Anda di halaman 1dari 13

MAKALAH

RUU PERMUSIKAN BATASI KREATIVITAS MUSISI INDONESIA


Diajukan untuk Memenuhi Tugas Mata Kuliah Kewarganegaraan
Semester Genap Tahun Ajaran 2018/2019

Oleh
Kelompok 4 Reg 2 :

1. Kadek Meindra Abdi A. (185070201111008)


2. Vina Irma Fitri (185070201111002)
3. Lilis Setiyowati (185070201111004)
4. Nafiza Syarafina Yanani (185070201111006)
5. Nur Cholis Alfiyani (185070200111032)
6. Rama Ghazi Ginastio (185070200111034)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS BRAWIJAYA
2019
KATA PENGANTAR

Rasa syukur yang dalam kami sampaikan kepada Tuhan Yang Maha Esa,
karena berkat kemurahan-Nya makalah ini dapat kami selesaikan sesuai yang
diharapkan. Dalam makalah ini kami membahas “RUU Permusikan Bastasi
Kreativitas Musisi Indonesia”, suatu permasalahan yang saat ini menjadi polemik
di masyarakat yang tidak setuju dengan pembuatan RUU permusikan.

Makalah ini dibuat dalam rangka tugas Kewarganegaraan yang diharapkan


dapat menganalisis bagaimana RUU Permusikan dapat mendapat penolakan dari
banyak pihak. Makalah ini tidak akan bisa selesai tanpa bantuan dari banyak
pihak. Untuk itu kami ingin mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang
telah membantu kami dalam pembuatan makalah ini.

Akhirnya kami mengharapkan semoga dari makalah ilmiah biologi tentang


"RUU Permusiakan Batasi Kreativitas Musisi Indonesia" ini dapat diambil
manfaatnya sehingga dapat memberikan inpirasi terhadap pembaca. Selain itu,
kritik dan saran dari Anda kami tunggu untuk perbaikan makalah ini nantinya.

Malang, 17 Februari 2019

Penyusun

i
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL
KATA PENGANTAR ............................................................................................. i
DAFTAR ISI .......................................................................................................... ii
BAB I PENDAHULUAN ....................................................................................... 1
1.1 Latar Belakang .......................................................................................1
1.2 Rumusan Masalah ................................................................................. 1
1.3 Tujuan ................................................................................................... 2
BAB II TINJAUAN PUSTAKA............................................................................. 3
2.1 Teori dan Landasan Pembentukan Undang-Undang............................. 3
2.2 RUU Permusikan Melanggar HAM ...................................................... 5
BAB III PEMBAHASAN ........................................................................................7
3.1 Penolakan RUU Permusikan ................................................................. 7
3.2 Pemaksaan RUU Permusikan ................................................................8
BAB IV PENUTUP .................................................................................................9
4.1 Kesimpulan ........................................................................................... 9
4.2 Saran .......................................................................................................9
DAFTAR PUSTAKA ........................................................................................... 10

ii
BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Musik merupakan suatu media yang digunakan untuk pengungkapan ekspresi


dan kreativitas seseorang melalui sebuah bunyi-bunyian dan suara. Seni musik
adalah seni manusia yang paling tua. Musik banyak di dengar oleh masyarakat
luas, mulai dari anak-anak hingga orang dewasa. Seni musik sudah menjadi
bagian dari masyarakat dalam kehidupan sehari-hari. Mereka akan
mengikutsertakan musik dalam setiap kegiatan yang mereka lakukan.

Namun sekarang pemerintah membuat RUU Permusikan yang baru. RUU


Permusikan inilah yang menjadi perdebatan di masyarakat, terutama di kalangan
pelaku musik. Terdapat hal-hal yang rancu dan tidak adil dalam RUU Permusikan
ini. Banyak pasal-pasal karet yang ada dalam RUU Permusikan ini seperti pasal 5,
10, 18, 19, 32, 42, dan 50. RUU Permusikan ini juga lebih berpihak kepada
industri besar daripada musisi independen, banyak mengatur hal-hal yang tidak
perlu, dan juga dalam pasal ini juga terdapat ketentuan untuk mengikuti ujian
kompetensi dan setifikasi bagi para musisi.

Awal mula RUU Permusikan ini sudah dimulai pada awal 2015, hal ini datang
dari organisasi-organisasi musik Indonesia yang terlihat menyampaikan
kegelisahannya terhadap industri musik di Indonesia. Selanjutnya pada tahun
2017 gerakan KAMI Musik Indonesia bertemu dengan DPR untuk menyampaikan
kegelisahannya dan inisiatif dari RUU Permusikan ini datang dari DPR. Namun
RUU Permusikan ini tidak sesuai dengan yang diharapkan, sehingga banyak yang
menolak RUU Permusikan ini terutama dari kalangan musisi.

1.2 Rumusan Masalah

1. Mengapa RUU permusikan banyak ditentang oleh musisi Indonesia?


2. Bagaimana bentuk pemaksaan terhadap Pasal 5 dan 32 dalam RUU
Permusikan?

1
3. Bagaimana solusi yang cocok untuk menangani masalah RUU
Permusikan?

1.3 Tujuan

1. Mengetahui alasan kenapa RUU permusikan banyak ditentang oleh musisi


Indonesia
2. Mengetahui tolak ukur apa yang dapat dijadikan dalam pasal 5 dan 32
dalam RUU permusikan.
3. Mengetahui solusi yang cocok untuk menangani masalah RUU
Permusikan

2
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Teori dan Landasan Pembentukan Undang-Undang

Undang-undang (gezets) adalah dasar dan batas bagi kegiatan


pemerintah, yang menjamin tuntutan-tuntutan negara berdasar atas hukum, dan
adanya kepastian dalam hukum. Menurut pendapat Peter Badura, dalam
pengertian teknis ketatanegaraan Indonesia, undang-undang ialah produk yang
dibentuk bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat dengan presiden, dalam
penyelengaraan pemerintahannegara (Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945
hasil perubahan pertama). Peraturan perundang-undangan dilihat dari peristilahan
merupakan terjemahandari peristilahan merupakan terjemahan dari wettelijke
regeling. Kata wettelijke berarti sesuai dengan wet atau berdasarkan wet. Kata
wet pada umumnya diterjemahkandengan undang-undang dan bukan dengan
undang. Sehubung dengan kata dasarundang-undang, maka terjemahan wettelijke
regeling ialah peraturan perundang-undangan. Menurut Otto, dkk., teori tentang
pembentukan undang-undang (legislativetheories) memungkinkan untuk
mengenali faktor relevan yang mengaruhi kualitas hukum (the legal quality) dan
substansi undang-undang (the content of the law). Teori-teori tersebut meliputi:

1. The synoptic policy-phases theory;


2. The agenda-building theory;
3. The elite ideology theory;
4. The bureau-politics theory or organisational politics theory;
5. The four rationalities.
Diantara kelima macam teori pembentukan undang-undang tersebut,
“theagenda–building theory” kiranya sesuai-memiliki kesamaan dengan situasi
dan kondisi pembentukan hukum di indonesia, yang pada umumnya memiliki
karakteristik “a bottom up approach”. Dengan demikian teori tersebut
mengandung persamaan unsur-unsur dengan proses pembentukan undang-undang
di Indonesia. Landasan pembentukan undang-undang menurut Jimly Asshiddiqe,
harus dilihat dari sisi teknis pembentukan undang-undang, landasan pembentukan
undang-undang haruslah tergambar dalam “konsiderens” suatu undang-undang.

3
Dalam konsiderens suatu undang-undang haruslah memuat norma hukum yang
baik, yang menjadi landasan keberlakuan undang-undang tersebut. Undang-
undang adalah hukum yang telah disahkan oleh badan legislatif atau unsur
pemerintahan yang lainnya. Sebelum disahkan, undang-undang disebut sebagai
rancangan undang-undang. Undang-undang berfungsi untuk digunakan sebagai
otoritas, untuk mengatur, untuk menganjurkan, untuk menyediakan (dana), untuk
menghukum, untuk memberikan, untuk mendeklarasikan, atau untuk membatasi
sesuatu. Suatu undang-undang biasanya diusulkan oleh anggota badan legislatif
(misalnya anggota DPR), eksekutif (misalnya presiden), dan selanjutnya dibahas
diantara anggota legislatif.

Undang-undang sering kali diamandemen (diubah) sebelum akhirnya


disahkan atau mungkin juga ditolak. Undang-undang dipandang sebagai salah satu
dari tiga fungsi
utama pemerintahan yang berasal dari doktrin pemisahan kekuasaan. Kelompok y
ang memiliki kekuasaan formal untuk membuat legislasi disebut sebagai legislator
(pembuat undang-undang), sedangkan badan yudikatif pemerintah
memiliki kekuasaan formal untuk menafsirkan legislasi, dan badan eksekutif
pemerintahan hanya dapat bertindak dalam batas-batas kekuasaan yang
telah ditetapkan oleh hukum perundang-undangan. Undang-undang secara formil
jelas berbeda dari rancangan undang-undang. Pembatas antara suatu rancangan
undang-undang dan undang-undang adalah
tindakan pengesahan formil berupa pengundangan undang-
undang itu dalam Lembaran Negara. Sejak undang-undang itu diundangkan, maka
naskahnya resmi disebut sebagai undang-undang. Akan tetapi, sebelum naskah
yang bersangkutan resmi disahkan oleh Presiden dan kemudian diundangkan
sebagaimana mestinya dalam Lembaran Negara, maka naskah rancangan itu
masih tetap disebut sebagai rancangan undang-undang.Tentu saja dapat dibedakan
antara rancangan undang-undang yang belum
dibahas bersama oleh Dewan Perwakilan Rakyat, rancangan undang-
undang yang sedang dalam proses pembahasan bersama oleh DPR bersama
dengan pemerintah, dan rancangan undang-undang yang telah mendapat
persetujuan bersama oleh

4
DPR bersama dengan pemerintah, yaitu yang sudah disahkan secara material dala
m rapat paripurna DPR-
RI sebagai tanda dicapainya persetujuan bersama antara DPR dan Presiden atas
rancangan undang-undang yang bersangkutan.

2.2 RUU Permusikan Melanggar HAM

RUU Permusikan atau RUU Musik adalah sebuah rancangan undang-


undang yang dikeluarkan oleh Pemerintahan Republik Indonesia pada 2019.
Politikus yang juga seorang penyanyi, Anang Hermansyah merasa saat ini
penyanyi yang berasal dari luar negeri bisa kaya-raya, sementara nasib penyanyi
Nusantara tak sebaik itu. Terlebih lagi untuk mereka para pemusik tradisional,
mereka seperti tersisih oleh perkembangan industri musik yang semakin pesat ini.
Sebagai anggota dewan dibidang pendidikan dan budaya Anang Hermansyah
memiliki niatan baik. Ia ingin memajukan industri musik tanah air dengan harapan
supaya para pemusik di Indonesia tak kalah bersaingnya dengan pemusik-pemusik
yang berasal dari luar negeri. Untuk itu ia dan para anggota dewan yang lain
berinisiatif untuk membuat rancangan Undang-Undang Permusikan di Indonesia.

Dilihat dari seluruh draf RUU Permusikan, pemerintah tampak


bersungguh-sungguh dalam mengembangkan industri musik di Indonesia,
terutama melindungi hak-hak pemusik dalam memproduksi karyanya. Hal
tersebut dapat dilihat dari peran pemerintah baik pusat maupun daerah untuk
melindungi pemusik atas hak royalti, memfasilitasi pendaftaran penciptaan karya
musik, hingga mendorong serta memfasilitasi pemusik disetiap pertunjukan
musik, baik di dalam negeri maupun luar negeri. Dari sini dapat dilihat bahwa
RUU permusikan memiliki asas manfaat yang besar terhadap pemusik dan
industri musik di Indonesia1.

Namun dari mastarakat sendiri banyak yang menolak akan disahkannya


RUU tersebut. Mereka beranggapan sebagian dari RUU tersebut ada beberapa
yang memberikan kesan “sensor” terhadap pemusik dan membatasi kreatifitas
mereka. RUU tersebut menuai kontroversi dimana koalisi penolak RUU

1
Putu Setia, “RUU Permusikan”, Kolom Tempo, diakses dari
https://kolom.tempo.co/read/1173771/ruu-permusikan, pada tanggal 22 Februari 2019 pukul 7.30

5
Permusikan mempermasalahkan Pasal 4, 5, 7, 10, 11, 12, 13, 15, 18, 19, 20, 21,
31, 32, 33, 42, 49, 50, dan 51. Pasal-pasal tersebut dinilai menimbulkan pasal
karet dan menyudutkan industri musik independen. Seperti yang terdapat dalam
Pasal 5 dan Pasal 32. Dalam Pasal 5, khususnya huruf f dan g, pemusik dalam
proses kreasi dilarang membawa pengaruh negatif budaya asing dan merendahkan
harkat dan martabat manusia. Lalu, di Pasal 32, setiap pemusik yang diakui
sebagai profesi menurut tolok ukur pemerintah harus memiliki sertifikat uji
kompetensi, termasuk pemusik yang bermusik secara autodidak. Sebagian
masyarakat mengungkapkan bahwa ada banyak cara untuk mengangkat harkat dan
kesejahteraan tak harus Undang-Undang tersendiri. Ada Undang-Undang tentang
hak cipta yang didalamnya mengatur masalah royalti, pembajakan, dan
seterusnya. Mereka mengharapkan supaya pemerintah lebih memfokuskan
pembuatan atau perencanaan Undang-Undang yang lain yang lebih penting seperti
contoh Undang-Undang Hukum Pidana yang sampai saat ini belum juga selesai

6
BAB III

PEMBAHASAN

3.1 Penolakan RUU Permusikan

Pembuatan RUU Permusikan oleh pemerintah mendapat penolakan dari


banyak pihak, terutama para musisi Indonesia. Para musisi menolak RUU
Permusikan dikarenakan RUU Permusikan dianggap membatasi kreativitas musisi
dalam berkarya. RUU Permusikan ini tumpang tindih dengan beberapa beleid
seperti Undang-Undang Hak Cipta, Serah-Simpan Karya Cetak dan Karya Rekam,
dan Undang-Undang ITE Selain itu ada beberapa poin kritik RUU Permusikan
yang menuai penolakan.

Dalam RUU Permusikan ada pasal karet yang terselip dalam rancangan
aturan. Salah satunya ada di pasal 5. Di Pasal 5 RUU Permusikan disebutkan,
seorang musisi dilarang menciptakan lagu yang menista, melecehkan, menodai,
dan memprovokasi. Dilihat dari Pasal 5 ini membuka ruang bagi kelompok
penguasa utnuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai. Selain itu,
pasal ini bertolak belakang dengan semangat kebebasan berekspresi dalam
berdemokrasi yang dijamin oleh konstitusi NKRI yaitu UUD 1945. Dalam
konteks ini, penyusun RUU Permusikan telah menabrak logika dasar dan etika
konstitusi dalam negara demokrasi.

RUU Permusikan ini tidak memahami gerakan musik bawah tanah.


Alasannya, beberapa pasal dalam draf aturan ini terkesan mendukung industri
besar. Dalam RUU Permusikan ini adanya beleid yang mensyaratkan sertifikat
pekerja musik. Terdapat juga beleid dalam RUU Permusikan ini adalah uji
kompetensi dan sertifikasi bagi musisi. Beberapa pasal juga memuat redaksional
yang tidak jelas mengenai apa yang diatur dan siapa yang mengatur. Misalnya,
Pasal 11 dan 15 hanya memuat tentang cara mendistribusikan karya yang sudah
diketahui dan banyak dipraktekkan oleh para pelaku musik serta bagaimana
masyarakat menikmati sebuah karya. Kedua Pasal ini tidk memiliki bobot nilai
yang lebih untuktertuang dalam peraturan setingkat Undang-Undang. Demikian

7
pula pada Pasal 13 tentang kewajiban menggunakan label bahasa Indonesia dalam
sebuah musik yang seharusnya tidak perlu diatur2.

3.2 Pemaksaan RUU Permusikan

Selain pasal 5, terdapat pasal lain yang dianggap sebagai pasal karet pada
rancangan aturan, yaitu pasal 32. di Pasal 32 dikatakan bahwa; (1) Untuk diakui
sebagai profesi, Pelaku Musik yang berasal dari jalur pendidikan atau autodidak
harus mengikuti uji kompetensi; (2) Uji kompetensi sebagaimana dimaksud pada
ayat 1 dilakukan berdasarkan standar kompetensi profesi Pelaku Musik yang
didasarkan pada pengetahuan, keterampilan, dan pengalaman; dan (3) Standar
kompetensi sebagaimana dimaksud pada ayat 2 disusun dan ditetapkan oleh
Menteri dengan memperhatikan usulan dari organisasi profesi.

Pasal itu sangat jelas dan tidak menimbulkan banyak interpretasi. Jika
seseorang ingin berprofesi sebagai Pelaku Musik, maka ia harus mengikuti uji
kompetensi. Kemungkinan perdebatan yang muncul tentang latar belakang
pendidikan musik seseorang pun sudah dipertimbangkan jawabannya. Tak peduli
apakah kamu berlatar belakang pendidikan musik maupun autodidak, kamu harus
mengikuti uji kompetensi.

Mengikuti ujian kompetensi sebagai syarat sertifikasi, adalah sebuah


pemaksaaan kehendak dan metode diskriminasi yang sangat berbahaya, sehingga
membuat pelaku musik resah dan memiliki perspektif bahwa hal tersebut tidak
sembarangan serta tidak setuju atas pasal yang telah dicantumkan tersebut.
Mengenai sertifikasi pekerja musik, hal ini memang berlangsung dan terdapat di
banyak Negara. Namun, tidak ada satupun negara di dunia ini yang mewajibkan
semua pelaku musik melakukan uji kompetensi. Semestinya, sertifikasi itu
sifatnya adalah “pilihan” atau “opsional”, dan bukan “pemaksaan”3.

2
Syailendra Persada, “Empat Poin Kritik RUU Permusikan dari Koalisi Nasional”, Nasional
Tempo, diakses dari https://nasional.tempo.com/read/1171927/empat-poin-kritik-ruu-permusikan-
dari-koalisi-nasional, pada tanggal 23Februari 2019 pukul 11.15
3
Andika Aditia, “Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan: 19 Pasal Bisa Menghambat Proses
Berkarya”, Entertainment Kompas, diakses dari
https://entertainent.kompas.com/read/2019/02/04/121033510/koalisi-nasional-tolak-ruu-
permusikan-19-pasal-bisa-menghambat-preses-berkarya, pada tanggal 24 Februari 2019 pukul
14.00

8
BAB IV

PENUTUP

4.1 Kesimpulan

1. Banyak pasal yang rancu dan tidak pas dalam RUU Permusikan yang
dapat membatasi kreativitas musisi Indonesia. Hal ini lah yang
menimbulkan penolakan dari banyak pihak terutama musisi Indonesia.
Ada 19 Pasal yang menjadi masalah. Diantara 19 Pasal itu, Pasal 5 dan
32 lah yang banyak menuai kontra.
2. Di Pasal 5 RUU Permusikan disebutkan, seorang musisi dilarang
menciptakan lagu yang menista, melecehkan, menodai, dan
memprovokasi. Dalam pasal ini dapat membuka ruang bagi kelompok
penguasa utnuk mempersekusi proses kreasi yang tidak mereka sukai.
Dan juga hal ini bertolak belakang dengan semangat kebebasan
berekspresi dalam berdemokrasi yang dijamin oleh konstitusi NKRI
yaitu UUD 1945. Lalu pada Pasal 32 mengatur bahwa apabila ingin
diakui sebagai profesi maka, pelaku musik yang berasal dari jalur
pendidikan atau autodidak harus mengikuti uji kompetensi. Disini dapat
dilihat bahwa mengikuti ujian kompetensi sebagai syarat sertifikasi,
adalah sebuah pemaksaaan kehendak dan metode diskriminasi yang
sangat berbahaya.
3. Karena banyaknya pasal yang rancu dan tidak pas dalam RUU
Permusikan, bahkan menuai banyak kecaman, solusi untuk menangani
masalah RUU permusikan adalah dengan mencabutnya. Dikarenakan
peraturan-peraturan yang dijelaskan pada RUU permusikan sebenarnya
telah diatur dalam UUD secara jelas dan merinci.

4.2 Saran

Dalam pembuatan makalah ini sebagai tugas Kewarganegaraan diharapkan


kami dapat mendapat pelajaran dan hasil analisa yang telah diakukan dengan baik
dan tepat. Makalah ini masih jauh dari kata sempurna.

9
DAFTAR PUSTAKA

Prastiwi, D. 2019. 3 Fakta RUU Permusikan Yang Jadi Perdebatan.


https://www.liputan6.com/news/read/3887515/3-fakta-ruu-permusikan-
yang-jadi-perdebatan. Diakses tanggal 18 Februari 2019

Rizki, Z. 2019. Menyoal RUU Permusikan.


https://geotimes.co.id/opini/menyoal-ruu-permusikan/. Diakses tanggal 20
februari 2019

Setia, P. RUU Permusikan. https://kolom.tempo.co/read/1173771/ruu-


permusikan/full. Diakses tanggal 22 Februari 2019

Widiatiaga, B. 2019. Dua Pasal “Sensor” dalam RUU Permusikan.


https://m.detik.com/news/kolom/d-4410284/dua-pasal-sensor-dalam-ruu-
permusikan, diakses tanggal 22 Februari 2019

Persada, S. 2019. Empat Poin Kritik RUU Permusikan dari Koalisi


Nasinal. https://nasioanl.tempo.co/read/1171927/empat-poin-kritik-ruu-
permusikan-dari-koalisi-nasional. Diakses tanggal 23 Februari 2019

Aditia, A. 2019. Koalisi Nasional Tolak RUU Permusikan: 19 Pasal Bisa


Menghambat Proses Berkarya.
https://entertainment.kompas.com/read/2019/02/24/121033510/koalisi-
nasioanal-tolak-ruu-permusikan-19-pasal-bisa-menghambat-proses-
berkarya. Diakses tanggal 24 Februari 2019

10

Anda mungkin juga menyukai