Anda di halaman 1dari 5

Nama : Rizal Efendi Sitorus

NIM : 1612521021

Prodi : Hubungan Internasional

M.K : Politik Kerjasama dan Bantuan Luar


Negeri

Is Foreign Aid Monster or Messiah?: Tak Mampu Bayar Hutang, Zimbabwe jadikan
Yuan sebagai Mata Uang Nasional.

Sejak tahun 1950an, international aid agencies dan pemerintah negara-negara maju
mempunyai pemikiran bahwa semakin besar jumlah bantuan yang diberikan, maka
kemiskinan akan semakin berkurang. Hal ini sesuai dengan teori ekonomi pembangunan yang
banyak digunakan saat itu. Namun kenyataannya hal tersebut tidak terbukti (Acemoglu dan
Robinson, 2014). Ada banyak sekali bantuan luar negeri yang justru sekarang menjadi
monster besar bagi negara donor, walau terlihat seperti mesias atau penolong dalam
kesusahan.

Bantuan luar negeri yang diberikan oleh Amerika Serikat melalui USAID, Amerika
Serikat menyediakan sekitar US$ 400 milliard untuk membantu negara-negara miskin
(developing countries). Tetapi ironisnya, sejak tahun 1968 tidak ada satupun negara yang
menerima bantuan dari Amerika ini tumbuh dari negara miskin menjadi negara yang lebih
berkembang. Bahkan, negara-negara yang menerima bantuan ini justru menjadi lebih
bergantung pada bantuan dari pada sebelumnya (Woods, 1989 dalam Acemoglu dan
Robinson, 2014 ). Bantuan luar negeri selalu identik dengan tujuan-tujuan politik
kepentingan dari negara donor kepada negara penerima bantuan luar negeri. Contohnya
adalah distribusi ODA (Official Development Assistance) Jepang ke Cina Periode 1992-2004
ternyata terdapat dua faktor yang mempengaruhi perumusan kebijakan ODA Jepang di Cina,
yaitu faktor kepentingan ekonomi dan kepentingan politik Jepang di Cina. Investasi dan
perdagangan merupakan indikator yang digunakan Jepang terhadap kebijakan ODA Jepang
ke Cina (Agnita Handayani, 2007). Mestipun terkadang sifat dari bantuan luar negeri adalah
hibah, namun kepentingan politik negara donor selalu ikut serta didalam bantuan luar negeri
yang diberikan.

Negara-negara di Afrika memiliki model pembangunan yang sangat unik. Afrika


merupakan wilayah paling miskin di seluruh dunia, dan menjadi satu-satunya wilayah yang
mengalami pertumbuhan ekonomi yang negatif pada kurun waktu 1980-2000 (Sachs, t.t:1).
Melihat hal tersebut, banyak lembaga ataupun negara donor dengan buas berkompetisi
memberikan bantuan. Sekitar US$ 500 miliard telah diterima oleh negara-negara di Afrika

1
sebagai bagian dari bantuan luar negeri yang diberikan oleh negara donor sejak tahun 1950an.
Seperti sebelumnya, walaupun banyak sekali bantuan yang diterima oleh negara-negara di
Afrika ini, nyatanya tidak membawa perekonomian negara kearah yang positif, malah
negatif. Zimbabwe, suatu negara di Afrika bagian selatan memiliki kekayaan alam yang
memungkinkan untuk produksi gula, buah-buahan, jagung, tembakau, serta berbagai ternak.
Namun, Republik Zimbabwe yang terletak antara sungai Limpopo dan sungai Zambesi di
bagian selatan Afrika hancur dan mengalami perlambatan ekonomi akibat kekurangan
pasokan, naiknya inflasi, dan kekurangan devisa, sehingga mengakibatkan hiperinflasi pada
tahun 2008 (Irianti, 2013). Di bawah kepemimpinan Hu Jintao, China menunjukkan
pendekatan terhadap Zimbabwe dengan mengambil langkah-langkah asertif untuk
mendorong hubungan ke level yang lebih tinggi. China proaktif menjadi mitra dagang,
investor, dan sebagai donor utama pembangunan di Zimbabwe. China bahkan telah
memfasilitasi sejumlah skema bantuan tanpa syarat sebagai bagian dari Framework Strategic
Partnership menggantikan International Monetary Fund (IMF) dan World Bank. Hubungan
Cina-Zimbabwe dimulai dari Perang Rhodesia, pada akhir 1970-an. Ketika Robert Mugabe
gagal mendapat sokongan Uni Soviet pada 1979, dia beralih ke Cina—yang menyediakan
senjata dan pelatihan untuk gerilyawan Zimbabwe. Manakala Zimbabwe meraih
kemerdekaan pada 1980, kedua negara menjalin hubungan diplomatik secara resmi dan
Mugabe berkunjung ke Beijing sebagai perdana menteri tahun berikutnya.

Tingkat inflasi di Zimbabwe tercatat 2,41 persen pada tahun 2015. Laju Inflasi di
Zimbabwe rata-rata 0,83 persen dari tahun 2009 sampai 2015, tertinggi mencapai 156,964
persen pada tahun 2008 yang mengakibatkan Zimbabwe mengalami hiperinflasi, dan rekor
terrendah mencapai -0,214 persen pada tahun 2014. Perekonomian Zimbabwe dinyatakan
mengalami hiperinflasi sesuai pernyataan Bank Sentral Zimbabwe bahwa inflasi Zimbabwe
mencapai 150.000 persen pada tahun 2008, Perekonomian Zimbabwe mengalami hiperinflasi
disebabkan berbagai hal, diantaranya: 1. Konflik Politik (Rezim presiden Robert G. Mugabe)
2. Penurunan Nilai Mata Uang Nasional (Dollar Zimbabwe). Berikut daftar utang luar negeri
Zimbabwe tahun 2007-2011 kepada organisasi internasional dipaparkan dalam bentuk tabel
sebaga berikut ;1

Tabel 1.1 Total Utang Luar Negeri Zimbabwe

1IMF and Zimbabwe. 2012. Article IV Consultation- Debt Sustainability Analysis.


www.imf.org/external/pubs/ft/dsa/pdf/2012/dsacr12279.pdf. Diakses pada 12 Januari 2013, pukul 15: 39 witta.

2
Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah Jumlah
Utang Utang Utang Utang Utang
No Organisasi dalam dalam dalam dalam dalam
. Internasio Jutaan Jutaan Jutaan Jutaan Jutaan
nal USD USD USD USD USD
(2007) (2008) (2009) (2010) (2011)

1. IMF - - - 133 138


2. AfDB - - - 582 645
3. WB - - - 1.279 1.336
4. EIB - - - 305 305
5. Paris Club - - - 2.680 3.311
6. Non-Paris - - - 427 2.758
7. Club - - - 388 404
Lain-lain
Total - - - 5.794 8.897

Sumber : Laporan tahunan International Monetary Fund pada Artikel Konsultasi


IV untuk Zimbabwe tahun 2012.

Sejak permulaan terjadinya gejolak ekonomi dan politik Zimbabwe, hubungan dengan
Tiongkok berubah lebih praktis dan komersial namun masih didasarkan pada prinsip-prinsip
dasar kedaulatan dan non-intervensi dalam urusan internal satu sama lain. Tiongkok telah
memainkan peran penting dalam krisis politik Zimbabwe dengan menggunakan hak veto-nya
di Dewan Keamanan PBB (DK PBB) (Chun Zhang, 2014). Tiongkok menunjukkan
pendekatan yang berbeda untuk Zimbabwe ketika bermitra dengan Rusia pada tahun 2005
untuk memblokir sanksi DK PBB yang didukung Barat terhadap pemerintah Zimbabwe.
Sejak tahun 2000, kedua negara juga telah melakukan pendekatan dan penguatan dalam
bidang perdagangan.

Selama Perang Dingin, bantuan asing merupakan alat politik penting yang digunakan
Tiongkok untuk mendapatkan pengakuan diplomatik Afrika dan untuk bersaing dengan
Amerika Serikat dan Uni Soviet untuk mendapatkan dukungan Afrika bersaing dengan
Amerika dan Uni Soviet. Rata-rata tujuan China adalah untuk mendapatkan sumber daya
alam dari negara-negara di Afrika, Selain mengamankan sumber daya alam Afrika, aliran
modal Tiongkok ke Afrika juga menciptakan peluang bisnis bagi kontraktor layanan Cina,
seperti perusahaan konstruksi. Menurut analis Cina, Afrika adalah pemasok kontrak layanan
terbesar kedua di Cina.

3
Tiongkok telah memberikan $103.000.000 dalam bantuan pembangunan resmi dari
2004-2013 melalui hibah, pinjaman lunak dan kontribusi ke World Food Program, dan
membangun dua sekolah dan rumah sakit. Bank Ekspor Impor Tiongkok (China EXIM Bank)
telah merestrukturisasi beberapa pinjaman dengan persyaratan yang terlihat lebih
menguntungkan Zimbabwe, termasuk mengurangi suku bunga dari 4% menjadi 3%, dan
masing-masing 2% pada dua pinjaman sebesar $ 17.900.000(Chun Zhang, 2014). Melalui
pinjaman ini, Dana Pembangunan Daerah tetap yang diperoleh senilai $ 8 juta untuk
pengembangan, pemeliharaan dan peningkatan infrastruktur jalan (Chun Zhang, 2014).
Namun, sumber daya manusia di Zimbabwe hampir sama dengan negara-negara lain di
Afrika, bantuan luar negeri berupa suntikan dana yang diberikan tidak dapat dikelola dengan
baik, apalagi sifat bantuan ini adalah pinjaman berjangka yang akan jatuh tempo. Hingga
jatuh tempo, nyatanya Zimbabwe tidak mengalami perubahan signifikan terhadap kondisi
ekonomi negaranya karena sumber data manusia yang tidak capable.

Adapun kepentingan China dalam memberikan bantuan kepada Zimbabwe mulai


terlihat ketika negara ini tidak mampu membayar utang kepada China, dan China
memberikan penawaran untuk memakai Yuan sebagai mata uang nasional Zimbabwe dengan
alasan dollar Zimbabwe yang sudah mati karena inflasi. Putusan ini diambil setelah
pemerintah China menghapus utang Zimbabwe US$ 40 miliar (Rp 520 triliun), Dolar
Zimbabwe tak lagi dipakai sejak 2009 setelah nilai tukarnya anjlok habis-habisan terhadap
dolar AS. Inflasi Zimbabwe saat itu mencapai 500% sehingga mata uangnya bisa dianggap
tidak bernilai. Sebagai kekuatan ekonomi alternatif, Tiongkok menawarkan mata uang Yuan
sebagai alat transaksi perdagangan internasionalnya dengan Zimbabwe. Pemerintah Tiongkok
berusaha menjadikan Yuan sebagai mata uang perdagangan internasionalnya dengan
Zimbabwe dan negara-negara lain didasari oleh keinginan untuk mengontrol penciptaan
kredit dalam perekonomian internasional sebagai basis dalam mendominasi perekonomian
dunia. Bantuan yang diberikan oleh pemerintah China selama ini memang terlihat seperti
Messiah, namun ternyata Monster karena kondisi ekonomi Zimbabwe tidak menunjukkan
titik yang signifikan kearah positif. Karena setelah penghapusan sebagian utang Zimbabwe,
China tidak memberika utang lagi ke Zimbabwe, Presiden Cina Xi Jinping berkunjung ke
Zimbabwe pada 2015, dia mengatakan negaranya bersedia mendorong perusahaan-
perusahaan bonafid untuk menanamkan modal di Zimbabwe. Namun, secara implisit
pesannya adalah tiada lagi pinjaman sampai Zimbabwe menstabilkan ekonominya. Pada
2016, perdagangan kedua negara mencapai US$1,1 miliar atau Rp14,8 triliun. Dari jumlah

4
tersebut, Cina paling banyak membeli tembakau Zimbabwe dengan harga yang tidak tinggi
sekaligus mengimpor kapas dan bahan-bahan mineral. Sebaliknya, Zimbabwe harus membeli
produk elektronik, pakaian, dan barang jadi lainnya dari Cina (BBC Indonesia,2017). Model
kerjasama seperti ini tentunya hanya menguntungkan satu pihak saja, yakni China. Sementara
Zimbabwe tetap pada posisi awal dan dalam kurungan hutang yang banyak dan kemiskinan.
Dalam menerima bantuan luar negeri, seharusnya Zimbabwe lebih cerdas, karena semua
bantuan luar negeri yang diberikan diterima saja tanpa memikirkan prospek kedepannya.
Penyaringan bantuan diperlukan untuk meminimalisir kerusakan yang ditimbulkan olehnya.
“There is nosuch a things as FREE LUNCH” Bantuan yang diberikan oleh China sifatnya
hanya pemberian dana tanpa dibekali dengan pemberian skill, sehingga sumber daya di
Zimbabwe yang tidak mumpuni, membuat negara ini salah urus terhadap bantuan yang
diberikan.

REFERENSI:

Agnita Handayani, Kebijakan Luar Negeri Jepang Terhadap Cina: Studi Kasus Distribusi Official
Development Assistance (ODA) Jepang ke Cina Periode 1992-2004.

Swanson, Ana. 2015. Why trying to help poor countries might actually hurt them. Washington Post.
Diakses melalui URL: https://www.washingtonpost.com/news/wonk/wp/2015/10/13/why-trying-
to-help-poor-countries-might-actually-hurt-them/?noredirect=on&utm_term=.822672e9889f

Irianti, 2013. “Pengaruh Utang Luar Negeri Terhadap Hiperinflasi di Zimbabwe”. Diakses melalui
URL:repositoryunhas.ac.id/.../BAB%20I-V-irianti-pengaruh20uatng%20luar%20negeri.pdf

Mvutungayi, Trust. 2010. China in Zimbabwe: Exploring the Political and Economic Impacts of
Chinese Engagement in the Zimbabwean Crises. hal. 47. Diakses melalui URL:
https://core.ac.uk/download/pdf/396678 30.pdf

Chun, Zhang. 2014. “China-Zimbabwe Relations: A Model Of China-Africa Relations?”,


https://www.saiia.org.za/occasional-papers/643-china-zimbabwe-relations-a-model-of-
chinaafrica-relations/file.

Zimbabwe adopts yuan as legal tender. Global Risk Insights. Diakses melalui URL:
http://globalriskinsights.com/2016/01/zimbabwe-adoptsyuan-as-legal-tender

Zimbabwe Terapkan Yuan Jadi Mata Uang Sehari-hari Diakses melalui:


http://gelora45.com/news/ZimbabweTerapkanYuanJadiMata UangSeharihari.pdf.

Zimbabwe to allow Chinese yuan, Indian rupee, Japanese yen to circulate. Diakses melalui URL:
http://allafrica.com/stories/20140130078 0.html

Anda mungkin juga menyukai