melakukan tindakan yang dipelajari sebelumnya), seperti terlihat
ketika mengambil sisir dan berusaha untuk menyisir rambutnya.

c. Gangguan persepsi.

Persepsi adalah ketidakmampuan untuk menginterpretasikan sensasi. Stroke dapat mengakibatkan


disfungsi persepsi visual, gangguan dalam hubungan visual-spasial dan kehilangan sensori. Disfungsi
persepsi visual karena gangguan jaras sensori primer diantara mata dan korteks visual. Homonimus
hemianopsia (kehilangan setengah lapang pandang) dapat terjadi karena stroke dan mungkin sementara
atau permanen.

Sisi visual yang terkena berkaitan dengan sisi tubuh yang paralisis.kepala pasien cenderung berpaling
dari sisi tubuh yang sakit dan cenderung mengabaikan bahwa tempat dan ruang pada sisi tersebut; ini
disebut amorfosintesis. Pada keadaan ini, pasien tidak mampu melihat makanan pada setengah
nampan, dan hanya setengah ruangan yang terlihat. Penting untuk perawat secara konstan
mengingatkan pasien tentang sisi lain tubuhnya, mempertahankan kesejajaran ekstremitas dan, bila
mungkin, menempatkan ekstremitas dimana pasien mampu melihatnya.
d. Gangguan hubungan visual-spasial (mendapatkan hubungan dua atau lebih objek dalam area
spasial)

Sering terlihat pada pasien dengan hemiplegia kiri. Pasien mungkin tidak dapat memakai tanpa
bantuan karena ketidakmampuan untuk mencocokan pakaian ke bagian tubuh. Untuk membantu pasien
ini, perawat dapat mengambil langkah untuk mengatur lingkungan dan menyingkirkan perabot karena
pasien dengan masalah persepsi mudah terdistraksi. Akan bermanfaat menganjurkan pasien
memperlambat dan memberikan pengingat lembut tentang dimana objek ditempatkan.

e. Kehilangan sensori

Stroke dapat berupa kerusakan sentuhan ringan atau mungkin lebih berat, dengan kehilangan
propriopsesi (kemampuan untuk merasakan posisi dan gerakan bagian tubuh) serta kesulitan dalam
menginterpretasikan stimuli visual, taktil, dan auditorius.

f. Kerusakan Fungsi Kognitif dan efek Psikologik.

Bila kerusakan telah terjadi pada lobus frontal, mempelajari kapasitas, memori, atau fungsi
intelektual kortikal yang lebih tinggi mungkin rusak. Disfungsi ini dapat ditunjukan dalam lapang pandang
perhatian terbatas, kesulitan dalam pemahaman, lupa, dan kurang motivasi yang menyebabkan pasien
ini menghadapi masalah frustasi dalam program rehabilitasi mereka. Depresi umum terjadi dan mungkin
diperberat oleh respons alamiah pasien terhadap penyakit katastrofik ini. Masalah psikologik lain juga
umum terjadi dan dimanifestasikan oleh labilitas emosional, bermusuhan, frustasi, dendam, dan kurang
kerja sama.

g. Disfungsi kandung kemih

Setelah stroke pasien mungkin mengalami inkontinensia urinarius sementara karena konfusi,
ketidakmampuan mengkomuniksikan kebutuhan, dan ketidakmampuan untuk mrnggunakan urinal /
bedpan karena kerusakan control motorik dan postural. Kadang-kadang setelah stroke kandung kemih
menjadi atonik, dengan kerusakan sensasi dalam respon terhadap pengisian kandung kemih. Kadang-
kadang control sfingter urinarius eksternal hilang atau berkurang. Selam periode ini, dilakukan
kateterisasi intermiten dengan teknik steril. Ketika tonus otot meningkat dan refleks tendon kembali,
tonus kandung kemih meningkat dan kapasitas kandung kemih dapat terjadi. Karena indera kesadaran
pasien kabur, inkontinensia urinarius menetap atau retensi urinarius mungkin stmtomatik karena
kerusakan otak bilateral. Inkontinensia ani dan urine yang berlanjut menunjukan kerusakan neurologic
yang luas.

Pemeriksaan Diagnostik/Pemeriksaan Laboratorium

a. CT Scan, memperlihatkan adanya edema , hematoma, iskemia dan adanya infark.


b. Angiografi serebral membantu menentukan penyebab stroke secara spesifik seperti perdarahan
atau obstruksi arteri.

c. Fungsi lumbal : Menunjukan adanya tekanan normal, tekanan meningkat dan cairan yang
mengandung darah menunjukan adanya perdarahan.

d. MRI : Menunjukan daerah yang mengalami infark, hemoragik.

e. Ultrasonografi Dopler : Mengidentifikasi penyakit arteriovena.

f. Sinar X Tengkorak : Menggambarkan perubahan kelenjar lempeng pineal.

Penatalaksanaan Medis

a. Neuroproteksi

Pada stroke iskemik akut, dalam batas-batas waktu tertentu sebagian besar cedera jaringan neuro
dapat dipulihkan. Mempertahankan fungsi jaringan adalah tujuan dari apa yang disebut sebagai strategi
neuroprotektif. Hipoternia adalah terapi neuroprotektif yang sudah lama digunakan pada kasus trauma
otak dan terus diteliti pada stroke. Cara kerja metode ini adalah menurunkan aktivitas metaboisme dan
tentu saja kebutuhan oksignen sel-sel neuron. Dengan demikian neuron terlindung dari kerusakan lebih
lanjut akibat hipoksia berkepanjangan eksitotoksisitas yang dapat terjadi akibat jenjang glutamate yang
biasanya timbul setelah cedera sel neuron. The Cleveland Clinic telah meneliti pemakaian selimut dingin
dan mandi air es dalam 8 jam awitan gejala dan mempertahankan hipotermia ke suhu 89,6 oF selama 12
sampai 72 jam sementara pasien mendapat bantuan untuk mempertahankan kehidupan. Selama
rehabilitasi, pasien ayng diberi terapi hipotermik cenderung mengalami lebih sedikit kecacatan (skala
Rankin) dan daerah infark yang lebih kecil dari pada kelompok control (Abou-Chebl et al.,2001).

Pendekatan lain untuk mempertahankan jaringan adalah pamakaian obat neuroprotektif. Banyak riset
stroke yang meneliti obat yang dapat menurunkan metabolism neuron, mencegah pelepasan zat-zat
toksik dari neuron yang rusak, atau memperkecil respons hipereksitatorik yang merusak dari neuron-
neuron di penumbra iskemik yang mengelilingi daerah infark pada stroke. Meningkatkan pengetahuan
tentang patofisiologi cedera sel otak iskemik telah mendorong para peneliti untuk berfokus pada
pengembangan antagonis kalsium, antagonis glutamate, antioksidan, dan berbagai jenis obat
neuroprotektif lainnya.

Tantangan dalam mengusahakan neuroproteksi pascacedera adalah menemukan obat yang selektif
untuk neuron iskemik, yaitu memiliki indeks terapeutik (dosis letal ÷ dosis terapeutik) yang baik (Salazar,
Fulmor, Srinivas, 2000). Berbagai agen telah diuji, termasuk nitroksida (Leker, et al, 2000).suatu obat
neuroprotektif yang menjanjikan, cerebrolisin (CERE) memiliki efek pada metabolism kalsium neuron dan
juga memperlihatkan efek neurotrofik (Ladurner, 2001). Saat ini terdapat beragam obat dan senyawa
obat mencegah dan mengobati secara akut stoke yang berada dalam berbagai tahap pengembangan.
Karena sifat cedera sel otak iskemik yang multidimensi dan sekuensial, maka kecil kemungkinannya ada
satu obat yang akan dapat melindungi secara total otak selama stroke; kemungkinan besar, diperlukan
kombinasi beberapa obat agar potensi pemulihan dapat diupayakan secara penuh.

b. Antikoagulasi

The European Stroke Initiative (2000) merekomendasikan bahwa antikoagulan oral (INR 2,0 sampai
3,0) diindikasikan pada stroke yang disebabkan oleh fibrilasi atrium. Diperlukan antikoagulasi dengan
derajat yang lebih tinggi (INR 3,0 sampai 4,0) untuk pasien stroke yang memiliki katup prostetik mekanis.
Bagi pasien yang bukan merupakan kandidat untuk terapi warfarin (Coumadin), maka dapat digunakan
aspirin tersendiri atau dalam kombinasi dengan dipiridamol sebagai terapi antitrombotik awal untuk
profilaksis stroke.

c. Trombolisis Intravena

Satu-satunya yang telah disetujui oleh the US Food and Drugs Administration (FDA) untuk terapi
stroke iskemik akut adalah activator plasminogen jaringan (TPA) bentuk rekombinan. Selelah disetujui
pada bulan Juni 1996, TPA dapat digunakan untuk menghindari cedera otak, dan angka kematian
nasional yang telah disesuaikan dengan usia untuk stroke berkurang 1,1 % sejak tahun 1995 (Peters at
al., 1998). Keberhasilan ini mendorong diintensifkannya upaya-upaya untuk menyuluh masyarakat dan
petugas kesehatan bahwa stroke adalah suatu kedaruratan dan bahwa gejala stroke akut harus diterapi
sama segeranya seperti luka tembak di kepala.

Dengan demikian terapi dengan TPA intravena tetap menjadi stndar keperawatan untuk stroke akut
dalam tiga jam pertama setelah awitan gejala (National Institute of Health [NIH], 1995). Namun hanya 1
% sampai 2 % pasien yang saat ini mendapat terapi, biasanya karena mereka datang terlambat ke unit
gawat darurat di luar batas waktu tiga jam. Risiko terbesar menggunakan terapi trombolitik adalah
perdarahana intraserebrum. Dengan demikian terapi harus diguakan hanya bagi pasien yang telah
disaring secara cermat dan yang tidak memenuhi satupun dari criteria eksklusif berikut :

a. Gambaran perdarahan intrakranium berupa massa yang membesar pada CT

b. Angiogram yang negative untuk adanya bekuan

c. Peningkatan waktu protrombin/INR, yang mengisyaratkan kecenderungan perdarahan

d. Adanya pembuluh dan luka yang belum sembuh dari trauma atau pembedahan yang baru saja
terjadi

e. Tekanan darah diastolic yang sangat tinggi; hilangnya autoregulasi adalah suatu resiko besar
Selain itu, pasien dengan riwayat baru-baru ini pernah menggunakan kokain atau amfetamin sering
disingkirkan karena risiko perdarahan dari pembuluh otak dibawah tekanan tinggi.

d. Trombolisis Intraarteri

Pemakaian trombolisis intraarteri untuk pasien dengan stroke iskemik akut sedang dalam penilaian,
walaupun saat ini belum disetujui oleh FDA (Furlan et al., 1999). Pasien ayng berisiko besar mengalami
perdarahan akibat terapi ini adalah mereka yang skor National Institute of Health Stroke Scale) (NIHSS)-
nya tinggi, memerlukan waktu lebih lama untuk rekanalisasi pembuluh, kadar glukosa darah yang lebih
tinggi, dan hitung trombosit yang rendah (Kidwell et al., 2001).

e. Terapi Perfusi

Serupa dengan upaya untuk memulihkan sirkulasi otak pada kasus vasospasme saat pemulihan dari
perdarahan subaraknoid, pernah diusahakan induksi hipertensi sebagai usaha untuk meningkatkan
tekanan darah arteri rata-rata sehingga perfusi otak dapat meningkat (Hillis et al., 2001).

f. Pengendalian Edema dan Terapi Medis Umum

Edema otak terjadi pada sebagian besar kasus infark serebrum iskemik, terutama pada keterlibatan
pembuluh-pembuluh besar di daerah arteria serebri media. Terapi konservatif dengan membuat pasien
sedikit dehidrasi, dengan natrium serum normal atau sedikit meningkat.

Komplikasi

Komplikasi stroke meliputi :

a. Hipoksia serebral diminimalkan dengan memberi oksigenasi darah adekuat ke otak. Fungsi otak
bergantung pada ketersediaan oksigen yang dikirimkan ke jaringan Pemberian oksigen suplemen dan
mempertahankan hemoglobin serta hematokrit pada tingkat dapat diterima akan membantu dalam
mempertahankan oksigenasi jaringan.

b. Aliran darah serebral bergantung pada tekanan darah, curah jantung, dan integritas pembuluh
darah serebral. Hidrasi adekuat (cairan intravena) harus menjamin penurunan viskositas darah dan
memperbaiki aliran darah serebral. Hipertensi atau hipotensi ekstrem perlu dihindari untuk mencegah
perubahan pada aliran darah serebral dan potensi meluasnya area cedera.

c. Embolisme serebral dapat terjadi setelah infark miokard atau fibrilasi atrium atau dapat berasal
dari katup jantung prostetik. Embolisme akan menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya
menurunkan aliran darah ke otak dan selanjutnya menurunkan aliran darah serebral. Disritmia dapat
mengakibatkan curah jantung tidak konsisten dan penghentian thrombus local. Selain itu, disritmia dapat
menyebabkan embolus serebral dan harus diperbaiki.

Perawatan Pasca Stroke

1) Rehabilitasi Stroke

Rehabilitasi stroke termasuk seluruh tujuan dari rehabilitasi lansia. Pencegahan komplikasi dan
keterbatasan sekunder adalah hasil utama yang diharapkan. Peningkatan kualitas dan arti dalam hidup
dengan keterbatasan dan deficit klien lansia juga merupakan hal yang penting bagi keberhasilan program
rehabilitasi stroke. Selain memposisikan klien dan latihan rentang gerak , suatu program rehabilitasi
stroke memfokuskan pada AKS. Aktivitas kehidupan sehari-hari termasuk makan, berdandan, hygiene,
mandi, dan yang sejenisnya. Dengan melibatkan ahli terapi fisik dan okupasi dapat meningkatkan
kemampuan perawat untuk merencanakan perawatan.

Evaluasi tingkat sensorik motorik , pengukuran rentang gerak sendi , dan kekuatan otot adalah tujuan
spesifik bagi ahli terapi dan perawat. Pemeriksaan genggaman , kekuatan trisep, dan keseimbangan
memberikan data yang berharga untuk perencanaan strategi kompensasi untuk menyelesaikan tugas
tugas perawatan diri. Propriosepsi, sensasi,dan tonus otot dievaluasi. Suatu pengkajian yang seksama
juga termasuk tingkat deficit neurologis yang mungkin telah di alami oleh klien akibat stroke. Data
tersebut termasuk kemampuan klien untuk mandi, berpakaian, makan, ke toilet, dan berpindah. Selain
itu, status fungsi usus dan kandung kemih klien adalah informasi yang sangat penting untuk perencanaan
perawatan. Fungsi penglihatan dan pendengaran dikaji dan setiap penyimpangan dimasukkan dalam
pendekatan tim.

Tujuan utamanya adalah untuk meningkatkan kemandirian klien dengan terus memberikan peluang
untuk melakukan tugas yang mampu ia lakukan. Perawat adalah kunci pemberi perawatan dalam proses
rehabilitasi, mengkoordinasikan asuhan perawatan dan terapi rehabilitative. Dengan memperhatikan
tujuan ini, perawat dapat memaksimalkan potensi klien tersebut.

2) Kognisi dan komunikasi

Konfusi, disorientasi, dan masalah komunikasi adalah akibat yang sering dari stroke. Masalah
komunikasi dapat diakibatkan oleh afasia dan disartria, perawat perlu menyertakan teknik komunikasi
yang memfasilitasi kemampuan klien untuk memahami kata-kata. Teknik komunikasi tersebut meliputi
berbicara secara perlan-lahan, memberikan petunjuk sederhana(satu pada satu waktu), membatasi
distraksi, dan mendengar secara aktif.Selain itu, menghubungkan kata-kata dengan objek,menggunakan
pengulangan dan kata-kata yang banyak, dan mendorong keluarga untuk membawa objek kecil yang
dikenal oleh klien dan untuk menyebutkan nama objek-objek tersebut dapat meningkatkan pola
komunikasi.Dapat juga digunakan papan abjad,mesin tik,dan program computer untuk membantu
pemahaman klien tentang lingkungannya. Mengevaluasi penglihatan dan pendengaran dapat juga
membantu mengatasi masalah yang,sekali dapat diperbaiki, secara drastic akan meningkatkan
komunikasi.

3) Dukungan psikologis

Klien lanjut usia mengalami berbagai kehilangan berdasar dengan terjadinya stroke, mencakup
perubahan citra tubuh, fungsi tubuh, dan perubahan peran. Dukungan psikologis diarahkan agar dalam
menghadapi kehilangan ini dapat mendorong keberhasilan adaptasi dan penyesuaian. Tujuan yang
realistis dapat ditetapkan hanya setelah perawat mengkaji gaya hidup klien sebelumnya, tipe
kepribadian, perilaku koping, dan aktivitas pekerjaan. Dengan menyediakan situasi untuk penyelesaian
masalah dan pengambilan keputusan, perawat member klien suatu kesempatan untuk memperoleh
kendali atas lingkungannya. Keadaan seperti itu dapat sederhana seperti membiarkan klien untuk
memilih di antara dua aktivitas, untuk memutuskan waktu terapi, untuk memilih pakaian, dan untuk
membuat pilihan makanan. Memfokuskan pada kekuatan dan kemampuan klien daripada terhadap
deficit dapat mendorong harapan klien tersebut.

Depresi sering terjadi dengan terjadinya kehilangan fungsi tubuh dan perubahan peran dan citra
tubuh. Konsultasikan kepada seorang perawat kesehatan mental untuk membantu mengatasi masalah
ini. Klienn lansia mungkin mengalami suatu perasaan isolasi dan pengasingan. Keluarga mungkin
memerlukan dukungan emosional dan psikologis ketika berusaha untuk memahami apa arti kehilangan
bagi klien. Jika kebutuhan untuk mendapatkan dukungan keluarga ini tidak diperhatikan, klien mungkin
mempertimbangkan untuk bunuh diri.Ajarkan anggota keluarga tentang depresi dan peringatkan mereka
terhadap tanda dan gejala yang penting dalam memberikan dukungan psikososial.

Kelabilan emosional dan ledakan-ledakan mungkin terjadi setelah stroke. anggota keluarga yang telah
diajarkan tentang strategi komunikasi dan bagaimana cara bermain peran dalam situasi yang potensial
akan menjadi lebih percaya diri.dalam merawat klien. merujuk keluarga dan klien pada pelayanan
pendukung seperti pelayanan kesehatan di rumah, Kelompok pendukung, dan respite care dapat
mengurangi beban ketergantungan yang mungkin mengikuti stroke melibatkan manajemen factor-faktor
yang pada akhirnya dapat membuat perbedaan dalam memelihara kemandirian maksimum dan
menurunkan komplikasi sekunder yang dapat berkembang dari penyakit kronis yang melumpuhkan.
(Mickey Stanley, Buku Ajar Keperawatan gerontik edisi 2. 2006)

Gangguan emosional, terutama ansietas, frustasi dan depresi merupakan masalah umum yang
dijumpai pada penderita pasca stroke. Korban stroke dapat memperlihatkan masalah-masalah emosional
dan perilakunya mungkin berbeda dari keadaan sebelum mengalami stroke. Emosinya dapat labil,
misalnya pasien mungkin akan menangis namun pada saat berikutnya tertawa, tanpa sebab yang jelas.
Untuk itu, peran perawat adalah untuk memberikan pemahaman kepada keluarga tentang perubahan
tersebut.

Hal-hal yang bisa dilakukan perawat antara lain memodifikasi perilaku pasien seperti seperti
mengendalikan simulasi di lingkungan, memberikan waktu istirahat sepanjang siang hari untuk
mencegah pasien dari kelelahan yang berlebihan, memberikan umpan balik positif untuk perilaku yang
dapat diterima atau perilaku yang positif, serta memberikan pengulangan ketika pasien sedang berusaha
untuk belajar kembali satu ketrampilan.

Anda mungkin juga menyukai